Ayat

Terjemahan Per Kata
فَٱسۡتَجَابَ
maka perkenankanlah
لَهُمۡ
bagi mereka
رَبُّهُمۡ
Tuhan mereka
أَنِّي
sesungguhnya Aku
لَآ
tidak
أُضِيعُ
Aku menyia-nyiakan
عَمَلَ
amal/pekerjaan
عَٰمِلٖ
orang-orang yang beramal
مِّنكُم
diantara kamu
مِّن
dari
ذَكَرٍ
laki-laki
أَوۡ
atau
أُنثَىٰۖ
perempuan
بَعۡضُكُم
sebagian kamu
مِّنۢ
dari
بَعۡضٖۖ
sebagian yang lain
فَٱلَّذِينَ
maka orang-orang yang
هَاجَرُواْ
(mereka) berhijrah
وَأُخۡرِجُواْ
dan (mereka) diusir
مِن
dari
دِيَٰرِهِمۡ
rumah/kampung halamannya
وَأُوذُواْ
dan mereka disakiti
فِي
di
سَبِيلِي
jalanKu
وَقَٰتَلُواْ
dan mereka membunuh
وَقُتِلُواْ
dan mereka dibunuh
لَأُكَفِّرَنَّ
sungguh akan Aku hapus
عَنۡهُمۡ
dari mereka
سَيِّـَٔاتِهِمۡ
kesalahan-kesalahan mereka
وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ
dan tentu Ku masukkan mereka
جَنَّـٰتٖ
surga
تَجۡرِي
mengalir
مِن
dari
تَحۡتِهَا
bawahnya
ٱلۡأَنۡهَٰرُ
sungai-sungai
ثَوَابٗا
pahala
مِّنۡ
dari
عِندِ
sisi
ٱللَّهِۚ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
عِندَهُۥ
di sisiNya
حُسۡنُ
sebaik-baik
ٱلثَّوَابِ
pahala
فَٱسۡتَجَابَ
maka perkenankanlah
لَهُمۡ
bagi mereka
رَبُّهُمۡ
Tuhan mereka
أَنِّي
sesungguhnya Aku
لَآ
tidak
أُضِيعُ
Aku menyia-nyiakan
عَمَلَ
amal/pekerjaan
عَٰمِلٖ
orang-orang yang beramal
مِّنكُم
diantara kamu
مِّن
dari
ذَكَرٍ
laki-laki
أَوۡ
atau
أُنثَىٰۖ
perempuan
بَعۡضُكُم
sebagian kamu
مِّنۢ
dari
بَعۡضٖۖ
sebagian yang lain
فَٱلَّذِينَ
maka orang-orang yang
هَاجَرُواْ
(mereka) berhijrah
وَأُخۡرِجُواْ
dan (mereka) diusir
مِن
dari
دِيَٰرِهِمۡ
rumah/kampung halamannya
وَأُوذُواْ
dan mereka disakiti
فِي
di
سَبِيلِي
jalanKu
وَقَٰتَلُواْ
dan mereka membunuh
وَقُتِلُواْ
dan mereka dibunuh
لَأُكَفِّرَنَّ
sungguh akan Aku hapus
عَنۡهُمۡ
dari mereka
سَيِّـَٔاتِهِمۡ
kesalahan-kesalahan mereka
وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ
dan tentu Ku masukkan mereka
جَنَّـٰتٖ
surga
تَجۡرِي
mengalir
مِن
dari
تَحۡتِهَا
bawahnya
ٱلۡأَنۡهَٰرُ
sungai-sungai
ثَوَابٗا
pahala
مِّنۡ
dari
عِندِ
sisi
ٱللَّهِۚ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
عِندَهُۥ
di sisiNya
حُسۡنُ
sebaik-baik
ٱلثَّوَابِ
pahala
Terjemahan

Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka, orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halamannya, disakiti pada jalan-Ku, berperang, dan terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala dari Allah. Di sisi Allahlah ada pahala yang baik.”
Tafsir

(Maka Tuhan mereka memperkenankan bagi mereka) permohonan mereka (bahwa Aku tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal di antara kamu baik laki-laki maupun perempuan, sebagian kamu) adalah (dari sebagian yang lain) artinya laki-laki adalah turunan wanita sebaliknya wanita adalah keturunan laki-laki. Kalimat ini memperkuat kalimat yang sebelumnya yakni bahwa mereka akan sama-sama menerima balasan dari amal perbuatan masing-masing dan bahwa mereka sama-sama tidak akan disepelekan. Lanjutan ayat berikut turun ketika Ummu Salamah mengatakan kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah! Tidak pernah saya dengar wanita disebut-sebut dalam soal hijrah." (Maka orang-orang yang berhijrah) dari Mekah ke Madinah (yang diusir dari kampung halamannya serta disakiti pada jalan-Ku) maksudnya karena agama-Ku (dan yang berperang) melawan orang-orang kafir (dan orang-orang yang gugur) di jalan-Ku baik memakai tasydid atau tidak dan menurut satu qiraat dengan mendahulukannya (niscaya Aku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka) Aku tutupi dosa-dosa mereka dengan ampunan-Ku (dan Kumasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala) mashdar dari pengertian 'Kuhapus' dan memperkokoh maknanya (dari sisi Allah) terdapat perpalingan kedudukan-Nya sebagai pembicara (dan Allah di sisi-Nya terdapat pahala yang baik.) sebagai balasan. Ayat berikut turun pula tatkala kaum Muslimin mengatakan bahwa musuh Allah kelihatan berbahagia sedangkan mereka dalam keadaan susah dan menderita:.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 195
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai balasan (pahala) dari sisi Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik."
