Ayat

Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
تَوَلَّوۡاْ
(mereka) berpaling
مِنكُمۡ
dari/di antara kamu
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡتَقَى
bertemu
ٱلۡجَمۡعَانِ
dua kumpulan/pasukan
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
ٱسۡتَزَلَّهُمُ
menggelincirkan mereka
ٱلشَّيۡطَٰنُ
syaitan
بِبَعۡضِ
dengan sebagian/disebabkan
مَا
apa
كَسَبُواْۖ
mereka perbuat
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
عَفَا
telah memberi maaf
ٱللَّهُ
Allah
عَنۡهُمۡۗ
dari/kepada mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٌ
Maha Pengampun
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
تَوَلَّوۡاْ
(mereka) berpaling
مِنكُمۡ
dari/di antara kamu
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡتَقَى
bertemu
ٱلۡجَمۡعَانِ
dua kumpulan/pasukan
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
ٱسۡتَزَلَّهُمُ
menggelincirkan mereka
ٱلشَّيۡطَٰنُ
syaitan
بِبَعۡضِ
dengan sebagian/disebabkan
مَا
apa
كَسَبُواْۖ
mereka perbuat
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
عَفَا
telah memberi maaf
ٱللَّهُ
Allah
عَنۡهُمۡۗ
dari/kepada mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٌ
Maha Pengampun
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
Terjemahan

Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu pada hari ketika dua pasukan bertemu, sesungguhnya mereka hanyalah digelincirkan oleh setan disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat. Allah benar-benar telah memaafkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Tafsir

(Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu) dari peperangan (di saat bertemunya dua pasukan) yaitu pasukan kaum Muslimin dan pasukan orang-orang kafir di Uhud. Yang dituju ialah pasukan Muslimin itu kecuali dua belas orang (sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan) dengan waswas atau tipu dayanya (disebabkan sebagian apa yang mereka perbuat) berupa dosa yaitu melanggar perintah Nabi ﷺ (dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadap orang-orang mukmin (lagi Maha Penyantun) sehingga menangguhkan siksa dari orang-orang durhaka.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 154-155
Kemudian setelah kalian berduka cita, Allah menurunkan kepada kalian keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kalian, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh dirinya sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliah. Mereka berkata, "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah, "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata, "Sekiranya ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." Katakanlah, "Sekiranya kalian berada di rumah kalian, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh." Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dada kalian dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hati kalian.
Allah Maha Mengetahui isi hati. Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, tiada lain mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan apa yang pernah Dia turunkan kepada hamba-hamba-Nya berupa ketenangan dan rasa aman, yaitu kantuk yang meliputi mereka, sedangkan mereka masih tetap dalam keadaan menyandang senjatanya.
Hal tersebut terjadi di saat mereka dalam keadaan sedih dan susah. Rasa kantuk dalam keadaan seperti itu menunjukkan situasi telah aman, seperti halnya disebutkan di dalam surat Al-Anfal dalam kisah Perang Badar melalui firman-Nya: (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kalian mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya. (Al-Anfal: 11), hingga akhir ayat. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im dan Waki', dari Sufyan, dari ‘Ashim, dari Abu Razin, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa rasa kantuk dalam peperangan dari Allah, sedangkan rasa kantuk dalam shalat dari setan.
Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Khalifah pernah menceritakan kepadanya, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zura'i, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Anas, dari Abu Talhah yang mengatakan: Aku termasuk orang-orang yang diliputi rasa kantuk dalam Perang Uhud, hingga pedangku terjatuh dari tanganku berkali-kali; ia terjatuh, lalu aku ambil dan jatuh lagi, kemudian aku ambil lagi.
