Ayat
Terjemahan Per Kata
إِذۡ
ketika
تَقُولُ
kamu mengatakan
لِلۡمُؤۡمِنِينَ
kepada orang-orang mukmin
أَلَن
apakah tidak
يَكۡفِيَكُمۡ
cukup bagimu
أَن
bahwa
يُمِدَّكُمۡ
menolong kamu
رَبُّكُم
Tuhan kalian
بِثَلَٰثَةِ
dengan tiga
ءَالَٰفٖ
ribu
مِّنَ
dari
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ
Malaikat
مُنزَلِينَ
yang diturunkan
إِذۡ
ketika
تَقُولُ
kamu mengatakan
لِلۡمُؤۡمِنِينَ
kepada orang-orang mukmin
أَلَن
apakah tidak
يَكۡفِيَكُمۡ
cukup bagimu
أَن
bahwa
يُمِدَّكُمۡ
menolong kamu
رَبُّكُم
Tuhan kalian
بِثَلَٰثَةِ
dengan tiga
ءَالَٰفٖ
ribu
مِّنَ
dari
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ
Malaikat
مُنزَلِينَ
yang diturunkan
Terjemahan
(Ingatlah) ketika engkau (Nabi Muhammad) mengatakan kepada orang-orang mukmin, “Apakah tidak cukup bagimu bahwa Tuhanmu membantumu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?”
Tafsir
(Ketika) zharfu zaman bagi datangnya pertolongan (kamu mengatakan kepada orang-orang beriman) menjanjikan demi ketenteraman hati mereka ("Tidakkah cukup bagi kamu jika kamu dibantu Tuhanmu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan.") ada yang membaca munzaliina dan ada pula munazzaliina.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 124-129
(Ingatlah) ketika kamu mengatakan kepada orang-orang mukmin, "Apakah tidak cukup bagi kalian Allah membantu kalian dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?"
Ya (cukup), jika kalian bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kalian dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kalian dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.
Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) kalian, dan agar tenteram hati kalian karenanya. Dan kemenangan kalian itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Allah menolong kalian dalam Perang Badar dan memberi bala bantuan itu) untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka kembali dengan tidak memperoleh apa-apa.
Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia mengazab siapa yang Dia kehendaki; dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 124
Ulama tafsir berselisih pendapat sehubungan dengan janji ini, apakah hal tersebut terjadi dalam Perang Badar atau dalam Perang Uhud? Ada dua pendapat mengenainya.
Pertama mengatakan bahwa firman-Nya: “Ketika kamu mengatakan kepada orang-orang mukmin.” (Ali Imran: 124) berkaitan dengan firman-Nya: “Sungguh Allah telah menolong kalian dalam perang Badar.” (Ali Imran: 123) Pendapat ini bersumber dari Al-Hasan Al-Basri, Amir Asy-Sya'bi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta selain mereka. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan firman-Nya: “(Ingatlah) ketika kamu mengatakan kepada orang-orang mukmin, ‘Apakah tidak cukup bagi kalian Allah membantu kalian dengan tiga ribu malaikat?’" (Ali Imran: 124) Yang disebut dalam ayat ini terjadi dalam Perang Badar.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir (yakni Asy-Sya'bi), bahwa kaum muslim mendengar berita menjelang Perang Badar, bahwa Kurz ibnu Jarir memberikan bantuan kepada pasukan kaum musyrik. Hal tersebut membuat pasukan kaum muslim merasa berat.
Ayat 125
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah tidak cukup bagi kalian Allah membantu kalian dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (Ali Imran: 124) sampai dengan firman-Nya: “Yang memakai tanda.” (Ali Imran: 125) Asy-Sya'bi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu sampailah kepada Kurz kekalahan yang diderita pasukan kaum musyrik. Maka Kurz tidak jadi membantu pasukan kaum musyrik, dan Allah tidak lagi membantu pasukan kaum muslim dengan lima ribu malaikat.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Allah membantu pasukan kaum muslim dengan seribu malaikat, kemudian bantuan menjadi tiga ribu malaikat, lalu ditambah lagi menjadi lima ribu malaikat.
