Ayat
Terjemahan Per Kata
لَا
jangan
تَحۡسَبَنَّ
kamu mengira
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَفۡرَحُونَ
(mereka) bergembira
بِمَآ
dengan apa
أَتَواْ
mereka datangkan/kerjakan
وَّيُحِبُّونَ
dan mereka menyukai
أَن
bahwa
يُحۡمَدُواْ
mereka dipuji
بِمَا
dengan/terhadap apa
لَمۡ
tidak/belum
يَفۡعَلُواْ
mereka kerjakan
فَلَا
maka jangan
تَحۡسَبَنَّهُم
kamu menyangka
بِمَفَازَةٖ
dengan terlepas
مِّنَ
dari
ٱلۡعَذَابِۖ
azab/siksa
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
عَذَابٌ
azab/siksa
أَلِيمٞ
yang pedih
لَا
jangan
تَحۡسَبَنَّ
kamu mengira
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَفۡرَحُونَ
(mereka) bergembira
بِمَآ
dengan apa
أَتَواْ
mereka datangkan/kerjakan
وَّيُحِبُّونَ
dan mereka menyukai
أَن
bahwa
يُحۡمَدُواْ
mereka dipuji
بِمَا
dengan/terhadap apa
لَمۡ
tidak/belum
يَفۡعَلُواْ
mereka kerjakan
فَلَا
maka jangan
تَحۡسَبَنَّهُم
kamu menyangka
بِمَفَازَةٖ
dengan terlepas
مِّنَ
dari
ٱلۡعَذَابِۖ
azab/siksa
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
عَذَابٌ
azab/siksa
أَلِيمٞ
yang pedih
Terjemahan
Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa (perbuatan buruk) yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan (yang mereka anggap baik) yang tidak mereka lakukan, kamu jangan sekali-kali mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.
Tafsir
(Janganlah sekali-kali kamu kira) dengan memakai 'ta' dan 'ya' (bahwa orang-orang yang merasa gembira dengan apa yang telah mereka lakukan) yakni dengan apa yang telah mereka perbuat yaitu menyesatkan manusia (dan mereka ingin supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan) yakni berpegang kepada kebenaran padahal mereka dalam kesesatan (janganlah kamu menyangka mereka) merupakan taukid atau pengukuhan dengan kedua versinya, memakai 'ta' dan 'ya' (terlepas) artinya berada di suatu tempat yang bebas (dari siksa) di akhirat tetapi mereka berada di suatu tempat di mana mereka akan menerima siksa yaitu di neraka Jahanam (dan bagi mereka siksa yang pedih) menyakitkan. Kedua maf'ul yahsabu yang pertama terkandung di dalam kedua maf'ul yahsabu yang kedua berdasarkan qiraat yahsabu sedangkan menurut qiraat tahsabu hanya maf'ul kedualah yang dibuang.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 187-189
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), "Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menjualnya dengan harga murah. Amatlah buruk jual beli yang mereka lakukan.
Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka lolos dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat 187
Makna ayat ini mengandung celaan dan ancaman Allah terhadap kaum Ahli Kitab, yaitu mereka yang Allah telah mengambil janji dari mereka melalui lisan nabi-nabi-Nya, bahwa mereka bersedia beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ dan mau mempromosikannya di kalangan manusia, sehingga mereka dalam keadaan siap dalam menyambut kedatangannya. Apabila tiba saatnya Allah mengutus dia, maka mereka tinggal mengikutinya. Akan tetapi, mereka menyembunyikan hal tersebut dan menukar kebaikan di dunia dan akhirat yang telah dijanjikan kepada mereka dengan harga yang murah dan keberuntungan duniawi yang rendah. Maka seburuk-buruk transaksi adalah transaksi yang mereka lakukan, dan seburuk-buruk jual beli adalah jual beli yang mereka lakukan.
Di dalam ungkapan ini terkandung peringatan bagi para ulama agar mereka jangan menempuh jalan orang-orang yang bersifat demikian, karena akibatnya mereka akan tertimpa bencana yang sama dan membuat mereka termasuk ke dalam golongannya. Karena itu, sudah seharusnya bagi ulama menyiarkan ilmu yang bermanfaat yang ada di tangan mereka, yaitu ilmu yang menunjukkan kepada amal saleh, dan janganlah mereka menyembunyikan sesuatu pun darinya.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Nabi ﷺ disebutkan bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, kelak ia akan disumbat pada hari kiamat dengan penyumbat dari api neraka.”
Firman Allah ﷻ: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan.” (Ali Imran: 188) hingga akhir ayat.
Yang dimaksud oleh ayat ini ialah orang-orang yang suka pamer, ingin dipuji dengan apa yang tidak pernah mereka lakukan. Seperti yang diterangkan di dalam kitab Shahihain, dari Nabi ﷺ, yaitu: “Barang siapa yang mengucapkan suatu pengakuan bohong dengan tujuan ingin dipuji karenanya, maka Allah tidak menambahkan kepadanya melainkan kekurangan. Di dalam hadits Shahihain disebutkan pula dengan keterangan yang lebih jelas, yaitu: “Orang yang ingin dipuji dengan sesuatu yang tidak pernah ia berikan (lakukan) sama saja dengan orang yang memakai pakaian dusta dua lapis.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajah, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah; Humaid ibnu Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan kepadanya bahwa Marwan pernah berkata kepada Rafi' (yaitu pengawal pribadinya), "Berangkatlah kamu ke Ibnu Abbas dan katakanlah, 'Jika setiap orang dari kita disiksa karena merasa gembira dengan apa yang telah ia kerjakan dan suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang ia tidak kerjakan, niscaya kita semua akan disiksa'." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Mengapa kamu berpemahaman demikian terhadap ayat ini? Sesungguhnya ayat ini diturunkan hanya berkenaan dengan orang-orang Ahli Kitab." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya,’ lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menjualnya dengan harga murah. Amatlah buruk jual beli yang mereka lakukan. Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan.” (Ali Imran: 187-188), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah menanyakan sesuatu kepada mereka (Ahli Kitab) dan mereka menyembunyikannya serta memberitahukan hal yang lain kepadanya. Setelah itu mereka keluar dengan perasaan bahwa mereka telah memperlihatkan kepada beliau bahwa mereka telah menceritakan kepada beliau apa yang beliau tanyakan kepada mereka. Mereka ingin dipuji dengan perbuatan tersebut serta merasa gembira karena perbuatan mereka menurut mereka berhasil mengelabuinya dengan memberikan jawaban lain dan menyembunyikan jawaban yang sebenarnya dari Nabi ﷺ.
