Ayat
Terjemahan Per Kata
أَفَمَنِ
apakah orang yang
ٱتَّبَعَ
mengikuti
رِضۡوَٰنَ
keridhaan
ٱللَّهِ
Allah
كَمَنۢ
sama seperti orang
بَآءَ
(ia) kembali
بِسَخَطٖ
dengan kemurkaan/kemarahan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
وَمَأۡوَىٰهُ
dan tempatnya
جَهَنَّمُۖ
neraka jahanam
وَبِئۡسَ
dan seburuk-buruk
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
أَفَمَنِ
apakah orang yang
ٱتَّبَعَ
mengikuti
رِضۡوَٰنَ
keridhaan
ٱللَّهِ
Allah
كَمَنۢ
sama seperti orang
بَآءَ
(ia) kembali
بِسَخَطٖ
dengan kemurkaan/kemarahan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
وَمَأۡوَىٰهُ
dan tempatnya
جَهَنَّمُۖ
neraka jahanam
وَبِئۡسَ
dan seburuk-buruk
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
Terjemahan
Apakah orang yang mengikuti (jalan) rida Allah sama dengan orang yang kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya adalah (neraka) Jahanam? Itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Tafsir
(Apakah orang yang mengikuti keridaan Allah) lalu ia taat dan tak berkhianat dalam soal rampasan perang (akan sama dengan orang yang kembali dengan kemurkaan dari Allah) karena perbuatan maksiat dan kecurangannya? (Tempatnya ialah neraka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali) jawabannya tentu saja tidak sama.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 159-164
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu mampu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari mu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.
Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah yang dapat menolong kalian selain dari Allah setelah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.
Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.
Maka apakah orang yang mengikuti keridaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah neraka Jahanam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Ayat 159
Allah ﷻ berfirman kepada rasul-Nya seraya menyebutkan anugerah yang telah dilimpahkan-Nya kepada dia, juga kepada orang-orang mukmin; yaitu Allah telah membuat hatinya lemah lembut kepada umatnya yang akibatnya mereka menaati perintahnya dan menjauhi larangannya, Allah juga membuat tutur katanya terasa menyejukkan hati mereka.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (Ali Imran: 159)
Yakni sikapmu yang lemah lembut terhadap mereka, tiada lain hal itu dijadikan oleh Allah buatmu sebagai rahmat buat dirimu dan juga buat mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu mampu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (Ali Imran: 159) Yaitu berkat rahmat Allah-lah kamu dapat bersikap lemah lembut terhadap mereka. Huruf ma merupakan silah; orang-orang Arab biasa menghubungkannya dengan isim makrifat, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: “Maka disebabkan mereka melanggar perjanjian itu.” (An-Nisa: 155) Dapat pula dihubungkan dengan isim nakirah, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: “Dalam sedikit waktu.” (Al-Muminun: 40)
Demikian pula dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu mampu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (Ali Imran: 159) Yakni karena rahmat dari Allah.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa begitulah akhlak Nabi Muhammad ﷺ yang diutus oleh Allah, dengan menyandang akhlak ini. Makna ayat ini mirip dengan makna ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ziyad, telah menceritakan kepadaku Abu Rasyid Al-Harrani yang mengatakan bahwa Abu Umamah Al-Bahili pernah memegang tangannya, lalu bercerita bahwa Rasulullah ﷺ pernah memegang tangannya, kemudian bersabda: “Wahai Abu Umamah, sesungguhnya termasuk orang-orang mukmin ialah orang yang dapat melembutkan hatinya.”
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari kamu." (Ali Imran: 159)
Al-fazzu artinya keras, tetapi makna yang dimaksud ialah keras dan kasar dalam berbicara, karena dalam firman selanjutnya disebutkan:
"Lagi berhati kasar." (Ali Imran: 159)
Dengan kata lain, sekiranya kamu kasar dalam berbicara dan berkeras hati dalam menghadapi mereka, niscaya mereka akan bubar darimu dan meninggalkan kamu. Akan tetapi, Allah menghimpun mereka di sekelilingmu dan membuat hatimu lemah lembut terhadap mereka sehingga mereka menyukaimu, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Amr: "Sesungguhnya aku telah melihat di dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasulullah ﷺ, bahwa beliau tidak keras, tidak kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar, serta tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan lagi, melainkan memaafkan dan merelakan."
Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail At-At-Tirmidzi mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Ubaid, telah menceritakan ke-pada kami Ammar ibnu Abdur Rahman, dari Al-Mas'udi, dari Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar bersikap lemah lembut terhadap manusia sebagaimana Dia memerintahkan kepadaku untuk mengerjakan hal-hal yang fardu." Hadits ini berpredikat garib (aneh).
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
"Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159)
Karena itulah Rasulullah ﷺ selalu bermusyawarah dengan mereka apabila menghadapi suatu masalah untuk menyenangkan hati mereka, agar menjadi pendorong bagi mereka untuk melaksanakannya. Seperti musyawarah yang beliau lakukan dengan mereka mengenai Perang Badar, sehubungan dengan hal mencegat iring-iringan kafilah kaum musyrik. Maka mereka mengatakan: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau membawa kami ke lautan, niscaya kami tempuh laut itu bersamamu; dan seandainya engkau membawa kami berjalan ke Barkil Gimad (ujung dunia), niscaya kami mau berjalan bersamamu. Dan kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh kaum Musa kepada Musa, 'Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya tetap duduk di sini,' melainkan kami katakan, 'Pergilah dan kami selalu bersamamu, di hadapanmu, di sebelah kananmu, dan di sebelah kirimu dalam keadaan siap bertempur'."
Nabi ﷺ mengajak mereka bermusyawarah ketika hendak menentukan posisi beliau saat itu, pada akhirnya Al-Munzir ibnu Amr mengisyaratkan (mengusulkan) agar Nabi ﷺ berada di hadapan pasukan kaum muslim.
Nabi ﷺ mengajak mereka bermusyawarah sebelum Perang Uhud, apakah beliau tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh. Maka sebagian besar dari mereka mengusulkan agar semuanya berangkat menghadapi mereka. Lalu Nabi ﷺ berangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh-musuhnya berada.
Nabi ﷺ mengajak mereka bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Usul itu ditolak oleh dua orang Sa'd, yaitu Sa'd ibnu Mu'az dan Sa'd ibnu Ubadah. Akhirnya Nabi ﷺ menuruti pendapat mereka.
Nabi ﷺ mengajak mereka bermusyawarah pula dalam Perjanjian Hudaibiyah, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar As-Siddiq berkata, "Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan kita datang untuk melakukan ibadah umrah." Kemudian Nabi ﷺ memperkenankan pendapat Abu Bakar itu.
Dalam peristiwa haditsul ifki (berita bohong), Nabi ﷺ bersabda: "Wahai kaum muslim, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku tentang suatu kaum yang telah mencemarkan keluargaku dan menuduh mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, aku belum pernah melihat suatu keburukan pun pada diri keluargaku, lalu dengan siapakah mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, tiada yang aku ketahui (pada diri keluargaku) kecuali hanya kebaikan belaka. Lalu beliau meminta pendapat kepada sahabat Ali dan sahabat Usamah tentang menceraikan Siti Aisyah.
