Ayat
Terjemahan Per Kata
رَّبَّنَآ
ya Tuhan kami
إِنَّنَا
sesungguhnya kami
سَمِعۡنَا
kami mendengar
مُنَادِيٗا
panggilan/seruan
يُنَادِي
memanggil/menyeru
لِلۡإِيمَٰنِ
kepada iman
أَنۡ
agar
ءَامِنُواْ
berimanlah kamu
بِرَبِّكُمۡ
dengan/kepada Tuhanmu
فَـَٔامَنَّاۚ
maka kami beriman
رَبَّنَا
ya Tuhan kami
فَٱغۡفِرۡ
ampunilah
لَنَا
bagi/untuk kami
ذُنُوبَنَا
dosa-dosa kami
وَكَفِّرۡ
dan hapuskanlah
عَنَّا
dari kami
سَيِّـَٔاتِنَا
kesalahan-kesalahan kami
وَتَوَفَّنَا
dan wafatkan kami
مَعَ
beserta
ٱلۡأَبۡرَارِ
orang-orang yang baik
رَّبَّنَآ
ya Tuhan kami
إِنَّنَا
sesungguhnya kami
سَمِعۡنَا
kami mendengar
مُنَادِيٗا
panggilan/seruan
يُنَادِي
memanggil/menyeru
لِلۡإِيمَٰنِ
kepada iman
أَنۡ
agar
ءَامِنُواْ
berimanlah kamu
بِرَبِّكُمۡ
dengan/kepada Tuhanmu
فَـَٔامَنَّاۚ
maka kami beriman
رَبَّنَا
ya Tuhan kami
فَٱغۡفِرۡ
ampunilah
لَنَا
bagi/untuk kami
ذُنُوبَنَا
dosa-dosa kami
وَكَفِّرۡ
dan hapuskanlah
عَنَّا
dari kami
سَيِّـَٔاتِنَا
kesalahan-kesalahan kami
وَتَوَفَّنَا
dan wafatkan kami
مَعَ
beserta
ٱلۡأَبۡرَارِ
orang-orang yang baik
Terjemahan
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru pada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang selalu berbuat kebaikan.
Tafsir
(Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya kami telah mendengar seorang penyeru yang menyeru) manusia (untuk beriman) kepadanya, yaitu Muhammad atau Al-Qur'an (supaya) maksudnya yakni: ('Berimanlah kepada Tuhanmu!' Maka kami pun berimanlah) kepada-Nya (Wahai Tuhan kami! Ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah) tutup (dari kami kesalahan-kesalahan kami) artinya janganlah dibukakan kepada umum dengan memberikan hukuman terhadapnya (dan wafatkanlah kami) cabutlah nyawa kami (bersama) golongan (orang-orang yang berbakti) yakni para nabi dan orang-orang saleh.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 190-194
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal,
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa neraka.
Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim.
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar (seruan) orang yang menyeru kepada iman, (yaitu): 'Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian,' maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.
Ya. Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.
Ayat 190
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qumi dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Said ibnu Jubair dari Ibnu Abbas' yang menceritakan bahwa orang-orang Quraisy datang kepada orang-orang Yahudi, lalu berkata, "Mukjizat apakah yang dibawa oleh Nabi Musa kepada kalian?" Orang-orang Yahudi menjawab, "Tongkat dan tangannya yang tampak putih bagi orang-orang yang memandang." Mereka datang kepada orang-orang Nasrani, lalu bertanya, "Apakah yang dilakukan oleh Nabi Isa?" Orang-orang Nasrani menjawab, "Dia dapat menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya, orang yang berpenyakit sopak, dan dapat menghidupkan orang-orang yang mati." Mereka datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Berdoalah kepada Allah, semoga Dia menjadikan bagi kami Bukit Safa ini menjadi emas." Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190) Karena itu, renungkanlah oleh kalian hal tersebut.
Riwayat ini sulit dimengerti, mengingat ayat ini adalah ayat Madaniyah, sedangkan permintaan mereka yang menghendaki agar Bukit Safa menjadi emas adalah di Mekah.
Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi.” (Ali Imran: 190)
Yakni langit dalam ketinggian dan keluasannya, dan bumi dalam hamparan, kepadatan serta tata letaknya, dan semua yang ada di antara keduanya merupakan tanda-tanda yang dapat disaksikan lagi amat dahsyat, seperti bintang-bintang yang beredar dan yang tetap, lautan, gunung-gunung dan padang pasir, pepohonan, tumbuh-tumbuhan, tanam-tanaman dan buah-buahan serta hewan-hewan, barang-barang tambang, serta berbagai macam manfaat yang beraneka warna, bermacam-macam rasa, bau, dan kegunaannya.
“Dan silih bergantinya malam dan siang.” (Ali Imran: 190)
Maksudnya, saling bergiliran dan saling mengurangi panjang dan pendeknya; adakalanya yang ini panjang, sedangkan yang lainnya pendek, kemudian keduanya menjadi sama. Setelah itu yang ini mengambil sebagian waktu dari yang lain hingga ia menjadi panjang waktunya, yang sebelum itu pendek, dan menjadi pendeklah yang tadinya panjang. Semuanya itu berjalan berdasarkan pengaturan dari Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190)
Yaitu akal-akal yang sempurna lagi memiliki kecerdasan, karena hanya yang demikianlah yang dapat mengetahui segala sesuatu dengan hakikatnya masing-masing secara jelas dan gamblang. Lain halnya dengan orang yang tuli dan bisu serta orang-orang yang tak berakal. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (Yusuf: 105-106)
Ayat 191
Selanjutnya Allah menjelaskan ciri khas orang-orang yang berakal, melalui firman berikut: “Mereka adalah orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (Ali Imran: 191)
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Shalatlah sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu berdiri, maka shalatlah sambil duduk; dan jika kamu tidak mampu sambil duduk, maka shalatlah sambil berbaring pada lambungmu.” Mereka tidak pernah terputus dari berzikir mengingat-Nya dalam semua keadaan mereka. Lisan, hati, dan jiwa mereka semuanya selalu mengingat Allah ﷻ dan “mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (Ali Imran: 191) Mereka memahami semua hikmah yang terkandung di dalamnya yang menunjukkan kepada kebesaran Penciptanya, kekuasaan-Nya, pengetahuan-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, dan rahmat-Nya.
Syekh Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, "Sesungguhnya bila aku keluar dari rumahku, tiada sesuatu pun yang terlihat oleh mataku melainkan aku melihat bahwa Allah telah memberiku suatu nikmat melaluinya, dan bagiku ada terkandung pelajaran di dalamnya." Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abud Dunya di dalam Kitabut Tawakkul wal I'tibar.
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri bahwa ia pernah mengatakan, "Berpikir sesaat lebih baik daripada berdiri shalat semalam." Al-Fudhail mengatakan bahwa Al-Hasan pernah berkata, "Pikiran merupakan cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukanmu."
Sufyan ibnu Uyaynah mengatakan bahwa pikiran merupakan cahaya yang memasuki hatimu. Adakalanya ia mengucapkan perumpamaan untuk pengertian tersebut melalui bait syair ini: “Apabila seseorang menggunakan akal pikirannya, maka pada segala sesuatu terdapat pelajaran baginya.”
Disebutkan dari Isa a.s. bahwa ia pernah mengatakan, “Beruntunglah bagi orang yang ucapannya adalah zikir, diamnya berpikir. dan pandangannya sebagai pelajaran."
Luqmanul Hakim mengatakan, "Sesungguhnya lama menyendiri mengilhamkan berpikir, dan lama berpikir merupakan jalan yang menunjukkan ke pintu surga."
Wahb bin Munabbih mengatakan bahwa tidak sekali-kali seseorang lama menggunakan pemikirannya melainkan ia akan mengerti, dan tidak sekali-kali seseorang mengerti melainkan mengetahui, dan tidak sekali-kali pula seseorang mengetahui melainkan ia beramal.
Umar ibnu Abdul Aziz mengatakan, "Berbicara untuk berzikir kepada Allah ﷻ adalah baik, dan berpikir tentang nikmat-nikmat Allah lebih utama daripada ibadah."