Apabila dikatakan, bagaimanakah menggabungkan pengertian antara makna ayat ini dengan pendapat tersebut, juga dengan firman Allah ﷻ dalam kisah Perang Badar, yaitu: “(Ingatlah) ketika kalian memohon pertolongan kepada Tuhan kalian, lalu diperkenankan-Nya bagi kalian, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kalian dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut’." (Al-Anfal: 9) sampai dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 10) Maka sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa penyebutan seribu malaikat dalam ayat ini tidak bertentangan dengan jumlah tiga ribu dan yang lebih banyak lagi, karena berdasarkan nas firman-Nya yang mengatakan: “berturut-turut.” (Al-Anfal: 9) Yakni kedatangan mereka diiringi dengan yang lainnya, dan ribuan malaikat lainnya menyusul mereka yang seribu itu secara berturut-turut.
Ungkapan ini mirip dengan ungkapan yang ada di dalam ayat surat Ali Imran. Yang jelas hal tersebut terjadi dalam Perang Badar, seperti yang dikenal bahwa para malaikat ikut perang hanya dalam perang Badar. Sa'id ibnu Abu Arubah mengatakan bahwa pasukan kaum muslim mendapat bala bantuan lima ribu malaikat dalam Perang Badar.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa sesungguhnya janji ini berkaitan dengan firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempaikan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang.” (Ali Imran: 121) Hal tersebut terjadi dalam Perang Uhud. Demikianlah pendapat Mujahid, Ikrimah, Adh-Dhahhak, Az-Zuhri, dan Musa ibnu Uqbah dan lain-lain. Tetapi mereka mengatakan bahwa bala bantuan lima ribu malaikat belum terlaksana karena pasukan kaum muslim keburu lari pada hari itu (yakni mundur). Ikrimah menambahkan, dan tidak pula dengan tiga ribu malaikat, karena berdasarkan kepada firman-Nya: “Ya (cukup), jika kalian bersabar dan bertakwa.” (Ali Imran: 125) Tetapi ternyata mereka tidak bersabar, bahkan lari dari medan perang. Karena itu, mereka tidak diberi pertolongan dengan seorang malaikat pun.
Firman Allah ﷻ: “Ya (cukup), jika kalian bersabar dan bertakwa.” (Ali Imran: 125)
Maksudnya, jika kalian bersabar dalam menghadapi musuh kalian dan kalian bertakwa kepada-Ku serta taat kepada perintah-Ku.
Firman Allah ﷻ: “Dan mereka datang menyerang kalian dengan seketika itu juga.” (Ali Imran: 125)
Menurut Qatadah, Al-Hasan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta As-Suddi disebutkan bahwa arti min faurihim ialah dari arah mereka yang ini.
Menurut Mujahid, Ikrimah,dan Abu Saleh artinya dengan kemarahan mereka.
Menurut Adh-Dhahhak, artinya dengan kemarahan mereka dan datang menyerang dari arah mereka.
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, disebutkan dari perjalanan mereka.
Menurut pendapat yang lain, karena terdorong oleh kemarahan mereka.
Firman Allah ﷻ: “Niscaya Allah menolong kalian dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.” (Ali Imran: 125)
Yaitu memakai tanda khusus. Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari Harisah ibnu Mudarrib, dari Ali ibnu Abu Thalib yang telah mengatakan bahwa tanda malaikat dalam Perang Badar ialah memakai kain bulu berwarna putih, dan tanda yang lainnya terdapat pada ubun-ubun kuda mereka.
Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Hudbah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: “Yang memakai tanda.” (Ali Imran: 125) Bahwa mereka memakai tanda bulu berwarna merah.
Menurut Mujahid, makna firman-Nya: Yang memakai tanda.” (Ali Imran: 125) Yakni rambut kuda mereka dibuang, dan diberi tanda pada ekornya dengan kain bulu, juga pada ubun-ubun kuda mereka.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa para malaikat datang membantu Nabi Muhammad ﷺ dengan memakai tanda kain bulu. Maka Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya mengenakan tanda pula pada diri mereka dan kuda-kuda mereka seperti tanda yang dipakai oleh para malaikat.