Hal yang sama diriwayatkan pula di dalam kitab Al-Magazi secara ta'liq. Imam Al-Bukhari meriwayatkannya di dalam kitab tafsir secara musnad dari Syaiban, dari Qatadah, dari Anas, dari Abu Talhah yang menceritakan: Kantuk menimpa kami dalam Perang Uhud, padahal kami berada dalam barisan kami. Abu Talhah melanjutkan kisahnya, "Maka pedangku terlepas dari tanganku, lalu aku mengambilnya, tetapi terlepas lagi, dan kuambil lagi." Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, dan Imam Hakim meriwayatkannya melalui hadits Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, dari Abu Talhah yang menceritakan: Aku mengangkat kepalaku dalam Perang Uhud, lalu aku melihat-lihat, ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan mereka (pasukan kaum muslim) pada hari itu.
melainkan ia menyandarkan tubuhnya pada tamengnya (perisainya) karena kantuk. Lafal hadits ini berdasarkan riwayat Imam At-Tirmidzi, dan ia mengatakan bahwa predikat hadits ini hasan shahih. Imam An-Nasai meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnul Musanna, dari Khalid ibnul Haris, dari Abu Qutaibah, dari Ibnu Abu Addi; keduanya dari Humaid, dari Anas yang menceritakan bahwa Abu Talhah pernah mengatakan: Aku termasuk orang-orang yang terkena rasa kantuk.
hingga akhir hadits. Hal yang sama diriwayatkan dari Az-Zubair dan Abdur Rahman ibnu Auf. Imam Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafidzh, telah menceritakan kepadaku Abul Husain Muhammad ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnul Mubarak Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Qatadah, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik, bahwa Abu Talhah pernah menceritakan, "Kami tertimpa rasa kantuk dalam Perang Uhud, sedangkan kami berada dalam barisan kami.
Maka pedangku terlepas dari tanganku, lalu aku memungutnya; dan terjatuh lagi, lalu aku pungut kembali." Abu Talhah melanjutkan kisahnya, bahwa ada segolongan lain, yaitu orang-orang munafik; mereka tidak mementingkan kecuali hanya diri mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang yang sangat pengecut, penakut, dan paling melecehkan perkara hak. mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliah. (Ali Imran: 154) Yakni sesungguhnya mereka tiada lain adalah orang-orang yang bimbang dan ragu terhadap Allah subhanahu wa ta’ala Demikianlah dengan tambahan ini, dia meriwayatkannya, seakan-akan kalimat ini adalah perkataan Qatadah.
Memang apa yang dikatakannya itu benar, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman; Kemudian setelah kalian berduka cita, Allah menurunkan kepada kalian keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kalian. (Ali Imran: 154) Artinya, mereka yang mengalami kantuk ini adalah ahli iman, percaya dan teguh dalam pertempuran, bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Mereka adalah orang-orang yang merasa pasti bahwa Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan membantu dan menolong Rasul-Nya dan melaksanakan baginya apa yang dicita-citakannya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: sedangkan segolongan lagi dicemaskan oleh diri mereka sendiri. (Ali Imran: 154) Yakni mereka tidak terkena kantuk karena hati mereka diliputi oleh rasa khawatir, gusar, dan takut.
mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliah. (Ali Imran: 154) Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu: Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya. (Al-Fath: 12), hingga akhir ayat. Demikian pula halnya mereka (orang-orang munafik), mereka berkeyakinan ketika kaum musyrik beroleh kemenangan saat itu, bahwa saat itu merupakan saat penentuan, dan bahwa Islam beserta para pemeluknya telah lenyap.
Demikian perihal orang-orang yang ragu; jika terjadi suatu peristiwa yang buruk, timbul dugaan yang jelek seperti itu. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan perihal mereka yang munafik itu melalui firman-Nya: Mereka berkata. (Ali Imran: 154) Yakni dalam keadaan seperti itu. "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" (Ali Imran: 154) Maka dijawab oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya: Katakanlah, "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan (kekuasaan) Allah." Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. (Ali Imran: 154) Kemudian apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka itu dibeberkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya: Mereka berkata, "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." (Ali Imran: 154) Maksudnya, mereka menyembunyikan ucapan ini dari pengetahuan Rasulullah ﷺ Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yahya Ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya, dari Abdullah ibnuz Zubair yang menceritakan bahwa Az-Zubair pernah menceritakan hadits berikut: Ketika aku sedang bersama Rasulullah ﷺ, yaitu di saat rasa takut sangat mencekam kami, maka Allah mengirimkan kantuk yang meliputi diri kami.