Hal ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam kitab tafsirnya, Imam Muslim dan Imam At-Tirmidzi serta Imam An-Nasai di dalam kitab tafsirnya masing-masing; juga Ibnu Abu Hatim, Ibnu Khuzaimah, Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, dan Ibnu Mardawaih. Semua meriwayatkannya melalui hadits Abdul Malik ibnu Juraij dengan lafal yang serupa.
Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula melalui hadits Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Alqamah ibnu Waqqas, bahwa Marwan pernah berkata kepada pengawal pribadinya, "Wahai Rafi', berangkatlah kamu ke Ibnu Abbas," lalu Imam Al-Bukhari menuturkannya hingga akhir hadits.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa sejumlah kaum lelaki dari kalangan orang-orang munafik di masa Rasulullah ﷺ apabila Rasulullah ﷺ berangkat ke suatu medan perang, maka mereka tidak mau ikut dan tetap tinggal di Madinah; mereka merasa gembira dengan ketidakikutsertaan mereka yang bertentangan dengan prinsip Rasulullah ﷺ. Tetapi apabila Rasulullah ﷺ tiba dari medan perang, mereka meminta maaf kepadanya dan bersumpah untuk memperkuat alasan mereka. Mereka merasa gembira dengan apa yang tidak mereka kerjakan.
Ayat 188
Lalu turunlah firman Allah ﷻ: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan.” (Ali Imran: 188), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Ibnu Abu Maryam dengan lafal yang serupa.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui hadits Al-Al-Laits ibnu Sa'd, dari Hisyam ibnu Sa’id, dari Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Abu Sa'id, Rafi' ibnu Khadij, dan Zaid ibnu Sabit semuanya pernah menceritakan, "Ketika kami berada di majelis Marwan, lalu Marwan berkata, 'Wahai Abu Sa'id, bagaimanakah pendapatmu dengan firman-Nya: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan.” (Ali Imran: 188), sedangkan kami gembira dengan apa yang telah kami kerjakan dan suka bila dipuji terhadap perbuatan yang belum kami kerjakan?'." Abu Sa'id menjawab, "Makna ayat ini tidaklah seperti itu. Sesungguhnya hal tersebut ditujukan kepada sejumlah orang dari kalangan kaum munafik. Mereka tidak ikut apabila Rasulullah ﷺ mengirimkan pasukannya. Jika pasukan Rasulullah ﷺ mendapat musibah, mereka merasa gembira karena ketidakikutsertaan mereka. Tetapi jika pasukan kaum muslim beroleh pertolongan dan kemenangan dari Allah, maka mereka mengadakan perjanjian pakta pertahanan bersama kaum muslim, dengan maksud mengambil hati kaum muslim agar kaum muslim memuji mereka karena simpati mereka kepada kemenangan yang dicapai oleh kaum muslim." Marwan berkata, "Mengapa pengertiannya demikian?" Abu Sa'id berkata, "Orang ini mengetahui hal tersebut." Marwan berkata, "Apakah memang demikian, wahai Zaid?" Zaid menjawab, "Ya, benarlah apa yang dikatakan oleh Abu Sa'id." Kemudian Abu Sa'id berkata, "Orang ini (yang dimaksud ialah Rafi' ibnu Khadij) pun mengetahui hal tersebut, tetapi ia khawatir jika ia menceritakannya kepadamu maka kamu nanti akan mencabut bagian sedekah untanya." Ketika mereka telah keluar dari tempat Marwan, maka Zaid berkata kepada Abu Sa'id Al-Khudri, "Mengapa engkau tidak memuji diriku yang telah mempersaksikan untukmu?" Abu Sa'id berkata kepadanya, "Engkau telah mempersaksikan kebenaran." Zaid ibnu Sabit berkata, "Mengapa engkau tidak memujiku yang telah melakukan kesaksian kebenaran bagimu?"
Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula melalui hadits Malik, dari Zaid ibnu Aslam, dari Rafi' ibnu Khadij, bahwa ia dan Zaid ibnu Sabit pernah berada di tempat Marwan ibnul Hakam yang menjabat sebagai amir kota Madinah. Marwan berkata, "Wahai Rafi', sehubungan dengan peristiwa apakah ayat ini diturunkan?" Lalu Ibnu Mardawaih mengetengahkan hadits yang sama seperti apa yang diriwayatkannya dari Abu Sa'id. Sesudah peristiwa itu Marwan ibnul Hakam mengutus seseorang kepada sahabat Ibnu Abbas untuk menanyakan hal tersebut, seperti yang telah disebutkan di atas. Lalu Ibnu Abbas menjawab seperti apa yang telah kami terangkan di atas. Tidak ada perbedaan antara apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dengan apa yang dikatakan oleh mereka, mengingat ayat bermakna umum mencakup semua apa yang telah disebutkan.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula melalui hadits Muhammad ibnu Atiq dan Musa ibnu Uqbah, dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Sabit Al-Ansari atau Sabit ibnu Qais Al-Ansari yang berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah aku merasa khawatir bila menjadi orang yang binasa." Nabi ﷺ bertanya, "Mengapa?" Ia mengatakan, "Allah telah melarang seseorang suka bila dipuji terhadap apa yang tidak dikerjakannya, sedangkan diriku ini suka dengan pujian. Allah telah melarang berbuat sombong sedangkan diriku ini suka keindahan (menghias diri). Allah melarang kami mengangkat suara lebih dari suaramu, sedangkan aku ini adalah orang yang keras suaranya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidakkah engkau suka bila kamu hidup terpuji, gugur dalam keadaan syahid, dan masuk surga?" Ia menjawab, "Tentu saja suka, wahai Rasulullah." Maka ia hidup terpuji dan gugur sebagai syahid dalam perang melawan Musailamah Al-Kazzab.
