Ayat
Terjemahan Per Kata
وَكَأَيِّن
dan berapa banyak
مِّن
dari
نَّبِيّٖ
para Nabi
قَٰتَلَ
berperang
مَعَهُۥ
bersamanya
رِبِّيُّونَ
orang-orang yang berTuhan (bertakwa)
كَثِيرٞ
banyak/sejumlah besar
فَمَا
maka tidak
وَهَنُواْ
mereka menjadi lemah
لِمَآ
karena apa (bencana)
أَصَابَهُمۡ
menimpa mereka
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
وَمَا
dan tidak
ضَعُفُواْ
mereka lemah/lesu
وَمَا
dan tidak
ٱسۡتَكَانُواْۗ
mereka tunduk/menyerah
وَٱللَّهُ
dan Allah
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلصَّـٰبِرِينَ
orang-orang yang sabar
وَكَأَيِّن
dan berapa banyak
مِّن
dari
نَّبِيّٖ
para Nabi
قَٰتَلَ
berperang
مَعَهُۥ
bersamanya
رِبِّيُّونَ
orang-orang yang berTuhan (bertakwa)
كَثِيرٞ
banyak/sejumlah besar
فَمَا
maka tidak
وَهَنُواْ
mereka menjadi lemah
لِمَآ
karena apa (bencana)
أَصَابَهُمۡ
menimpa mereka
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
وَمَا
dan tidak
ضَعُفُواْ
mereka lemah/lesu
وَمَا
dan tidak
ٱسۡتَكَانُواْۗ
mereka tunduk/menyerah
وَٱللَّهُ
dan Allah
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلصَّـٰبِرِينَ
orang-orang yang sabar
Terjemahan
Betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(-nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah mencintai orang-orang yang sabar.
Tafsir
(Dan berapa banyaknya) 'ka-ayyin' sama artinya dengan 'kam' (nabi-nabi yang berperang) menurut satu qiraat 'qutila' yang berarti 'yang dibunuh'. Pelakunya ialah dhamir yang kembali kepada nabi (bersama mereka) menjadi khabar sedangkan mubtadanya ialah: (pengikut-pengikutnya yang amat banyak) yakni yang bertakwa (maka mereka tidak menjadi lemah) atau merasa takut (karena hal-hal yang menimpa mereka di jalan Allah) seperti mendapat luka dan terbunuhnya nabi-nabi dan para sahabat mereka (dan tidak menjadi lelah) menghadapi perjuangan (dan tidak pula menyerah) atau tunduk kepada musuh-musuh sebagaimana kamu lakukan ketika disiarkan orang berita bahwa Nabimu telah gugur. (Allah menyukai orang-orang yang sabar) dalam menerima bala hingga Allah berkenan memberikan imbalan kepadanya.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 144-148
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang. maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat (kerugian) kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Dan tidak ada doa mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.
Karena itu Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.
Ayat 144
Setelah kaum muslim mengalami kekalahan dan terpukul mundur dalam perang uhud serta banyak yang gugur di antara mereka, maka setan berseru, "Ingatlah, sesungguhnya Muhammad telah terbunuh!" Ibnu Qumaiah kembali kepada pasukan kaum musyrik, lalu berseru kepada mereka, "Aku telah membunuh Muhammad." Padahal sesungguhnya dia hanya memukul Rasulullah ﷺ dan melukai kepala beliau.
Namun seruan tersebut mempengaruhi sebagian besar pasukan kaum muslim sehingga mereka menyangka bahwa Rasulullah ﷺ benar-benar telah terbunuh (gugur), dan mereka berkeyakinan bahwa terbunuh adalah suatu hal yang mungkin terjadi pada diri Rasulullah ﷺ. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah ﷻ perihal nasib yang dialami oleh banyak nabi terdahulu. Maka mereka menjadi kendur semangatnya dan lemah serta mundur dari medan perang; sehubungan dengan peristiwa inilah diturunkan firman-Nya:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (Ali Imran: 144) hingga akhir ayat.
Yakni dia menjadi teladan bagi mereka dalam hal kerasulan, juga dalam hal dapat terbunuh (sebagaimana banyak dari kalangan mereka yang dibunuh oleh kaumnya).
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari ayahnya, bahwa seorang lelaki dari kalangan Muhajirin bertemu dengan seorang lelaki dari kalangan Anshar (dalam medan perang), sedangkan orang Anshar itu tubuhnya dipenuhi oleh darah (dari lukanya).
Lalu lelaki Muhajirin berkata kepadanya, "Wahai Fulan, tahukah kamu bahwa Muhammad ﷺ telah terbunuh?" Maka lelaki Anshar itu menjawab, "Jika Muhammad telah terbunuh, berarti beliau telah menyampaikan risalahnya. Karena itu, berperanglah kalian untuk membela agama kalian."
Lalu turunlah firman-Nya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (Ali Imran: 144)
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Al-Baihaqi meriwayatkannya di dalam kitab Dalailun Nubuwwah; ia mengatakan bahwa hadits ini berpredikat munkar mengingat ada di antara perawinya yang dha’if.
“Apakah jika dia wafat atau terbunuh kalian berbalik ke belakang?” (Ali Imran: 144)
Yakni kalian mundur ke belakang.
“Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144)
Yang dimaksud dengan 'orang-orang yang bersyukur' ialah mereka yang menjalankan ketaatan kepada-Nya, berperang membela agama-Nya, dan mengikuti Rasul-Nya, baik sewaktu beliau masih hidup maupun sesudah beliau wafat.
Demikian pula telah dituliskan di dalam kitab-kitab shahih serta kitab-kitab musnad, juga kitab-kitab sunnah serta kitab-kitab Islam lainnya sebuah hadits yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang dapat mendukung kebenaran beritanya. Kami mengetengahkan hal tersebut di dalam kedua kitab Musnad Syaikhain, yaitu Abu Bakar dan Umar radiyallahu anhuma. Disebutkan bahwa ketika Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar As-Siddiq membacakan ayat ini.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Al-Laits, dari Aqil, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, bahwa Siti Aisyah menceritakan kepadanya bahwa Abu Bakar (di hari wafatnya Rasulullah ﷺ) tiba memakai kendaraan kuda dari tempat tinggalnya yang terletak di As-Sanah, lalu ia turun dan masuk ke dalam Masjid (Nabawi).
Orang-orang tidak ada yang berbicara, hingga Abu Bakar masuk menemui Siti Aisyah. Lalu menuju ke arah jenazah Rasulullah ﷺ yang saat itu telah diselimuti dengan kain hibarah (kain yang bersalur). Kemudian ia membuka penutup wajah Rasulullah ﷺ, lalu menangkupinya dan menciuminya seraya menangis. Setelah itu Abu Bakar berkata: “Demi Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu. Demi Allah, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan atas dirimu sekarang telah engkau laksanakan.”