Ayat 195
Firman Allah ﷻ: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya.” (Ali Imran: 195)
Dengan kata lain, Allah mengabulkan doa mereka. Lafal istajaba ini pengertiannya sama dengan yang terdapat di dalam perkataan seorang penyair, yaitu: “Dan seorang penyeru berseru, ‘Wahai orang yang mendengar seruan ini’. Tetapi tiada seorang pun yang memperkenankan seruannya saat itu."
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Salamah (seorang lelaki dari kalangan keluarga Ummu Salamah) yang menceritakan bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, kami belum pernah mendengar Allah menyebutkan kaum wanita dalam masalah hijrah." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan’." (Ali Imran: 195), hingga akhir ayat. Orang-orang Anshar mengatakan, "Ummu Salamah adalah wanita pertama yang datang berhijrah kepada kami."
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak melalui hadits Sufyan ibnu Uyaynah. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Imam Al-Bukhari, tetapi keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa ayat yang paling akhir diturunkan adalah firman-Nya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan, (karena) sebagian kalian adalah keturunan dari sebagian yang lain’." (Ali Imran: 195), hingga akhir ayat. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih.
Makna ayat adalah bahwa orang-orang mukmin adalah orang-orang berakal yang berdoa seperti diatas. Setelah mereka memohon hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka Allah memperkenankan permohonan mereka. Hal ini diungkapkan oleh firman-Nya dengan memakai huruf fa yang menunjukkan makna ta'qib, seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah bahwasanya) Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku; maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)
Adapun firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan.” (Ali Imran: 195) Firman ini merupakan penafsiran tentang jawaban Allah. Dengan kata lain Allah ﷻ berfirman kepada mereka seraya memberitahukan bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian kelak di hadapan-Nya, melainkan Dia dia akan memenuhi pahala amal setiap orang yang beramal dari kalian tanpa memandang apakah dia laki-laki atau perempuan.
Firman Allah ﷻ: “(Karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain.” (Ali Imran: 195)
Yakni kalian semua sama saja dalam menerima pahala-Ku, tidak ada diskriminasi.
“Maka orang-orang yang berhijrah.” (Ali Imran: 195)
Orang-orang yang meninggalkan negeri kemusyrikan. lalu datang ke negeri keimanan hingga berpisah dengan kekasih-kekasihnya, teman-temannya, sahabat-sahabat karibnya dan para tetangganya.
“Yang diusir dari kampung halamannya.” (Ali Imran: 195)
Mereka dipersempit oleh kaum musyrik dengan berbagai macam gangguan yang menyakitkan hati sehingga terpaksa mereka harus keluar dari tengah-tengah mereka. Karena itulah maka dalam firman berikutnya disebutkan:
“Yang disakiti pada jalan-Ku.” (Ali Imran: 195)
Sesungguhnya kesalahan mereka pada orang-orang hanyalah karena mereka beriman kepada Allah semata. Seperti yang disebutkan oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
“Mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kalian karena kalian beriman kepada Allah, Tuhan kalian.” (Al-Mumtahanah: 1)
“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Buruj: 8)
Adapun firman Allah ﷻ: “Yang berperang dan yang dibunuh.” (Ali Imran: 195) Hal ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dan kedudukan yang paling terhormat, yaitu bila seseorang gugur di jalan Allah, kudanya disembelih, dan wajahnya dibasahi dengan darah dan debu.
Di dalam hadits sahihain dituliskan bahwa ada seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu jika aku terbunuh di jalan Allah dalam keadaan sabar (bertahan) dan mengharapkan pahala dari Allah, dalam keadaan maju dan tidak lari? Apakah Allah akan menghapus semua kesalahanku?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya." Kemudian beliau ﷺ bertanya, “Apa yang tadi engkau katakan?" Lalu lelaki itu mengulangi perkataannya kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ menjawab, "Ya, kecuali apa yang tadi dikatakan oleh Jibril kepadaku."
Karena itulah maka Allah ﷻ berfirman: “Pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.” (Ali Imran: 195) Dari celah-celahnya mengalir sungai-sungai yang beraneka ragam rasanya, ada yang berasa susu, madu, khamr serta air yang tawar, dan masih banyak lagi kenikmatan lainnya yang tidak pernah dilihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbesit di dalam hati seorang manusia pun.
Firman Allah ﷻ: “Sebagai pahala di sisi Allah.” (Ali Imran: 195)
Pahala tersebut dikaitkan dengan Allah dan dinisbatkan kepada-Nya untuk menunjukkan bahwa Dia Maha Besar. Karena Yang Maha Besar lagi Maha Mulia tidak akan memberi kecuali pemberian yang berlimpah lagi sangat banyak. Seperti pengertian yang dikatakan oleh seorang penyair: “Jika dia menyiksa, hal itu merupakan pembalasannya; dan jika dia memberi pemberian yang berlimpah, maka sesungguhnya ia tidak peduli dengan pemberiannya itu.”
Firman Allah ﷻ: “Dan di sisi Allah ada pahala yang baik.” (Ali Imran: 195)
Yakni di sisi-Nya terdapat pahala yang baik bagi orang yang mengerjakan amal yang baik.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan dari Duhaim ibnu Ibrahim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepadaku Jarir ibnu Usman, bahwa Syaddad ibnu Aus pernah mengatakan, "Wahai manusia, janganlah kalian berburuk sangka terhadap Allah dalam keputusan-Nya. Karena sesungguhnya Dia tidak pernah berbuat zalim terhadap orang mukmin. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian mendapat sesuatu yang disukainya, hendaklah ia memuji kepada Allah. Apabila ia tertimpa sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah. Karena sesungguhnya hanya di sisi Allah-lah terdapat pahala yang baik.”