Qatadah dan Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Yang memakai tanda.” (Ali Imran: 125) Yaitu tanda peperangan.
Makhul mengatakan, "Dengan memakai tanda sorban."
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui hadits Abdul Quddus ibnu Habib, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabbah, dari ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda sehubungan dengan firman-Nya: “Yang memakai tanda.” (Ali Imran: 125) Yang dimaksud dengan musawwamln ialah memakai tanda, dan tersebutlah bahwa tanda yang dipakai oleh para malaikat dalam Perang Badar ialah memakai sorban hitam, sedangkan dalam Perang Hunain memakai sorban merah.
Diriwayatkan melalui hadits Husain ibnu Mukhariq, dari Sa'id, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa malaikat tidak ikut berperang kecuali hanya dalam perang Badar.
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku orang yang tidak aku curigai, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tanda pengenal malaikat pada Perang Badar ialah memakai sorban putih yang ujungnya mereka juraikan ke belakang punggung mereka.
Sedangkan dalam Perang Hunain mereka memakai tanda kain sorban merah. Para malaikat belum pernah berperang dalam suatu hari pun kecuali dalam Perang Badar; mereka biasanya hanya membentuk pasukan dan bantuan, tetapi tidak ikut memukul dalam perang. Kemudian Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas, lalu ia menyebutkan hadits yang serupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari Yahya ibnu Abbad, bahwa Az-Zubair di saat Perang Badar memakai kain sorban berwarna kuning seraya melipatkannya. Maka para malaikat turun membantu pasukan kaum muslim dengan memakai kain sorban kuning.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui jalur Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Abdullah ibnuz Zubair, lalu ia mengetengahkan hadits ini.
Ayat 126
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) kalian, dan agar tenteram hati kalian karenanya.” (Ali Imran: 126)
Yakni tiadalah Allah menurunkan para malaikat dan memberitahukan kepada kalian akan turunnya mereka kecuali sebagai berita gembira buat kalian, untuk menyenangkan serta menenangkan hati kalian. Jika bukan karena itu, sesungguhnya kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah; yang seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia dapat menang atas musuh-musuh-Nya, sekalipun tanpa kalian, dan tanpa memerlukan kalian untuk memerangi mereka.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Allah ﷻ sesudah memerintahkan kaum mukmin untuk berperang, melalui firman-Nya: “Demikianlah, apabila Allah menghendaki, niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberi mereka petunjuk dan memperbaiki keadaan mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surga yang telah diperkenankan-Nya untuk mereka.” (Muhammad: 4-6) Karena itu, dalam surat Ali Imran ayat 126 ini Allah ﷻ berfirman: “Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai berita gembira bagi (kemenangan) kalian, agar tenteram hati kalian karenanya. Kemenangan kalian itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 126) Yakni Allah Yang mempunyai keperkasaan yang tak terperikan, dan mempunyai hikmah (kebijaksanaan) dalam takdir dan hukum-hukum-Nya.
Ayat 127
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir.” (Ali Imran: 127)
Artinya, Allah telah memerintahkan kalian untuk berjihad dan berjuang karena di dalamnya mengandung hikmah dari berbagai segi menurut Allah. Karena itu, maka disebutkan semua keadaan yang akan dialami oleh orang-orang kafir yang berperang melawan kaum muslim, melalui firman-Nya:
“Untuk membinasakan segolongan.” (Ali Imran: 127) Yaitu untuk membinasakan suatu umat.
“Dari orang-orang yang kafir, atau menjadikan mereka hina. Lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa.” (Ali Imran: 127)
Maksudnya, mereka kembali ke tempatnya tanpa menghasilkan apa yang mereka harap-harapkan.
Ayat 128
Kemudian Allah ﷻ mengalihkan khitab-Nya yang isinya menunjukkan bahwa kekuasaan di dunia dan akhirat hanya milik Dia semata, tiada sekutu bagi-Nya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka.” (Ali Imran: 128)
Yakni bahkan semua urusan itu hanyalah kembali kepada-Ku. Seperti yang diungkapkan dalam ayat-ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Karena sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab mereka.” (Ar-Ra'd: 40)
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 272)
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka.” (Ali Imran: 128) Yakni tidak ada sedikit pun keputusanmu tentang hamba-hamba-Ku kecuali apa yang Aku perintahkan kepadamu terhadap mereka.