Az-Zuhri mengatakan telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Ibnu Abbas bahwa ketika Umar sedang berbicara dengan orang-orang, Abu Bakar keluar, lalu berkata, "Duduklah kamu, wahai Umar." Lalu Abu Bakar berkata: “Amma ba'du. Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup kekal dan tidak akan mati.”
Kemudian dia membacakan firman-Nya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul” sampai dengan firman-Nya: “Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144)
Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, "Demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak menyadari bahwa Allah ﷻ telah menurunkan ayat ini sebelum Abu Bakar membacakannya kepada mereka. Maka semua orang ikut membacakannya bersama bacaan Abu Bakar dan tidak ada seorang pun yang mendengarnya melainkan ia ikut membacanya."
Telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayab bahwa sahabat Umar pernah mengatakan, "Demi Allah aku masih dalam keadaan belum sadar kecuali setelah aku mendengar Abu Bakar rnembacakannya, maka tubuhku penuh dengan keringat hingga kedua kakiku tidak dapat menopang diriku lagi karena lemas, hingga aku terjatuh ke tanah."
Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hammad ibnu Talhah Al-Qainad, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Nasr dari Samak ibnu Harb, dari ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat Ali semasa Rasulullah ﷺ masih hidup pernah membacakan firman-Nya: “Apakah jika dia wafat atau terbunuh kalian berbalik ke belakang?” (Ali lmran: 144) hingga akhir ayat. Lalu ia berkata: "Demi Allah. kami tidak akan berbalik mundur ke belakang setelah Allah memberi kami petunjuk. Demi Allah, sekiranya beliau wafat atau terbunuh, sungguh aku akan tetap bertempur meneruskan perjuangannya hingga tetes darah penghabisan. Demi Allah, sesungguhnya aku adalah saudaranya, wali anak paman-nya, dan ahli warisnya. Siapakah orangnya yang lebih berhak terhadap beliau selain daripada diriku sendiri."
Ayat 145
Firman Allah ﷻ: “Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (Ali Imran: 145)
Artinya, tidak ada seorang pun yang mati kecuali berdasarkan takdir Allah dan setelah ia memenuhi waktu yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya. Karena itulah dalam ayat ini diungkapkan: “Sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (Ali Imran: 145) Makna ayat ini sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan sudah ditetapkan dalam Kitab (Lauh Mahfuz).” (Fathir: 11)
Seperti firman-Nya yang lain, yaitu: “Dialah Yang menciptakan kalian dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal (kematian kalian) dan ada lagi satu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya).” (Al-An'am: 2)
Ayat ini mengandung makna yang memberikan semangat kepada orang-orang yang pengecut dan membangkitkan keberanian mereka untuk berperang. Sesungguhnya maju dan terlibat dalam peperangan tidak dapat mengurangi atau menambah umur. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Yazid Al-Abdi, bahwa ia pernah mendengar Abu Mu'awiyah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Habib ibnu Zabyan yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan pasukan kaum muslim yang dikenal dengan nama Hijr ibnu Addi berkata, "Apakah gerangan yang menghambat kalian untuk menyeberangi Sungai Tigris ini untuk menghadapi musuh kita, padahal seseorang tidak akan mati kecuali dengan seizin Allah menurut ketetapan waktu yang telah ditentukan-Nya." Selanjutnya lelaki itu maju, menyeberangi Sungai Tigris dengan kudanya. Ketika ia maju, maka semua pasukan kaum muslim mengikuti jejaknya. Ketika musuh melihat mereka berani menyeberangi sungai itu, maka musuh mereka menjadi kecut dan takut, lalu mereka lari.
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu; dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.” (Ali Imran: 145) Yakni barang siapa yang amalnya hanya untuk dunia saja, niscaya dia akan mendapatkannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya, sedangkan di akhirat nanti ia tidak akan mendapat bagian apa pun.
Barang siapa yang berniat dengan amalnya untuk pahala akhirat, niscaya Allah akan memberinya, juga diberikan apa yang telah dibagikan oleh Allah untuknya dalam kehidupan dunia ini. Seperti yang dijelaskan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat. akan Kami tambah keuntungan itu baginya; dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan di dunia dan tidak akan ada baginya satu bagian pun di akhirat.” (Asy-Syura: 20)
“Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki dan kami tetapkan baginya neraka jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia mukmin maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan kebaikan.” (Al-Isra 18-19)
Karena itulah maka dalam ayat berikut ini disebutkan melalui firman-Nya:
“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Al- Imran: 145) Yakni Kami akan memberikan kepada mereka sebagian anugerah dan rahmat Kami di dunia dan akhirat sebanding dengan rasa syukur dan amal mereka.
Ayat 146-147
Kemudian Allah ﷻ menghibur kaum mukmin dari musibah yang telah menimpa mereka dalam Perang Uhud, yang sebelum itu mempengaruhi jiwa mereka. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.” (Ali Imran: 146)
Menurut satu pendapat, makna yang dimaksud adalah betapa banyak nabi yang terbunuh dan terbunuh pula bersamanya sejumlah besar pengikutnya yang bertakwa. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, karena sesungguhnya dia mengatakan, "Adapun orang-orang yang membaca qutila ma'ahu ribbiyyuna katsir, sesungguhnya mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang terbunuh adalah nabi dan sebagian dari para ulama yang mengikutinya, bukan seluruhnya. Kemudian dihapuskan rasa lesu dan lemah dari orang-orang yang tersisa yang tidak terbunuh."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang yang membaca qatala mengemukakan alasan yang menjadi pilihannya itu, bahwa seandainya mereka terbunuh, maka firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Mereka tidak menjadi lemah.” (Ali Imran: 146) tidak mempunyai kaitan yang bisa dimengerti, mengingat mustahil bila mereka digambarkan sebagai orang-orang yang tidak lemah dan tidak lesu setelah mereka terbunuh. Kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat ulama yang membaca qutila ma'ahu ribbiyyuna katsir (yang terbunuh bersamanya sejumlah besar dari para pengikutnya). Alasannya ialah karena Allah ﷻ melalui ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya menegur orang-orang yang lari karena kalah dalam Perang Uhud dan meninggalkan medan perang ketika mereka mendengar seruan yang mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh. Maka Allah mencela dan menegur mereka karena mereka melarikan diri dan meninggalkan medan perang. Allah berfirman kepada mereka: “Apakah jika dia wafat atau dibunuh, lalu kalian berbalik ke belakang?” (Ali Imran: 144) Yaitu kalian murtad dari agama kalian, wahai orang-orang mukmin? Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud adalah betapa banyaknya nabi yang terbunuh di hadapan sejumlah besar dari para pengikutnya yang setia.