Maka tidak ada seorang lelaki pun dari kami melainkan dagunya menempel pada dadanya (karena tertidur). Az-Zubair melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, aku benar-benar mendengar suara Mu'tib ibnu Qusyair yang suaranya kudengar seperti hanya dalam mimpi. ia mengatakan: 'Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." Kata-kata itu selalu kuingat." Sehubungan dengan hal tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Mereka berkata, '"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." (Ali Imran: 154) karena perkataan Mu'tib itu. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Katakanlah, "Sekiranya kalian berada di rumah kalian, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh." (Ali Imran: 154) Yakni hal ini merupakan takdir yang ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala Dan merupakan keputusan-Nya yang tidak dapat dielakkan lagi darinya dan tidak ada jalan selamat baginya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dada kalian dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hati kalian. (Ali Imran: 154) Yaitu menguji kalian melalui apa yang terjadi pada diri kalian agar dapat dibedakan antara yang buruk dan yang baik, dan akan tampak nyata perbedaan antara orang mukmin dan orang munafik di mata orang-orang, baik dalam ucapan maupun perbuatannya.
Allah mengetahui isi hati. (Ali Imran: 154) Yakni mengetahui semua yang tersimpan di dalam hati berupa rahasia dan hal-hal yang terpendam padanya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, tiada lain mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat. (Ali Imran: 155) Yaitu karena sebagian dosa-dosa yang mereka perbuat di masa silam. Perihalnya sama seperti apa yang dikatakan oleh seorang ulama Salaf, bahwa sesungguhnya termasuk pahala kebaikan ialah kebaikan sesudahnya, dan sesungguhnya termasuk balasan keburukan ialah keburukan sesudahnya.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. (Ali Imran: 155) Maksudnya, memaafkan perbuatan yang pernah mereka lakukan, yaitu lari dari medan perang. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Ali Imran: 155) Yakni Yang mengampuni dosa, Yang sabar terhadap makhluk-Nya, dan Yang memaafkan kesalahan mereka. Dalam hadits sahabat Ibnu Umar disebutkan perihal sahabat Usman, yakni tentang perbuatan melarikan diri dari medan Uhud, bahwa Allah telah memaafkannya bersama orang-orang yang diberi maaf oleh-Nya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kalian. (Ali Imran: 152) Dalam pembahasan ini sangat sesuai bila disebutkan apa yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad, .
telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari ‘Ashim, dari Syaqiq yang mengatakan bahwa sahabat Abdur Rahman ibnu Auf bersua dengan Al-Walid ibnu Uqbah. Maka Al-Walid bertanya kepadanya, "Mengapa aku melihatmu selalu menjauh dari Amirul Mukminin Usman?" Abdur Rahman menjawabnya, "Sampaikanlah kepadanya bahwa aku tidak lari dalam Perang Hunain ‘Ashim mengatakan, yang dimaksud oleh Abdur Rahman ialah Perang UhudAku tidak absen dalam Perang Badar, aku tidak meninggalkan sunnah Umar." Lalu Al-Walid berangkat dan menyampaikan hal tersebut kepada Usman.
Maka Usman menjawab, "Mengenai ucapannya yang mengatakan bahwa ia tidak lari dalam Perang Hunain, mengapa dia begitu tega mencela diriku dengan kata-kata tersebut, padahal Allah telah memaafkan kejadikan itu melalui firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, tiada lain mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka' (Ali Imran: 155).