Firman Allah ﷻ: “Janganlah kamu menyangka bahwa mereka lolos dari siksa.” (Ali Imran: 188)
Lafal tahsabannahum dibaca dengan memakai huruf ta menunjukkan makna lawan bicara hanya satu orang, dapat pula dibaca dengan memakai huruf ya dengan makna menceritakan keadaan mereka. Dengan kata lain, janganlah kamu mengira bahwa mereka selamat dari siksa Kami, bahkan mereka pasti terkena siksa Kami. Karena itulah Allah ﷻ berfirman dalam firman berikutnya: “Dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali Imran: 188)
Ayat 189
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imran: ﷻ)
Yakni Dia adalah Pemilik segala sesuatu, Maha Kuasa atas segala sesuatu, tiada sesuatu pun yang sanggup mengalahkan-Nya. Karena itu takutlah kalian kepada-Nya dan jangan sekali-kali kalian melanggar-Nya. Hati-hatilah kalian kepada murka dan pembalasan-Nya, karena sesungguhnya Dia Maha Agung yang tiada sesuatu pun yang lebih agung daripada-Nya; lagi Maha Kuasa yang tiada seorang pun lebih berkuasa daripada Dia.
Jangan sekali-kali kamu, wahai Rasulullah, meyakini dan mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan meskipun yang mereka lakukan itu perbuatan dosa atau maksiat sekali pun dan mereka suka dipuji dengan membanggakan diri atas perbuatan yang tidak mereka lakukan. Mereka, yakni orang-orang Yahudi, menutupi berita yang disampaikan Nabi, kemudian mereka menyampaikan berita itu kepada orang lain dengan mengatasnamakan dirinya, sehingga di mata orang lain merekalah yang paling paham tentang isi kitab suci. Apa yang mereka lakukan tersebut adalah demi mengharapkan pangkat dan kedudukan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, jangan sekalikali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab lantaran Allah telah menghapus pahala dari hasil usahanya dan membatalkan amalnya, karena mereka telah berbuat bohong. Mereka akan mendapat azab yang pedih akibat perbuatan dosa yang mereka lakukanDan milik Allah-lah seluruh kerajaan langit dan bumi dengan segala isinya, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu terhadap ciptaan-Nya dengan memberinya kehidupan dan rezeki, mengatur, mematikan, membalas, dan menghitung setiap amal perbuatan manusia.
.
Sifat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang oleh orang mukmin wajib dihindari, yaitu mereka selalu bergembira atas penyelewengan dan pengkhianatan yang dilakukannya. Mereka merasa bangga karena menganggap dirinya adalah tokoh-tokoh masyarakat dan pemimpin-pemimpin yang ditaati. Mereka senang dipuji-puji bahwa mereka mengetahui secara mendalam semua isi Kitab, dan ahli dalam menafsirkannya, padahal mereka itu bukanlah ahlinya. Mereka berbuat demikian untuk mengalihkan perhatian orang-orang banyak dari kebenaran kepada apa yang dikehendaki pembesar-pembesar mereka dan orang awam walaupun salah.
Janganlah kaum Muslimin menyangka bahwa Ahli Kitab yang perbuatannya jelek dan mengelabui itu akan terlepas dari siksaan, bahkan mereka merasakan azab yang pedih. Kaum mukminin tidak perlu merasa sedih dan cemas atas penyelewengan mereka, tetapi hendaklah tetap menjelaskan yang hak dan jangan sekali-kali menyembunyikannya sedikit pun. Allah akan memenuhi apa yang menjadi keinginan kaum Muslimin dan melenyapkan hal-hal yang mungkar yang telah dilarang itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JANJI AHLI-AHLI PENGETAHUAN
Ayat 187
“Dan (ingatlah) tatkala Allah mengambil janji orang-orang yang diberi kitab itu."
Yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi kitab ialah Bani Israil umumnya, karena mereka telah diberi kitab Taurat, dan ulama-ulama atau pemimpin agama mereka khususnya, karena merekalah yang lebih banyak tahu dan hafal akan isi kitab-kitab Taurat itu. Di dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa Allah telah mengambil janji mereka zaman dahulu. Isi janji ialah, “Hendaklah kamu terangkan isi Kitab itu kepada manusia dan janganlah kamu sembunyikan."
Pada pasal 5 ayat 2 dan 3 lebih dijelaskan lagi,
Bahwa Allah kita telah berbuat suatu perjanjian dengan kita di Horeb.
Bukannya dengan nenek moyang kita diperbuat Tuhan perjanjian itu, istimewa dengan kita sekalian yang hadir di sini dengan hidupnya.
Di dalam Ulangan pasal 6 ayat 2 diterangkan lagi: Supaya kamu takut akan Allahmu dengan menurut segala hukum dan undang-undangnya, yang kusuruh akan kamu, yaitu kamu dan anakmu dan cucumu pada segala hari umurmu hidup, dan supaya umurmu dilanjutkan.
Dengan menyalin beberapa ayat ini saja— di antara berpuluh ayat yang lain—sudah teranglah bagi kita bahwa Bani Israil mengikat janji dengan Allah sampai kepada anak dan cucu, bahwa Taurat akan dipegang setia, tidak akan ditambah dikurangi, berdasarkan takut kepada Allah.
Di antara janji yang diambil Allah dan mereka itu ialah bahwa akan datang kelak seorang Nabi, hendaklah mereka percaya akan Nabi itu. Demikian firman Tuhan (Ulangan 18; 15 sampai dengan 22)
Bahwa seorang Nabi dari tengah-tengah kamu, dari antara segala saudaramu, dan yang seperti aku ini, yaitu akan dijadikan oleh Tuhanmu bagi kamu, maka akan dia patutlah kamu dengar.
Pada ayat 15 ini diterangkan bahwa Nabi itu akan lahir dari tengah-tengah kamu, yaitu dari yang sama satu keturunan Ibrahim. Di dalam ayat ini juga diterangkan bahwa dia akan timbul dari antara segala saudaramu.
Saudara Bani Israil ialah Bani Isma'il, sebab Ishaq sebagai nenek moyang Bani Israil adalah saudara muda Isma'il, nenek moyang bangsa Arab Musta'ribah, Lalu dijelaskan lagi oleh Nabi Musa tentang Nabi yang akan datang itu, yaitu “dan yang seperti aku ini." Maka jika ditilik perbandingan sejarah rasul-rasul, teranglah bahwa jalan hidup Nabi Muhammad lebih banyak seperti jalan hidup Nabi Musa itu. Sama berjuang dengan menyentak pedang kalau perlu, sama-sama lahir ke dunia dengan perantaraan bapak dan ibu.
Di dalam ayat 20 diterangkan bahwa kalau ada seorang Nabi palsu, maka hukuman Allah akan datang kepadanya. Teranglah bahwa Nabi Musa tidak mati terbunuh dan Nabi Muhammad pun tidak mati terbunuh. Di ayat 22 dikatakan pula padanya oleh Allah bahwa kalau Nabi itu berkata demi nama Allah, janganlah kamu percayai.