Nabi ﷺ bermusyawarah pula dengan mereka dalam semua peperangannya, juga dalam masalah-masalah lainnya. Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai apakah musyawarah bagi Nabi ﷺ merupakan hal yang wajib ataukah hanya dianjurkan (disunatkan) saja untuk menyenangkan hati mereka (para sahabatnya)? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad ibnu Muhammad Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub Al-Allaf di Mesir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: "Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159) Yang dimaksud dengan mereka ialah sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a. Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar dan Umar. Keduanya adalah penolong Rasulullah ﷺ dan sebagai wazir (patih)nya serta sekaligus sebagai kedua orang tua kaum muslim.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ganam, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Abu Bakar dan Umar: "Seandainya kamu berdua berkumpul dalam suatu musyawarah, aku tidak akan berbeda pendapat denganmu."
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui sahabat Ali ibnu Abu Thalib yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai azam (tekad bulat). Maka beliau bersabda: "Meminta pendapat dari ahlur rayi (orang yang mengambil keputusan berdasarkan dengan akal), kemudian mengikuti pendapat mereka."
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, dari Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: "Penasihat adalah orang yang dipercaya."
Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya pula melalui hadits Abdul Malik dengan konteks yang lebih panjang daripada hadits di atas, dan dinilai hasan oleh Imam An-Nasai.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, dari Syarik, dari Al-A'masy, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Penasihat adalah orang yang dipercaya." Imam Ibnu Majah menyendiri dalam periwayatan hadits ini dengan sanad tersebut. Dia mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah dan Ali ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila seseorang di antara kalian meminta nasihat kepada saudaranya, maka hendaklah saudaranya itu memberikan nasihat (saran) kepadanya." Hadits ini pun hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendiri.
Firman Allah ﷻ: "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah." (Ali Imran: 159)
Yakni apabila engkau bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu, dan kamu telah membulatkan tekadmu, hendaklah kamu bertawakal kepada Allah dalam urusan itu. "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (Ali Imran: 159)
Ayat 160
Firman Allah ﷻ: “Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada orang yang mampu mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (Ali Imran: 160)
Ayat ini seperti yang telah disebutkan di atas sama maknanya dengan firman-Nya:”Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 126)
Kemudian Allah ﷻ memerintahkan kepada mereka untuk bertawakal kepada-Nya melalui firman-Nya: “Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (Ali Imran: 160)
Ayat 161
Firman Allah ﷻ: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161)
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang telah mengatakan bahwa tidak layak bagi seorang nabi berbuat khianat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Musayyab ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Abi Ishaq Al-Fazzari, dari Sufyan ibnu Khasif, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka kehilangan sebuah qatifah (permadani) dalam Perang Badar, lalu mereka berkata, "Barangkali Rasulullah ﷺ telah mengambilnya." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161) Yang dimaksud dengan al-ghulul ialah khianat atau korupsi.
Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Khasif, telah menceritakan kepada kami Miqsam, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa firman-Nya berikut ini: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161) diturunkan berkenaan dengan qatifah merah yang hilang dalam Perang Badar. Maka sebagian orang mengatakan bahwa barangkali Rasulullah ﷺ mengambilnya, hingga ramailah orang-orang membicarakan hal tersebut. Karena itu, Allah menurunkan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu.” (Ali Imran: 161)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi secara bersamaan dari Qutaibah, dari Abdul Wahid ibnu Ziyad dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Sebagian di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Khasif, dari Miqsam, yakni secara mursal.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui jalur Abu Amr ibnul Ala, dari Mujahid dan Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang munafik menuduh Rasulullah ﷺ mengambil sesuatu yang hilang. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161)
Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur hal yang sama dengan hadits di atas dari Ibnu Abbas.
Ayat ini membersihkan diri Nabi ﷺ dari semua segi perbuatan khianat dalam menunaikan amanat dan pembagian ganimah serta urusan-urusan lainnya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161) Misalnya beliau memberikan bagian kepada sebagian pasukan, sedangkan sebagian lainnya tidak diberi bagian. Hal yang sama dikatakan pula oleh Adh-Dhahhak.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161) Yang dimaksud dengan khianat di sini menurutnya misalnya ialah beliau meninggalkan sebagian dari wahyu yang diturunkan kepadanya dan tidak menyampaikannya kepada umat.
Al-Hasan Al-Basri, Tawus, Mujahid, dan Adh-Dhahhak membacanya dengan memakai huruf ya yang di-dammah-kan, sehingga artinya menjadi seperti berikut: “Tidak mungkin seorang nabi dikhianati.”
Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan dalam Perang Badar, yang saat itu sebagian dari sahabat ada yang berbuat korupsi dalam pembagian ghanimah. Ibnu Jarir meriwayatkan dari keduanya (Qatadah dan Ar-Rabi ibnu Anas). Ibnu Jarir meriwayatkan dari seorang di antara mereka, bahwa ia menafsirkan qiraat (bacaan) ini dengan pengertian dituduh berbuat khianat.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.” (Ali Imran: 161)
Ungkapan ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang kuat; dan sunnah pun menyebutkan larangan melakukan hal tersebut dalam beraneka ragam hadits.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Zubair (yakni Ibnu Muhammad), dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Khianat yang paling besar di sisi Allah ialah sehasta tanah; kalian menjumpai dua orang lelaki bertetangga tanah miliknya atau rumah miliknya, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta dari milik temannya. Jikalau ia mengambilnya, niscaya hal itu akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat nanti.”
Hadits yang lain. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Ibnu Hubairah dan Al-Haris ibnu Yazid, dari Abdur Rahman ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Mustaurid mengatakan bahwa ia telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa memegang kekuasaan bagi kami untuk suatu pekerjaan, sedangkan dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggal; atau belum mempunyai istri maka hendaklah ia segera kawin; atau belum mempunyai pelayan, maka hendaklah ia mengambil pelayan; atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barang siapa memperoleh sesuatu selain dari hal tersebut, berarti dia adalah orang yang khianat (korupsi).” Demikian menurut lafal yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui jalur lain dan dengan konteks yang lain pula. Dia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Marwan Ar-Ruqqi, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Al-Haris ibnu Yazid, dari Jubair ibnu Nafir, dari Al-Mustaurid ibnu Syaddad yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ”Barang siapa bekerja bagi (kepentingan) kita, hendaklah ia mencari istri; dan jika ia belum mempunyai pelayan, hendaklah ia mencari seorang pelayan; dan jika masih belum punya rumah, hendaklah ia mencari rumah.”
Al-Mustaurid ibnu Syaddad mengatakan pula, sahabat Abu Bakar pernah mengatakan bahwa ia pernah mendapat berita bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang mengambil selain dari itu, berarti dia adalah orang yang korupsi atau pencuri.” Guru kami (Al-Hafidzh Al-Mazzi) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Ja'far ibnu Muhammad Al-Faryabi dari Musa ibnu Marwan; hanya ia menyebutkan dari Abdur Rahman ibnu Nafir, bukan ibnu Jubair; hal ini lebih mendekati kebenaran.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Dia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qummi, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Humaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang di hari kiamat seraya memikul seekor kambing yang mengembik, ia berseru, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad (tolonglah daku)." Maka aku katakan, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, aku telah menyampaikan (risalahku) kepadamu." Dan sungguh aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang pada hari kiamat seraya memikul seekor unta yang bersuara; ia berkata, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad." Maka aku jawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang di hari kiamat seraya memikul seekor kuda yang meringkik; ia berkata, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad!" Maka kujawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang pada hari kiamat seraya memikul suatu bagian berupa kulit, lalu ia berseru, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad." Maka kujawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para pemilik kitab-kitab sunnah.