Ucapannya yang mengatakan bahwa aku tidak ikut dalam Perang Badar, sesungguhnya aku saat itu sedang merawat Ruqayyah binti Rasulullah ﷺ hingga wafat, dan Rasulullah ﷺ telah memberikan suatu bagian untukku; dan barang siapa yang telah dibuatkan untuknya satu bagian oleh Rasulullah ﷺ, berarti dia dianggap ikut dalam perang tersebut. Ucapannya yang mengatakan bahwa aku meninggalkan sunnah Umar, sesungguhnya aku tidak mampu mengerjakannya, begitu pula dirinya. Kembalilah kamu kepadanya dan ceritakanlah hal ini kepadanya!""
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu, tidak ikut berperang atau lari dari medan perang, ketika terjadi pertemuan, yaitu pertempuran, antara dua pasukan itu, yakni pasukan mukmin dan pasukan kafir dalam Perang Uhud, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan, dosa, yang telah mereka perbuat, pada masa lampau, tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun atas segala dosa, Maha Penyantun tidak segera menghukum orang yang berbuat maksiat Usai menjelaskan peristiwa Perang Uhud, Allah lalu menjabarkan tuntunan yang harus diikuti oleh orang yang beriman. Wahai orangorang yang beriman! Janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yakni orang munafik yang mengatakan kepada saudara-saudaranya seketurunan maupun seiman, apabila mereka mengadakan perjalanan di bumi atau pergi berperang, Sekiranya mereka tetap bersama kita, tidak ikut berperang, tentulah mereka tidak mati dan tidak terbunuh. Akibat perkataan yang demikian itu, Allah hendak menimbulkan rasa penyesalan yang besar di hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan siapa yang dikehendaki-Nya sesuai dengan ketetapan-Nya, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan, yang kamu tampakkan maupun yang kamu sembunyikan.
Sewaktu pertempuran yang menentukan dalam Perang Uhud ada sebagian dari Muslimin meninggalkan tempat pertahanan yang tidak boleh ditinggalkan terutama oleh barisan pemanah, tetapi mereka tinggalkan juga. Mereka merasa musuh sudah kalah sehingga mereka meninggalkan posisi dengan maksud untuk mendapatkan harta rampasan, akhirnya musuh menempati posisi mereka dan mereka kocar-kacir dan menderita karena serangan musuh yang bertubi-tubi. Meskipun demikian akhirnya mereka sadar dan menyesali kesalahan mereka, maka Allah mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun dengan membebaskan mereka dari hukuman di akhirat.
Peperangan yang terjadi dalam sejarah Islam di masa Nabi, tak ada satu pun yang dimulai oleh Muslimin. Sikap Nabi dan para sahabat dalam hal ini hanya defensif, mempertahankan diri, bukan ofensif, sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Al-Qur'an, "Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampoi batas. Sungguh Allah tidak menyukai mereka yang melampui batas" (al-Baqarah/2: 190). Tetapi bila pihak musuh mengajak damai, sambutlah segera (al-Anfal/8: 61). Kita harus selalu siap menerima perdamaian jika kecenderungan ke arah perdamaian di pihak lain juga demikian. Tugas kita harus menjadi pelopor perdamaian, bukan menjadi pelopor peperangan. Tak ada faedahnya berperang hanya untuk berperang.
Begitulah yang terjadi dalam Perang Badar (Ali 'Imran/3: 13, 123) pada bulan Ramadan tahun kedua setelah hijrah. Kemudian dalam Perang Ahzab (Perang Parit, al-Ahzab/33:9) sekitar tahun ke-5 setelah hijrah, Musyrikin Mekah dengan kekuatan 10.000 orang, dengan bantuan Yahudi yang berkhianat setelah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah. Tetapi mereka kemudian lari dan kembali ke Mekah membawa kegagalan besar. Lalu yang terakhir Perang Hunain tak lama setelah Pembebasan Mekah pada tahun ke-8.
Begitu juga dalam Perang Uhud (Ali Imran/3:121) yang terjadi setahun setelah Perang Badar, pihak musuh yang datang jauh-jauh dari Mekah mau menyerang Medinah. Kedatangan mereka dengan kekuatan 3000 orang datang ke Medinah hendak membalas kekalahan mereka dalam Perang Badar. Dalam perang inilah Muslimin dan Rasulullah mendapat cobaan berat.