Niscaya menerangkan ini kepada anak cucu menjadi kewajiban pula karena termasuk dalam ikatan janji dengan ulama-ulama Bani Israil yang keturunan kitab itu. Akan tetapi, apa yang kejadian? Lanjutan ayat ini mene-rangkan, “Tetapi mereka memungkiri perjanjian itu, mereka menjualnya dengan harga yang sedikit."
Artinya, bahwasanya ahli-ahli keturunan kitab itu tidak jujur lagi. Mereka telah mungkir akan janji turun-temurun dari nenek moyang, bahwa kedatangan Nabi yang telah dijanjikan (bayarat) oleh Musa itu, setelah Nabi Muhammad ﷺ lahir, tidak mereka buka-buka lagi. Apatah lagi pada zaman hidup Rasulullah ﷺ, kitab Taurat itu mereka sembunyikan, apatah lagi belum ada cetakan sebagai pada zaman kita sekarang ini dan orang Arab sendiri jarang pula yang mengerti bahasa Ibrani. Sehingga tentang kitab Taurat mengisyaratkan Muhammad akan datang melanjutkan tugas Musa a.s. hanya diketahui oleh Nabi dari wahyu langsung dari Allah. Padahal sebelum Nabi Muhammad datang, orang Yahudi di Madinah selalu mengatakan kepada orang Arab, bahwa seorang Nabi akan datang.
Tetapi setelah nyata bahwa Nabi yang datang itu bukan dari Bani Israil, mereka sembunyikan berita itu. Adapun ulama-ulama Nasrani menafsirkan bahwa ayat itu bukan untuk Muhammad, melainkan untuk Isa al-Masih. Padahal Nabi Musa dalam ayat-ayat itu menjelaskan bahwa Nabi yang akan datang itu seperti dia. Musa beribu berbapak, Muhammad beribu berbapak, sedang al-Masih hanya beribu. Nabi Musa mati karena usia lanjut, bukan mati terbunuh. Nabi Muhammad pun demikian pula, mati dalam usia lanjut. Sedang menurut kepercayaan Kristen, Nabi Isa mati terbunuh di kayu salib. Jadi dalam ayat ini jelaslah bahwa langkah yang mereka tempuh ini tidak jujur adanya, mungkir akan janji dengan Allah. Mereka perjualbelikan kejujuran itu dengan harga yang sedikit. Harga yang sedikit ialah jika kebenaran yang mahal dijual dengan memelihara kedudukan dan pangkat
“Alangkah jahat tukaran yang mereka terima itu."
Sebenarnya sudah dijelaskan di dalam ajaran Islam bahwasanya agama tidaklah boleh dipaksakan (al-Baqarah 256), sehingga tidaklah perlu mereka bersikap curang dalam mempertahankan agama mereka. Pada saat itu kekuasaan atas negeri Madinah sudah di tangan Rasul ﷺ. Dalam kekuasaan yang besar itu tidaklah mereka pernah digiring ke dalam Islam dengan senjata. Memang kecurangan itu satu kejahatan, sebab dia mengingkari firman Allah atau memutarbalikkan kebenaran, semata untuk mempertahankan kedudukan dan pengaruh.
Teringatlah kita bila merenungkan ujung ayat ini kepada perkataan Tabi'in yang besar, yaitu Qatadah. Beliau berkata,
“Inilah perjanjian yang telah diambil Allah dengan ahli-ahli ilmu. Maka, barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, hendaklah diajarkannya kepada manusia. Sekali-kali jangan disembunyikannya ilmu itu, karena menyem-bunyikan ilmu adalah suatu kebinasaan."
Ahli ilmu—yang di dalam istilah Islam dinamai ulama atau dalam istilah bangsa kita dinamai sarjana atau cendikiawan—seharusnya menjadi penegak kebenaran. Itulah sebabnya maka Rasulullah pernah memberi mereka jabatan yang tinggi, yaitu “penerima waris nabi-nabi." Mereka tidak boleh menyembunyikan kebenaran. Mereka wajib menerangkan yang sebenarnya. Kalau tidak, maka mereka telah khianat atau membawa kebinasaan.
Ilmu pengetahuan dengan sendirinya hendaklah membentuk akhlak, karakter, moral, dan mental. Hal-hal yang seperti ini telah diberikan contoh teladannya oleh ulama-ulama salaf yang mulia. Keempat Imam ikutan umat Islam, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali, semuanya telah menjadi korban keyakinan mereka kepada ilmu. Imam
Malik pernah didera dengan cemeti, dan dia tahankan. Namun dia tidak mau berganjak dari yang diyakininya. Imam Hanafi menurut setengah riwayat, mati dalam penjara karena tidak mau menerima jabatan pada kerajaan Bani Abbas. Imam Syafi'i pernah dirantai tangan, leher, dan kaki, lalu digiring dari Yaman ke Baghdad karena fitnah orang. Imam Hambali pernah meringkuk dalam penjara 30 bulan (dua setengah tahun) karena tidak mau dipaksa mengubah keyakinannya bahwa AI-Qur'an adalah Kalam Allah.
Ibnu Taimiyah masuk penjara di Mesir 18 bulan, kemudian masuk penjara di Damaskus 5 bulan, sampai meninggal dalam penjara itu sebab tidak mau mengubah pendapatnya yang berbeda dengan pendapat ulama-ulama lain pada zaman itu, sedangkan kerajaan berpihak kepada ulama-ulama lain itu.
Apa sebab mereka berkeras, sampai bersedia disiksa, diadzab, dan dipenjarakan, atau dibuang dari negeri, sebagaimana Imam Nawawi dan beberapa yang lain? Mereka itu telah berkeyakinan, demi memegang ayat ini, bahwa mereka pun termasuk orang yang diberi kitab. Kalau ulama Yahudi disebut diberi kitab karena menerima Taurat, dan ulama Nasrani disebut diberi kitab karena menerima Injil, maka ulama Islam pun diberi kitab karena menerima Al-Qur'an.
Setiap ulama suatu agama telah diambil janji oleh Allah, bahwa isi kitab itu tidak akan disembunyikan, walaupun jiwa tantangannya. Kalau seorang ulama telah berani menyembunyikan kebenaran karena takut ancaman, disebutlah di dalam ayat ini bahwa mereka telah melempar kitab Allah ke belakang punggung, karena mengharapkan harga yang sedikit. Itu adalah kebinasaan, kecurangan, dan kejahatan. Sebab, yang demikian itu adalah “korupsi ruhani" yang amat berbahaya.