Setelah mereka (Ulul Albab) memanjatkan pujian dan doa kepada Allah dengan tulus dan penuh harapan, maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dan mewujudkan harapannya dengan berfirman, Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal perbuatan atau usaha orang yang beramal serta pahala orang-orang yang berbuat kebajikan di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan. Keduanya memperoleh imbalan yang sama; tidak ada perbedaan antara keduanya, karena sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain, sehingga kalian adalah bersaudara. Karenanya tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya di sisi Allah (Lihat Surah an-Nahl/16: 97). Maka orang yang berhijrah meninggalkan negeri, keluarga, dan harta kekayaan mereka, yang karena mempertahankan keimanannya mereka diusir dari kampung halamannya, dan mereka yang disakiti lantaran berjuang pada jalan-Ku, mereka yang berperang atau berjuang dan yang terbunuh dalam perjuangan membela agamaKu pasti akan Aku hapus atau ampuni kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungaisungai. Ampunan serta kenikmatan-kenikmatan yang mereka peroleh adalah sebagai pahala atau imbalan dari Allah yang Maha Pemurah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik yang menyenangkan serta anugerah yang teragung. Jangan sekali-kali kamu, wahai Rasul, teperdaya atau tertipu oleh kegiatan orang-orang kafir yang bergerak dengan bebas kesana kemari di seluruh negeri dengan mengiming-imingi pangkat, harta, dan kenikmatan-kenikmatan sementara yang cepat sirna.
Ummi Salamah pernah berkata, "Ya Rasulullah! Saya tidak mendengar Allah menyebut-nyebut perempuan sedikit pun yang berkenaan dengan hijrah." Maka turunlah ayat ini. Atas ketekunan mereka beramal baik, penuh dengan keikhlasan yang dibarengi doa yang sungguh-sungguh, maka Allah memperkenankan permohonan mereka.
Dijelaskan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amal seseorang yang taat dan tidak akan membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam memberi pahala dan balasan, karena kedua jenis ini satu sama lain turun menurunkan, perempuan berasal dari laki-laki dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu barang siapa hijrah, baik laki-laki maupun perempuan, diusir dari kampung halamannya, disiksa karena ia tekun di jalan Allah, memerangi musuh-musuh Allah yang akhirnya mati syahid, tewas di medan perang, pasti Allah akan menghapuskan segala kesalahannya, mengampuni dosanya dan pasti pula akan masukkan ke dalam surga, merupakan pahala dan balasan dari Dia, sebagai perwujudan doa dari permohonan yang diperkenankan-Nya. Alangkah berbahagia mereka, memperoleh pahala dan balasan dari Allah, karena memang pahala dan balasan yang sebaik-baiknya ialah yang datang dari Allah ﷻ
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setelah Allah menunjukkan orang-orang munafik dan Yahudi yang suka sekali dipuji dalam hal yang tidak pernah mereka kerjakan, dan diambil pula hal yang demikian jadi i'tibar bagi umat Muhammad ﷺ sendiri, pada penutupnya Allah memberi peringatan kepada segala insan yang teperdaya dengan tipuan hidup dunia ini. Orang berkejar mendekatinya, tetapi kerajaan yang sejati ialah kerajaan Allah yang meliputi segenap langit dan bumi. Maka, tegakkanlah kerajaan itu dalam hatimu sendirj, sebab dari sana kita semua datang, dengan itu kita hidup dan ke sanalah tujuan kita yang sebenarnya.
Apabila mata kita hanya dihadapkan kepada keadaan hidup sehari-hari, pasang naik dan pasang turun, yang menggembirakan dan mencemaskan, orang naik dan orang jatuh, menginjak kuduk orang lain untuk naik, yang selalu kejadian dalam percaturan hidup di dunia ini, akhirnya kita akan penat sendiri. Karena batin telah kosong, kehabisan bahan. Oleh sebab itu, sebagai Mukmin di samping hidup kebendaan hendaklah disediakan hidup keruhanian. Di samping melihat edaran masyarakat manusia, menengoklah kepada kerajaan langit dan bumi yang luas itu, yang telah dimulai menerangkannya pada ayat di atas tadi.
Ayat 190
“Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi seita silih bergantinya siang dan malam, terdapat beberapa tanda bagi orang-orang yang berakal. “
Berkata Imam ar-Razi dalam tafsirnya, “Ketahuilah olehmu bahwa yang dimaksud dalam kitab yang mulia ini ialah menjemput hati dan ruh sesudah bising memperkatakan soal-soal makhluk yang dijadikan, supaya mulai tenggelam memerhatikan makrifat terhadap Al-Haq (Allah) Karena sejak tadi sudah panjang pembicaraan tentang hukum-hukum dan menjawab beberapa keraguan yang dibawakan oleh orang yang tidak mau percaya, sekarang kembali membicarakan penerang hati, dengan menyebutkan soal-soal tauhid, ketuhanan, kebesaran, dan kemuliaan Allah. Maka, mulailah disebutkan ayat ini," demikian ar-Razi.
Renungkanlah alam, langit, dan bumi. Langit yang melindungimu dan bumi yang terhampar tempat kamu hidup. Pergunakanlah pikiranmu. Dan tiliklah pergantian antara siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah.
Di sana dahulu cocok dengan zamannya, Musa telah mengangkat tongkatnya ke atas. Maka, keluarlah ayat dan mukjizat kebesaran Allah. Kemudian, datanglah al-Masih membawa ayat-ayat pula, menyembuhkan orang sakit kusta, menghidupkan orang yang baru mati. Sekarang datanglah masanya kamu disuruh berpikir melihat alam, supaya kamu dapat melihat, bahwa semuanya itu penuh dengan mukjizat Ilahi.