Mugis Al-Aswad mengatakan, "Ziarahilah kubur setiap hari, niscaya menggugah pikiran kalian. Saksikanlah adegan hari kiamat dengan hati kalian, dan renungkanlah kedua golongan yang pergi ke dalam surga dan yang masuk ke dalam neraka. Gugahlah hati kalian dan tubuh kalian agar mengingat neraka dan beraneka ragam siksaan yang ada di dalamnya." Ketika perkataannya sampai di situ, maka ia menangis, sampai tubuhnya diangkat oleh murid-muridnya karena pingsan.
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan bahwa seorang lelaki berjumpa dengan seorang rahib di dekat sebuah kuburan dan tempat pembuangan sampah. Lalu ia memanggil rahib itu dan mengatakan kepadanya, "Wahai rahib, sesungguhnya padamu terdapat dua perbendaharaan di antara perbendaharaan-perbendaharaan dunia. Keduanya mengandung pelajaran bagimu, yaitu perbendaharaan kaum lelaki dan perbendaharaan harta benda."
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bila ia ingin menyegarkan hatinya, maka ia datang ke tempat yang telah ditinggalkan oleh penghuninya (karena sudah rusak). Kemudian ia berdiri di depan pintunya, lalu berseru dengan suara yang lirih seraya mengatakan, "Ke manakah penghunimu?" Kemudian ia mengoreksi dirinya sendiri dan membacakan firman-Nya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Zat Allah.” (Al-Qashash: 88)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, "Dua rakaat yang lamanya pertengahan dengan bertafakkur adalah lebih baik daripada berdiri shalat sepanjang malam, sedangkan hatinya lalai."
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Wahai anak Adam, makanlah, isilah sepertiga perutmu dengan makanan, dan sepertiga lagi dengan minuman, dan kosongkanlah sepertiga lainnya untuk memberikan udara segar dalam bertafakkur."
Salah seorang bijak mengatakan, "Barang siapa memandang dunia tanpa dibarengi dengan pandangan mengambil pelajaran, maka akan padamlah sebagian dari pandangan mata hatinya sesuai dengan kelalaiannya."
Bisyr ibnul Haris Al-Hafi mengatakan, "Seandainya manusia bertafakkur merenungkan keagungan Allah ﷻ, niscaya mereka tidak akan berani berbuat durhaka kepada-Nya."
Al-Hasan meriwayatkan dari Amir ibnu Abdu Qais yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar tidak hanya dari seorang, dua orang, atau tiga orang dari kalangan sahabat Nabi ﷺ. Semuanya mengatakan, "Sesungguhnya cahaya keimanan itu adalah tafakkur."
Diriwayatkan dari Isa a.s., bahwa ia pernah mengatakan, "Wahai anak Adam yang lemah, bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada. Jadilah kamu di dunia ini orang yang lemah, jadikanlah masjid-masjid sebagai tempat tinggal, ajarkanlah kepada kedua matamu untuk menangis, juga kepada badanmu untuk bersabar, dan kepada hatimu untuk bertafakur. Janganlah engkau pedulikan tentang rezeki keesokan hari."
Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnu Abdul Aziz , bahwa ia pernah menangis pada suatu hari di antara teman-temannya. Ketika ditanyakan kepadanya mengapa dia menangis, ia menjawab, "Aku sedang memikirkan perihal dunia dan kesenangan serta nafsu syahwatnya, maka aku dapat mengambil pelajaran darinya. Yaitu setiap kali nafsu syahwat belum terlampiaskan, maka terlebih dahulu ia dikeruhkan oleh kepahitannya. Sekiranya di dalam dunia tidak terdapat pelajaran bagi orang yang memikirkannya. Sungguh di dalam dunia ini terdapat peringatan bagi orang yang mau mengingat."
Ibnu Abud Dunia mengatakan bahwa Al-Husain ibnu Abdur Rahman pernah mengucapkan syair-syair berikut kepadanya, yaitu: “Hiburan orang mukmin adalah bertafakur, kesenangan orang mukmin adalah mengambil pelajaran.”
Kami memuji kepada Allah semata, kami semua berada dalam bahaya. Banyak orang yang lalai (berzikir) umurnya telah habis, sedangkan dia tidak menyadarinya. Banyak kehidupan terpenuhi semua yang dicita-citakannya, bunga-bunga yang mekar dengan gemericik air dari mata air, naungan pepohonan, tumbuh-tumbuhan yang segar, dan buah-buahan yang matang, semuanya itu menjadi berubah oleh lewatnya masa yang begitu cepat; demikian pula pemiliknya. Kami memuji Allah semata, sesungguhnya pada yang demikian itu terkandung pelajaran.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terkandung pelajaran bagi orang yang berakal jika ia menggunakan akal pikirannya. Allah ﷻ mencela orang yang tidak mau mengambil pelajaran dari makhluk-Nya yang menunjukkan kepada Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, syariat-Nya, takdir-Nya, dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedangkan mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (Yusuf: 105-106)
Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin melalui ayat berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia’." (Ali Imran: 191) Tidak sekali-kali Engkau ciptakan semuanya dengan sia-sia melainkan dengan benar, agar orang-orang yang berbuat buruk dalam perbuatannya Engkau berikan balasan yang setimpal kepada mereka, dan Engkau berikan pahala yang baik kepada orang-orang yang berbuat baik.
Kemudian orang-orang mukmin menyucikan Allah dari perbuatan sia-sia dan penciptaan yang batil (sia-sia). Untuk itu mereka mengatakan sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya:
“Maha Suci Engkau.” (Ali Imran: 191)
Yaitu Maha Suci Engkau dari perbuatan menciptakan sesuatu dengan sia-sia.
“Maka lindungilah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 191)
Lindungilah kami, wahai Tuhan yang menciptakan semua makhluk dengan benar dan adil. Wahai Tuhan Yang Maha Suci dari segala kekurangan, cela dan perbuatan sia-sia, lindungilah kami dari azab neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu.
Berilah kami taufik (bimbingan) untuk mengerjakan amal-amal yang menyebabkan Engkau rida kepada kami. Berilah kami taufik kepada amal saleh yang dapat menuntun kami ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Lindungilah kami dari azab-Mu yang amat pedih.
Ayat 192
Kemudian mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau telah menghinakannya.” (Ali Imran: 192)
Engkau hinakan dan Engkau tampakkan kehinaannya di mata semua makhluk yang hadir di hari perhimpunan (hari kiamat) nanti.
“Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim.” (Ali Imran: 192)
Kelak di hari kiamat, tiada seorang pun yang dapat melindungi mereka dari azab-Mu dan mereka tidak dapat menyelamatkan dirinya dari apa yang Engkau kehendaki terhadap mereka.
Ayat 193
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) orang yang menyeru kepada iman.” (Ali Imran: 193)
Yaitu seorang penyeru yang menyeru kepada iman. Dia adalah Rasulullah ﷺ (yang menyeru), "Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian ", maka kami pun beriman. (Ali Imran: 193)
Dia mengatakan, "Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian!" Maka kami pun beriman. Dengan kata lain, kami memenuhi seruannya dan mengikutinya, yakni dengan iman kami dan kami mengikuti Nabi-Mu.
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami.” (Ali Imran: 193)
Maksudnya, tutuplah dosa-dosa kami (maafkanlah dosa-dosa kami).
“Dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami.” (Ali Imran: 193)
Yakni kesalahan-kesalahan yang kami lakukan terhadap Engkau.
“Dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti” (Ali Imran: 193)
Artinya, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh.
Ayat 194
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul Engkau.” (Ali Imran: 194)
Menurut satu pendapat, makna yang dimaksud ialah Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami sebagai balasan atas iman kami kepada rasul-rasul-Mu.
Menurut pendapat yang lain, maksudnya adalah ‘apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui lisan rasul-rasul-Mu'.