Hadits yang lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Az-Zuhri yang pernah mendengar Urwah mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Humaid As-Sa'idi yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengangkat seorang lelaki dari kalangan Bani Azd yang dikenal dengan nama Ibnul Lutbiyyah sebagai amil (pemungut zakat). Lalu ia datang dan mengatakan, "Ini buat kalian, dan ini yang dihadiahkan kepadaku." Maka Rasulullah ﷺ berdiri di atas mimbarnya, lalu bersabda: “Apakah gerangan yang dilakukan oleh seorang amil yang telah kita kirimkan untuk menunaikan suatu tugas, lalu ia mengatakan, ‘Ini buat kalian, dan yang ini yang dihadiahkan kepadaku’? Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu menunggu apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidak sekali-kali seseorang di antara kalian mengambil sesuatu darinya melainkan ia datang di hari kiamat seraya memikulnya di atas pundaknya. Jika yang diambil itu berupa unta, maka unta itu mengeluarkan suaranya, atau berupa sapi, maka melenguh; atau berupa kambing, maka mengembik.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi hingga kami melihat kulit ketiaknya, lalu bersabda: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan.” sebanyak tiga kali.
Hisyam ibnu Urwah menambahkan dalam riwayatnya bahwa Abu Humaid mengatakan, "Saat itu aku melihat beliau dengan kedua mataku sendiri dan mendengar sabdanya dengan kedua telingaku. Tanyakanlah oleh kalian kepada Zaid ibnu Sabit."
Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melalui Sufyan ibnu Uyaynah. Pada lafal yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari disebutkan, "Dan tanyakanlah oleh kalian kepada Zaid ibnu Sabit."
Diriwayatkan pula melalui berbagai jalur oleh Az-Zuhri, dan melalui banyak jalur dari Hisyam ibnu Urwah, keduanya meriwayatkan hadits ini dari Urwah dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Abu Humaid, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Hadiah-hadiah yang diterima oleh para amil (petugas) adalah gulul (penggelapan).”
Hadits ini termasuk hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri, predikat sanadnya dha’if, seakan-akan hadits ini merupakan ringkasan dari sebelumnya.
Hadits lain diriwayatkan oleh Abu Isa At-At-Tirmidzi di dalam Kitabul Ahkam. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Daud ibnu Yazid Al-Audi, dari Al-Mugirah ibnu Syibl, dari Qais ibnu Abu Hazim, dari Mu'az ibnu Jabal yang menceritakan: Rasulullah ﷺ mengutusku ke negeri Yaman (untuk memungut zakat). Ketika aku telah berangkat, beliau ﷺ mengirimkan utusannya di belakangku. Maka aku kembali, dan beliau bersabda, "Tahukah kamu, mengapa aku memanggilmu kembali? Jangan sekali-kali kamu mengambil sesuatu tanpa seizinku, karena sesungguhnya hal itu adalah gulul. Barang siapa yang berkhianat (gulul) dalam urusan ini, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. Karena hal inilah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah menuju tempat tugasmu."
Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya dari jalur ini. Dalam bab yang sama diriwayatkan pula dari Addi ibnu Umairah, Buraidah, Al-Mustaurid ibnu Syaddad, Abu Humaid, dan Ibnu Umar.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Abu Hayyan Yahya ibnu Sa'id At-Taimi, dari Abu Dzar'ah, dari Ibnu Umar. Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Abu Hurairah, bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ berdiri di hadapan kami, lalu menyebutkan perihal gulul yang dipandang oleh beliau sebagai suatu kesalahan besar dan merupakan perkara yang berat. Kemudian beliau bersabda: Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang di hari kiamat, sedangkan di atas pundaknya terpikul unta yang mengeluarkan suaranya. Lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku jawab, "Aku tidak mempunyai suatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang pada hari kiamat, sedangkan di atas pundaknya terpikulkan seekor kuda yang meringkik. Lalu ia berkata, "Ya Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku katakan, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang pada hari kiamat, sedangkan pada pundaknya terpikul sejumlah harta benda, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku jawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu."
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini melalui Abu Hayyan dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ismail ibnu Abu Khalid, telah menceritakan kepadaku Qais, dari Addi ibnu Umairah Al-Kindi yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Wahai manusia, barang siapa di antara kalian yang menangani suatu pekerjaan untuk kami, lalu ia menyembunyikan dari kami sebatang jarum dan selebihnya dari pekerjaan itu, maka hal itu merupakan gulul (penggelapan) yang kelak di hari kiamat dia akan datang membawanya.” Maka berdirilah seorang lelaki yang hitam dari kalangan Anshar yang menurut Mujahid dia adalah Sa'd ibnu Ubadah, seakan-akan dia (perawi) melihatnya. Lalu lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, terimalah dariku tugasmu." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah itu?" Si lelaki itu menjawab, "Aku pernah mendengarmu bersabda anu dan anu, dan sekarang aku akan mengatakannya, 'Barang siapa yang kami angkat menjadi amil untuk menangani suatu pekerjaan, hendaklah ia menyerahkan seluruh hasilnya, baik banyak maupun sedikit. Maka apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu, ia boleh menerimanya; dan apa yang tidak diberikan kepadanya dari hasil itu, hendaklah ia menahan dirinya'."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Abu Dawud melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Abu Ishaq Al-Fazzari, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Manbuz seorang lelaki dari keluarga Abu Rafi', dari Al-Fadl ibnu Abdullah ibnu Abu Rafi", dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ sehabis shalat Ashar adakalanya pergi menuju tempat Bani Abdul Asyhal, lalu beliau berbincang-bincang dengan mereka hingga waktu magrib tiba. Abu Rafi' mengatakan, ketika Rasulullah ﷺ sedang berjalan dengan langkah yang cepat untuk melakukan shalat Magrib, beliau me-makai jalan yang dilewati Baqi', lalu beliau bersabda, "Celakalah kamu, celakalah kamu," lalu beliau menempel pada bajuku hingga aku mundur, dan aku menduga yang beliau maksud diriku. Tetapi beliau bersabda, "Mengapa kamu?" Aku menjawab, "Apakah telah terjadi sesuatu pada dirimu, wahai Rasulullah?" Beliau bertanya, "Mengapa demikian?" Abu Rafi' berkata, "Sesungguhnya tadi engkau berkata kepadaku." Nabi ﷺ menjawab: “Tidak, tetapi ini adalah kuburan si Fulan. Dia pernah kutugaskan untuk memungut zakat di kalangan Bani Fulan, dan ternyata ia menggelapkan sebuah baju namirah; kini dirinya memakai baju yang serupa dari api neraka.” Hadits lain diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Salim Al-Kufi Al-Mafluj orang yang tsiqah, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Aswad, dari Al-Qasim ibnul Walid, dari Abu Sadiq, dari Rabi'ah ibnu Najiyah, dari Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mencabut sehelai bulu dari punggung unta hasil ganimah, kemudian bersabda: “Tiada hak bagiku dalam harta ini kecuali seperti hak yang diperoleh seseorang di antara kalian. Waspadalah kalian terhadap gulul (pengkhianatan dalam harta rampasan perang), karena sesungguhnya gulul itu merupakan kehinaan bagi pelakunya kelak di hari kiamat. Tunaikanlah benang dan jarummu serta barang yang lebih besar dari itu, dan berjihadlah kalian di jalan Allah, baik terhadap kaum kerabat atau orang lain, baik sedang berada di tempat maupun berada dalam perjalanan. Karena sesungguhnya jihad itu merupakan salah satu di antara pintu-pintu surga. Sesungguhnya jihad itu, dengan melaluinya Allah benar-benar menyelamatkan (pelakunya) dari kesedihan dan kesusahan. Dan tegakkanlah hukuman-hukuman had Allah, baik terhadap kaum kerabat ataupun orang lain, dan jangan kalian mundur dalam berjuang membela agama Allah hanya karena celaan orang yang mencela.”