Oleh sebab itu pula banyak ulama salaf itu merasa aman, jika dia menjauhkan diri dari istana. Sebagaimana Sufyan Tsauri yang selalu menjauhkan diri dari istana raja-raja Bani Abbas, walaupun berkali-kali dicari-cari. Dalam 100 orang ulama zaman itu, boleh dikatakan 99 orang menjauhkan diri, dan yang satu orang—yang merasa kuat dan berani— itulah yang tetap bertahan, misalnya Imam Malik.
Berkata Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar,
“Ketahuilah, bahwasanya tidak ada suatu kerusakan yang sangat membahayakan bagi agama, dan yang menyebabkan isi kitab tersia-sia, sampai orang mau mencampakkannya ke belakang punggungnya, mau memperjualbelikannya dengan harga yang sedikit; tidak ada suatu bahaya pun yang mengancam agama lebih daripada menjadikan kehidupan ulama bergantung kepada kasihan raja-raja atau penguasa-penguasa negara. Oleh sebab itu wajiblah atas ulama-ulama agama mempertahankan kebebasan sempurna, bebas dari pengaruh penguasa-penguasa itu, terutama penguasa-penguasa diktator. Tidak masuk di akal saya seorang penguasa tirani akan mau saja memberikan belenggu emas di leher ulama-ulama itu, melainkan supaya mereka dapat dituntun menurutkan kehendak penguasa itu, untuk menipu orang awam dengan nama agama, supaya mempermudah perbudakan si penguasa kepada rakyat. Kalau rakyat umum itu ada kesadaran, tidaklah mereka akan mau memercayai kata atau fatwa ulama-ulama resmi yang telah diikat lehernya dengan rantai emas itu."
Sekian kita salin Tafsir al-Manar Juz 3, halaman 283.
Itulah sebabnya, Imam Hanafi lebih suka menjadi saudagar kain, menjaja kian kemari, mendapat keuntungan halal untuk belanja sehari-hari, menjaja daripada diberi jubah anugerah raja, tetapi hilang kebebasan.
Imam Ghazali menerangkan panjang lebar di dalam Ihya-nya bahaya ulama mendekati raja. Imam al-Hafizh as-Sayuthi menulis
sebuah kitab yang khas bernama al-Asathin, fi'adamil maji-i ilas Salathiri' (beberapa penjelasan untuk mencegah jangan mendekat kepada sultan)
Maka disalinkanlah beberapa hadits yang berkenaan dengan itu. Di antaranya sebuah hadits riwayat ad-Dailami,
“Barangsiapa yang berdiam di desa, menjadi kasar tabiatnya. Barangsiapa yang menurut binatang buruan, akan tersesat dia. Dan barangsiapa yang mendekat ke pintu istana, akan terpedayatah dia." (HR ad-Dailami)
Sebuah hadits lagi dirawikan oleh at-Tirmidzi dan disaiinkannya, lalu diriwayatkan pula oleh an-Nasa'i dan al-Hakim serta di-shahihkan pula oleh al-Baihaqi,
“Akan ada sesudahku kelak raja-raja pendusta dan zalim. Maka, barangsiapa yang masuk ke istana mereka, lalu mengakui benar percakapannya yang dusta itu dan menolong pula lakunya yang zalim, tidaklah dia termasuk umatku dan tidaklah aku berhubungan dengan dia, dan tidaklah dia akan minum bersama aku di telaga al-Haudh." (HR at-Tirmidzi, an-Nasa'i, al-Hakim, al-Baihaqi)
Yang lebih tegas lagi ialah sebuah hadits yang masyhur dari Anas bin Malik yang dirawikan oleh al-Aqili, Hasan bin Sufyan, al-Hakim, Abu Na'im dan ad-Dailami di dalam Musnad al-Firdaus dan lain-lain,
“ Ulama itu adalah orang kepercayaan rasul-rasul untuk memimpin segenap hamba Allah selama mereka belum bercampur gaul dengan sultan. Akan tetapi, kalau mereka telah berbuat demikian, sesungguhnya dia telah menglchianati rasul-rasul. Maka, hendaklah waspada terhadap mereka; hendaklah mereka disisihkan." (HR al-Aqili, Hasan bin Sufyan, al-Hakim, Abu Nu'im, dan ad-Dailami)
Dan sebuah hadits pula dari Mu'az bin Jabal yang dirawikan oleh al-Hakim di dalam tarikhnya dan oleh ad-Dailami,
“Tidaklah datang seorang alim kepada seorang penguasa dengan sukanya sendiri, melainkan jadilah dia berkongsi dengan sultan itu pada tiap-tiap aneka warna yang akan menyiksanya di dalam neraka Jahannam." (HR al-Hakim dan ad-Dailami)
Sebuah hadits lagi dirawikan oleh ad-Dailami dari Abu Hurairah, lebih dahsyat daripada hadits-hadits di atas tadi. Berkatalah Rasulullah ﷺ,
“Apabila telah engkau lihat seorang alim bercampur gaul dengan suitan telalu banyak, ketahuilah bahwa dia itu seorang pencuri." (HR ad-Dailami)
Sufyan Tsauri pernah memberikan nasihat kepada muridnya, Yusuf bin Asbath. Kata beliau, “Kalau engkau lihat seorang qari (hafal Al-Qur'an dan Hadits, sehingga membaca seperti air mengalir karena banyak hafalannya, menyandarkan diri kepada sultan, ketahuilah, bahwa dia adalah seorang pencuri besar. Dan apabila engkau lihat dia telah menyandarkan diri kepada orang-orang kaya, ketahuilah,
bahwa dia seorang pencari muka. Dan jangan sampai engkau tertipu kalau dia berkata, “Kita mendekati sultan untuk menangkis kezaliman dan mempertahankan orang yang teraniaya." Itu cuma perdayaan iblis yang dijadikan tangga oleh si qari itu.
Melihat segalanya ini, teringatlah kita beberapa orang ulama di tanah air kita, pulang dari Mekah dengan ilmu yang banyak, menyebar di seluruh tanah air.