Makna yang kedua ini lebih kuat dan lebih jelas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Anir ibnu Muhammad, dari Abu Iqal, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Ada dua golongan manusia yang menjadi pusat perhatian manusia. Allah membangkitkan salah satunya kelak di hari kiamat sebanyak tujuh puluh ribu orang yang tidak ada hisab atas diri mereka. Darinya Allah membangkitkan sebanyak lima puluh ribu orang syuhada, mereka adalah delegasi-delegasi yang menghadap kepada Allah. Di antara mereka yang lima puluh ribu orang itu terdapat barisan para syuhada yang kepala mereka dalam keadaan terpotong dan berada di tangannya masing-masing, sedangkan wajah mereka berlumuran darah seraya mengucapkan: “Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.” (Ali Imran: 194) Maka berfirmanlah Allah ﷻ, “Benarlah hamba-hamba-Ku, mandikanlah mereka di dalam sungai putih.” Akhirnya mereka keluar dari sungai itu dalam keadaan bersih lagi putih, lalu mereka berjalan-jalan di dalam surga menurut sesukanya.
Hadits ini termasuk hadits garib yang ada di dalam kitab musnad. Di antara mereka ada yang menilainya sebagai hadits maudu (palsu).
“Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat.” (Ali Imran: 194)
Yakni di hadapan mata semua makhluk.
“Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.” (Ali Imran: 194)
Sudah merupakan kepastian adanya hari yang dijanjikan yang Engkau beritakan melalui rasul-rasul-Mu, yaitu hari kiamat, hari di mana semua makhluk berdiri di hadapan-Mu.
Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hafidzh Abu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Al-Mutabar, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Munkadir, bahwa Jabir ibnu Abdullah pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Keaiban dan kehinaan yang dialami oleh anak Adam (yang berdosa) kelak di hari kiamat di hadapan Allah ﷻ mencapai tingkatan yang membuat diri yang bersangkutan berharap agar dirinya segera dimasukkan ke dalam neraka (karena sangat malu).” Hadits berpredikat garib.
Telah disebutkan di dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah ﷺ acapkali membaca sepuluh ayat dari akhir surat Ali Imran ini ketika bangkit dari tidurnya di sebagian malam hari untuk melaksanakan tahajud.
Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku Syarik ibnu Abdullah ibnu Abu Namir, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia tidur di rumah bibinya (yaitu Siti Maimunah). Lalu Rasulullah ﷺ bercakap-cakap dengan istrinya selama sesaat, kemudian beliau tidur. Ketika malam hari tinggal sepertiganya lagi, beliau bangun dan duduk, lalu memandang ke arah langit seraya mengucapkan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190), hingga beberapa ayat selanjutnya. Setelah itu beliau bangkit dan melakukan wudu. Setelah bersiwak, beliau melakukan shalat sebanyak sebelas rakaat. Kemudian Bilal menyerukan azannya, maka beliau ﷺ shalat dua rakaat, lalu keluar dan shalat Subuh menjadi imam bagi orang-orang.
Demikian pula Imam Muslim meriwayatkannya dari Abu Bakar ibnu Ishaq As-San'ani, dari Ibnu Abu Maryam dengan lafal yang sama.
Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Malik, dari Makhramah ibnu Sulaiman, dari Kuraib, bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah menginap di rumah Siti Maimunah, istri Nabi ﷺ yang juga bibinya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa ia tidur pada bagian dari bantal yang melebar, sedangkan Rasulullah ﷺ bersama istrinya (Siti Maimunah) tidur pada bagian yang memanjang dari bantal itu. Rasulullah ﷺ tidur hingga tengah malam, atau sedikit sebelumnya atau sedikit sesudahnya. Rasulullah ﷺ bangun dari tidurnya, lalu mengusap wajah dengan tangannya untuk mengusir rasa kantuk. Setelah itu beliau membaca sepuluh ayat yang mengakhiri surat Ali Imran. Lalu beliau bangkit menuju arah tempat air yang digantungkan, mengambil air wudu darinya, dan melakukan wudu dengan baik. Sesudah itu beliau berdiri mengerjakan shalat. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Maka aku berdiri dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya. Setelah itu aku menuju kepadanya dan berdiri di sebelahnya. Maka Rasulullah ﷺ meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan memegang telinga kananku, lalu menjewernya (yakni memindahkan Ibnu Abbas dari sebelah kiri ke sebelah kanannya). Beliau melakukan shalat dua rakaat, lalu dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, kemudian witir. Sesudah itu beliau berbaring hingga juru azan datang kepadanya. Kemudian beliau bangkit dan melakukan shalat dua rakaat secara ringan, lalu keluar (menuju masjid) dan shalat Subuh (sebagai imam bagi semua orang)."
Demikianlah hal yang diketengahkan oleh Jamaah lainnya melalui berbagai jalur dari Malik dengan lafal yang sama.
Imam Muslim meriwayatkannya pula, juga Imam Abu Dawud melalui berbagai jalur dari Makhramah ibnu Sulaiman dengan lafal yang sama.
Jalur lain diriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan hadits ini oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya. dari Abu Maisarah, telah menceritakan kepada kami Khallad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Abi Ishaq, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dari Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Al-Abbas memerintahkan kepadaku untuk menginap di rumah keluarga Rasulullah ﷺ untuk mempelajari cara shalat (malam hari)nya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya bahwa Rasulullah ﷺ melakukan shalat Isya bersama orang banyak. Setelah di dalam masjid tidak terdapat seorang pun selain diriku, maka beliau berdiri dan lewat di hadapanku. Beliau bertanya, "Siapakah ini? Abdullah bukan?" Aku menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bertanya, "Mengapa masih di sini?" Aku menjawab, "Al-Abbas (ayahku) telah memerintahkan aku untuk menginap di rumahmu malam ini." Rasulullah ﷺ bersabda, "Mari masuk, mari masuk." Setelah masuk ke dalam rumah, beliau ﷺ bersabda, "Mau memakai kasur, Abdullah?" Beliau ﷺ mengambil sebuah bantal yang berlapiskan kain bulu. Rasulullah ﷺ tidur memakai bantal itu hingga aku mendengar dengkurannya. Setelah itu beliau duduk tegak di atas kasurnya dan mengarahkan pandangannya ke langit, lalu mengucapkan: “Subhanal Malikil Quddus (Maha Suci Raja Yang Maha Suci)” sebanyak tiga kali, lalu membacakan ayat-ayat yang berada di akhir surat Ali Imran hingga akhir surat Ali Imran.
Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam An-Nasai meriwayatkan melalui hadits Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dari ayahnya sebuah hadits mengenai hal yang sama.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui hadits ‘Ashim ibnu Bahdalah, dari salah seorang muridnya, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa di suatu malam Rasulullah ﷺ keluar sesudah sebagian malam hari telah berlalu. Lalu beliau memandang ke arah langit dan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190) hingga akhir surat. Sesudah itu beliau ﷺ berdoa: “Ya Allah, jadikanlah di dalam kalbuku nur (cahaya), di dalam pendengaranku nur, di dalam pandanganku nur, di sebelah kananku nur, di sebelah kiriku nur, di hadapanku nur, di belakangku nur, di atasku nur, di bawahku nur, dan besarkanlah nur bagiku kelak di hari kiamat.”
Doa ini ditetapkan pada sebagian jalur-jalur yang shahih melalui riwayat Kuraib, dari Ibnu Abbas. Ibnu Mardawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadits Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Quraisy datang kepada orang-orang Yahudi, lalu mereka bertanya, "Mukjizat-mukjizat apakah yang dibawa oleh Musa kepada kalian?" Orang-orang Yahudi menjawab, "Tongkatnya dan tangannya yang kelihatan putih bagi orang-orang yang memandangnya." Orang-orang Quraisy datang kepada orang-orang Nasrani, lalu mereka bertanya, "Apakah yang dilakukan oleh Isa di tengah kalian?" Orang-orang Nasrani menjawab, “Dia dapat menyembuhkan orang buta, orang berpenyakit suopak dan dapat menghidupkan orang-orang mati." Mereka datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Mintakanlah buat kami kepada Tuhanmu agar Dia menjadikan Bukit Safa ini emas." Maka Nabi ﷺ berdoa kepada Tuhannya, lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190) Dengan kata lain, hendaklah mereka merenungkan semuanya itu.