Sebagian dari hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, dari Al-Mafluj dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:”Kembalikanlah benang dan jarum, karena sesungguhnya gulul itu merupakan keaiban, neraka, dan kemaluan bagi pelakunya kelak di hari kiamat.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mutarrif, dari Abul Jahm, dari Abu Mas'ud Al-Ansari yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutusnya sebagai amil zakat, kemudian beliau berpesan melalui sabdanya: “Berangkatlah engkau, wahai Abu Mas'ud. Semoga aku tidak menjumpai engkau di hari kiamat nanti datang, sedangkan di atas punggungmu terdapat seekor unta dari ternak unta zakat yang mengeluarkan suaranya hasil dari penggelapanmu.” Ibnu Mas'ud berkata, "Kalau demikian, aku tidak akan berangkat." Nabi ﷺ bersabda, "Kalau demikian maumu aku tidak memaksamu." Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
Hadits lain diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Aban, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ yang bersabda: Sesungguhnya sebuah batu dilemparkan ke dalam neraka Jahanam, maka batu itu meluncur ke bawah selama tujuh puluh musim gugur (yakni tujuh puluh tahun), tetapi masih belum sampai ke dasarnya. Dan didatangkan harta yang digelapkan, lalu dilemparkan (ke neraka Jahanam) bersama batu itu. Kemudian dikatakan kepada yang menggelapkannya, "Ambillah harta itu." Itulah yang dimaksud di dalam firman-Nya: “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu.” (Ali Imran: 161)
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dinyatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepadaku Sammak Al-Hanafi Abu Zamil, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Umar ibnul Khattab bahwa setelah Perang Khaibar berhenti, ada segolongan sahabat yang datang menghadap Rasulullah ﷺ. Lalu mereka berkata, "Si Fulan mati syahid dan si Anu mati syahid," hingga sebutan mereka sampai kepada seorang lelaki yang dikatakan oleh mereka bahwa si Fulan mati syahid. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak demikian, sesungguhnya aku melihatnya berada di dalam neraka karena baju burdah atau baju aba'ah yang digelapkannya.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Pergilah kamu dan serukanlah kepada orang-orang bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin!” Umar ibnul Khattab melanjutkan kisahnya, "Maka aku pergi dan kuserukan (kepada mereka) bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam At-Tirmidzi melalui hadits Ikrimah ibnu Ammar dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Hadits lain diriwayatkan dari Umar Ibnu Jarir yang mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, bahwa Musa ibnu Jubair pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnul Habbab Al-Ansari pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Unais pernah menceritakan kepadanya, bahwa pada suatu hari Abdullah Ibnu Unais dan Umar Ibnul Khattab mengenang kembali saat permulaan diwajibkan zakat. Lalu Umar berkata, "Tidakkah kamu pernah mendengar sabda Rasulullah ﷺ ketika menuturkan masalah gulul (pengkhianatan atau penggelapan) harta zakat, yaitu: 'Barang siapa yang menggelapkan seekor unta atau seekor kambing dari harta zakat, maka sesungguhnya kelak di hari kiamat ia bakal menggendongnya'?" Maka Abdullah ibnu Unais menjawab, "Memang aku pernah mendengarnya."
Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini melalui Amr ibnu Siwar, dari Abdullah ibnu Wahb dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengutus sahabat Sa'd ibnu Ubadah untuk memungut zakat. Untuk itu beliau ﷺ bersabda, "Wahai Sa'd, hati-hatilah kamu, jangan sampai kamu datang pada hari kiamat nanti dengan membawa seekor unta yang bersuara." Sa'd menjawab, "Aku tidak akan mengambilnya dan tidak akan mendatangkannya." Maka Nabi ﷺ tidak jadi mengutusnya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur Ubaidillah, dari Nafi' dengan lafal yang serupa.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Muhammad ibnu Zaidah, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa ia berada di negeri Romawi bersama Maslamah ibnu Abdul Malik. Ketika Maslamah membuka barang-barang miliknya, maka ia menjumpai pada barangnya terdapat hasil gulul. Lalu Maslamah bertanya kepada Salim ibnu Abdullah mengenai hal tersebut. Kemudian Salim ibnu Abdullah mengatakan bahwa ayahnya telah menceritakan sebuah hadits kepadanya dari Umar ibnul Khattab bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang kalian jumpai pada barangnya hasil gulul, maka bakarlah barang itu.” Perawi menduga bahwa Umar ibnul Khattab mengatakan “pukullah dia oleh kalian.” Salim ibnu Abdullah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Maslamah mengeluarkan barang-barangnya di pasar, dan ia menemukan sebuah mushaf di dalamnya. Ketika ia menanyakan hal tersebut kepada Salim, maka Salim berkata, "Juallah mushaf itu dan sedekahkanlah hasilnya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ali ibnul Madini, Imam Abu Dawud, dan Imam At-Tirmidzi melalui hadits Abdul Aziz ibnu Muhammad Ad-Darawardi.
Imam Abu Dawud menambahkan Abu Ishaq Al-Fazzari yang keduanya meriwayatkan hadits ini dari Abu Waqid Al-Laisi As-Sagir (yaitu Saleh ibnu Muhammad ibnu Zaidah) dengan lafal yang sama. Menurut penilaian Ali ibnul Madini dan Imam Al-Bukhari serta lain-lainnya, hadits ini munkar, yakni yang melalui riwayat Abi Waqid. Imam Daruqutni mengatakan bahwa hal ini memang shahih (benar) bila dikatakan sebagai fatwa Salim semata. Tetapi ada orang yang berpegang sesuai dengan pengertian hadits ini, seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dan teman-temannya yang mengikuti jejaknya.