Mana yang menerima pangkat jadi Qadhi atau Mufti dari salah satu kerajaan Melayu, enaklah hidupnya, terjamin rezekinya dan memakai pakaian kebesaran, tetapi laksana “mati". Karena fatwa yang dikeluarkan haruslah yang sesuai dengan kehendak duli tuanku.
Tetapi ulama yang bebas, seperti Syekh Thaher Jalaluddin di Malaya, suatu masa dahulu, melemparkan pangkat muftinya lalu menjadi Syekh Wartawan; Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdulkarim Amrullah, dan Syekh Abdullah Ahmad yang mengeluarkan majalah al-Munir di Padang (1911), menjadilah mereka ulama merdeka. Demikian juga Kiai H.A. Dahlan pembangun Muhammadiyah di Yogyakarta yang hidup dengan menjual kain batik. Demikian juga Kiai Syekh Hasyim Asy'ari di Jombang, pembangun Nahdhatul Ulama.
Ayah saya, Syekh Abdulkarim Amrullah, sampai menjadi korban keyakinan, ingat akan janjinya dengan Allah, lalu mengeluarkan fatwa yang diyakininya kebenarannya, maka dibuanglah dia dari kampung halamannya ke Sukabumi (1941) dan meninggal di Jakarta pada tahun 1945.
Ayah saya pernah menceritakan kepada saya bahwa ketika beliau akan pulang dari Mekah (1906), utusan dari Sultan Ternate pernah menemuinya menawarkan kepada beliau jabatan mufti untuk Kerajaan Ternate. Dan itu adalah atas anjuran guru beliau sendiri, Syekh Ahmad Khatib. Beliau pada pokoknya tidak keberatan. Akan tetapi, dia ingin pulang terlebih dahulu ke Jawi, untuk memohon izin kepada ayah beliau, nenek saya, Syekh Muhammad Amrullah. Kalau beliau telah diizinkan kelak, tentu hal itu akan mudah dibicarakan lagi. Setelah itu beliau pulang ke tanah air dan utusan sultan pun pulang ke Ternate.
Tetapi tidak berapa lama sesampai beliau di kampung, wafatlah nenek saya, Syekh Muhammad Amrullah, sehingga kewajiban memimpin pelajaran agama terpikullah ke atas pundak beliau, dan orang kampung tidaklah dapat melepaskan beliau berlayar sejauh itu.
Lalu, beliau ulangkan kepadaku perkataan Imam Ghazali yang terkenal,
“Tidak mungkin ada yang lebih baik daripada yang telah terjadi."
Memang, setelah hal ini lama saya pikirkan, saya benarkan bahwa tidaklah mungkin ada yang lebih baik dari yang telah terjadi. Karena kalau sekiranya jadi ayah saya menerima jabatan Mufti Ternate itu, tentu saya sudah jadi anak seorang feodal agama di negeri itu. Tentu senang hidup ayah saya, sibuk dengan urusan jabatan, sehingga tidak sempat mengarang. Atau akhirnya, bercerai buruk dengan Sultan Ternate dan ulama-ulama di sana, sebab ayah saya keras sikapnya. Tentu tidak akan terjadi perubahan Kaum Muda yang terkenal di Minangkabau yang telah beliau mulai sejak beliau turun dari Mekah tahun 1906 itu. Dan tidak akan berdiri perkumpulan Sumatera Thawalib dan tidak akan berkembang Muhammadiyah di sana. (Keduanya itu atas anjuran beliau)
Kami miskin, tetapi hati kami puas. Pekerjaan ayah saya mengajar tidaklah menjadi sumber pencaharian beliau untuk hidup kami. Beliau mengarang buku-buku agama yang amat berfaedah pada zaman hidup beliau, yang tersebar dan menjadi bacaan Islam di seluruh tanah air. Beliau hidup di Minangkabau sudah lama tidak ada raja. Belanda mengganti raja dengan kepala laras. Di bawah laras adalah penghulu dan ninik-mamak. Beliau dapat menanamkan pengaruhnya sehingga bukan beliau yang terpengaruh oleh kaum adat, melainkan kaum adatlah yang seluruhnya menjadi murid beliau, sehingga salah satu alasan pemerintah kolonial Belanda mengasingkan beliau telah dinyatakan terus terang oleh wakil pemerintah di Volksraad ialah karena pengaruh adat dan pemerintah terhambat sebab pengaruh beliau.
Pada zaman modern ini, saya sendiri pun telah pernah “terperosok" menjadi pegawai negeri, sampai 9 tahun lamanya (1950—1959) Kemudian, Presiden Soekarno menyuruh pegawai-pegawai tinggi Kementerian Agama yang menjadi anggota salah satu partai politik memilih tetap dalam partai atau berhenti jadi pegawai. Akhirnya saya pilihlah tetap menuruti keyakinan saya dalam Partai Masyumi dan saya lepaskan pegawai tinggi. Bersyukurlah saya pada Allah, karena hanya 9 tahun lamanya terhenti kebebasan saya dengan mem-pertenggangkan beleid kebijaksanaan pemerintah, meskipun berlawanan dengan jiwa saya.
Setelah saya keluar dari jabatan itu, barulah saya merasa mendapatkan pribadi saya kembali. Dan ternyatalah kemudian, bahwa hidup saya dan makan minum saya serta pemeliharaan anak-anak saya tetap dijamin Allah, tidak kurang suatu apa. Dan bersyukur saya sebab setelah Pemerintah Republik Indonesia kian sehari kian menjurus diktator dan kezaliman seperti adat sultan-sultan zaman purbakala itu, saya tidak lagi jadi pegawai negeri. Sehingga—alhamdulillah—tidaklah saya dapat dituduh pencuri sebagai disebutkan oleh satu hadits tadi.
Ketika pengaruh Pemerintah Kolonial Belanda telah sangat terhunjam dalam masyarakat Jawa, di samping Bupati, Belanda mengadakan pula jabatan penghulu. Masjid-masjid di bawah kuasa penghulu-penghulu itu. Maka, dalam pergerakan kebangkitan Islam di Indonesia ini, nyatalah bahwa penghulu-penghulu itu menjadi penghambat kemajuan agama. Dan gerakan Islam yang modern tidaklah pernah datang dari masjid, melainkan dari ulama-ulama di luar pengulon itu. Riwayat Kiai H.A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta dan bagaimana Kanjeng Penghulu menyuruh runtuhkan langgar yang beliau dirikan, sebab kiblat langgar itu berbeda dengan kiblat Masjid Agung yang salah, adalah salah satu bukti lagi bahwa ulama lebih baik jangan mendekati sultan.