Lafal hadits ini berdasarkan riwayat Ibnu Mardawaih. Hadits ini disebutkan dalam permulaan pembahasan ayat melalui riwayat Imam Ath-Thabarani. Berdasarkan keterangan ini dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat ini adalah Makkiyyah. Tetapi menurut pendapat yang masyhur, ayat-ayat ini adalah Madaniyah, sebagai dalilnya adalah hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih: Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Syuja' ibnu Asyras, telah menceritakan kepada kami Hasyraj ibnu Nabatah Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Makram, dari Al-Kalbi (yaitu Ibnu Junab), dari ‘Atha’ yang menceritakan, "Aku dan Ibnu Umar serta Ubaid ibnu Umair berangkat menuju rumah Siti Aisyah, lalu kami masuk ke dalam rumahnya dan menjumpainya, sedangkan antara kami dengan dia terdapat hijab." Siti Aisyah bertanya, "Wahai Ubaid, apakah yang menghalang-halangi dirimu untuk berkunjung kepadaku?" Ubaid menjawab, "Perkataan seorang penyair yang mengatakan, 'Jarang-jaranglah berkunjung, niscaya menambah rasa kangen'." Ibnu Umar memotong pembicaraan, "Biarkanlah kami, ceritakanlah kepada kami hal yang paling mengagumkan yang pernah engkau lihat dari Rasulullah ﷺ." Siti Aisyah menangis dan mengatakan bahwa semua hal tentang Nabi ﷺ adalah mengagumkan, "Beliau mendatangiku di malam giliranku hingga kulit beliau bersentuhan dengan kulitku. Setelah itu beliau bersabda, 'Biarkanlah aku menyembah Tuhanku.' Maka aku berkata, 'Demi Allah, sesungguhnya aku suka berada di dekatmu, dan sesungguhnya aku suka menyembah Tuhanmu'." Nabi ﷺ bangkit menuju qirbah (tempat air dari kulit), lalu berwudu tanpa banyak mengucurkan air. Setelah itu beliau berdiri mengerjakan shalat, dan beliau menangis sehingga jenggotnya basah oleh air mata. Lalu sujud dan menangis pula hingga air matanya membasahi tanah. Kemudian berbaring pada lambungnya dan menangis lagi. Ketika Bilal datang memberitahukan kepadanya waktu shalat Subuh, seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis, padahal Allah telah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Nabi ﷺ menjawab, "Celakalah kamu, wahai Bilal, apakah yang menghalang-halangiku menangis, padahal Allah telah menurunkan kepadaku malam ini ayat berikut: 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang hari terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal’. (Ali Imran: 190) Kemudian Nabi ﷺ bersabda pula, 'Celakalah bagi orang yang membacanya, lalu ia tidak merenungkan semuanya itu’."
Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Ja'far ibnu Auf Al-Kalbi, dari Abu Hubab (yaitu ‘Atha’) yang menceritakan bahwa ia dan Abdullah ibnu Umar serta Ubaid ibnu Umair masuk ke dalam rumah Siti Aisyah Ummul Mukminin yang saat itu berada di dalam rumah (kemah)nya.
Maka kami mengucapkan salam penghormatan kepadanya, dan ia bertanya, "Siapakah mereka?" Kami menjawab, "Abdullah ibnu Umar dan Ubaid ibnu Umair." Siti Aisyah berkata, "Wahai Ubaid ibnu Umair, apakah yang menghalang-halangi dirimu untuk berkunjung kepadaku?" Ubaid ibnu Umair mengucapkan kata-kata tadi yang telah disebutkan di atas, yaitu: “Jarang-jaranglah berkunjung, niscaya akan bertambah kangen.” Siti Aisyah berkata, "Sesungguhnya aku senang bila dikunjungi olehmu dan berbincang-bincang denganmu." Abdullah ibnu Umar berkata, "Bebaskanlah kami dari obrolan kamu berdua ini. Sekarang ceritakanlah kepada kami hal yang paling menakjubkan yang pernah engkau lihat dari Rasulullah ﷺ." Siti Aisyah menangis, kemudian berkata, "Semua hal Nabi ﷺ adalah menakjubkan belaka. Beliau pernah datang kepadaku di malam giliranku hingga masuk bersama dan merebahkan diri di atas tempat tidurku hingga kulit beliau bersentuhan dengan kulitku. Kemudian beliau bersabda, 'Wahai Aisyah, izinkanlah aku, sekarang aku akan menyembah Tuhanku'." Siti Aisyah berkata, "Sesungguhnya aku suka berada di dekatmu dan aku suka apa yang engkau suka." Rasulullah ﷺ bangkit menuju qirbah (wadah air) yang ada di dalam rumah, dan dalam wudunya itu beliau menghemat air. Lalu berdiri dan membaca Al-Qur'an seraya menangis sehingga aku melihat air matanya sampai mengenai kedua sisi pinggangnya. Setelah itu beliau ﷺ duduk, lalu membaca hamdalah dan memuji Allah ﷻ, kemudian menangis lagi sehingga aku melihat air matanya sampai membasahi pangkuannya. Kemudian beliau merebahkan diri pada lambung sebelah kanannya dan meletakkan lengan kanannya pada pipinya, lalu beliau menangis lagi sehingga aku melihat air matanya sampai membasahi tanah. Lalu masuklah Bilal memberitahukan kepadanya bahwa waktu shalat Subuh telah masuk. Bilal berkata, "Wahai Rasulullah, sekarang waktu shalat." Tetapi ketika Bilal melihat Rasulullah ﷺ menangis, maka ia bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis, padahal Allah telah memberikan ampunan-Nya bagimu atas semua dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Wahai Bilal, bukankah aku ingin menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur? Mengapa aku tidak menangis, padahal malam ini telah diturunkan kepadaku firman-Nya: 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal' (Ali Imran: 190) sampai dengan firman-Nya: 'Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa neraka'.” (Ali Imran: 191) Kemudian beliau ﷺ bersabda: “Celakalah bagi orang yang membaca ayat-ayat ini, lalu ia tidak merenungkannya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, dari Imran ibnu Musa, dari Usman ibnu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Zakaria, dari Ibrahim ibnu Suwaid An-Nakha'i, dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari ‘Atha’ yang menceritakan bahwa dia dan Ubaid ibnu Umair masuk ke dalam rumah Siti Aisyah, dan seterusnya hingga akhir hadits.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abud Dunia di dalam kitab At-Tafakkur wal I'tibar, dari Syuja" ibnu Asyras. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Abdul Aziz, ia pernah mendengar Sunaid menceritakan dari Sufyan Ats-Tsauri yang me-rafa'-kannya bahwa barang siapa yang membaca akhir surat Ali Imran, lalu ia tidak memikirkan maknanya, celakalah dia. Dia mengatakan demikian seraya menghitung dengan jari-jarinya sebanyak sepuluh buah (yakni sepuhih ayat terakhir dari surat Ali Imran).
Al-Hasan ibnu Abdul Aziz mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ubaid ibnus Saib yang menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Al-Auza'i, "Apakah yang dimaksud dengan pengertian memikirkan ayat-ayat tersebut?" Al-Auza'i menjawab, "Membacanya seraya merenungkan maknanya."
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Qasim ibnu Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Iyasy, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaiman yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Auza'i tentang batas minimal dari pengertian memikirkan ayat-ayat tersebut dan jalan menyelamatkan diri dari kecelakaan tersebut." Maka Al-Auza'i menundukkan kepalanya sejenak, lalu berkata, "Hendaklah seseorang membaca ayat-ayat tersebut seraya memikirkan maknanya."
Hadits lain mengandung garabah (keanehan).
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Basyir ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Al-Busti, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ammar, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Musa Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: “Setiap malam Rasulullah ﷺ selalu membaca sepuluh ayat dari akhir surat Ali Imran.” Muzahir ibnu Aslam orangnya dha’if.