Dahulu pada surah al-Baqarah, ayat 164 dan beberapa ayat lain perhatian kita terhadap kejadian langit dan bumi serta perkisaran siang dan malam, dan sekarang dirangsang lagi. Tiap ada peluang, sesudah mendaki menurun di dalam hidup, setelah dipikulkan kekerasan hukum dan peraturan, bujukan surga dan ancaman neraka, kita disuruh mengheningkan cipta melihat makhluk Allah yang besar ini.
Langit adalah yang di atas kita yang menaungi kita. Entah berapa lapisnya. Allahlah yang tahu. Sedang yang dikatakan kepada kita hanya tujuh. Menakjubkan pada siang hari dengan berbagai warna awan-gemawan, mengharukan malam harinya dengan berbagai bintang-gemintang.
Bumi adalah tempat kita berdiam ini, penuh dengan aneka keganjilan, yang kian diselidiki kian mengandung rahasia ilmu yang belum terurai. Langit dan bumi dijadikan oleh Khalik, dengan tersusun terjangkau, dengan sangat tertib. Bukan hanya semata dijadikan, tetapi setiap saat tampak hidup semua bergerak menurut aturan. Silih berganti perjalanan malam dengan siang, betapa besar pengaruhnya atas hidup kita ini dan hidup segala yang bernyawa. Kadang-kadang pendek malam, panjang siang, dan sebaliknya. Kadang-kadang musim dingin, musim panas, musim rontok, dan musim kembang. Demikian juga teraturnya hujan dan panas. Semua ini menjadi ayat-ayat, menjadi tanda-tanda bagi orang yang berpikir, bahwa tidaklah semuanya ini terjadi sendirinya. Sempurna buatannya tandanya menjadikannya indah. Mulia belaka, tanda yang melindunginya mulia adanya.
Orang melihatnya dan mempergunakan pikiran meninjaunya, masing-masing menurut bakat pikirannya. Entah dia seorang ahli ilmu alam, atau ahli ilmu bintang, atau ahli ilmu tumbuh-tumbuhan, atau ahli ilmu per-tambangan, ataupun dia seorang filsuf ataupun penyair dan seniman. Semuanya akan dipesona oleh susunan tabir alam yang luar biasa itu. Terasa kecil diri di hadapan kebesaran alam, terasa kecil alam di hadapan kebesaran penciptanya. Akhirnya tak ada arti diri, tak ada arti alam, yang ada hanyalah Dia, yaitu yang sebenarnya ada.
Mengapa kita berkesimpulan sampai demikian. Ialah karena kita manusia, kita berpikir. Ulul Albab, mempunyai inti sari, mempunyai pikiran. Mempunyai biji akal yang bila ditanam akan tumbuh.
Orang yang berpikiran itu,
Ayat 191
“(yaitu) orang-orang yang mengingati Allah, sewaktu berdiri, duduk atau berbaring."
Artinya orang yang tidak pernah lepas Allah dari ingatannya. Di sini disebut Yadzkuruuna yang berarti ingat. Berpokok dari kalimat dzikir. Arti dzikir, ingat. Dan disebutkan pula bahwasanya dzikir itu hendaklah bertali di antara sebutan dengan ingatan. Kita sebut nama Allah dengan mulut karena dia telah terlebih dahulu teringat dalam hati. Maka, teringatlah dia sewaktu berdiri, duduk termenung atau tidur berbaring. Sesudah penglihatan atas kejadian langit dan bumi, atau pergantian siang dan malam, langsungkan ingatan kepada yang menciptakannya, karena jelaslah dengan sebab ilmu pengetahuan bahwa semuanya itu tidaklah ada yang terjadi dengan sia-sia atau secara kebetulan. Ingat atau dzikir kepada Allah itu, sekali lagi bertali dengan memikirkan. Maka, datanglah sambungan ayat, “Dan mereka pikirkan hal kejadian langit dan bumi."
Di sini bertemulah dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu dzikir dan pikir. Dipikirkan semua yang terjadi itu, lantaran dipikirkan timbullah ingatan sebagai kesimpulan dari berpikir, yaitu bahwa semua itu tidaklah terjadi sendirinya, melainkan ada Tuhan Yang Maha Penciptanya, itulah Allah. Oleh karena memikirkan yang nyata, teringatlah kepada yang lebih nyata. Semata dipikirkan saja kejadian alam ini, yang akan bertemu hanyalah ilmu pengetahuan yang gersang dan tandus. Ilmu pengetahuan yang membawa kepada iman, adalah pengetahuan yang buntu. Dia mesti menimbulkan ingatan. Terutama ingatan atas kelemahan dan kekecilan diri ini di hadapan kebesaran Maha Pencipta. Sebab itu, datanglah kelanjutan doa tersebab dzikir dan pikir,
“Ya. Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan (semuanya) ini dengan sia-sia." Ucapan ini adalah lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakal dan ridha, menyerah dan mengakui kelemahan diri. Sebab itu, bertambah tinggi ilmu seseorang, seyogianya bertambah ingatlah dia kepada Allah. Sebagai alamat pengakuan atas kelemahan diri itu, di hadapan kebesaran Allah, timbullah bakti dan ibadah kepada-Nya.
“Mahasuci Engkau! Maka peliharalah kiranya kami dari adzab neraka."