Al-Umawi meriwayatkannya dari Mu'awiyah, dari Abu Ishaq, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa hukuman orang yang berbuat gulul, semua barang bawaannya dikeluarkan, kemudian dibakar berikut hasil gulul-nya. Da meriwayatkannya pula dari Mu'awiyah, dari Abu Ishaq, dari Usman ibnu ‘Atha’, dari ayahnya, dari Ali yang mengatakan bahwa orang yang berbuat gulul semua barang bawaannya dikumpulkan, kemudian dibakar dan dihukum dera di bawah hukuman had budak, serta tidak boleh mendapat bagian (ganimah)nya.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan jumhur ulama; mereka mengatakan bahwa barang bawaan si pelaku gulul tidak dibakar, melainkan ia dikenai hukuman ta'zir yang sesuai.
Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa adakalanya Rasulullah ﷺ melarang menyalatkan jenazah orang yang berbuat gulul, tetapi harta benda miliknya tidak dibakar.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Jubair ibnu Malik yang menceritakan bahwa pernah diperintahkan agar semua mushaf dikumpulkan untuk diadakan perbaikan, lalu ibnu Mas'ud mengatakan: “Barang siapa di antara kalian yang mampu menggelapkan sebuah mushaf, hendaklah ia menggelapkannya. Karena sesungguhnya barang siapa yang menggelapkan sesuatu, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan membawanya.” Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan, "Aku telah membaca dari lisan Rasulullah ﷺ sebanyak tujuh puluh kali, maka apakah aku tega meninggalkan apa yang telah kuambil dari lisan Rasulullah ﷺ?"
Waki' meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Syarik, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Ibrahim, ketika diperintahkan agar semua mushaf dibakar, maka sahabat ibnu Mas'ud berkata, "Wahai manusia, gelapkanlah mushaf. Karena sesungguhnya barang siapa yang berbuat gulul, maka kelak di hari kiamat ia akan datang dengan membawa barang yang digelapkannya. Sebaik-baik barang yang digelapkan ialah mushaf, kelak seseorang di antara kalian akan datang dengan membawanya di hari kiamat."
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila memperoleh ganimah, beliau memerintahkan kepada Bilal untuk menyerukan kepada orang-orang agar mengumpulkan semua ganimahnya, lalu beliau membagi lima harta rampasan tersebut, sesudah itu baru beliau membagi-bagikannya. Kemudian pada suatu hari datanglah seorang lelaki sesudah Bilal berseru (atas perintah Nabi ﷺ) seraya membawa seikat kain bulu, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, inilah yang kami peroleh dari ganimah." Nabi ﷺ bersabda, "Apakah engkau mendengar seruan Bilal?" Hal ini beliau katakan sebanyak tiga kali. Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bertanya, "Apa yang menghambatmu untuk datang?" Lalu lelaki itu meminta maaf kepada Nabi ﷺ. Tetapi Nabi ﷺ bersabda: “Tidak, engkau akan datang di hari kiamat dengan membawanya. Maka aku tidak akan menerimanya darimu.”
Ayat 162
Firman Allah ﷻ: “Apakah orang yang mengikuti keridaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah neraka Jahanam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Ali Imran: 162)
Maksudnya, tidak sama antara orang yang mengikuti keridaan Allah dengan mengerjakan syariat yang diperintahkan-Nya yang karena itu ia berhak mendapat rida Allah dan pahala-Nya yang berlimpah dan dilindungi dari siksaan-Nya dengan orang yang berhak mendapat murka Allah dan murka Allah selalu menyertainya hingga ia tidak dapat menghindar lagi dari murka-Nya, tempat baginya kelak di hari kiamat adalah neraka Jahanam, sedangkan neraka Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat ini mempunyai persamaan yang banyak di dalam Al-Qur'anul Karim, antara lain adalah firman-Nya:
“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta.” (Ar-Ra'd: 19)
“Maka apakah orang yang kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga), lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi.”(Al-Qashash: 61) hingga akhir ayat.
Ayat 163
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah.” (Ali Imran: 163)
Al-Hasan Al-Basri dan Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah ahli kebaikan dan ahli keburukan mempunyai kedudukan yang bertingkat-tingkat.
Menurut Abu Ubaidah dan Al-Kisai, makna derajat ialah tempat-tempat tinggal, yakni tempat tinggal mereka berbeda-beda; begitu pula kedudukan mereka di dalam surga dan yang berada di dalam neraka. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan masing-masing orang memperoleh derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (Al-An'am: 132)
Karena itulah maka dalam ayat selanjutnya disebutkan:
“Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Ali Imran: 163)
Dengan kata lain, Allah pasti akan memenuhi balasannya, Dia tidak akan berbuat zalim terhadap mereka barang satu kebaikan pun, dan Dia tidak akan menambahkan kepada mereka satu keburukan pun, melainkan Dia membalas masing-masing diri sesuai dengan amal perbuatan yang telah dikerjakannya.
Ayat 164
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (Ali Imran: 164)
Yakni dari bangsa mereka sendiri agar mereka dapat berkomunikasi dengannya, bertanya kepadanya, duduk semajelis dengannya, dan menimba ilmu darinya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
“Dan di amara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (Ar-Rum: 21), hingga akhir ayat.
“Katakanlah, ‘Aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa’.” (Fussilat: 6), hingga akhir ayat.
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kalian, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (seperti manusia biasa) (Al-Furqan: 20)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109)
Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepada kalian rasul-rasul dari golongan kalian sendiri.” (Al-An'am: 130)
Hal ini jelas lebih sangat diharapkan bila seorang rasul yang diutus kepada mereka berasal dari kalangan mereka sendiri, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengannya dan merujuk kepadanya dalam memahami kalam Ilahi yang melewatinya.
Karena itulah maka dalam firman berikutnya disebutkan:
“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah.” (Ali Imran: 164)
Yang dimaksud ialah Al-Qur'an.
“Dan membersihkan (jiwa) mereka.” (Ali Imran: 164)
Yakni yang memerintahkan mereka kepada kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, agar jiwa mereka menjadi bersih dan suci dari kotoran dan najis yang dahulu di masa mereka musyrik dan Jahiliah selalu mereka lakukan.
“Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali Imran: 164) Yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.
“Dan sesungguhnya sebelum itu.” (Ali Imran: 164)
Maksudnya, sebelum kedatangan Rasul ﷺ.
“Mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)
Yakni benar-benar dalam kesesatan dan kebodohan yang nyata. Hal ini tampak jelas bagi setiap orang.
Di akhirat tidak ada sedikit pun perbuatan aniaya. Semua akan mendapat balasan amal perbuatannya secara adil. Maka adakah orang yang mengikuti keridaan Allah, sungguh-sungguh menjalankan perintahNya dan menjauhi larangan-Nya, sama dengan orang yang kembali dengan membawa kemurkaan besar dari Allah dan tempatnya di neraka Jahanam' Pasti tidak sama. Neraka Jahanam itulah seburuk-buruk tempat kembali Kedudukan mereka itu, yakni orang yang mengikuti keridaan Allah dan menghuni surga bertingkat-tingkat di sisi Allah, sesuai dengan tingkat ketakwaan mereka, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan, ucapkan, dan sembunyikan.