Setelah jatuh rezim Soekarno—karena kegagalan percobaan kaum komunis merebut kekuasaan di Indonesia pada 30 September 1965—banyaklah dibicarakan orang tentang kesalahan kaum cerdik pandai, atau sarjana atau intelektual yang menjual keyakinan pengetahuan kepada tirani (si zalim) Ada yang mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih kasar, yaitu “kaum intelek yang melacurkan diri" mengkhianati ilmu pengetahuan, lalu menjadi badut-badut yang setia, mengilmiahkan kebohongan. Ada ahli hukum berkata bahwa jika Presiden melanggar Undang-Undang Dasar, maka pelanggarannya itu adalah sah menurut Undang-Undang. Dan datang pula sarjana ahli kimia mengatakan bahwa gizi dan kalori yang terkandung di dalam jagung— menurut ilmiah—jauh lebih banyak daripada yang terkandung di dalam beras.
Sebab si zalim menyuruh mempropagardakan agar rakyat makan jagung, sebab si zalim tidak kuat lagi mengimpor beras dari luar negeri. Kemudian, datang pula ahli kesehatan mengatakan memakan tikus menurut ilmiah tidak merusak kesehatan. Demikianlah sarjana tadi berlomba mengkhianati diri sendiri untuk memuaskan hati si penguasa yang zalim. Ulama pun tidak mau pula ketinggalan; ada yang memberikan fatwa sah seorang perempuan yang masih berlaki dinikahkan dengan laki-laki lain, sebab laki-laki lain itu “penguasa agung".
Inilah yang diisyaratkan oleh ujung ayat tadi, “Sungguh jahatlah apa yang mereka kerjakan." Dan inilah yang diisyaratkan oleh salah satu hadits tadi, yaitu bahwa ulama atau sarjana yang telah berulang ke istana “raja" ketahuilah, bahwa dia itu pencuri. Mereka itu adalah “koruptor". Lebih jahat dari koruptor yang mencurangi uang negara, sebab mereka adalah koruptor moral dan jiwa. Nau'udzu billah min zalik!
Memang beratlah menjadi ulama dan menjadi sarjana, sebab mereka itu dengan ilmunya telah mengikat janji dengan Allah.
INGIN PUJIAN ATAS USAHA ORANG LAIN
Ayat 188
“Sekali-kali janganlah engkau sangka orang-orang yang bergembira dengan yang mereka lakukan dan senang sekali bila dipuji dalam hal yang tidak pernah mereka kerjakan."
Di ayat ini, bertemulah dua perangai manusia yang amat rendah atau suatu kerendahan budi dan menunjukkan jiwa yang kerdil. Yaitu perangai orang yang munafik dan pengecut, tidak berani bertanggung jawab. Pertama, ialah orang yang gembira dengan yang telah mereka lakukan. Kedua, ialah orang pengecut yang berbuat suatu kepengecutan, lalu memuji sikapnya yang pengecut itu, atau orang yang bodoh bangga dengan kebodohannya.
Seumpama seorang yang memang jiwanya kerdil melihat seorang pejuang telah menjadi korban keyakinannya, atau orang itu dibuang atau dipenjarakan atau tewas di medan jihad. Maka, si pengecut ini membanggakan diri dan gembira sebab dia telah memilih satu perbuatan yang katanya benar, yaitu tidak turut berjuang, sehingga dia tidak jadi korban. Sebagai pepatah syair Arab,
Si pengecut berpendapat bahwa pengecut itu adalah satu perhitungan yang tepat. Itulah dia perangai nafsu yang hina.
Ketika terjadi perjuangan kemerdekaan menentang penjajahan, ada seorang pejuang yang ditangkap Belanda, lalu dihukum dan dimasukkan ke penjara. Maka, berkatalah orang sekampungnya, “Lebih baik bodoh se-macam kita ini saja. Selamatawak dari bahaya."
Yang kedua, ialah orang yang senang sekali dipuji dalam hal yang tidak pernah dia kerjakan sendiri. Seumpama seorang pengecut yang ikut menurutkan seorang pemburu harimau. Setelah kedengaran raungan harimau di hutan lebat, pemburu tadi bersiap menanti sambil mengikang bedilnya. Akan tetapi, si pengecut tadi telah “terbang" memanjat pohon kayu yang tinggi dengan sangat ketakutan. Bedil pun meletus, harimau itu tersungkur jatuh. Karena tepat kena pada kepalanya. Setelah harimau mati, datanglah pemotret mengambil gambar kejadian bersejarah itu. Pemburu yang mahir itu tegak ke pinggir menggosok-gosok bedilnya yang telah berhasil menewaskan raja hutan yang besar dan ganas itu, sedang si pengecuttadi, dengan tidak tahu malu, berjalan cepat-cepat dengan tidak menanti undangan menuju bangkai binatang itu dan meletakkan kakinya di atas kepala bangkai harimau itu. Sehingga yang kelihatan dalam gambar, ialah yang menginjak bangkai itu dengan kakinya, sedang yang menewaskannya hanya tegak di tepi menggosok-gosok bedil.
Antara riwayat sebab turunnya ayat ini kita salinkan, yaitu satu riwayat yang disampaikan oleh Bukhari dan Muslim yang mereka terima dari Abu Said al-Khudri, bahwasanya beberapa kaum munafik telah mengelak-elak dan bersembunyi jauh-jauh ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan seruan untuk pergi berperang, berjihad fi sabilillah. Mereka merasa senang, sebab diri mereka telah terlepas dari beban turut berjihad. Akan tetapi, setelah Rasulullah pulang dari perang dengan hasil yang gemilang, mereka pun datang menemui Rasulullah ﷺ meminta maaf dan mengemukakan beberapa alasan, mengapa mereka tidak turut pergi dan tidak keberatan memakai sumpah juga. Dan ketika orang telah membicarakan kemenangan yang tercapai, dengan tak ada rasa malu, mereka pun turut berbicara. Bahwa meskipun mereka tidak pergi, mereka pun secara “diam-diam" di garis belakang turut juga membantu.
Tersebut juga dalam riwayat yang lain dirawikan oleh Ibnu farir dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud oleh ayat ini ialah orang-orang munafik yang tidak benar, dan mereka senang sekali dipuji dalam hal-hal yang'tidak pernah mereka kerjakan.
Dan ada lagi sebuah riwayat dari adh-Dhahhak yang hampir serupa dengan riwayat Ibnu Abbas itu.