Nabi ﷺ bermusyawarah dengan para sahabatnya, seperti yang sudah menjadi cara hidup Nabi yang selalu bermusyawarah. Sebagian mereka ingin bertahan di dalam kota, dengan alasan musuh tidak mengenal seluk-beluk kota. Bila musuh sudah memasuki kota, akan kita kepung dan kita serang. Rakyat juga akan menyerang dengan batu dari atap-atap rumah. Yang lain menghendaki menyongsong musuh di luar kota, sebab jika musuh sampai menginjakkan kaki ke kota Medinah, penduduk akan menjadi korban, dan mereka akan menganggap sudah mendapat kemenangan dan akan membuat mereka bertambah berani. Atas dasar keputusan dengan pertimbangan itu, kaum Muslimin berangkat ke luar kota di bawah pimpinan Rasulullah ﷺ Dalam perang ini tak ada yang menang dan tak ada yang kalah.
Dalam menghadapi ancaman tersebut, Rasulullah dengan pandangannya yang jauh, berani dan penuh tanggung jawab, segera memutuskan akan mengambil tempat di kaki Gunung Uhud, yang mengintari sebagian besar kota Medinah, sekitar tiga mil ke utara. Pada 7 Syawal tahun ketiga Hijri (Januari 625) waktu subuh, ia sudah mengadakan persiapan untuk menghadapi perang itu. Medinah terkenal dengan musim dinginnya yang luar biasa, tetapi prajurit Muslimin (700 sampai 1000 orang) subuh itu sudah siap. Di sebelah selatan mereka terdapat lembah yang curam dengan aliran air yang deras, sedang lorong-lorong bukit di belakang mereka ditempati oleh 50 orang pasukan pemanah untuk mencegah serangan musuh dari belakang. Pihak musuh sudah bersiap-siap hendak menyerang tembok Medinah, sedang pasukan Muslimin berada di belakang mereka. Pada mulanya pertempuran itu menguntungkan kaum Muslimin. Pihak musuh sudah porak-poranda, tetapi barisan pemanah Muslimin, yang tidak menaati perintah Nabi meninggalkan posnya. Mereka ikut mengejar dan memperebutkan rampasan perang.
Perintah itu ialah: Janganlah mengejar rampasan perang, dan jagalah disiplin kuat-kuat. Tidak sedikit musuh yang mati terbunuh, dan mereka sudah mulai mundur. Pada saat itu sebagian pasukan Muslimin, melanggar perintah, terus mengejar mereka karena tertarik oleh kemungkinan mendapatkan harta rampasan perang. Pihak musuh mengambil peluang yang telah ditinggalkan oleh pasukan pemanah, dan ketika itulah terjadi pertempuran satu lawan satu yang amat sengit, yang menurut laporan banyak menguntungkan pihak musuh. Sahabat-sahabat dari kaum Ansar banyak yang terbunuh.
Tetapi mereka tidak kenal mundur. Dalam pertempuran ini Hamzah, paman Rasulullah dari pihak bapak, terbunuh sebagai syahid. Rasulullah sendiri juga mendapat luka-luka di bagian kepala dan muka, sebuah giginya tanggal. Kalau tidak karena keteguhan hati, keberanian dan ketenangannya, niscaya pihak Muslimin akan menderita kekalahan besar. Meskipun Rasulullah dalam keadaan luka, begitu juga kaum Muslimin yang lain mengalami luka-luka, keesokan harinya mereka kembali ke medan pertempuran. Abu Sufyan dan pasukan Mekah-nya dengan hati-hati sekali segera menarik diri. Medinah dapat diselamatkan. Kaum Muslimin dapat belajar dari peristiwa ini: keimanan, kesetiaan dan ketabahan. (Diringkaskan dari Tafsir Al-Qur'an A. Yusuf Ali).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
LANJUTAN PERISTIWA UHUD
Ayat 154
“Kemudian diturunkan-Nya suatu rasa keamanan kepadamu, sesudah kesusahan itu, yaitu mengantuk yang mengenai segolongan antara kamu."