Lalu mereka memohon lagi. Ya Tuhan kami, Pencipta dan Pemberi karunia! Sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman, yaitu Nabi Muhammad dengan Al-Qur'an, mengajak seluruh umat untuk mengesakan-Mu, menaati perintah-Mu, dan menjauhi laranganMu, seraya menyeru, Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, pencipta alam semesta, dan pemberi karunia kepada seluruh hamba-Nya, maka kami pun beriman dan mematuhi petunjuknya dan mengikuti jalannya. Oleh karena itu, Ya Tuhan kami, kiranya Engkau tutupi aib kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, yang telah kami lakukan akibat kelalaian kami, dan matikanlah kami dalam kebaikan, tetapkanlah kami pada kebenaran beserta orang-orang yang berbakti yaitu para pengikut rasul-rasul-Mu, di bawah naungan rida-Mu dalam keadaan memeluk agama Islam Mereka pun berdoa lagi. Ya Tuhan kami Yang Mahabijaksana! Kami memohon kepada-Mu, berilah kami karunia sebagaimana apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu berupa pahala, ampunan, dan berada di dekat-Mu di surga yang penuh kenikmatan. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat di hadapan semua saksi pada hari berkumpulnya seluruh umat manusia dari setiap generasi. Sungguh, Engkau tidak pernah mengingkari janji. Tidak ada ucapan yang lebih baik daripada ucapan-Mu. Kami menunggu apa yang telah Engkau janjikan dan kabarkan, sebagaimana yang telah Engkau sebutkan dalam kitab suci-Mu yang diturunkan melalui utusan-Mu.
Setelah mengucapkan doa yang didasarkan kepada tafakur dan renungan tentang alam dan segala keajaibannya seperti tersebut di atas, maka disusul lagi dengan doa yang menggambarkan perhatian pada panggilan yang didengarnya. Ya Allah kami telah mendengar seruan Rasul-Mu, yang menyeru agar kami beriman kepada-Mu dan membenarkan firman-Mu, maka segera kami beriman, melakukan segala perintah-Mu, menjauhi segala larangan-Mu, sesuai dengan anjuran yang dibawa oleh Rasul-Mu.
Oleh karena itu ampunilah dosa-dosa yang telah kami lakukan dan hapuskanlah dari kami dosa-dosa kecil yang pernah kami perbuat, serta matikanlah kami di dalam keadaan husnul-khatimah, bersama-sama dengan orang-orang baik yang banyak berbuat kebajikan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setelah Allah menunjukkan orang-orang munafik dan Yahudi yang suka sekali dipuji dalam hal yang tidak pernah mereka kerjakan, dan diambil pula hal yang demikian jadi i'tibar bagi umat Muhammad ﷺ sendiri, pada penutupnya Allah memberi peringatan kepada segala insan yang teperdaya dengan tipuan hidup dunia ini. Orang berkejar mendekatinya, tetapi kerajaan yang sejati ialah kerajaan Allah yang meliputi segenap langit dan bumi. Maka, tegakkanlah kerajaan itu dalam hatimu sendirj, sebab dari sana kita semua datang, dengan itu kita hidup dan ke sanalah tujuan kita yang sebenarnya.
Apabila mata kita hanya dihadapkan kepada keadaan hidup sehari-hari, pasang naik dan pasang turun, yang menggembirakan dan mencemaskan, orang naik dan orang jatuh, menginjak kuduk orang lain untuk naik, yang selalu kejadian dalam percaturan hidup di dunia ini, akhirnya kita akan penat sendiri. Karena batin telah kosong, kehabisan bahan. Oleh sebab itu, sebagai Mukmin di samping hidup kebendaan hendaklah disediakan hidup keruhanian. Di samping melihat edaran masyarakat manusia, menengoklah kepada kerajaan langit dan bumi yang luas itu, yang telah dimulai menerangkannya pada ayat di atas tadi.
Ayat 190
“Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi seita silih bergantinya siang dan malam, terdapat beberapa tanda bagi orang-orang yang berakal. “
Berkata Imam ar-Razi dalam tafsirnya, “Ketahuilah olehmu bahwa yang dimaksud dalam kitab yang mulia ini ialah menjemput hati dan ruh sesudah bising memperkatakan soal-soal makhluk yang dijadikan, supaya mulai tenggelam memerhatikan makrifat terhadap Al-Haq (Allah) Karena sejak tadi sudah panjang pembicaraan tentang hukum-hukum dan menjawab beberapa keraguan yang dibawakan oleh orang yang tidak mau percaya, sekarang kembali membicarakan penerang hati, dengan menyebutkan soal-soal tauhid, ketuhanan, kebesaran, dan kemuliaan Allah. Maka, mulailah disebutkan ayat ini," demikian ar-Razi.
Renungkanlah alam, langit, dan bumi. Langit yang melindungimu dan bumi yang terhampar tempat kamu hidup. Pergunakanlah pikiranmu. Dan tiliklah pergantian antara siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah.
Di sana dahulu cocok dengan zamannya, Musa telah mengangkat tongkatnya ke atas. Maka, keluarlah ayat dan mukjizat kebesaran Allah. Kemudian, datanglah al-Masih membawa ayat-ayat pula, menyembuhkan orang sakit kusta, menghidupkan orang yang baru mati. Sekarang datanglah masanya kamu disuruh berpikir melihat alam, supaya kamu dapat melihat, bahwa semuanya itu penuh dengan mukjizat Ilahi.
Dahulu pada surah al-Baqarah, ayat 164 dan beberapa ayat lain perhatian kita terhadap kejadian langit dan bumi serta perkisaran siang dan malam, dan sekarang dirangsang lagi. Tiap ada peluang, sesudah mendaki menurun di dalam hidup, setelah dipikulkan kekerasan hukum dan peraturan, bujukan surga dan ancaman neraka, kita disuruh mengheningkan cipta melihat makhluk Allah yang besar ini.
Langit adalah yang di atas kita yang menaungi kita. Entah berapa lapisnya. Allahlah yang tahu. Sedang yang dikatakan kepada kita hanya tujuh. Menakjubkan pada siang hari dengan berbagai warna awan-gemawan, mengharukan malam harinya dengan berbagai bintang-gemintang.
Bumi adalah tempat kita berdiam ini, penuh dengan aneka keganjilan, yang kian diselidiki kian mengandung rahasia ilmu yang belum terurai. Langit dan bumi dijadikan oleh Khalik, dengan tersusun terjangkau, dengan sangat tertib. Bukan hanya semata dijadikan, tetapi setiap saat tampak hidup semua bergerak menurut aturan. Silih berganti perjalanan malam dengan siang, betapa besar pengaruhnya atas hidup kita ini dan hidup segala yang bernyawa. Kadang-kadang pendek malam, panjang siang, dan sebaliknya. Kadang-kadang musim dingin, musim panas, musim rontok, dan musim kembang. Demikian juga teraturnya hujan dan panas. Semua ini menjadi ayat-ayat, menjadi tanda-tanda bagi orang yang berpikir, bahwa tidaklah semuanya ini terjadi sendirinya. Sempurna buatannya tandanya menjadikannya indah. Mulia belaka, tanda yang melindunginya mulia adanya.
Orang melihatnya dan mempergunakan pikiran meninjaunya, masing-masing menurut bakat pikirannya. Entah dia seorang ahli ilmu alam, atau ahli ilmu bintang, atau ahli ilmu tumbuh-tumbuhan, atau ahli ilmu per-tambangan, ataupun dia seorang filsuf ataupun penyair dan seniman. Semuanya akan dipesona oleh susunan tabir alam yang luar biasa itu. Terasa kecil diri di hadapan kebesaran alam, terasa kecil alam di hadapan kebesaran penciptanya. Akhirnya tak ada arti diri, tak ada arti alam, yang ada hanyalah Dia, yaitu yang sebenarnya ada.
Mengapa kita berkesimpulan sampai demikian. Ialah karena kita manusia, kita berpikir. Ulul Albab, mempunyai inti sari, mempunyai pikiran. Mempunyai biji akal yang bila ditanam akan tumbuh.
Orang yang berpikiran itu,
Ayat 191
“(yaitu) orang-orang yang mengingati Allah, sewaktu berdiri, duduk atau berbaring."
Artinya orang yang tidak pernah lepas Allah dari ingatannya. Di sini disebut Yadzkuruuna yang berarti ingat. Berpokok dari kalimat dzikir. Arti dzikir, ingat. Dan disebutkan pula bahwasanya dzikir itu hendaklah bertali di antara sebutan dengan ingatan. Kita sebut nama Allah dengan mulut karena dia telah terlebih dahulu teringat dalam hati. Maka, teringatlah dia sewaktu berdiri, duduk termenung atau tidur berbaring. Sesudah penglihatan atas kejadian langit dan bumi, atau pergantian siang dan malam, langsungkan ingatan kepada yang menciptakannya, karena jelaslah dengan sebab ilmu pengetahuan bahwa semuanya itu tidaklah ada yang terjadi dengan sia-sia atau secara kebetulan. Ingat atau dzikir kepada Allah itu, sekali lagi bertali dengan memikirkan. Maka, datanglah sambungan ayat, “Dan mereka pikirkan hal kejadian langit dan bumi."