Ujung doa ini, sebagaimana ujung ayat adalah kelanjutan pengakuan atas kebesaran Allah, yangdidapati setelah memikirkan betapa hebatnya kejadian langit dan bumi. Matahari, bulan, bintang-bintang, alam semesta keli-hatan dengan nyata kepatuhannya menurut kehendak Ilahi. Tidak pernah pengisi ruang angkasa itu mengingkari yang telah ditentukan Allah, walaupun dia matahari, ataupun dia bulan, ataupun dia berjuta bintang. Betapa lagi kita manusia yang lemah ini. Bukankah sudah patut kalau Allah mengadzab dan menyiksa kita kalau kita durhaka, sedang alam sekitar kita tidak pernah mendurhakai kehendak Allah. Tersebutlah pula di dalam surah al-Hajj ayat 18, bahwasanya semua yang di langit dan di bumi, matahari, bulan, dan bintang, sampai bukit, gunung, kayu di hutan, binatang melata dan banyak pula antara manusia, semuanya bersujud, artinya tunduk taat, setia kepada Allah. Maka, mengapalah kita manusia yang tidak ada artinya ini mendurhaka juga kepada Allah, padahal kita tidak bisa mengelak dari ketentuan Allah yang telah ditetapkan untuk kita? Bukankah orang yang ingkar itu sudah sewajarnya mendapat siksaan Allah? Di ujung ayat ini kita memohon ampun kepada Allah dan memohon agar dihindarkan dari siksa neraka, karena kadang-kadang oleh dorongan hawa nafsu kita alpa akan kewajiban kita.
Kita kembali kepada hubungan antara dzikir dan pikir tadi. Hidup yang semata-mata terikathanya kepada memikirkan benda adalah tandus dan gersang. Isaac Newton mengatakan bahwa penyelidikan tentang daya tarik dalam alam telah memberikan hasil pengetahuan bahwasanya tidak terjadi kehancuran di dalam alam ini ialah karena adanya sistem daya tarik menarik yang menimbulkan keseimbangan yang menyebabkan sesuatu tidak terkacau. Bintang dengan bintang tidak pernah berlaga dan berbenturan. Matahari beredar dan bumi pun beredar pula di sekitar matahari itu menurut kadar tertentu. Kita telah mengetahui sebab para sarjana telah mengeluarkan basil pemikirannya.
Tetapi penyair dan filsuf besar Islam Maulana Muhammad Iqbal mengatakan bahwa hal itu bukan semata-mata teori daya tarik-menarik. Melainkan lebih tinggi dari itu, yaitu daya dari cinta, yang oleh ahli tasawuf dinamai ‘lsyq. Bumi dan langit taat kepada Allah, dan taat itu adalah dari ajaran yang dinamai ‘isyq itu. Sedang Allah sendiri pun terhadap kepada makhluk yang Dia bukan semata-mata ilah yang mencipta, melainkan juga Rabbun yang memelihara dan menjaga terus.
Setelah mengakui kelemahan diri, lalu memohon agar Allah menjauhkan kiranya dari adzab neraka, diteruskan pula pengakuan itu,
Ayat 192
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, sesungguhnya telah Engkau hinakan dia. Dan tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang aniaya"
Ayat ini melukiskan suara hati sanubari insan yang penuh pengakuan akan kebesaran
Allah. Bahwasanya jika seseorang dimasukkan Allah ke dalam neraka, bukanlah Allah yang salah, melainkan manusia itu sendirilah yang telah aniaya akan dirinya, sebab dia melanggar ketentuan Allah yang sudah patut diketahuinya. Dan karena dia yang memilih jalan aniaya, jalan yang tidak adil dan tidak benar, dia pun celaka. Kalau dia telah celaka, tidak ada orang lain yang akan menolong, apatah lagi pada hari Kiamat itu kelak. Kalau mau selamat dari marabahaya akhirat itu, keselamatan itu hanyalah ditentukan oleh sikap hidup dan laku perangai insan itu sendiri tatkala hidup di dunia ini juga. Oleh sebab itu, kepada Allah jualah dipohonkan petunjuk, agar mendapat jalan yang benar.
Ayat 193
“Tuhan kami! Sesungguhnya telah kami dengan seruan penyeru yang menyeru kepada iman."
Penyeru yang menyeru kepada iman adalah Rasulullah ﷺ Dia telah diutus oleh Allah kepada hamba-Nya. Rasul pun menyeru kepada manusia supaya manusia berbuat amal baik dalam dunia ini agar hidup manusia berarti karena berbakti. Penyeru itulah yang menunjukkan yang baik dan yang buruk. Dialah yang menyerukan, “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu!" Percayatah kamu akan adanya Allah. Bahwa lantaran adanya kurnia Allah, kamu tetap hidup di dunia ini. Dari-Nya kamu datang, dengan perlindungan-Nya kamu sekarang hidup dan kepada-Nya kamu akan kembali. Dia yang menentukan hidup matimu, dunia dan akhiratmu, peganglah kepercayaan itu teguh-teguh supaya kamu selamat.
“Maka kami pun telah beriman." Segala apa yang diserukan oleh Rasul telah kami terima dan kami akui, tidakada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad penyeru ialah Rasulullah. Ajaran itu telah kami jadikan pegangan dan kami tidak lagi memercayai sesuatu selain Allah. Kami tidak lagi menyembah berhala dan kami pun tidak lagi memandang bahwa hidup hanya hingga dunia ini saja, .. Tuhan kami, ampunilah kami, hapuskanlah dosa-dosa kami." Di sini terdapat kalimat Faghfirlana (maka ampunilah kami dari dosa-dosa kami) Kata ighfir yang berpokok pada ghufran boleh diartikan dengan arti yang umum, yaitu memohon ampun. Selain itu, dapat digali lebih dari semata-mata memohon ampun serta dapat juga diartikan perisai tempat berlindung dari serangan dosa.