Maksudnya, setelah puncak ketegangan itu terlepas, kaum Muslimin telah dapat mengumpulkan kekuatan kembali, berkumpul di keliling Rasul ﷺ; sudah nyata bahwa Rasul tidak meninggal seperti yang disiar-siarkan oleh pihak Quraisy. Segala rasa cemas pun hilanglah dan bersedia kembali menghadapi segala kemungkinan, sekalipun akan meneruskan perang, jika Quraisy menyerang, karena bangga akan kemenangan mereka. Karena hati telah bulat kembali, maka ada antara mereka yang mengantuk lalu tertidur. Mengantuk dan tertidur datang, tandanya hati telah tenteram.
Dahulu dalam Peperangan Badar, semalam sebelum terjadi peperangan, beberapa orang kaum Muslimin mengantuk dan tertidur, apatah lagi pada malam itu turun hujan. Mereka terkantuk sebab hati tenteram dan gembira, karena besok akan berhadapan dengan musuh dalam keyakinan akan menang. Sekarang dalam Peperangan Uhud ini, setelah pertempuran yang menewaskan 70 orang antara mereka, termasuk Hamzah—dan ter-sebar pula berita bahwa Nabi telah tewas— mulanya mereka guncang. Kemudian, setelah nyata Rasul tidak tewas dan yang syahid adalah korban perjuangan semata, perasaan mereka lega kembali, sehingga timbul kantuk, timbullah kekuatan baru untuk berjuang lagi.
“Dan segolongan (lagi) telah mementingkan diri sendiri; mereka menyangka-nyangka hal tidak benar atas Allah, yaitu persangkaan jahiliyyah." Rupanya di samping yang tenteram hatinya, sehingga bersedia berperang terus meskipun telah ada teman yang tewas, ada lagi segolongan yang termenung memikiri nasib. Mengapa kita sekarang mesti menderita kerugian begini besar, sampai 70 kawan yang tewas, padahal kita berjuang menegakkan agama Allah. Walaupun tidak keluar dari mulut mereka, tinggal dalam hati mereka, timbul keraguan mereka kepada Allah. Sampai mereka mengatakan yang dilanjutkan dalam ayat, “Apakah ada kekuasaan kita agak sedikit pun dalam hal ini?"
Mereka dengan ragu-ragu mulai bertanya dalam hati, kalau perjuangan kita ini benar, mengapa kita kalah? Rupanya mereka menyangka bahwa antara kebenaran dasar perjuangan dan kemenangan tidak terpisahkan. Mereka belum mengerti bahwasanya kemenangan perjuangan bukan saja ditentukan oleh benarnya apa yang dicita-citakan, melainkan wajib disertai pula oleh benarnya cara memperjuangkannya.
Mereka sepatutnya mengerti pula bahwasanya peperangan di dalam memperjuangkan cita-cita yang benar kadang-kadang tidaklah hanya sekali, melainkan berkali-kali. Kadang-kadang menang dan kadang-kadang kalah, tetapi kemenangan terakhir adalah pada orang yang bertakwa.
Untuk menghilangkan keragu-raguan hati ini, Allah mengatakan kepada Rasul-Nya, “Katakanlah!" kepada mereka itu, wahai utusan-Ku, “Sesungguhnya hal ini semuanya adalah kepunyaan Allah." Artinya, yang menentukan kalah atau menang bukanlah kita, melainkan Allah semata-mata menurut undang-undang sebab-akibatyang telah tertentu. Kewajiban kita hanya berusaha sesuai dengan pengetahuan yang ada pada kita. Baik mengetahui keadaan medan tempat berperang maupun mengetahui cuaca ketika itu atau memelihara semangat orang-orang yang bertempur, atau menjaga kepatuhan dan disiplin.