Pendapat Ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah menunjukkan pengertian yang lain, karena sesungguhnya dia mengatakan bahwa betapa banyaknya nabi yang terbunuh, padahal dia ditemani oleh sejumlah orang yang banyak, tetapi ternyata para pengikutnya tidak lesu dan tidak lemah dalam meneruskan perjuangan nabi mereka sesudah nabi mereka tiada. Mereka tidak takut menghadapi musuh mereka dan tidak menyerah kepada musuh karena kekalahan yang mereka derita dalam jihad demi membela Allah dan agama mereka. Sikap seperti inilah yang dinamakan sifat sabar. “Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)
Dengan demikian, berarti ia menjadikan firman-Nya: “Sedangkan ia ditemani oleh sejumlah besar pengikutnya yang bertakwa. (Ali Imran: 146) sebagai kata keterangan keadaan. Pendapat ini ternyata mendapat dukungan dari As-Suhaili, dan ia membela pendapat ini dengan pembelaan yang berlebihan. Tetapi dia memang beralasan karena berdasarkan firman-Nya: “Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka.” (Ali Imran: 146) hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Umawi di dalam kitab Al-Magazi, yang ia kutip dari kitab Muhammad ibnu Ibrahim; namun tidak ada orang lain yang meriwayatkan pendapat ini selain dia sendiri.
Sebagian dari mereka ada yang membaca firman-Nya: “Yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya).” (Ali Imran: 146)
Yang dimaksud dengan ribbiyyuna ialah ribuan.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, Ar-Rabi', dan ‘Atha’ Al-Khurrasani semuanya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ribbiyyuna ialah jamaah-jamaah yang banyak jumlahnya.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari ibnul Hasan, sehubungan dengan firman-Nya: “Sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa.” (Ali Imran: 146) Yang dimaksud dengan ribbiyyuna katsir ialah ulama yang banyak jumlahnya. Diriwayatkan pula dari Ma'mar, dari ibnul Hasan, bahwa mereka adalah para ulama yang sabar, yakni yang berbakti dan bertakwa.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari salah seorang ahli nahwu Basrah, bahwa ribbiyyun adalah orang-orang yang menyembah Rabb (Tuhan) Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini disanggah oleh sebagian dari kalangan mereka. Disebutkan bahwa seandainya makna yang dimaksud adalah seperti itu, niscaya huruf ra-nya di-fathah-kan hingga menjadi rabbiyyun.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa ribbiyyuna adalah para pengikut dan rakyat, sedangkan rabbaniyyun artinya para penguasa.
“Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).” (Ali Imran: 146)
Menurut Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas, makna firman-Nya: “Dan mereka tidak lesu.” (Ali Imran: 146) Yakni mereka tidak lemah semangat karena terbunuhnya nabi mereka.
“Dan tidak (pula) mereka menyerah.” (Ali Imran: 146)
Yaitu mereka sama sekali tidak pernah mundur dari kewajiban membantu nabi-nabi mereka dan agama mereka, yakni dengan berperang meneruskan perjuangan nabi Allah hingga berjumpa dengan Allah, sampai titik darah penghabisan.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan tidak pula mereka menyerah.” (Ali Imran: 146) Maksudnya, tidak tunduk dan menyerah kepada musuh.
Menurut Ibnu Zaid, artinya mereka tidak pernah menyerah kepada musuh mereka.
Menurut Muhammad ibnu Ishaq, As-Suddi, dan Qatadah, semangat juang mereka sama sekali tidak pernah kendur karena bencana yang menimpa mereka, yaitu ketika nabi mereka terbunuh.
“Allah mencintai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’." (Ali Imran: 146-147) Yakni mereka tidak mengucapkan kecuali hanya doa tersebut.
Ayat 148
“Karena itu, Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia.” (Ali Imran: 148) Yaitu berupa pertolongan, kemenangan, dan hasil yang terpuji.
“Dan pahala yang baik di akhirat.” (Ali Imran: 148)
Artinya, dihimpunkan bagi mereka pahala di dunia dan pahala di akhirat.
“Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ali Imran: 148)
Ayat ini masih berisi kritikan terhadap pasukan Islam yang tidak taat kepada perintah Rasulullah dalam Perang Uhud dengan memaparkan keadaan nabi dan umat terdahulu. Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa juga terluka dan terbunuh. Tetapi mereka, yakni para pengikut nabi tersebut, tidak menjadi lemah kondisi fisiknya karena bencana kekalahan yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak pula menyerah kepada musuh dengan meminta perlindungan kepada mereka. Dan Allah mencintai, serta memberi anugerah kepada orang-orang yang sabar dalam menjalankan kewajiban dan menghadapi musuhSetelah pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan kondisi fisik dan semangat pantang menyerah pengikut nabi terdahulu, lalu dalam ayat ini Dia menjelaskan situasi batin mereka yang tercermin pada ungkapan mereka. Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa, Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dan melampaui batas hukum yang ditetapkan Allah dalam urusan kami berkaitan dengan persiapan perang, dan tetapkanlah pendirian kami supaya tidak berubah niat dan tujuan kami, dan tolonglah, anugerahkan kemenangan kepada kami atas orang-orang kafir.
Allah kembali memberikan koreksi kepada sebagian pengikut Nabi Muhammad ﷺ yang lemah dan tidak setia dalam Perang Uhud dengan mengemukakan keadaan umat nabi-nabi sebelumnya bahwa dalam jihad fisabilillah, semangat dan iman mereka tetap kuat, tidak lemah, tidak lesu dan tidak menyerah di kala menderita bencana. Orang-orang semacam itulah yang dicintai Allah karena kesabarannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 142
“Atau apakah kamu menyangka bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum dibuktikan Allah (siapa) orang-orang yang berjuang sungguh-sungguh dari antara kamu dan dibuktikan-Nya pula orang-orang yang sabar?"
Pertanyaan seperti ini bermaksud sebagai bantahan. Tegasnya janganlah kamu menyangka bahwa akan mudah saja kamu masuk surga, sebelum Allah membuktikan, memperlihatkan, dengan jelas siapa pejuang yang sungguh-sungguh dan siapa yang sabar, siapa yang tahan dan siapa yang tabah. Surga tidaklah semudah yang kamu sangka. Dia meminta kesungguh-sungguhan, semangat, antusias, dan kesabaran. Sebab, surga itu meminta pengorbanan. Jihad, kesungguhan, kerja keras, itulah syarat pertama perjuangan. Syarat kedua ialah sabar, tahan menderita, dan tabah.