Orang yang mencari keridaan Allah dengan beribadah dan beramal saleh tidak sama dengan orang yang memperoleh murka Allah, karena berbuat maksiat, melanggar larangan-larangan-Nya dan meninggalkan kewajibannya. Orang yang memperoleh murka Allah itu tempatnya di neraka jahanam, dan itu adalah tempat kembali yang terjelek.
Dalam Al-Qur'an banyak terdapat ayat yang dirangkaikan menyebut dua golongan yang berbeda yang memang sifat-sifat mereka berbeda dan berlawanan misalnya ayat:
Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? ... (ar-Rad/13:19).
Maka apakah sama orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya, dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi?(al-Qasas/28:61).
Kedua golongan itu masing-masing mempunyai tingkatan, karena pada hari Kiamat nanti yang merupakan hari pembalasan, kedua golongan itu akan dibalas sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Orang yang banyak berbuat baik akan tinggi tingkatannya dan orang yang banyak kejahatannya akan berada di tingkat yang paling rendah. Tingkatan golongan manusia yang tertinggi biasa disebut ar-rafiul ala, yaitu tingkat yang dicapai oleh Nabi Muhammad saw, dan yang terendah disebut ad-darkul asfal. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an bahwa manusia di sisi Allah apakah ia baik ataukah jelek, adalah bertingkat-tingkat kebaikan dan kejelekannya. Allah Maha Mengetahui akan tingkat-tingkat amal perbuatan mereka dan memberi balasan sesuai dengan amal perbuatan masing-masing.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KORUPSI
Ayat 161
“Tidaklah ada seorang Nabi pun berlaku curang"
Di dalam ayat ini, terdapat kalimat Yaghulla dan Yaghlul, yang kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata curang. Di dalam kamus Arabi, tersebut arti ghalla—yaghulhi—ghallan, yaitu seseorang mengambil barang sesuatu lalu memasukkan dengan sembunyi ke dalam kumpulan barang-barangnya yang lain. Kemudian, dipakailah kalimat ini untuk orang yang mendapat harta rampasan perang (ghanimah), lalu sebelum barang itu dibagi dengan adil oleh kepala perang, telah lebih dahulu disembunyikannya ke dalam penaruhannya. Sehingga barang itu tidak masuk dalam pembagian. Maka, samalah keadaan itu dengan mencuri. Karena menurut peraturan perang, harta rampasan itu dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu sehabis perang. Baik besar maupun kecil. Lalu oleh kepala perang barang itu dibagikan menurut adilnya, walaupun menurut kebijaksanaan beliau barang yang didapat oleh si fulan diserahkan pula kepadanya, untuk dimilikinya sendiri. Akan tetapi, yang terlebih dahulu hendaklah semuanya dijadikan hak Baitul Maal. Maka, orang yang bersikap curang main ghalul itu dipandang sebagai orang yang berkhianat.
Ada diceritakan bahwasanya kaum Bani Israil suatu ketika berperang di bawah pimpinan Nabi Musa a.s.. Ada antara mereka yang menyembunyikan rampasan itu ke dalam ikat pinggangnya, karena takut kelak tidak dibagikan kepadanya. Seketika Nabi Musa menanyakan nama-nama barang-barang itu banyaklah yang menyembunyikan. Lalu Nabi Musa berseru memanggil segala barang yang dicuri atau dicurangi itu. Maka, berloncatan barang-barang tersebut dari ikat pinggang si curang itu.
Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa seorang Nabi tidaklah akan berlaku sehina itu. Terutama Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Barang rampasan dikumpulkan dan beliau bagi dengan adil kepada lima bagian. Yang empat perlima untuk segenap pejuang menurut pembagiannya yang adil, sekian untuk yang berjalan kaki, dan sekian untuk yang berkuda. Adapun tinggal seperlima dinamai, “Untuk Allah dan Rasul-Nya." (surah al-Anfaal ayat 41); dan ditegaskan juga untuk keluarga terdekat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang telantar, dalam perjalanan. Sebagaimana yang akan kita tafsirkan kelak pada waktunya. Maka, sampai pun kepada barang rampasan yang beliau berhak mengambilnya dari yang seperlima itu, tidaklah beliau ambil dengan sembunyi. Ayat ini menegaskan bahwa kelakuan curang seperti demikian bukanlah perangai seorang nabi. Tegasnya, bukanlah perangai Nabi Muhammad ﷺ.
Ayat ini jelas sekali penangkis serangan atau salah terima atau fitnah yang dilontarkan oleh orang yang tidak jujur terhadap Rasul. Ada berbagai riwayat tentang sebab turunnya ayat ini.
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun karena ketika terjadi Peperangan Badar setelah harta rampasan dikumpulkan, ternyata hilang sehelai khathifah, yaitu sehelai selendang bulu (wol) berwarna merah yang bisa dipergunakan penutup kepala pada musim dingin. Maka, ada yang berkata, “Mungkin Rasulullah sendiri yang mengambil untuk beliau." Orang ini berkata tidaklah dengan maksud menuduh atau memburukkan, melainkan merasa bahwa jika beliau yang mengambil, itu adalah hak beliau. Akan tetapi, riwayat ini didhaifkan oleh setengah ahli tafsir, sebab riwayat Ibnu Abbas ini mengenai Perang Uhud.
Tetapi menurut riwayat yang dikuatkan oleh al-Kalby dan Muqatil, memang sebab turun ayat ini ialah di Perang Uhud itu juga.
Kata riwayat itu, pemanah-pemanah yang dipandang salah—karena meninggalkan posnya itu—menyangka bahwa harta rampasan tidak akan dibagikan kepada mereka, sebagaimana di Badar. Apatah lagi mereka merasa bersalah. Dan mendengar perkataan mereka itu, berkatalah Nabi ﷺ, “Apakah kamu sangka kami akan berbuat curang dan tidak akan membaginya kepada kamu?" Karena itu, turunlah ayat ini.
Riwayat lain lagi ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari adh-Dhahhak bahwa Rasulullah mengirimkan beberapa orang pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian, daerah itu diperangi dan dikalahkan serta harta rampasan dibagi-bagi. Akan tetapi, para pengintai tadi tidak hadir ketika rampasan itu dibagi-bagi. Lalu ada antara mereka yang menyangka bahwa mereka tidak akan dapat pembagian. Kemudian, setelah mereka datang ternyata bagian untuk mereka ada disediakan. Maka, turunlah ayat ini menegur persangkaan mereka yang buruk itu dan yang menyatakan bahwa Nabi tidaklah akan berbuat curang dengan pembagian harta rampasan dan sekali-kali tidaklah Nabi akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri beliau sendiri.
Ayat ini dapat kita ambil saripatinya untuk menjadi i'tibar bagi kita, jika kita mendapat kesempatan menduduki tempat mulia sebagaimana kedudukan Nabi ketika itu, yang jadi kepala perang atau kepala pemerintahan, bahwa jika ada kekayaan negara, janganlah dicurangi. Dan janganlah berbuat korupsi dengan harta negara.
“Dan barangsiapa yang berlaku curang, maka akan datanglah dia dengan barang yang dicuranginya itu pada hari Kiamat."