“Mereka sembunyikan dalam diri mereka hal yang tidak mereka nyatakan kepadamu. Mereka berkata, ‘Kalau ada pikiran kita dalam hal ini, tentu tidak terbunuh kita di sini.'"
Itulah bisik-desus dan omelan orang-orang yang lemah hati. Melihat kerugian yang menimpa, mereka menyesal. Banyak hal
yang lama-lama yang mereka ingat kembali. Ada yang merasa kalau sekiranya tempo hari mereka patuhi saja pendapat Rasulullah— yaitu bertahan di dalam kota—tentu tidak akan sampai sebanyak itu yang tewas. Dan dengan perkataan mereka, “Kalau ada pikiran kita dalam hal ini, tentu kita tidak akan terbunuh." Di sini tampaklah keluhan karena kelemahan hati, sehingga yang dikatakan di pangkal ayat tadi, yaitu sangka-sangka jahiliyyah telah timbul kembali. Mereka telah lupa ajaran yang telah diajarkan Rasul selama ini tentang ajal manusia yang telah ditentukan oleh Allah di dalam kitab. Oleh sebab itu, Allah memesankan lagi kepada Rasul-Nya,
“Katakanlah, walaupun kamu sedang berada dalam rumah kamu." Kalau di sana kamu akan bertemu dengan ajalmu, “Niscaya akan keluarlah orang-orang yang telah tertulis atasnya kematian itu, menuju tempat mereka terbaring (terbunuh)"
Artinya, kalau ajal telah memanggil, orang yang masih senang dalam rumah akan keluar, pergi menuju tempat tubuhnya akan terantar mati.
Hal ini benar-benar telah terjadi. Seorang sahabat Rasul ﷺ, bernama Hanzalah bin Abu Amir baru saja menikah, bercengkrama dengan istrinya. Sedang dia bersenda gurau, tiba-tiba datang seruan perang ke Uhud dan Mujahidin berangkat menuju medan perang padahal dia sedang dalam pelukan istrinya. Mendengar derap kaki Mujahidin lalu di hadapan rumahnya, dia tidak tahan. Diletakkannya celananya, dilepaskannya dirinya dari pelukan istrinya dan dia melompat ke luar tempat tidur memanggul senjata. Dia takut ketinggalan. Sebab itu, dengan tidak mandi junub terlebih dahulu, dia masuk ke barisan. Sampailah di Uhud dan terjadilah pertempuran. Dengan gagah berani Hanzalah tampil ke depan menyerbu musuh. Dia tewas, syahid dan belum mandi junub! Dia sendiri yang keluar dari rumahnya, berlari menyerbu, mengejar maut yang telah tertulis untuk dia, supaya terbaring di medan perang dan dikuburkan bersama syuhada yang lain. Lalu dilanjutkan firman Allah, “Tetapi Allah hendak menguji apa yang ada dalam dadamu masing-masing."
Kemenangan dari Allah dan kekalahan pun dari Allah, jika kali ini kamu kalah, terutama ialah untuk menguji apa yang ada dalam dadamu, iman tulenkah atau iman saduran, keberanian mempertahankan yang hakkah atau mau enak-enak saja
“Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam dada-dada itu"
Allah mengetahui isi dada manusia, padahal banyaklah manusia yang tidak mengetahui hakikat yang ada di dalam dadanya sendiri.
Mulanya, dia merasa akan berani bila bertemu dengan bahaya, kemudian setelah benar-benar bertemu, ternyata dia penakut Maka, kalau tidak ada saringan seperti ini, niscaya tidak akan terbukti apa isi dada itu. Demikian juga sebagai latihan. Moga-moga karena kekalahan yang sekali, akan tercapailah kemenangan yang berkali-kali.
Janganlah putus asa di dalam mengembalikan kemuliaan.
Kadang-kadang orang yang kalah, lalu jatuh; kemudian bangkit kembali.
Ayat 155
“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling antara kamu pada hari pertempuran dua angkatan itu."