Arti yang lebih dalam memohon kepada Allah agar kita dipelihara-Nya sehingga itu tidak dapat menyerang dan menghancurkan kita. “Dan hapuskanlah kejahatan-kejahatan kami." Di sini pun terdapat kata wa kaffir ‘anna, yang kita artikan hapuskanlah kiranya dari kami. Ingat pula kita atas pemakaian kata kaffarah, yaitu suatu denda menurut sya-ri'at Islam karena pelanggaran aturan Allah. Misalnya kaffarah seorang yang telanjur mem-bunuh seorang dengan tidak sengaja ialah memerdekakan seorang budak. Kaffarah zhihar (menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu sendiri) belum boleh bergaul kembali dengan istri sebelum membayar kaffarah, yaitu memerdekakan seorang budak. Kalau tidak sanggup memerdekakan budak, hendaklah puasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak sanggup, hendaklah memberi makan 60 orang miskin. Semuanya ini dinamai kaffarah, yaitu penghapusan kesalahan. Artinya diberi ampunan oleh Allah tentang kesalahan itu setelah dibayar kajfarah-nya.
Ada beberapa kesalahan yang dapat dihapuskan Allah karena dibayar kaffarah-nya. Akan tetapi, ada juga dosa yang dengan kaffarah kebendaan tidak dapat dihapus kalau bukan Allah menghapuskannya. Permintaan kita ialah agar Allah menghapuskan kejahatan itu, baik dengan memberi maaf-Nya ketika telanjur atau menghapuskan bibitnya dari hati kita sehingga kita tidak mau mengerjakannya lagi karena hati kita diberi petunjuk bahwa itu adalah jahat. Lalu di ujung permohonan itu kita lanjutkan lagi dengan permohonan,
“Dan terimalah kiranya kami bersama-sama orang-orang yang berbuat bakti"
Di sini kita telah “memesan tempat". Kita meminta disejajarkan dengan orang baik-baik, orang yang berbakti, yang disebut al-Abraar, yaitu orang-orang yang di dalam hidupnya selalu mendirikan kebajikan dan kebaktian.
Permohonan itu tidak cukup hingga hal itu. Tadi kita telah minta disejajarkan, disamakan penyambutan dan penerimaan kita bersama orang-orang yang berbuat bakti di sisi Allah. Dan sebab tadi kita telah mengakui bahwa kita percaya kepada penyeru yang telah menyampaikan seruan kepada kita dari Allah supaya beriman, yaitu utusan Allah, sekarang kita lanjutkan lagi permohonan,
Ayat 194
“Tuhan kami, kurniailah kami dengan yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau."
Berkali-kali rasul-rasul telah menyampaikan janji Allah bahwa siapa yang beriman kepada Allah akan diberi kurnia, akan dimasukkan ke dalam surga Jannatun Na'im, tempat yang aman bahagia, damai dan tenteram, cukup dengan serba-serbi nikmat, mengalir di bawahnya air sungai yang jernih, tempat terhenti segala kepayahan hidup di dunia. “Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat." Janganlah Engkau masukkan kami ke dalam neraka, janganlah dijauhkan kami dari nikmat-Mu karena kami telah mengaku beriman.
“Sesungguhnya Engkau tidaklah memungkiri janji."
Itulah dia raja' atau pengharapan dari orang-orang yang telah beriman termasuk kita sendiri yang mewarisi dan menerima Al-Qur'an. Kita sangat mengharapkan kurnia
Allah masuk surga dan kita pun takut (khauf) masuk neraka, sedang kita merasa kalau sudah beriman kepada Allah dan percaya kepada Rasul, jaminan Allah akan kita terima. Sebab, Allah tidak pernah mungkir akan janji-Nya.
Ayat 195
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka."
Artinya segala permohonan yang timbul dari hati yang khusyu dan segenap kerendahan itu telah didengar oleh Allah. Allah bukanlah pekak dan bukanlah Dia lalai saja ketika hamba-Nya menadahkan tangan ke langit memohon kurnia atau sujud ke bumi karena insaf atas kekecilan diri setelah memikirkan alam atau mengingat Allah. Permohonan itu disambut Allah dengan firman-Nya yang tegas, “Bahwasanya Aku tidaklah menyia-nyia-kan amal orang-orang yang beramal antara kamu." Inilah jawab yang jitu dari Allah. Bahwa tidaklah dilengahkan saja oleh Allah. Permohonan itu didengar Allah, apatah lagi kalau susunan permohonan seindah susunan doa yang tersebut di atas tadi. Akan tetapi, persoalan bagi Allah bukanlah semata-mata doa yang tersebut di atas tadi, melainkan bukti. Kalau seruan batin telah diwujudkan dalam kenyataan, yaitu dengan amal, kerja, usaha, dan perbuatan, barulah ada harganya di sisi Allah. Besar atau kecil amal, tidaklah ada yang tersia-sia di sisi Allah. Besar dicatat, kecil pun dicatat. Nilai iman hendaklah dibuktikan dengan amal. Dalam hidup jangan terdapat pengangguran. “Laki-laki atau pun perempuan (karena) sebagian kamu adalah berasal dari sebagian yang lain."
Beramal tidaklah diberatkan kepada laki-laki saja. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban seperti laki-laki mempunyai hak dan kewajiban. Yang setengah adalah dari yang setengah. Artinya segala amal besar dalam masyarakat adalah persatupaduan kerja kasar laki-laki dan kerja halus perempuan. Di dalam rumah tangga pun demikian. Si suami bekerja keluar mencari nafkah. Si istri bekerja di rumah menjaga ketenteraman dalam rumah tangga. Kita ibaratkan pula dengan kerja sama membangun masjid bergotong-royong. Laki-laki bertukang, perempuan membawakan makanan. Suatu rapat umum, meskipun kursi-kursi telah diatur rapi, tetapi alas mejanya dan kembang-kembang penghias majelis mesti dicampuri tangan perempuan. Di dalam peperangan, laki-laki berjuang berhadapan dengan musuh, tangan perempuan membalut yang luka dan menyediakan makanan. Itulah maksud kata Allah bahwa yang setengah ialah dari yang setengah. Kerja dan usaha laki-laki memerlukan tangan kasar laki-laki. Masyarakat laksana manusia memiliki dua paru-paru. Dia menjadi masyarakat yang sakit kalau paru-paru yang bekerja hanya sebelah. Jika ada kesadaran pada kedua pihak, tumbuhlah masyarakat yang kuat dan kukuh. Selanjutnya berfirmanlah Allah,
“Maka orang-orang yang telah berhijrah dan diusir dari negeri-negeri mereka, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan terbunuh, sesungguhnya akan Aku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka."