Di dalam ayat ini, demikian pun ayat sebelumnya tadi dan bertemu pula dalam ayat yang lain kalimat walamma ya'lamillah, yang menurut arti aslinya saja ialah dan sebelum Allah mengetahui atau di ayat lain supaya Allah mengetahui. Akan tetapi, oleh karena maksud dan arti sebenarnya kalimat itu di sini lebih dari itu, maka kita artikan membuktikan. Sebab, pada hakikatnya, sebelum manusia tahu siapa yang lemah dan siapa yang kuat imannya, Allah sendiri telah tahu. Ilmu Allah Ta'aala tidaklah diikat oleh suatu ruang ataupun suatu waktu. Akan tetapi, manusia sendiri—sebagai hamba Allah—tidaklah senantiasa tahu sesuatu hal sebelum kejadian. Banyak manusia, antaranya saja antaranya saudara sendiri, sebelum malapetaka menimpa, diri kita merasa akan kuat. Akan tetapi, setelah malapetaka itu datang, barulah kita sadar dan mengetahui bahwa kita lemah. Di situ Allah Ta'aala membuktikan dengan kudrat-frada-Nya kepada kita bahwa kita ini sesungguhnya lemah. Seorang guru Islam yang banyak muridnya selalu memberi fatwa kepada murid-muridnya itu supaya berjuang sungguh-sungguh dan supaya sabar. Tiba-tiba pada suatu waktu, dia sendiri ditimpa malapetaka, dia difitnah lalu ditahan polisi karena suatu tuduhan yang sekali-kali tidak diperbuatnya. Maka, suatu hari, ketika salah seorang muridnya sempat menziarahinya dalam tahanan, dia berkata, “Dahulu saya memberikan fatwa kepada saudara-saudara supaya sabar ditimpa cobaan. Sekarang diri saya sendirilah yang saya beri fatwa setiap hari supaya sabar! Dan sekarang saya sudah dapat membuktikan kelemahan atau kekurangan saya."
Ayat 148 ini membuktikan bahwasanya surga yang begitu tinggi, mulia, dan begitu mahal tidaklah dapat dibeli kalau hanya dengan mulut. Orang yang berbudi tinggi dan berpikiran cerdas, jika masuk ke toko besar, malu akan menawar barang yang mahal, mulutnya tidak akan terbuka, kalau dia sendiri tahu bahwa dompet uangnya kosong atau tidak seimbang isinya dengan nilai barang ditawar.
Seperti guru yang kita terangkan tadi, pada waktu aman tidak ada percobaan, banyak yang berani bersuara lantang, berfatwa menyuruh orang berjuang, menyuruh orang sabar. Mudah semua orang berkata demikian sebelum mereka menyaksikan sendiri betapa payahnya berjuang dan betapa pahitnya sabar.
Ayat yang selanjutnya lebih menjelaskan lagi,
Ayat 143
“Dan sesungguhnya kamu pernah mengharap-harapkan mati sebelum kamu berhadapan dengan dia. Maka, sekarang, sesungguhnya telah kamu lihat dia dan kamu sedang memandanginya."
Ayat ini membayangkan betapa semangatnya orang yang sebelum tampil ke medan perang, bersuara lantang, bahwa dia berani menghadapi maut. Setengahnya benar-benar berani dan benar-benar karena menginginkan mati di medan perang sebagai pahlawan. Akan tetapi, setengahnya lagi berkata lantang karena belum mengalami. Dibandingkan dengan keadaan dan suasana sahabat-sahabat Rasulullah yang 700 orang pergi ke medan Perang Uhud itu dapatlah kita mengetahui bahwa banyak antara mereka yang menyatakan berani karena dalam Perang Badar mereka menang. Mereka sangka di Perang Uhud akan begitu juga sehingga pemuda-pemuda berkeras minta ke luar kota, tidak mau bertahan dalam kota karena ingin bertempur.
Esa hilang dua terbilang. Sekarang mereka menyaksikan sendiri peperangan hebat itu. Kamu saksikan apa mati itu. Mereka saksikan pahlawan-pahlawan mereka gugur satu demi satu. Antaranya seorang yang gagah berani yang selama ini mereka banggakan, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib yang selama ini tiap bertempur selalu menang saja, sampai dia diberi gelar “Singa Islam". Dia tewas dan perutnya dibelah orang, dadanya disobek, jan-tungnya dikeluarkan, lalu digigit oleh Hindun binti Uthbah, istri Abu Sufyan. Dan bersama Hamzah tewas pula di hadapan mata kepala mereka sendiri 69 orang Mujahid yang lain. Kemudian, seperti yang telah diceritakan di atas tadi, Nabi Muhammad ﷺ sendiri pun nyaris tewas, terperosok kakinya pada lubang yang sengaja telah digali oleh pengkhianat, Abu Amir. Lalu tersebar berita bahwa beliau telah mati, mereka pun ribut, nyaris pecah perangnya dan ada di antara mereka yang guncang iman mereka mendengar berita tersebar itu. Maka, datanglah ayat seterusnya bahwa kalau mereka beriman teguh, seyogianya berita yang tersebar itu tidaklah mengguncangkan hatinya, sebab,
Ayat 144
“Tidak lain Muhammad itu, hanyalah seorang Rasul dan telah lalu beberapa Rasul sebelumnya."
Pangkal ayat ini menjelaskan bahwa Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul, sebagaimana juga rasul-rasul yang lain yang terdahulu darinya. Yaitu manusia yang dipilih oleh Allah untuk menjadi utusan-Nya dalam kalangan manusia sendiri. Maka, bukanlah dia malaikat atau jin. Dahulu telah berlalu rasul-rasul yang lain; mulanya mereka lahir ke dunia, kemudian diangkat menjadi rasul; dan bila tiba waktunya, mereka pun wafat “Apakah apabila dia mati atau terbunuh, kamu akan berpaling di atas kedua tumit kamu?"
Sekarang diembus-embuskan orang berita di medan perang bahwa Nabi mereka telah mati, mereka pun berguncang. Padahal setiap rasul, termasuk Muhammad ﷺ suatu waktu pasti mati, bahkan mungkin juga mati terbunuh dalam keadaan perang. Kalau dia mati atau terbunuh apakah mereka akan memutar kedua tumit, dan maju ke muka, lari ke belakang? Kalau demikian sikap mereka, nyatalah bahwa mereka tidak memegang teguh ajaran yang dibawa Nabi yaitu bertawakal penuh kepada Allah, melainkan mereka telah menggantungkan cita-cita mereka hanya kepada pribadi Nabi. Inilah kesalahan besar dalam perjuangan karena inilah yang pada zaman kita ini dinamai orang pemujaan orang seorang.
Dan ayat ini pun memberikan petunjuk bagi Muslimin bahwasanya dalam peperangan menegakkan agama, sekali-kali jangan peperangan itu digantungkan kepada kepribadian seseorang. Yang amat penting ialah yang jadi tujuan peperangan, bukan bergantung kepada panglima perang. Dalam peperangan-peperangan zaman purbakala, memanglah panglima itu sendiri yang ber-sosoh (giat, peny.) menghadapi lawan, sampai salah seorang atau dia atau panglima perang musuhnya yang tewas. Kalau panglima perang telah mati, artinya perang telah kalah dan tentaranya yang masih hidup berarti menjadi tawanan dan budak belaka. Maka, ayat ini telah memberikan tuntunan sesuai dengan peperangan zaman modern sekarang. Hilangnya seorang panglima belum berarti kekalahan, melainkan harus tampil penggantinya. Dalam Islam, hal seperti ini telah dijalankan dalam Peperangan Mu'tah yang jadi kepala perangnya Zaid bin Haritsah dan kalau dia tewas, penggantinya ialah Ja'far bin Abi Thalib dan kalau dia tewas pula, penggantinya ialah Abdullah bin Rawahah. Kemudian, tewaslah berturut-turut ketiga panglima itu. Namun tentara Islam tidak juga menjadi kucar-kacir. Sebab, atas kesepakatan bersama, tampil ke muka Khalid bin Walid mengambil pimpinan kepanglimaan dan memimpin peperangan itu, sehingga tentara Muslimin dapat diselamatkan dan dapat mengundurkan diri dengan teratur. Tidak sampai hancur karena 3.000 kaum Muslimin berhadapan dengan ratusan ribu tentara Romawi.