Di ayat ini disebutkan bahwa pertempuran di Bukit Uhud itu disebut di dalam surah al-Anfaal ayat 41 pertempuran angkatan perang Islam dengan angkatan perang musyrikin di Padang Badar, yang juga disebut pertempuran antara dua angkatan. Dua angkatan, yang pertama memperjuangkan yang hak, yang kedua mempertahankan yang bati). Yang pertama Rasulullah sendiri yang memimpinnya, yang kedua Abu Sufyan yang masih kafir. Maka, ayat ini memberi peringatan, kalau ada dari kalangan tentara Islam yang berpaling, tegasnya meninggalkan tugasnya dan lari pada waktu itu, “Lain tidak, mereka telah digelincirkan oleh setan, sebab sebagian dari yang mereka usahakan sendiri"
Mereka telah digelincirkan oleh setan, terperosok ke dalam kekalahan karena memperturutkan hawa nafsu yang loba akan harta rampasan. Dirayu oleh setan dengan memperlihatkan benda.
“Tetapi sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu." Meskipun itu adalah satu kesalahan yang amat menyolok mata, yaitu beberapa orang berpaling dari tugas, karena mengharapkan rampasan, tetapi Allah masih memaafkan yang sekali itu. Sebab, kejadian di Uhud itu masih dalam permulaan pembangunan angkatan perang Islam dan masih ada kesempatan untuk memperbaiki disiplin pada masa depan. Apatah lagi di samping yang bersalah, masih banyak yang setia, sehingga tidak sampai hancur dan kekuatan bisa dipulihkan kembali.
“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi sangat sabar"
Maha Pengampun, sehingga orang yang bersalah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Dan sangat sabar, menahan murka. Sebab, Allah adalah Rabbun, yaitu berarti juga pendidik dan pemelihara, sehingga dari pengalaman mereka akan matang.
Ampunan Allah ini telah berbekas kepada Mujahidin yang berperang di Uhud ini setelah selesai perang. Setelah mereka kembali ke Madinah, belum lagi sempat berlepas lelah, perintah Rasulullah datang. Sekarang juga bersiap semua yang turut dalam Peperangan Uhud, turutkan aku. Kita kejar musuh itu. Perintah ini ditaati oleh semua. Bahkan juga yang luka-luka. Asal bisa berjalan, mesti ikut. Mereka kejar kaum Quraisy itu. 15 Syawwal kembali dari Uhud, tanggal 16 Syawwal pagi berangkat lagi ke tempat yang dituju itu, dengan latar belakang siasat yang tinggi dari Nabi, yaitu mengejar musuh itu, supaya jangan sampai mereka merasa bangga karena telah berhasil sebagian maksud mereka dan jangan sampai mereka merasa bahwa semangat kaum Muslimin patah.
Di suatu tempat bernama Hamraul Asad, terkejarlah tentara Quraisy itu. Akan tetapi, tidak terjadi pertempuran sebab Quraisy tidak memulai. Waktu itu terjadilah main spion, oleh pelontar-pelontar provokasi atau intimidasi dari kedua belah pihak. Tiga malam berturut-turut Rasulullah memerintahkan membuat unggun api besar-besar di tempat perkemahan tentara beliau, untuk menunjukkan kepada musyrikin bahwa kaum Muslimin masih siap untuk bertempur lagi. Pagi-pagi hari yang keempat datang laporan dari penyelidik bahwa tadi malam kaum musyrikin telah meninggalkan tempat itu dan pulang ke Mekah. Ada tampaknya rasa takut, sebagaimana yang telah dibukakan Allah dalam ayat 151 di atas tadi; sehingga meskipun banyak dendam mereka di Perang Badar telah lepas, tujuh puluh syuhada Muslimin telah tewas, akan melepaskan dendam dari tujuh puluh mereka yang mati di Badar, tetapi jelas kelihatan ketika mereka pulang ke Mekah, kegembiraan mereka hanya dibuat-buat. Karena kemenangan me' reka tidak memuaskan mereka. Sedang kaum Muslimin kembali ke Madinah dengan se-mangat yang pulih kembali.