Artinya, pada hari Kiamat akan terbukalah rahasia itu sebab dia akan datang sendiri membawa barang yang dicuranginya, dia tidak akan dapat bersembunyi lagi, “Kemudian akan dibayar penuh untuk tiap-tiap diri apa yang telah diusahakannya." Setelah dipertimbangkan besar-kecil kecurangannya digan-jarlah dia dengan ganjaran yang setimpal.
“Kemudian, akan dibayai penuh untuk tiap-tiap dan apa yang dianiaya."
Kita misalkan dengan perbuatan korupsi yang masih merajalela dalam suatu negara. Sejak dari kepala negara sampai kepada menteri-menteri dan pejabat-pejabat tinggi telah ditulari oleh kecurangan korupsi, sehingga berkuasa hidup mewah dan mengumpul kekayaan negara untuk diri sendiri, sedangkan rakyat banyak mati kelaparan, telah kurus kering badannya. Mereka telah diperas dengan berbagai ragam pajak, tetapi mereka tidak merasakan nikmat hidup sedikit juga. Pegawai-pegawai kecil yang gajinya hanya cukup untuk makan empat hari dalam sebulan dipaksa oleh keadaan itu berbuat korupsi pula. Mereka terlambat datang ke kantor sebab lapar, lalu mencatut di luar. Dan mereka terlambat pulang, sebab masuk ke pasar terlebih dahulu mencari yang akan dimakan, sedang di dalam kantor mereka tidak bekerja sepenuhnya. Mereka pun telah mengorupsi waktu sebagai akibat yang pasti dari korupsi orang atasan, negeri pun bertambah lama bertambah hancur. Maka, di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini terdapatlah kepastian bahwasanya kelak segala korupsi itu akan dihitung dan dinilai kembali pada hari Kiamat. Tidak ada orang yang akan teraniaya. Segala korupsi adalah salah, tetapi sebab-sebab timbul kesalahan pun akan masuk dalam pertimbangan sehingga hukum yang dijatuhkan ada yang lebih berat dan ada yang Lebih ringan.
Di dalam sejarah Islam telah kita dapati bagaimana khalifah-khalifah Rasulullah melaksanakan ayat ini.
Di dalam masa pemerintahan Umar bin Khaththab sahabat Rasul yang terkenal, Abu Hurairah telah diangkat jadi pemungut zakat. Setelah berhasil beliau memungut zakat itu, beliau pun kembali ke Madinah dan menyerahkannya kepada khalifah untuk dimasukkan ke dalam Baitul Maal. Setorannya baik, tanggung jawabnya selesai, tidak ada yang mencurigakan. Akan tetapi, di tangannya ada satu barang yang tidak diserahkannya. Khalifah bertanya, “Anna laka hadza?" (Ini dari mana engkau dapat?)
Lalu, Abu Hurairah menjawab bahwa barang itu adalah hadiah salah seorang pembayar zakat untuk dirinya sendiri. Dengan tegas, khalifah memerintahkan supaya barang itu pun diserahkannya. Karena kalau bukan dia diutus untuk memungut zakat, tidak adalah ada suatu sebab baginya menerima hadiah itu!
Kemudian, dari masa ke masa, kalimat “Anna laka hadza, dari mana kau dapat ini," telah jadi kata bersayap dalam pemerintahan Islam untuk mengadakan pemeriksaan kekayaan pejabat-pejabat negara.
Pada zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dimasukkan oleh ahli-ahli sejarah Islam dalam golongan Khulafaur Rasyidin telah terjadi pula bahwa pengawas Baitul Maal menghadiahkan sebuah kalung emas untuk putri Khalifah. Karena merasa bahwa hal itu tidak lebih dari patut, sebab Khalifah terlalu keras menjaga sehingga tidak ada pungutan kekayaan untuk diri beliau sendiri atau untuk anak-anaknya. Setelah putrinya kelihatan memakai kalung itu, kontan Khalifah bertanya lagi, “Anna laki hadza?" Dari mana kau dapat ini? Atau bagaimana jalannya sampai kau dapat memakainya? Putri menjawab bahwa itu adalah hadiah yang pantas diterima. Dengan kontan pula barang itu segera beliau suruh tanggalkan, sebab barang itu adalah kepunyaan kaum Muslimin (kepunyaan negara, menurut istilah kita sekarang) Dan diancamnya putrinya itu dengan membaca ayat ini bahwasanya orang yang berbuat curang akan datang dengan barang yang dicuranginya itu pada hari Kiamat.
“Takutlah kau wahai anakku yang tercinta bahwa engkau kelak akan datang ke hadapan Mahkamah Allah dengan barang yang kau curangi ini dan akan diselidiki dengan saksama," Langsunglah barang itu dikembalikan ke dalam Baitul Maal.
Melihat dan menilik pelaksanaan Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz ini, nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh seorang menteri, karena menandatangani suatu kontrak dengan satu penguasa luar negeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakan menurut rasa halus iman dan Islam ialah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu negara bahwa lebih baik bersih dari kecurigaan umat. Mungkin dalam ilmu fiqih ada yang menghalalkan itu, tetapi rasa halus agama lebih dalam dari semata-mata fiqih. Dengan semata-mata fiqih kita dapat mencari seorang kiai untuk menjadi pokrol. Akan tetapi, rasa iman yang mendalam dalam jiwa kita sendiri akan selalu mengetuk memberi ingat kesalahan itu.
Ayat 162
“Apakah orang yang menuruti keridhaan Allah. akan serupa dengan orang yang pulang dengan kemurkaan Allah."
Apakah orang yang jujur, yang taat, menyerah kepada pimpinan berapa patut diberi atau dibagi harta rampasan—karena dia turut berperang semata-mata karena mengharapkan ridha Allah—akan sama dengan orang yang pulang dengan murka Allah karena mencuri, karena curang, karena menggelapkan harta rampasan? Karena menggunting dalam lipatan, menohok kawan seiring, telunjuk lurus kelingking berkait, menangguk di air keruh? Apakah akan sama keduanya? Niscaya tidak sama! Sebab orang yang berjuang mengharapkan ridha Allah, surgalah tempatnya, sedang si curang tersebut,
“Dan tempat kembali mereka adalah neraka Jahannam; itulah seburuk-buruk tempat kembali."
Orang-orang yang curang ini laksana “kanker" perusak, Di dunia dia kena kutuk dari manusia dan di akhirat neraka tempatnya.
Ayat 163
“Mereka itu (terbagi ke dalam) beberapa derajat di sisi Allah."
Yaitu mereka yang berjuang itu. Ada yang baik, jujur, dan mulia hatinya, berjuang karena cita-cita, bukan karena loba akan harta. Derajat iman mereka itu pun bertingkat-tingkat di sisi Allah, sebab Allah yang mengetahui per-tingkatan itu. Si curang tadi pun berderajat bertingkat pula. Kemurkaan Allah yang akan mereka terima, niscaya menurut berat ringan kesalahan pula.
“Dan Allah memandang apa pun yang mereka kerjakan."