Lalu, datanglah ancaman Allah, “Barang-siapa yang berpaling atas kedua tumitnya, maka sekali-kali tidaklah dia akan membahayakan bagi Allah sedikit pun."
Belum tentu roboh tegaknya, belum pasti Rasul wafat, ‘mereka telah memutar tumit, ada yang lari karena takut. Apakah mereka sangka dengan sebab mereka memutar tumit itu rencana Allah akan gagal? Tidak, sekali-kali tidak. Allah tidak akan rugi karena kehilangan mereka. Kehilangan mereka bagi Allah tidak akan sama nilainya dengan kepecahan telur sebuah.
“Allah akan memberi ganjaran bagi siapa-siapa yang bersyukur."
Sebagaimana terdahulu diceritakan, ada beberapa orang sahabat Rasulullah lagi—demi mendengar berita yang disebarkan bahwa Rasulullah telah tewas itu—terus menyerbu, dengan tekad, kalau benar Rasulullah telah wafat, tak ada gunanya lagi hidup. Lebih baik mereka mati berkalang tanah seperti beliau dan menuruti beliau. Orang-orang yang seperti itulah yang mengembalikan semangat sehingga tentara Rasul ﷺ tidak menghadapi keruntuhannya. Orang-orang seperti ini disebut yang patut disebut bersyukur kepada Allah. Mereka tidak meratap dan mundur dari medan perang karena mendapat berita bahwa Rasulullah telah tewas, tetapi tampil ke medan perang, menyerbu menghadapi kematian, demi mempertahankan yang diajarkan oleh Rasul. Orang yang seperti inilah yang akan mendapat ganjaran sepenuhnya dari Allah.
Sesungguhnya memang payah bagi manusia menyelesaikan perasaan terharunya apabila seseorangyangamatdicintainya mati atau terbunuh. Cinta yang mendalam bisa saja menimbulkan pemujaan kepada orang seorang.
Setelah beberapa tahun sesudah ayat ini turun karena Peperangan Uhud, memang Rasulullah ﷺ wafat. Maka, SayyidinaUmarbin Khaththab demikian terharu karena kematian itu sehingga tidak dapat mengendalikan perasaan lagi. Sampai dia marah-marah dalam masjid dan mengancam, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat, akan kupotong lehernya," kata beliau sambil menyentak pedang dari sarungnya. Bukankah ini satu gejala pemujaan atas seorang menyerupai pemujaan kepada Allah, padahal sudah terang, bahwa Rasulullah telah wafat? Untunglah kekacauan perasaan itu dengan segera dapat diatasi sedatangnya Abu Bakar yang sengaja dijemput dari rumahnya. Selesai shalat Shubuh, Abu Bakar segera pulang karena dia menyangka bahwa Rasulullah agak sembuh pada hari itu. Akan tetapi, belum lama dia sampai di rumah, orang telah segera menjemput dan menyampaikan berita itu kepadanya.
Dengan segera dia kembali ke masjid dan langsung masuk kamar anak perempuannya Aisyah karena di sana jenazah yang mulia itu telah terbaring. Beliau segera membuka kain yang menutup wajah Nabi ﷺ. Dilihatnya mayat itu sebentar dengan tenang, kemudian diciumnya keningnya, lalu dia berkata, “Tetap harum engkau, ya Rasulullah, baik pada waktu hidupmu maupun setelah matimu." Perkataan beliau yang demikian itulah yang menghilangkan segala keraguan atas wafatnya Rasulullah. Lalu beliau segera keluar kamar itu, langsung masuk ke masjid. Naik ke mimbar. Lalu memulai pidatonya. Yang mula-mula sekali beliau baca ialah ayat yang tengah kita tafsirkan ini, “Tidak lain Muhammad itu, hanyalah seorang Rasul dan telah lalu beberapa Rasul sebelumnya. Apakah apabila dia mati atau terbunuh, kamu akan berpaling di atas kedua tumit kamu?"
Beliau sambung dengan perkataan yang lebih tegas lagi yang akan menjadi pokok pendirian pertama bagi tiap-tiap orang beriman setelah Rasul yang mereka cintai wafat. “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah mati. Akan tetapi, barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tetap hidup dan tidak akan pernah mati."
Di sinilah Umar bin Khaththab sadar akan dirinya yang nyaris tenggelam karena dipengaruhi oleh cinta. Abu Bakar juga cinta kepada Nabi, tidak kurang dari cinta Umar dan cinta seluruh umat Muhammad sehingga Nabi pernah mengatakan bahwa jika ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh makhluk Mukmin di dunia ini, iman Abu Bakar masih tetap lebih berat. Akan tetapi, cinta Abu Bakar tidaklah berhenti karena matinya Rasul, melainkan terus mempertahankan ajaran Rasul sampai dia sendiri pun mati pula.
Ayat 145
“Tidak ada satu jiwa pun akan mati melainkan dengan izin Allah. Sunatan telah dijanjikan."
Pangkal ayat ini mengandung dua tafsir dan maksud. Pertama, sebagai peringatan keras kepada orang-orang yang berguncang imannya karena mendengar Rasulullah telah mati itu. Mengapa iman jadi guncang, padahal menentukan hidup dan mati seseorang bukanlah di tangan orang itu sendiri, melainkan di tangan Allah. Dan sejak bertahun-tahun mereka telah diajar dan dididik supaya memusatkan seluruh kepercayaan mereka kepada Allah, bukan kepada makhluk dan bukan kepada Muhammad ﷺ sendiri. Andaikanlah Allah menentukan, bahwa Muhammad mati atau terbunuh dalam Peperangan Uhud itu, mengapa mereka akan mundur memperjuangkan Sabilillah, jalan Allah, karena kema-tian Muhammad? Betapa kalau itu hanya kabar buatan musuh dalam siasat perang dan Muhammad ternyata hidup? Bukankah itu menunjukkan kelemahan mereka dan tidak teguhnya memegang ajaran Rasul tentang kebenaran Allah?
Isi tafsir yang kedua ialah, ayat ini perangsang yang paling kuat untuk meneguhkan hati orang yang beriman di dalam menghadapi tugasnya, baik membina dan memajukan agamanya, maupun di dalam menangkis serangan musuh-musuhnya. Orang tak usah ragu dan takut menghadapi maut sebab maut itu adalah kitab yang telah tertulis.