Di sini bertemulah dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu dzikir dan pikir. Dipikirkan semua yang terjadi itu, lantaran dipikirkan timbullah ingatan sebagai kesimpulan dari berpikir, yaitu bahwa semua itu tidaklah terjadi sendirinya, melainkan ada Tuhan Yang Maha Penciptanya, itulah Allah. Oleh karena memikirkan yang nyata, teringatlah kepada yang lebih nyata. Semata dipikirkan saja kejadian alam ini, yang akan bertemu hanyalah ilmu pengetahuan yang gersang dan tandus. Ilmu pengetahuan yang membawa kepada iman, adalah pengetahuan yang buntu. Dia mesti menimbulkan ingatan. Terutama ingatan atas kelemahan dan kekecilan diri ini di hadapan kebesaran Maha Pencipta. Sebab itu, datanglah kelanjutan doa tersebab dzikir dan pikir,
“Ya. Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan (semuanya) ini dengan sia-sia." Ucapan ini adalah lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakal dan ridha, menyerah dan mengakui kelemahan diri. Sebab itu, bertambah tinggi ilmu seseorang, seyogianya bertambah ingatlah dia kepada Allah. Sebagai alamat pengakuan atas kelemahan diri itu, di hadapan kebesaran Allah, timbullah bakti dan ibadah kepada-Nya.
“Mahasuci Engkau! Maka peliharalah kiranya kami dari adzab neraka."
Ujung doa ini, sebagaimana ujung ayat adalah kelanjutan pengakuan atas kebesaran Allah, yangdidapati setelah memikirkan betapa hebatnya kejadian langit dan bumi. Matahari, bulan, bintang-bintang, alam semesta keli-hatan dengan nyata kepatuhannya menurut kehendak Ilahi. Tidak pernah pengisi ruang angkasa itu mengingkari yang telah ditentukan Allah, walaupun dia matahari, ataupun dia bulan, ataupun dia berjuta bintang. Betapa lagi kita manusia yang lemah ini. Bukankah sudah patut kalau Allah mengadzab dan menyiksa kita kalau kita durhaka, sedang alam sekitar kita tidak pernah mendurhakai kehendak Allah. Tersebutlah pula di dalam surah al-Hajj ayat 18, bahwasanya semua yang di langit dan di bumi, matahari, bulan, dan bintang, sampai bukit, gunung, kayu di hutan, binatang melata dan banyak pula antara manusia, semuanya bersujud, artinya tunduk taat, setia kepada Allah. Maka, mengapalah kita manusia yang tidak ada artinya ini mendurhaka juga kepada Allah, padahal kita tidak bisa mengelak dari ketentuan Allah yang telah ditetapkan untuk kita? Bukankah orang yang ingkar itu sudah sewajarnya mendapat siksaan Allah? Di ujung ayat ini kita memohon ampun kepada Allah dan memohon agar dihindarkan dari siksa neraka, karena kadang-kadang oleh dorongan hawa nafsu kita alpa akan kewajiban kita.
Kita kembali kepada hubungan antara dzikir dan pikir tadi. Hidup yang semata-mata terikathanya kepada memikirkan benda adalah tandus dan gersang. Isaac Newton mengatakan bahwa penyelidikan tentang daya tarik dalam alam telah memberikan hasil pengetahuan bahwasanya tidak terjadi kehancuran di dalam alam ini ialah karena adanya sistem daya tarik menarik yang menimbulkan keseimbangan yang menyebabkan sesuatu tidak terkacau. Bintang dengan bintang tidak pernah berlaga dan berbenturan. Matahari beredar dan bumi pun beredar pula di sekitar matahari itu menurut kadar tertentu. Kita telah mengetahui sebab para sarjana telah mengeluarkan basil pemikirannya.
Tetapi penyair dan filsuf besar Islam Maulana Muhammad Iqbal mengatakan bahwa hal itu bukan semata-mata teori daya tarik-menarik. Melainkan lebih tinggi dari itu, yaitu daya dari cinta, yang oleh ahli tasawuf dinamai ‘lsyq. Bumi dan langit taat kepada Allah, dan taat itu adalah dari ajaran yang dinamai ‘isyq itu. Sedang Allah sendiri pun terhadap kepada makhluk yang Dia bukan semata-mata ilah yang mencipta, melainkan juga Rabbun yang memelihara dan menjaga terus.
Setelah mengakui kelemahan diri, lalu memohon agar Allah menjauhkan kiranya dari adzab neraka, diteruskan pula pengakuan itu,
Ayat 192
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, sesungguhnya telah Engkau hinakan dia. Dan tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang aniaya"
Ayat ini melukiskan suara hati sanubari insan yang penuh pengakuan akan kebesaran
Allah. Bahwasanya jika seseorang dimasukkan Allah ke dalam neraka, bukanlah Allah yang salah, melainkan manusia itu sendirilah yang telah aniaya akan dirinya, sebab dia melanggar ketentuan Allah yang sudah patut diketahuinya. Dan karena dia yang memilih jalan aniaya, jalan yang tidak adil dan tidak benar, dia pun celaka. Kalau dia telah celaka, tidak ada orang lain yang akan menolong, apatah lagi pada hari Kiamat itu kelak. Kalau mau selamat dari marabahaya akhirat itu, keselamatan itu hanyalah ditentukan oleh sikap hidup dan laku perangai insan itu sendiri tatkala hidup di dunia ini juga. Oleh sebab itu, kepada Allah jualah dipohonkan petunjuk, agar mendapat jalan yang benar.
Ayat 193
“Tuhan kami! Sesungguhnya telah kami dengan seruan penyeru yang menyeru kepada iman."
Penyeru yang menyeru kepada iman adalah Rasulullah ﷺ Dia telah diutus oleh Allah kepada hamba-Nya. Rasul pun menyeru kepada manusia supaya manusia berbuat amal baik dalam dunia ini agar hidup manusia berarti karena berbakti. Penyeru itulah yang menunjukkan yang baik dan yang buruk. Dialah yang menyerukan, “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu!" Percayatah kamu akan adanya Allah. Bahwa lantaran adanya kurnia Allah, kamu tetap hidup di dunia ini. Dari-Nya kamu datang, dengan perlindungan-Nya kamu sekarang hidup dan kepada-Nya kamu akan kembali. Dia yang menentukan hidup matimu, dunia dan akhiratmu, peganglah kepercayaan itu teguh-teguh supaya kamu selamat.
“Maka kami pun telah beriman." Segala apa yang diserukan oleh Rasul telah kami terima dan kami akui, tidakada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad penyeru ialah Rasulullah. Ajaran itu telah kami jadikan pegangan dan kami tidak lagi memercayai sesuatu selain Allah. Kami tidak lagi menyembah berhala dan kami pun tidak lagi memandang bahwa hidup hanya hingga dunia ini saja, .. Tuhan kami, ampunilah kami, hapuskanlah dosa-dosa kami." Di sini terdapat kalimat Faghfirlana (maka ampunilah kami dari dosa-dosa kami) Kata ighfir yang berpokok pada ghufran boleh diartikan dengan arti yang umum, yaitu memohon ampun. Selain itu, dapat digali lebih dari semata-mata memohon ampun serta dapat juga diartikan perisai tempat berlindung dari serangan dosa.
Arti yang lebih dalam memohon kepada Allah agar kita dipelihara-Nya sehingga itu tidak dapat menyerang dan menghancurkan kita. “Dan hapuskanlah kejahatan-kejahatan kami." Di sini pun terdapat kata wa kaffir ‘anna, yang kita artikan hapuskanlah kiranya dari kami. Ingat pula kita atas pemakaian kata kaffarah, yaitu suatu denda menurut sya-ri'at Islam karena pelanggaran aturan Allah. Misalnya kaffarah seorang yang telanjur mem-bunuh seorang dengan tidak sengaja ialah memerdekakan seorang budak. Kaffarah zhihar (menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu sendiri) belum boleh bergaul kembali dengan istri sebelum membayar kaffarah, yaitu memerdekakan seorang budak. Kalau tidak sanggup memerdekakan budak, hendaklah puasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak sanggup, hendaklah memberi makan 60 orang miskin. Semuanya ini dinamai kaffarah, yaitu penghapusan kesalahan. Artinya diberi ampunan oleh Allah tentang kesalahan itu setelah dibayar kajfarah-nya.