Inilah rangkaian jawaban yang tegas dari Allah. Pengakuan iman saja belumlah cukup menjadi jaminan bahwa dosa akan diampuni dan surga akan disediakan. Semata-mata berdoa memohon, walaupun sampai menitikkan air mata darah, belum tentu akan dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi, Allah terlebih dahulu menghendaki bukti amal dan usaha, kerja dan perbuatan, perjuangan dan kerja keras. Bahkan sudi berhijrah atau berpindah tempat karena mempertahankan iman atau diusir oleh musuh yang membenci tegaknya iman. Lantaran kuatnya pertahanan dan perjuangan iman, mereka pun tahan menderita ketika disakiti lawan sebab mereka menegakkan jalan Allah. Ketika lemah mereka tahan menderita, laksana penderitaan Amar bin Yasir dan ibunya ataupun Bilal ketika mereka masih di Mekah. Akan tetapi, setelah mereka dapat menyusun kekuatan, mereka pun sanggup berperang lantaran menegakkan iman. Sudah sewajarnya apabila terjadi peperangan ada yang mati terbunuh. Meskipun terbunuh satu dua orang, tetapi yang tinggal tetap menegakkan keyakinan itu sampai kemenangan tercapai. Ini berlaku untuk laki-laki dan untuk perempuan.
Kalau sudah suka menghadapi segala akibat, manis dan pahitnya, jaya dan bahayanya, sedang iman tetap tegak, tidak dapat diguncangkan dan digoyahkan oleh angin atau topan sekalipun, barulah Allah mengampuni dosa yang berkecil-kecil. Di penutupnya, Allah mengatakan,
“Dan akan Aku masukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir air sungai, sebagai ganjaran dari Allah. Dan di sisi Allah-lah ganjaran yang sebaik-baiknya."
Bandingkanlah kembali permohonan doa beriba-iba di atas tadi, mohon dijauhkan dari api neraka. Mohon jangan sampai dihina dan dikecewakan pada hari Kiamat. Mohon agar dipenuhi janji Allah terhadap rasul-rasul-Nya sebab Allah tiada memungkiri janji Allah sekarang. Yaitu asal mau bekerja dan beramal, laki-laki dan perempuan, dan sanggup menahan berbagai derita karena menegakkan kebenaran, pasti dosa-dosa akan diampuni Allah. Apabila hidup seseorang Mukmin telah diisi (positif) dengan kerja keras, dengan sendirinya kesempatan membuat dosa tak ada lagi. Kalau timbul dosa, nyatalah itu karena tidak disengaja. Laksana Nabi Musa, karena hendak menegakkan keadilan dan membela si lemah, dipukulnya si zalim dengan tangannya, lalu orang yang zalim itu mati tersungkur. Setelah Musa menderita berbagai penderitaan, kesalahan membunuh orang tidak dengan sengaja itu menjadi satu soal kecil di sisi Allah,
Sebab, Musa sendiri pun mengaku bahwa membunuh bukanlah yang dimaksudnya.
Kemudian, bandingkan lagi perkembangan sejak permulaan ayat 190 di atas tadi. Mulanya ialah merenungkan kejadian langit dan bumi, dzikir, dan pikir. Kemudian, insaf atas kelemahan diri, lalu menyerah kepada Allah dan memohon. Allah sendiri memberikan tuntunan bahwa renung, dzikir, dan pikir saja belumlah cukup, sebelum diikuti perjuangan dan penderitaan. Bandingkanlah pula hal ini, dengan ayat-ayat di dalam surah al-Jumu'ah, yaitu seruan segera pergi beribadah ke masjid apabila seruan telah sampai. Sehabis upacara shalat diperintahkan supaya lekas-lekas keluar dari masjid untuk berjuang bertebaran di muka bumi mencari kurnia Allah. Lantaran itu, hidup Muslim tidaklah cukup hanya dengan berdzikir dan berpikir, tetapi harus diikuti dengan bekerja dan berjuang.
Perhatikanlah kembali inti ayat tadi, bahwasanya kerja sama wajiblah erat antara laki-laki dengan perempuan dalam menegakkan amal. Hal ini telah dibuktikan dalam sejarah Islam sejak mula perkembangannya, dari Mekah sampai Madinah. Yang menyatakan percaya pertama sekali kepada Rasulullah ialah perempuan, yaitu ibu orang-orang yang beriman, istri beliau yang pertama, Khadijah binti Khuwailid. Syahid yang pertama karena memperjuangkan Islam ialah perempuan, yaitu Ummi Yasir, yang disula kemaluannya sampai menembus ke lehernya dengan pucuk daun pohon kurma. Di dalam hijrah pertama ke Habsyah, ikut juga perempuan, di antaranya Ummi Habibah binti Abu Sufyan. Sesampainya di tanah perantauan, suaminya murtad dari Islam dan masuk Nasrani. Ingin pulang kembali ke Mekah tidak bisa, sebab ayahnya adalah pemimpin musyrik menentang Rasul ﷺ, tetapi dia tetap teguh pada agamanya. Untuk menghargai perjuangannya, Rasulullah melamarnya langsung pada dirinya dan dia pulang kemudian ke Madinah.