Barangsiapa yang tidak mati karena pedang; akan mati karena sebab yang lainnya. Berbagai ragam sebab yang datang; namun mati sekali hanya...
Berapa banyaknya orang yang gagah berani menyebarkan dirinya ke hadapan musuh, bahkan ke tengah-tengah musuh, dia tidak mati malahan keluar dari medan perang sebagai seorang pahlawan. Dan berapa pula banyaknya orang yang menyingkir-nyingkir menyembunyikan diri di belakang tempat yang tersembunyi, tiba-tiba melayang sebuah peluru menembus otaknya dan dia mati sesaat itu juga. Berapa banyaknya orang yang kemarin kita temui masih sehat wal afiat, besok paginya waktu Shubuh, kawan mengatakan bahwa dia telah mati. Dan berapa pula banyaknya orang yang telantar sakit bertahun-tahun tidak juga mati. Maka, soal mati adalah suratan yang telah ditentukan Allah sendiri.
Oleh sebab itu, takut atau berani menghadapi maut adalah sama saja; datang waktu yang ditentukan, orang mesti mati. Yang harus menjadi pokok pemikiran ialah bagaimana kita menilai tujuan hidup sehingga mati yang hanya pasti sekali itu kita hadapi ada artinya. “Sekali berarti, sudah itu mati."
Untuk menjawab pertanyaan itu datanglah lanjutan ayat,
“Barangsiapa yang menghendaki upah dunia, niscaya akan Kami berikan daripadanya dan barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan juga. Dan akan Kami beri pahala orang-orang yang bersyukur."
Di dalam ayat ini diberi tahu kunci yang menentukan nilai hidup kita itu. Disebut wa man yurid, barangsiapa yang menghendaki.
Yuridu berasal dari kata iradah yang berarti kemauan, atau keinginan, atau kehendak atau cita-cita. Dan juga boleh disebut tujuan hidup.
Apakah kehendak seseorang dan apakah keinginan seseorang dalam hidup itu? Kalau tujuan hidup sudah ada, niscaya dia berjuang guna mencapai apa yang dia kehendaki itu. Dan niscaya akan tercapai, akan diberikan oleh Allah sekadar yang dia cita-citakan. Kalau yang dia kehendaki itu semata-mata dunia dan dia berjuang untuk itu, niscaya akan dia dapat apa yang ada dari dunia, tidak lebih. Dia mau kaya; kekayaan akan diberikan. Dia mau pangkat; pangkat pun akan diberikan. Dia ingin kemegahan, kebesaran, kedudukan, dan sebagainya dalam dunia ini, itu pun akan diberikan. Begitu pula kalau iradah-nya itu lebih tinggi daripada semata-mata dunia, yaitu akhirat atau hari depan, itu pun akan diberikan pula. Banyak yang dikehendaki dan banyak pula usaha dan perjuangan, niscaya banyak pula akan didapat.
Iradah hendak mencapai salah satu dari kedua tujuan ini, baik tujuan dunia semata maupun tujuan akhirat yang kekal dengan melalui dunia, itulah kelak yang akan menentukan nilai hidup dan nilai mati. Kalau hati seseorang semata-mata tertuju keinginan dunia, niscaya dia akan takut mati sebab hatinya terpaut kepada dunia.
Pilihlah apakah agaknya kemauanmu, kehendakmu yang akan menentukan nilai hidupmu. Seseorang telah ditakdirkan akan mencapai baka dan khulud. Di belakang hidup yang sekarang ada lagi hidup yang lebih panjang; panjang sangat tak ada ujung. Kebahagiaannya dalam dua kehidupan itu ditentukan oleh apa yang dia kehendaki dan cita-citakan. Usaha manusia dalam hidup ini berbagai ragam, tetapi kesulitan di dalam mencapai suatu yang dicita-citakan adalah sama antara sekalian orang, Cita-cita hidup bukanlah jalan yang selalu datar bertabur bunga, melainkan kadang-kadang disiram dengan air mata dan dengan darah. Maka, nilai itu ditentukan oleh iradah tadi dan oleh tujuan. Bagaimana cara mencapainya dan apa yang akan dicapai, jaya atau gagal, semuanya bergantung pula kepada bersih atau tidaknya jiwa, tinggi atau tidaknya akal budi, halus atau kasarnya perasaan. Itulah yang menentukan harga manusia.
Coba lihat! Satu kaum berperang karena mengharapkan harta rampasan. Menjajah, mengadakan ekspansi, membunuh, membakar, dan menaklukkan negeri orang. Kalau mereka menang mereka pun berbuat onar dan keru-sakan di atas bumi Allah, merusakkan tanam-tanaman dan anak keturunan. Sebaliknya, suatu kaum lagi berperang karena membela kebenaran, menegakkan keadilan. Jika mereka menang, mereka membangunkan dunia yang lebih baik, mereka menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah perbuatan mungkar, mereka tegakkan yang hak dan mereka banteras yang batil.
Keduanya sama-sama berperang, sama kelihatan dari luar dan serupa kelihatan pada permulaan, tetapi tujuan dan iradah bersimpang jauh.
Coba lihat! Seorang manusia maju dengan gagah perkasa ke medan hidup. Pada mulanya kelihatan baik, tetapi lama-lama terbuka rahasianya. Setelah didapatnya kekuasaan untuk memerintah orang lain, akhirnya tidaklah dia dapat menguasai dirinya lagi, sehingga dia diperintah oleh nafsunya, dikendalikan oleh syahwatnya. Timbullah penyakit loba tamak, berbagai tipu daya dilakukannya, asal dia tetap berkuasa. Kekayaan bertumpuk-tumpuk, tiada dikaji lagi dari mana sumbernya, baik halal maupun haram, atau dengan memeras keringat si miskin dan mengisap darah si melarat. Kalau dia kaya, kekayaannya disertai bakhil. Kalau dia berderma, hanya reklame untuk dirinya. Bandingkanlah keadaan orang ini dengan seorang pemimpin yang sengsara karena cita-cita. Yang menjadi berdaulat di hati manusia meskipun tidak mendapat kursi kemegahan tempatnya bersemayam.
Orang yang pertama menjadi takut menghadapi maut. Orang yang kedua memandang bahwa maut adalah bukti cinta sejati.
Ada orang kaya membulut harta lalu bakhil. Ada orang kaya mengumpul harta lalu mengeluarkannya untuk pembangunan amal saleh. Yangpertama semata mengejar kekayaan dunia. Yang kedua mengirimkan hartanya lebih dahulu untuk bekalnya di akhirat. Kedua macam yang berbeda itu ditentukan oleh apa yang dikehendaki dalam hidup. Dunia sajakah atau dunia menuju akhirat.