Ada beberapa kesalahan yang dapat dihapuskan Allah karena dibayar kaffarah-nya. Akan tetapi, ada juga dosa yang dengan kaffarah kebendaan tidak dapat dihapus kalau bukan Allah menghapuskannya. Permintaan kita ialah agar Allah menghapuskan kejahatan itu, baik dengan memberi maaf-Nya ketika telanjur atau menghapuskan bibitnya dari hati kita sehingga kita tidak mau mengerjakannya lagi karena hati kita diberi petunjuk bahwa itu adalah jahat. Lalu di ujung permohonan itu kita lanjutkan lagi dengan permohonan,
“Dan terimalah kiranya kami bersama-sama orang-orang yang berbuat bakti"
Di sini kita telah “memesan tempat". Kita meminta disejajarkan dengan orang baik-baik, orang yang berbakti, yang disebut al-Abraar, yaitu orang-orang yang di dalam hidupnya selalu mendirikan kebajikan dan kebaktian.
Permohonan itu tidak cukup hingga hal itu. Tadi kita telah minta disejajarkan, disamakan penyambutan dan penerimaan kita bersama orang-orang yang berbuat bakti di sisi Allah. Dan sebab tadi kita telah mengakui bahwa kita percaya kepada penyeru yang telah menyampaikan seruan kepada kita dari Allah supaya beriman, yaitu utusan Allah, sekarang kita lanjutkan lagi permohonan,
Ayat 194
“Tuhan kami, kurniailah kami dengan yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau."
Berkali-kali rasul-rasul telah menyampaikan janji Allah bahwa siapa yang beriman kepada Allah akan diberi kurnia, akan dimasukkan ke dalam surga Jannatun Na'im, tempat yang aman bahagia, damai dan tenteram, cukup dengan serba-serbi nikmat, mengalir di bawahnya air sungai yang jernih, tempat terhenti segala kepayahan hidup di dunia. “Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat." Janganlah Engkau masukkan kami ke dalam neraka, janganlah dijauhkan kami dari nikmat-Mu karena kami telah mengaku beriman.
“Sesungguhnya Engkau tidaklah memungkiri janji."
Itulah dia raja' atau pengharapan dari orang-orang yang telah beriman termasuk kita sendiri yang mewarisi dan menerima Al-Qur'an. Kita sangat mengharapkan kurnia
Allah masuk surga dan kita pun takut (khauf) masuk neraka, sedang kita merasa kalau sudah beriman kepada Allah dan percaya kepada Rasul, jaminan Allah akan kita terima. Sebab, Allah tidak pernah mungkir akan janji-Nya.
Ayat 195
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka."
Artinya segala permohonan yang timbul dari hati yang khusyu dan segenap kerendahan itu telah didengar oleh Allah. Allah bukanlah pekak dan bukanlah Dia lalai saja ketika hamba-Nya menadahkan tangan ke langit memohon kurnia atau sujud ke bumi karena insaf atas kekecilan diri setelah memikirkan alam atau mengingat Allah. Permohonan itu disambut Allah dengan firman-Nya yang tegas, “Bahwasanya Aku tidaklah menyia-nyia-kan amal orang-orang yang beramal antara kamu." Inilah jawab yang jitu dari Allah. Bahwa tidaklah dilengahkan saja oleh Allah. Permohonan itu didengar Allah, apatah lagi kalau susunan permohonan seindah susunan doa yang tersebut di atas tadi. Akan tetapi, persoalan bagi Allah bukanlah semata-mata doa yang tersebut di atas tadi, melainkan bukti. Kalau seruan batin telah diwujudkan dalam kenyataan, yaitu dengan amal, kerja, usaha, dan perbuatan, barulah ada harganya di sisi Allah. Besar atau kecil amal, tidaklah ada yang tersia-sia di sisi Allah. Besar dicatat, kecil pun dicatat. Nilai iman hendaklah dibuktikan dengan amal. Dalam hidup jangan terdapat pengangguran. “Laki-laki atau pun perempuan (karena) sebagian kamu adalah berasal dari sebagian yang lain."
Beramal tidaklah diberatkan kepada laki-laki saja. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban seperti laki-laki mempunyai hak dan kewajiban. Yang setengah adalah dari yang setengah. Artinya segala amal besar dalam masyarakat adalah persatupaduan kerja kasar laki-laki dan kerja halus perempuan. Di dalam rumah tangga pun demikian. Si suami bekerja keluar mencari nafkah. Si istri bekerja di rumah menjaga ketenteraman dalam rumah tangga. Kita ibaratkan pula dengan kerja sama membangun masjid bergotong-royong. Laki-laki bertukang, perempuan membawakan makanan. Suatu rapat umum, meskipun kursi-kursi telah diatur rapi, tetapi alas mejanya dan kembang-kembang penghias majelis mesti dicampuri tangan perempuan. Di dalam peperangan, laki-laki berjuang berhadapan dengan musuh, tangan perempuan membalut yang luka dan menyediakan makanan. Itulah maksud kata Allah bahwa yang setengah ialah dari yang setengah. Kerja dan usaha laki-laki memerlukan tangan kasar laki-laki. Masyarakat laksana manusia memiliki dua paru-paru. Dia menjadi masyarakat yang sakit kalau paru-paru yang bekerja hanya sebelah. Jika ada kesadaran pada kedua pihak, tumbuhlah masyarakat yang kuat dan kukuh. Selanjutnya berfirmanlah Allah,
“Maka orang-orang yang telah berhijrah dan diusir dari negeri-negeri mereka, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan terbunuh, sesungguhnya akan Aku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka."
Inilah rangkaian jawaban yang tegas dari Allah. Pengakuan iman saja belumlah cukup menjadi jaminan bahwa dosa akan diampuni dan surga akan disediakan. Semata-mata berdoa memohon, walaupun sampai menitikkan air mata darah, belum tentu akan dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi, Allah terlebih dahulu menghendaki bukti amal dan usaha, kerja dan perbuatan, perjuangan dan kerja keras. Bahkan sudi berhijrah atau berpindah tempat karena mempertahankan iman atau diusir oleh musuh yang membenci tegaknya iman. Lantaran kuatnya pertahanan dan perjuangan iman, mereka pun tahan menderita ketika disakiti lawan sebab mereka menegakkan jalan Allah. Ketika lemah mereka tahan menderita, laksana penderitaan Amar bin Yasir dan ibunya ataupun Bilal ketika mereka masih di Mekah. Akan tetapi, setelah mereka dapat menyusun kekuatan, mereka pun sanggup berperang lantaran menegakkan iman. Sudah sewajarnya apabila terjadi peperangan ada yang mati terbunuh. Meskipun terbunuh satu dua orang, tetapi yang tinggal tetap menegakkan keyakinan itu sampai kemenangan tercapai. Ini berlaku untuk laki-laki dan untuk perempuan.
Kalau sudah suka menghadapi segala akibat, manis dan pahitnya, jaya dan bahayanya, sedang iman tetap tegak, tidak dapat diguncangkan dan digoyahkan oleh angin atau topan sekalipun, barulah Allah mengampuni dosa yang berkecil-kecil. Di penutupnya, Allah mengatakan,
“Dan akan Aku masukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir air sungai, sebagai ganjaran dari Allah. Dan di sisi Allah-lah ganjaran yang sebaik-baiknya."