Maka datanglah sambungan ayat demikian bunyinya,
“Sekali-kali janganlah engkau sangka bahwa mereka akan terlepas dari adzab. Bahkan untuk mereka adzab yang pedih."
Adzab atau siksaan yang diancamkan oleh Allah itu niscaya melalui dua masa. Pertama, ialah adzab selama hidup di dunia, karena hilangnya kepercayaan orang atas diri mereka, karena martabat jiwa mereka yang telah jatuh, hilang wibawa, dan turun gengsi. Adzab yang kedua, ialah adzab akhirat yang amat hina.
Di sini teringatlah kita akan perkataan Qatadah, imam Tabi'in yang besar—yang telah kita salinkan di atas tadi—yaitu bahwasanya ayat ini bukanlah semata-mata mengenai munafik Madinah sebagai hadits Abu Said al-Khudri yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tadi, atau munafik Yahudi sebagai yang dirawikan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas itu, malahan sangat sesuai bagi umat Muhammad yang disebut “ulama" yang ingin sangat akan pujian, padahal pekerjaan mereka hanyalah mengeluarkan fatwa guna menyenangkan hati orang-orang yang berkuasa. Dan untuk itu dia beroleh bintang-bintang penghias dada.
Berkata Sayyid Rasyid Ridha di dalam tafsirnya, “Dahulu kala raja-raja dan sultan-sultan serta penguasa-penguasa negara sengaja mendekati dan menghubungi ulama-ulama serta ahli-ahli sufi, untuk menarik mereka supaya dapat jadi penyokong kekuasaan mereka. Sedangkan ulama-ulama yang didekati penguasa itu selalu menjaga martabat dirinya. Setengah dari ulama-ulama itu memberi raja-raja tadi azimat tangkal bahaya dan setengah lagi memberi nasihat supaya raja bertakwa kepada Allah, selalu awas dan waspada menjaga perintah Allah. Lantaran nasihat itu benar-benar timbul dari hati yang ikhlas, tidak mengharap apa-apa, raja-raja itu segan kepada mereka.
Tetapi kemudian keadaan telah terbalik. Kekuasaan takwa, yaitu jiwa besar dan tidak gentar menghadapi siapa pun, karena merasa lebih dekat kepada Allah—yang mestinya ada pada ulama—bertambah lama bertambah lemah berhadapan dengan kekuasaan harta benda dan pangkat. Akhirnya orang-orang agama itulah yang berebut-rebutan pergi ke pintu gerbang istana raja-raja dan sultan-sultan. Lantaran itu, maka yang jadi munafik didekatkan duduknya dengan baginda dan yang jujur serta takwa disakiti. Dan yang lain mencapai menurut jarak dekat atau jauhnya dari salah satu kekuasaan itu, kekuasaan takwa atau kekuasaan benda," demikian Sayyid Rasyid Ridha.
Ayat ini pun memberi petunjuk kepada kita tentang salah satu kelemahan manusia, yaitu bahwasanya manusia itu bisa dimabukkan oleh pujian-pujian, sehingga lantaran mabuknya, suka' juga dia dipuji dalam hal yang
tidak pernah dia kerjakan. Itulah sebabnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib apabila dipuji orang berhadapan dibalasnya pada waktu itu dengan perkataan, “Jangan aku dipuji, aku lebih tahu keadaan diriku sendiri."
Kemudian, datanglah ayat selanjutnya, membawa insan kepada lapangan yang lebih luas, terutama peringatan kepada orang-orang keturunan Kitab, ataupun kepada “keturunan Kitab kalangan Muslim sendiri" yang sepatutnya mengerti Al-Qur'an dan Hadits,
Ayat 189
“Bagi Allah-lah Kerajaan langit dan bumi. Allah Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu."
Dipandang sepintas lalu seakan-akan tidak ada hubungan ayat-ayat ini dengan ayat-ayat yang sebelumnya, padahal ini adalah kuncinya. Apabila orang Muslim telah ingat akan kebesaran Allah, Yang Mahakuasa mutlak atas seluruh kerajaan langit dan bumi, tidaklah lagi mereka akan menjual kebenaran Allah dengan harga yang sedikit. Tidaklah lagi mereka akan membeli kekufuran dengan menjual iman sebagai harganya. Tidaklah lagi mereka akan berkejar-kejar mencari pujian duniawi yang palsu, lalu mengkhianati tugas yang terpikul di atas pundaknya sebagai penjaga agama Allah. Dan ayat ini pun sebagai peringatan halus kepada setiap pejuang keadilan dan kebenaran di atas dunia fana ini, bahwa yang menjadi tujuan hidupnya ialah menegakkan ridha Allah. Adapun segala kemegahan dunia fana yang dikejar-kejar, karena ingin pujian, baik atas perkara yang benar-benar dikerjakan atau yang sama sekali tidak pernah dikerjakan, hanyalah sesuatu ruang kosong yang tidak berisi. Mungkin dari segi kebendaan dan kemegahan dunia bisa memuaskan sementara, tetapi semuanya itu sama sajalah keadaannya dengan orang yang berlayar di lautan lepas kehabisan air minum. Lalu disauknya air laut dan diminumnya; tambah diminum tidaklah puas dahagarya, melainkan bertambah haus. Akan tetapi. kalau tujuan telah dibulatkan kepada Allah, terasalah kebesaran jiwa, karena besarnya yang dituju, dan terpandang kecillah soal-soal tetek-bengek yang kosong melompong.
Teringatlah kita akan orang-orang yang berduyun-duyun mendekati seorang penguasa negara yang zalim dan tirani. Setiap orang yang mendekatinya akan diberinya bintang-bintang baiduri bertatahkan ratna mutumanikam, yang mereka pampangkan di mana-mana pada pertemuan umum. Beberapa masa kemudian penguasa yang zalim itu jatuh dari kekuasaannya, maka orang-orang yang berhias dadanya dengan bintang-bintang itu menjadi malu memakainya, sebab bintang-bintang itu adalah tanda bahwa dia dahulu adalah seorang penjual pendirian atau penjilat si zalim. Akan tetapi, orang yang imannya teguh kepada Allah, Tuhan Yang Mahakuasa atas kerajaan langit dan bumi, merasa tenang menghadapi segala perubahan keadaan, bahkan merasa bersyukur karena dia merasa tidak pernah kehilangan kehormatan di sisi Allah Yang Mahakuasa.