Iradah atau kemauan atau tujuan hidup bisa mengecilkan orang besar dan bisa pula membesarkan orang kecil. Iradah atau tujuan hidup bisa membuat hina orang mulia dan bisa pula membuat mulia orang yang dipandang hina. Dengan iradah itulah ditentukan perkembangan sesuatu pribadi atau menjadi kecil sempit mengerucut. Kalau orang telah menjadi besar karena kebesaran iradahnya, dia bisa meliputi bumi. Jika dia mati, matinya itu adalah kesaksian bagi hidupnya.
Ada orang yang besar sebesar-besarnya dalam sebutan dunia, tetapi setelah dia mati namanya diinjak-injak oleh sejarah karena dunia itu telah membuatnya jadi gila. Gila kekuasaan, gila pangkat, gila perempuan, dan segala macam gila. Dia mati dalam kehinaan. Kehidupan seperti ini dicontohkan di dalam Al-Qur'an oleh Fir'aun. Ada orang yang dalam hidup duniawi ini hanya sederhana saja, tetapi setelah mati, dia meninggalkan jejak yang baik untuk dunia. Ini dicontohkan oleh kehidupan rasul-rasul dan nabi-nabi serta kehidupan yang mewarisi rasul-rasul dan nabi-nabi itu.
Ayat ini pada permulaan turunnya disebabkan oleh dua macam pejuang di Peperangan Uhud itu; yang setengah berjuang terus karena mengharap dunia, lalu ditinggalkannya pos tempat berjaga karena mengejar keun-tungan benda. Yang setengah lagi kucar-kacir mendengar berita bahwa Rasulullah telah mati. Itulah mengejar dunia. Dan yang setengah lagi tegak di sisi Rasul, membela dan mempertahankan Rasul, menamengkan dirinya, biar dia luka dahulu sebelum Rasul yang luka. Kemudian, datanglah ujung ayat memberikan penghargaan istimewa bagi orang-orang yang menentukan tujuan hidupnya, yaitu akhirat, tidak memilih jalan lain. Orang-orang itu disebut orang-orang yang bersyukur atas nikmat Allah, mereka akan diberi pahala dan ganjaran, setimpal dengan kesyukurannya. Mereka itu antaranya Anas bin Nadhr, tersebut di kisah dahulu itu dan orang-orang yang mengikuti jejaknya setelah mendengar berita bahwa Rasulullah telah mati, terus menyerbu musuh sehingga musuh yang nyaris menang, terpaksa mengundurkan diri melihat keberanian kaum Muslimin telah bangkit kembali.
Ayat 146
“Betapa banyaklah Nabi yang telah berperang bersama orang-orang yang bersandaran Tuhan, amat banyaknya."
Di sini diterangkan untuk menjadi perbandingan bagi umat Muhammad, khusus yang dituju ialah turut berperang di Perang Uhud dan umum buat seluruh yang percaya akan risalah Nabi, bahwasanya sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus menjadi Rasul, telah ada pula nabi-nabi yang dahulu. Di samping orang yang tidak mau percaya, ada orang yang setia kepada Allah, menjadi keluarga ketuhanan. Mereka berdiri bersanding bahu dengan nabi-nabi,
“Tidaklah mereka merasa lemah lantaran musibah yang menimpa mereka pada jalan Allah, tidaklah mereka merasa lesu dan tidaklah mereka pernah mundur. Sedang Allah adalah bersama-sama orang-orang yang sabar."
Banyak diceritakan kepada kita di dalam Al-Qur'an tentang perjuangan nabi-nabi yang besar, menegakkan agama dalam kalangan kaumnya. Kita ketahui bagaimana kebiasaan kaum yang menentang itu. Maka, ayat ini memberikan bayangan kepada kita bahwasanya di samping kaum yang menentang, ada juga yang setia; sehidup semati dengan rasul, menerima apa yang diajarkan, dan bersedia ditimpa oleh berbagai malapetaka karena menegakkan keyakinan. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah patah semangat, tidak pernah lesu, dan tidak pernah mundur. Sebagaimana Nabi Shalih yang kurang dari separuh kaum Tsamud yang percaya, sedang yang lain menentang. Umat yang percaya itu menurutkan beliau meninggalkan kampung halaman. Dengan hati tabah dan dengan sepenuh kesabaran, mereka mengikuti Nabi sampai berhasil.
Meskipun di dalam Al-Qur'an pernah diceritakan bahwa ada nabi yang tewas dalam pertempuran dengan musuh-musuh Allah dan umat yang setia kepada Allah tidak pernah patah hati karena kematian nabinya, tetapi Al-Qur'an ada menyebutkan beberapa Nabi yang mati terbunuh, terutama dalam kalangan Bani Israil. Cerita ini memberi ingat kepada umat Muhammad bahwasanya dahulu dari mereka, ada juga umat yang setia, tidak patah hati, tidak lesu dan merasa lemah, karena kematian Nabi ataupun karena sedikit jumlah mereka. Di ujung ayat diberikanlah peringatan Allah bahwasanya Allah sangat cinta kepada orang-orang yang sabar. Orang yang tahan hati menanti karena kadang-kadang sesuatu kemenangan rasanya terlalu lama baru datang, kita sudah bosan menanti. Dan perjuangan yang hebat menuju suatu cita-cita yang tinggi, selalu meminta pengorbanan tenaga, raga, dan jiwa. Kadang-kadang terdapat suatu hal yang amat menyedihkan hati, sebagaimana kekalahan di Uhud itu. Namun di dalam perjuangan, kemenangan yang sejati ialah kemenangan terakhir. Kekalahan di Uhud adalah suatu hal yang wajar dalam perjuangan jangka lama. Bagi kaum Quraisy, kemenangan Uhud adalah permulaan keruntuhan. Meskipun mereka mulanya menang, tidak jugalah peristiwa Uhud akan dapat menebus kekalahan mereka di Badar.
Sebab itu tiang kemenangan ialah kesabaran, keteguhan hati, dan tidak pernah merasa kalah. Memukul sekeras-kerasnya ketika jadi palu dan menahan sekuat-kuatnya ketika jadi landasan.
segala sesuatu telah dipersiapkan dengan teliti, kalau masih kalah juga, tidaklah menyesal lagi, karena kekuatan manusia terbatas dan rahasia Allah amat dalam; kadang-kadang tidak dapat diajuk.
Inilah nasihatkepada pejuangmenegakkan agama sepanjang zaman yang turunnya disebabkan oleh kekecewaan pertama dalam Perang Uhud.
Ayat 147
“Tidak lain ucapan mereka, selain: Ya Tuhan kami! Ampunilah kiranya dosa-dosa kami, dan pelanggaran-pelanggaran kami dalam halihwal kami; tetapkanlah langkah kami dan tolonglah kami atas kaum yang kafir."