Bandingkanlah kembali permohonan doa beriba-iba di atas tadi, mohon dijauhkan dari api neraka. Mohon jangan sampai dihina dan dikecewakan pada hari Kiamat. Mohon agar dipenuhi janji Allah terhadap rasul-rasul-Nya sebab Allah tiada memungkiri janji Allah sekarang. Yaitu asal mau bekerja dan beramal, laki-laki dan perempuan, dan sanggup menahan berbagai derita karena menegakkan kebenaran, pasti dosa-dosa akan diampuni Allah. Apabila hidup seseorang Mukmin telah diisi (positif) dengan kerja keras, dengan sendirinya kesempatan membuat dosa tak ada lagi. Kalau timbul dosa, nyatalah itu karena tidak disengaja. Laksana Nabi Musa, karena hendak menegakkan keadilan dan membela si lemah, dipukulnya si zalim dengan tangannya, lalu orang yang zalim itu mati tersungkur. Setelah Musa menderita berbagai penderitaan, kesalahan membunuh orang tidak dengan sengaja itu menjadi satu soal kecil di sisi Allah,
Sebab, Musa sendiri pun mengaku bahwa membunuh bukanlah yang dimaksudnya.
Kemudian, bandingkan lagi perkembangan sejak permulaan ayat 190 di atas tadi. Mulanya ialah merenungkan kejadian langit dan bumi, dzikir, dan pikir. Kemudian, insaf atas kelemahan diri, lalu menyerah kepada Allah dan memohon. Allah sendiri memberikan tuntunan bahwa renung, dzikir, dan pikir saja belumlah cukup, sebelum diikuti perjuangan dan penderitaan. Bandingkanlah pula hal ini, dengan ayat-ayat di dalam surah al-Jumu'ah, yaitu seruan segera pergi beribadah ke masjid apabila seruan telah sampai. Sehabis upacara shalat diperintahkan supaya lekas-lekas keluar dari masjid untuk berjuang bertebaran di muka bumi mencari kurnia Allah. Lantaran itu, hidup Muslim tidaklah cukup hanya dengan berdzikir dan berpikir, tetapi harus diikuti dengan bekerja dan berjuang.
Perhatikanlah kembali inti ayat tadi, bahwasanya kerja sama wajiblah erat antara laki-laki dengan perempuan dalam menegakkan amal. Hal ini telah dibuktikan dalam sejarah Islam sejak mula perkembangannya, dari Mekah sampai Madinah. Yang menyatakan percaya pertama sekali kepada Rasulullah ialah perempuan, yaitu ibu orang-orang yang beriman, istri beliau yang pertama, Khadijah binti Khuwailid. Syahid yang pertama karena memperjuangkan Islam ialah perempuan, yaitu Ummi Yasir, yang disula kemaluannya sampai menembus ke lehernya dengan pucuk daun pohon kurma. Di dalam hijrah pertama ke Habsyah, ikut juga perempuan, di antaranya Ummi Habibah binti Abu Sufyan. Sesampainya di tanah perantauan, suaminya murtad dari Islam dan masuk Nasrani. Ingin pulang kembali ke Mekah tidak bisa, sebab ayahnya adalah pemimpin musyrik menentang Rasul ﷺ, tetapi dia tetap teguh pada agamanya. Untuk menghargai perjuangannya, Rasulullah melamarnya langsung pada dirinya dan dia pulang kemudian ke Madinah.
Ketika terjadi Bai'atuI ‘Aqabah, ketika mula-mula kaum Anshar mengikat janji akan membela Rasul dan bersedia menerima beliau jika hijrah ke Madinah, telah ikut juga orang perempuan, yaitu Nasibah binti Ka'ab al-Anshariyah dan Asmil binti Amir, ibu Mu'az bin Jabal. Nasibah turut dalam Peperangan Uhud, turut mengiringkan Rasulullah ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyah, bahkan turut dalam Angkatan Perang ketika menaklukkan Mekah.
Menurut cerita Sayyidina Umar bin Khaththab, ketika membicarakan perjuangan Nasibah, Rasulullah pernah mengatakan kepada Umar tentang Nasibah, “Apabila aku menoleh ke kananku atau ke kiriku, aku se-nantiasa melihat Nasibah berperang di sisiku." Nasibah turut terluka ketika mempertahankan Rasul ﷺ dari serbuan musuh yang hendak membunuh beliau.
Setelah Rasulullah ﷺ wafat dan tentara Muslimin pergi memerangi Musailamah si pembohong yang mendakwakan dirinya jadi nabi pula di Yamamah. Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq mengerahkan tentara membasmi pemberontakan itu. Nasibah pun ikut pergi berperang dan ikut pula bertempur. Dalam perang itu, putus tangannya dan dalam perang itu pula syahid putranya, Khubaib bin Yazid bin Ashim.
Shafiyah binti Abdul Muthalib, ammah (saudara dari ayah) Nabi, saudara kandung Hamzah yang perwira, satu kali turun dari bentengnya membunuh musyrik.
Terlalu panjang kalau kita daftarkan di sini, bagaimana perempuan-perempuan pada zaman Nabi atau pada zaman sahabat-sahabat yang utama turut bertempur ke medan perang memikul tugasnya. Pada pokoknya menyediakan makanan dan mengobati yang luka, tetapi bersedia juga bertempur, membunuh, atau terbunuh.
Berkata Ibnu Abbas, “Perempuan-perempuan ikut berperang bersama Rasulullah" (demikian tersebut dalam kitab bantahan al-Auza'i oleh Imam Abu Yusuf, halaman 38)
Berkata Ibnu Mas'ud, “Perempuan-perempuan di Peperangan Uhud berdiri di garis belakang kaum laki-laki, mengobati yang luka."
Sebab itu, kepala-kepala perang sebagaimana Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid memerlukan juga tenaga perempuan dalam perang. Ketika menaklukkan Damaskus, banyak perempuan turut dalam perang. Mereka duduk di kemah menunggu kalau ada yang luka akan diobati, tetapi pula di tangan mereka ada batu dan tongkat. Kalau ada laki-laki yang lari mundur ke dalam kemah, mereka lempari dengan batu atau mereka pukuli dengan tongkat. Kemudian, mereka angkat anak-anak mereka yang masih kecil lalu berkata, “Pertahankan keluargamu dan belalah Islam!"
Malahan Khalid berkata kepada perempuan-perempuan itu, “Wahai perempuan-perempuan Islam. Kalau ada laki-laki yang mundur, hendaklah dibunuh saja!"
Menurut Imam al-Auza'i, karena itu, perempuan yang ikut berperang berhak mendapat bagian dari ghanimah.
Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata, “Sama pendapat ulama, bahwa perempuan boleh ikut berperang."
Ibnu Hazm berpendapat bahwa perempuan pergi perang adalah sunnah.'5 Ada tiga tingkat fatwa ulama tentang ikutnya perempuan dalam perang,
Pertama ialah mubah, boleh. Artinya kalau ada mereka yang ingin ikut pergi berperang, jangan dihalangi.
Kedua ialah sunnah, yaitu bagi perempuan-perempuan yang ada kesanggupan dan keahlian, terutama dalam mengobati yang luka.
Ketiga ialah wajib berperang sebab telah menjadi fardhu ‘ain apabila musuh telah masuk ke negeri supaya mereka pun turut berjuang bersama laki-laki.
Kalau dalam perang menyabung nyawa— demikian kata Al-Qur'an dan demikian pula Sunnah Rasul—pada contoh-contoh perempuan pada zaman beliau dan pada zaman sahabat-sahabat, demikian pula pendapat para ulama, niscaya jelaslah bahwa dalam hal yang lain pun perempuan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, yaitu di dalam bakat dan bidang yang sesuai dengan keadaan dirinya sebagai perempuan.
Carilah agama lain yang bersikap setegas itu terhadap perempuan.
Kalau dalam beberapa negeri Islam terdapat perempuan tertindas dan tidak diberi hak, itu bukanlah dari Islam, melainkan setelah umat Islam tidak berpedoman pada Islam lagi.
Inilah agaknya yang dijadikan landasan sehingga pada zaman kebesaran Kerajaan Islam Aceh, ada perempuan menjadi Sultanah dan banyak perempuan yang duduk dalam perwakilan rakyat.
Akan tetapi, haruslah diperhatikan bahwa hak-hak perempuan yang diberikan Islam bukanlah menggantikan atau menandingi kedudukan laki-laki. Misalnya laki-laki menjadi penjaga rumah. Itu bukan dari Islam, tetapi dari peradaban Barat sejak zaman industri, ekonomi kapitalis yang mengerahkan tenaga perempuan ke medan ramai. Pertama karena gajinya lebih murah, kedua karena hendak menawan hati pelanggan dengan kecantikannya.
Yang demikian tak ada dalam peraturan Islam.