Ketika terjadi Bai'atuI ‘Aqabah, ketika mula-mula kaum Anshar mengikat janji akan membela Rasul dan bersedia menerima beliau jika hijrah ke Madinah, telah ikut juga orang perempuan, yaitu Nasibah binti Ka'ab al-Anshariyah dan Asmil binti Amir, ibu Mu'az bin Jabal. Nasibah turut dalam Peperangan Uhud, turut mengiringkan Rasulullah ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyah, bahkan turut dalam Angkatan Perang ketika menaklukkan Mekah.
Menurut cerita Sayyidina Umar bin Khaththab, ketika membicarakan perjuangan Nasibah, Rasulullah pernah mengatakan kepada Umar tentang Nasibah, “Apabila aku menoleh ke kananku atau ke kiriku, aku se-nantiasa melihat Nasibah berperang di sisiku." Nasibah turut terluka ketika mempertahankan Rasul ﷺ dari serbuan musuh yang hendak membunuh beliau.
Setelah Rasulullah ﷺ wafat dan tentara Muslimin pergi memerangi Musailamah si pembohong yang mendakwakan dirinya jadi nabi pula di Yamamah. Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq mengerahkan tentara membasmi pemberontakan itu. Nasibah pun ikut pergi berperang dan ikut pula bertempur. Dalam perang itu, putus tangannya dan dalam perang itu pula syahid putranya, Khubaib bin Yazid bin Ashim.
Shafiyah binti Abdul Muthalib, ammah (saudara dari ayah) Nabi, saudara kandung Hamzah yang perwira, satu kali turun dari bentengnya membunuh musyrik.
Terlalu panjang kalau kita daftarkan di sini, bagaimana perempuan-perempuan pada zaman Nabi atau pada zaman sahabat-sahabat yang utama turut bertempur ke medan perang memikul tugasnya. Pada pokoknya menyediakan makanan dan mengobati yang luka, tetapi bersedia juga bertempur, membunuh, atau terbunuh.
Berkata Ibnu Abbas, “Perempuan-perempuan ikut berperang bersama Rasulullah" (demikian tersebut dalam kitab bantahan al-Auza'i oleh Imam Abu Yusuf, halaman 38)
Berkata Ibnu Mas'ud, “Perempuan-perempuan di Peperangan Uhud berdiri di garis belakang kaum laki-laki, mengobati yang luka."
Sebab itu, kepala-kepala perang sebagaimana Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid memerlukan juga tenaga perempuan dalam perang. Ketika menaklukkan Damaskus, banyak perempuan turut dalam perang. Mereka duduk di kemah menunggu kalau ada yang luka akan diobati, tetapi pula di tangan mereka ada batu dan tongkat. Kalau ada laki-laki yang lari mundur ke dalam kemah, mereka lempari dengan batu atau mereka pukuli dengan tongkat. Kemudian, mereka angkat anak-anak mereka yang masih kecil lalu berkata, “Pertahankan keluargamu dan belalah Islam!"
Malahan Khalid berkata kepada perempuan-perempuan itu, “Wahai perempuan-perempuan Islam. Kalau ada laki-laki yang mundur, hendaklah dibunuh saja!"
Menurut Imam al-Auza'i, karena itu, perempuan yang ikut berperang berhak mendapat bagian dari ghanimah.
Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata, “Sama pendapat ulama, bahwa perempuan boleh ikut berperang."
Ibnu Hazm berpendapat bahwa perempuan pergi perang adalah sunnah.'5 Ada tiga tingkat fatwa ulama tentang ikutnya perempuan dalam perang,
Pertama ialah mubah, boleh. Artinya kalau ada mereka yang ingin ikut pergi berperang, jangan dihalangi.
Kedua ialah sunnah, yaitu bagi perempuan-perempuan yang ada kesanggupan dan keahlian, terutama dalam mengobati yang luka.
Ketiga ialah wajib berperang sebab telah menjadi fardhu ‘ain apabila musuh telah masuk ke negeri supaya mereka pun turut berjuang bersama laki-laki.
Kalau dalam perang menyabung nyawa— demikian kata Al-Qur'an dan demikian pula Sunnah Rasul—pada contoh-contoh perempuan pada zaman beliau dan pada zaman sahabat-sahabat, demikian pula pendapat para ulama, niscaya jelaslah bahwa dalam hal yang lain pun perempuan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, yaitu di dalam bakat dan bidang yang sesuai dengan keadaan dirinya sebagai perempuan.
Carilah agama lain yang bersikap setegas itu terhadap perempuan.
Kalau dalam beberapa negeri Islam terdapat perempuan tertindas dan tidak diberi hak, itu bukanlah dari Islam, melainkan setelah umat Islam tidak berpedoman pada Islam lagi.
Inilah agaknya yang dijadikan landasan sehingga pada zaman kebesaran Kerajaan Islam Aceh, ada perempuan menjadi Sultanah dan banyak perempuan yang duduk dalam perwakilan rakyat.
Akan tetapi, haruslah diperhatikan bahwa hak-hak perempuan yang diberikan Islam bukanlah menggantikan atau menandingi kedudukan laki-laki. Misalnya laki-laki menjadi penjaga rumah. Itu bukan dari Islam, tetapi dari peradaban Barat sejak zaman industri, ekonomi kapitalis yang mengerahkan tenaga perempuan ke medan ramai. Pertama karena gajinya lebih murah, kedua karena hendak menawan hati pelanggan dengan kecantikannya.
Yang demikian tak ada dalam peraturan Islam.