Jangan disangka akan tersembunyi kejujuran ataupun kecurangan, mentang-mentang tidak kelihatan oleh orang lain. Semuanya tidak ada yang tersembunyi dari pandangan Allah. Oleh sebab itu, orang yang beriman, sama saja baik budi dan tinggi kesopanannya, baik di tempat ramai maupun ketika dia sendiri. Misalnya, orang Mukmin bangun dengan sendirinya di tengah malam, tahajjud dan munajat kepada Allah dengan tekun dan khu-syunya, padahal tidak ada orang yang melihat, karena yakinnya, bahwa Allah melihat dan memandangnya. Akan tetapi, orang munafik sangat akur tampaknya, laksana kucing dibawakan lidi di hadapan orang banyak dan setelah dia terpencil, terbukalah segala topeng yang menutup kepalsuan mukanya itu di hadapan Allah. Kadang-kadang nyatalah nafsu binatangnya.
Di ayat-ayat di atas tadi, telah diperlihatkan kepada kita beberapa sifat kemuliaan Nabi. Lemah lembut sifat beliau, tidak beliau kasar kepada umatnya dan tidak beliau berlaku semau-mau menurut kata hatinya saja dengan tidak mempedulikan orang lain, lagi pemaaf dan sudi memohonkan ampun kepada Allah atas kealpaan umatnya dan suka pula mengajak mereka bermusyawarah dan memimpin dengan tawakal menuju kemenangan. Dan apabila kemenangan telah tercapai, tidak satu potong jua pun beliau mencurang harta rampasan, malahan beliau bagikan dengan adil. Seperlima persediaan untuk beliau. Dinamai untuk beliau, padahal supaya jangan diganggu orang untuk dibagikannya kepada orang-orang miskin atau lemah yang tidak sanggup berperang. Beliau sendiri, menurut riwayat hidup beliau yang shahih, tinggal dalam kemiskinan, malahan menurut Aisyah, pernah sebulan lamanya dapur mereka tidak berasap, padahal sudah zaman Madinah. Ketika beliau wafat, salah satu peninggalan beliau ialah sebuah tombak, tetapi sedang tergadai di rumah seorang Yahudi. Putri beliau yang tercinta, Fatimah, kurang paham hal ini. Beliau mendesak Khalifah Abu Bakar, sesudah Nabi wafat, agar membagikan tirkah beliau. Apa yang akan dibagikan? Padahal harta beliau tidak ada? Harta seperlima yang dijadikan cadangan negara, bukanlah beliau punya, tetapi negara yang punya.
Malahan pernah beliau diziarahi oleh Umar waktu beliau di puncak kemenangan, sedangkan hidup beliau dalam rumahnya masih tetap seperti dahulu, miskin tidak punya apa-apa sehingga Umar bin Khaththab menangis. Lalu beliau jawab,
“Hai Umar, ini adalah Nubuwwat, ini bukan Kisra seperti di Persia, dan bukan Kaisar seperti di Roma."
Bahkan pernah istri-istrinya sendiri tidak pula paham. Mereka menuntut kenaikan belanja untuk sehari-hari dan menuntut agar dibelikan perhiasan yang pantas. Sudah patut sebab beliau sudah berjaya. Inilah yang me-nyebabkan turunnya ayat khiyar, istri-istri itu disuruh memilih, mau duniakah atau mau Allah dan Rasul. Lalu semuanya menyesal dan maukan Allah dan Rasul, biar hidup sederhana. (Lihat surah al-Ahzaab, ayat 28—29)
Inilah Nabi kita! Maka berfirmanlah Allah selanjutnya,
Ayat 164
“Sesungguhnya Allah telah berkenan kepada orang-orang yang beriman. “
Allah telah memberikan kurnia yang tiada terpermanai betapa mulia kurnia itu kepada mereka. “Tatkala Dia bangkitkan seorang Rasul dari antara mereka."
Mereka yang mula-mula didatangi itu adalah bangsa Arab dan Rasul yang dibangkitkan itu adalah antara mereka sendiri, orang Arab juga, keluarga mereka yang terdekat, bukan orang lain, bahkan “dari mereka sendiri" memakai bahasa mereka sendiri yang dapat mereka pahami. “Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya," yaitu perintah-perintah Allah, beliau bacakan supaya paham dan supaya tahu membedakan yang buruk dengan yang baik, yang terpuji dengan yang tercela, yang manfaat dengan yang mudharat, yang tersuruh dengan yang terlarang. “Dan membersihkan mereka," yaitu kebersihan jasmani dan ruhani. Disuruh berwudhu ketika akan shalat, bahkan disuruh mandi sehabis bersetubuh, disuruh berhias ketika memasuki masjid, serta diberikan pula pembersihan jiwa dari hasad, dengki, takabur, riya, dan ujub serta bakhil; semua ajaran kebersihan itu berpokok kepada satu ajaran, yaitu tauhid: mengesakan Allah. Maka, bersihlah mereka dari syirik dan pengaruh yang lain, kekotoran berhala dan thagut. “Serta mengajari mereka kitab dan hikmat."
Diajarkan kepada mereka kitab, yaitu menulis dan membaca. Ayat yang mulai turun saja di Gua Hira ialah menyuruh membaca dan mempergunakan kalam, pena. Karena peredaran zaman dari purbakala sampai sekarang dan sampai nanti, tulis dan baca adalah pengikat dan pencatat berbagai macam ilmu, supaya jangan tinggal bodoh dan buta huruf. Buta huruf akan mengakibatkan buta agama. Bahkan sampai satu surah dimulai dengan sumpah. “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tuliskan!" (surah al-Qalam)
Kemudian, ialah hikmat, yaitu kesanggupan memandang jauh, menilik yang tersirat di balik yang tersurat; dan yang jadi kepala (puncak) segala hikmat itu ialah takut akan Allah,
“Puncak segala hikmat, ialah takut akan Allah."
“Meskipun mereka sebelum itu," yaitu sebelum Rasul itu dibangkitkan dalam kalangan mereka,
“di dalam kesesalan yang nyata."
Sudah bersuluh dengan matahari, bergelangang di mata orang banyak, dan mereka sendiri pun sudah merasai, betapa keadaan mereka sebelum Rasulullah ﷺ diutus. Yaitu dalam perjalanan yang resat, tidak tentu ke mana ranah tujuan hidup. Yang disembah ialah berhala, yang penting hanyalah asal mengumpul harta, walaupun dengan makan riba. Berperang suku dengan suku, kabilah dengan kabilah, karena kebanggaan dunia yang fana saja, malu karena mendapat anak perempuan, sehingga ada yang sampai hati menguburkan anak itu hidup-hidup. Itulah kesesatan mereka yang nyata pada waktu itu, sehingga zaman sebelum Islam itu dinamai zaman jahiliyyah. Sekarang Nabi itu datang, demikian tinggi budinya, dipuji Allah dan dikatakan, “Bahwa sesungguhnya pada engkau ada budi yang amat luhur," (surah al-Qalam, ayat 4) Bukankah ini satu kurnia yang melebihi segala kurnia untuk kamu, wahai umat Muhammad?
Dengan bimbingan dan pimpinan utusan inilah kamu, wahai umat Muhammad, akan mencapai bahagia tertinggi di dalam Islam, sehingga dengan sebab yang demikian, kekalahan sekali di Perang Uhud belumlah berapa artinya jika dibandingkan dengan perjalanan jauh yang akan kamu tempuh lagi di bawah pimpinannya itu. Sewaktu hidupnya dan setelah matinya pun.