Pada ayat di atas diberikan kunci kemenangan, yaitu sabar. Kemudian, datang ayat ini sebagai lanjutan. Yaitu ayat tentang orang-orang yang telah menyatakan setia dan bersandar teguh kepada Allah di samping Nabi mereka yang mereka cintai itu. Mereka tidak patah semangat karena percobaan, tidak jadi lesu dan berdiam diri, melainkan sabar menanti hasil perjuangan. Kemudian, mereka memohon ampun kalau mereka ada bersalah. Artinya di dalam perjuangan itu tidak boleh alpa mengadakan penyelidikan atau koreksi kepada diri sendiri dan seluruh angkatan yang turut berjuang. Mana kekurangan dan mana kesalahan, wajib diperbaiki. Baik dosa masing-masing pribadi, karena dosa bisa merontokkan pertahanan batin, maupun dosa karena pelanggaran-pelanggaran atas disiplin dari Allah atau dari pimpinan. Dalam pada itu tidak pula berhenti memohon kepada Allah agar peperangan ini dimenangkan-Nya.
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa manusia harus berusaha menyelidiki mana kesalahan dan mana kekurangan. Di samping itu, bertawakal kepada Allah. Sebab, sepandai-pandai manusia mengatur, ada lagi kekuasaan tertinggi yang menentukan, sehingga apabila
Ayat 148
“Maka Allah pun memberikan ganjaran dunia kepada mereka dan sebaik-baik ganjaran akhirat."
Ayat ini menjelaskan bahwa akhirnya permohonan mereka dikabulkan Allah, lalu setelah mereka isi syarat-syarat tadi.
1. Tidak mengeluh karena percobaan.
2. Tidak lesu, patah semangat.
3. Tidak mundur barang setapak.
4. Sabar menanti hasil, walaupun rasanya lama. Senantiasa mengadakan koreksi dan penyelidikan atas dosa terhadap Allah atau pelanggaran-pelanggaran atas disiplin, lalu memperbaikinya,
5. Selalu memohon pertolongan kepada Allah.
Dengan memenuhi keenam syarat ini, ganjaran Allah pun datang. Permohonan mereka tidak disia-siakan. Mereka diberi kebahagiaan dunia, yaitu kemerdekaan sesudah perbudakan. Cahaya jiwa sesudah kegelapan pikiran dan dapat mengatur nasib sendiri di dalam menegakkan agama. Kelak akan dapat pula kebahagiaan akhirat karena di dunia telah menegakkan keadilan dan kebenaran.
“Allah amat suka kepada orang-orang yang berbuat baik."
Di sini sebagai kunci ayat diterangkan bahwa Allah amat suka, amat kasih, kepada orang-orang yang berbuat baik, berbuat kebajikan, atau memperbaiki mana pekerjaan yang belum baik, melebih-sempurnakan mana yang belum sempurna. Jatuh dan gagal yang pertama, belumlah kegagalan. Kegagalan, Ialah jika jatuh juga karena sebab yang serupa di tempat yang sama.
Kita bertemu dengan tiga ayat berturut-turut menyebut tiga hal yang penting dijadikan pegangan hidup berjuang.
1. Bersyukur (syakirin)
2. Bersabar (sabirin)
3. Selalu memperbaiki dan mempertinggi mutu (muhsinin), sehingga baik dalam iman atau dalam amal, tidak bertambah mundur, tetapi bertambah maju.
Dengan ayat ini dapat kita melengkapi maksud ayat 145 di atas tadi, yaitu bahwa di kalangan kamu ada yang menginginkan dunia dan ada yang menginginkan akhirat. Tujuan sebenarnya ialah akhirat. Kelak kalau cita-cita tercapai, karena menginginkan akhirat itu, Allah pun tidak akan menyia-nyia-kan hamba-Nya yang berjuang. Allah akan memberikan juga kepadanya pahala dunia dan sebaik-baik pahala akhirat. Artinya, yang akan mereka terima di akhirat pahala yang didapatnya di dunia sekarang ini. Misalnya kita bangsa Indonesia berjuang menegakkan jalan Allah, memberantas kezaliman dan kebatilan penjajah, lalu tercapai kemerdekaan. Kemerdekaan tanah air dan bangsa adalah pahala dunia. Dan kalau mati, maka kelak di akhirat akan menerima pula pahala yang berganda-ganda yang tidak dapat digambarkan betapa bahagianya jika dibandingkan dengan kebahagiaan dunia yang terbatas ini.
Tampaklah di sini bahwa kekalahan dan kekecewaan di Perang Uhud—meskipun membawa hasil yang pahit—tetapi menyebabkan turunnya pimpinan yang demikian lengkap dan penuh kasih dari Allah. Yang terutama sekali ialah menjelaskan kembali tujuan perjuangan, untuk menghilangkan keraguan pada zaman depan. Allah membayangkan umat yang dahulu yang berjuang dengan setia di bawah pimpinan nabi-nabi mereka. Mereka berjuang menuju ridha Allah semata-mata. Kalau ada yang salah, mohonlah ampun, kalau ada pelanggaran segeralah tobat. Mana yang kurang, seterusnya diperbaiki. Allah pun tidak melupakan mereka. Apabila ridha Allah yang dituju, sambil lalu dunia akan dapat juga, yaitu kemerdekaan dan kemuliaan. Dan di akhirat akan dapat lebih berlipat ganda dari itu. Dengan begitu, kepahitan pengalaman di Jabal Uhud tidak akan terulang lagi.
Yang penting sekali ialah jamaah wajib taat dan patuh kepada satu komando. Kalau Nabi ditaati sebagai seorang Nabi, dia pun wajib ditaati sebagai kepala perang. Kalau komando bukan satu, semua ingin menjadi pemimpin, pasti perang akan kalah. Terutama dalam susunan ketentaraan, sejak dahulu sampai sekarang, intinya ialah disiplin, menurut dengan membuta. Walaupun disuruh mati. Memang tentara untuk mati!
Tentara yang baik dengan komando yang baik. Memang suatu perintah diberikan oleh panglimanya dengan penuh bijaksana dan perhitungan, tetapi melaksanakan perintah itu wajib dengan meniadakan diri. Tentara tewas tidak mengapa. Malahan itulah yang dihadang sejak semula. Akan tetapi, keuntungan bukan untuk perseorangan, melainkan untuk jamaah. Kalau secara sekarang ialah untuk negara.
Ada lagi beberapa ayat lanjutan tentang pengalaman di Uhud yang pahit ini. Sehari saja sesampai di Madinah, kembali dari Perang Uhud itu, dalam kepenatan, kepayahan, duka cita karena kematian, Rasulullah mengerahkan segala tentara yang ikut Perang Uhud itu segera keluar kota, semua. Yaitu pergi mengejar kaum musyrikin itu. Supaya jangan mereka pulang ke Mekah membawa kesan bahwa kaum Muslimin telah patah semangat lantaran kekalahan itu. Mereka kejar sampai ke suatu tempat yang bernama Hamraul Asad.
Sampai di sana terjadi ancam-mengancam, main bisik desus dengan spion kedua belah pihak, tetapi akhirnya Quraisylah yang mundur, segera pulang ke Mekah. Kalah semangat!