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan bagian yang lainnya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Apakah Allah menerima tobat mereka.” (Ali Imran: 128)
Yakni mengampuni kekufuran mereka dengan cara memberi mereka petunjuk sesudah mereka sesat.
“Atau mengazab mereka.” (Ali Imran: 128)
Yakni di dunia dan akhirat karena kekufuran dan dosa-dosa mereka. Karena itulah dalam penutup ayat disebutkan oleh firman-Nya:
“Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali Imran: 128) Yakni mereka berhak untuk mendapatkan azab.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Salim, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ mengucapkan doa berikut ketika beliau mengangkat kepalanya dari rukuk pada rakaat yang kedua dari shalat Subuh: “Ya Allah, laknatilah si Fulan dan si Fulan.”
Nabi ﷺ mengucapkan doa tersebut sesudah membaca: “Semoga Allah mendengar (memperkenankan) bagi orang yang memuji-Nya. Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128), hingga akhir ayat. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai melalui hadits Abdullah ibnul Mubarak dan Abdur Razzaq, keduanya menerima hadits ini dari Ma'mar dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Aqil (Abdullah ibnu Aqil yang hadisnya baik lagi tsiqah), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hamzah, dari Salim, dari ayahnya, bahwa ia telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya Allah, laknatilah si Fulan dan si Fulan. Ya Allah, laknatilah Al-Haris ibnu Hisyam. Ya Allah, laknatilah Suhail ibnu Amr. Ya Allah, laknatilah Safwan ibnu Umayyah.” Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu pakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali Imran: 128) Pada akhirnya Allah menerima tobat mereka semua.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah Al-Ala-i, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ajlan, dari Nafi', dari Abdullah, bahwa Rasulullah ﷺ sering mengucapkan doa untuk kebinasaan empat orang. Maka setelah itu Allah menurunkan firman-Nya: “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128), hingga akhir ayat. Dan pada akhirnya Allah memberi mereka petunjuk kepada agama Islam, maka masuk Islamlah mereka.
Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ajlan meriwayatkan dari Nafi', dari ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ melaknat (mendoakan untuk kebinasaan) beberapa orang dari kaum musyrik yang beliau sebut nama-nama mereka satu per satu, hingga Allah ﷻ menurunkan ayat berikut ini: “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128)
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Ibnu Syihab, dari Sa'id ibnul Musayyah dan Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bila hendak mendoakan untuk kebinasaan seseorang atau mendoakan untuk kebaikan seseorang, beliau melakukan qunut sesudah rukuk.
Adakalanya Abu Hurairah mengatakan bahwa apabila beliau ﷺ usai mengucapkan doa berikut: “Semoga Allah memperkenankan bagi orang yang memuji kepada-Nya. Wahai Tuhan kami, hanya bagi-Mulah segala puji. Maka beliau mengiringinya dengan bacaan berikut: ‘Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid ibnul Walid, Salamah ibnu Hisyam, dan Iyasy ibnu Abu Rabi 'ah serta orang-orang yang lemah dari kaum mukmin. Ya Allah, keraskanlah tekanan-Mui terhadap Mudar; dan jadikanlah tekanan-Mu terhadap mereka berupa paceklik seperti pacekliknya Nabi Yusuf’.” Rasulullah ﷺ membaca doa tersebut dengan mengeraskan bacaannya.
Tersebutlah bahwa Rasulullah ﷺ dalam sebagian shalat Subuh sering mengucapkan doa berikut, yaitu: "Ya Allah, laknatilah si Fulan dan si Fulan," ditujukan kepada beberapa kabilah dari kalangan orang-orang Arab, hingga Allah menurunkan firman-Nya: “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128), hingga akhir ayat.
Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Humaid ibnu Sabit meriwayatkan dari Anas ibnu Malik, bahwa Nabi ﷺ terluka pada wajahnya dalam Perang Uhud, lalu beliau bersabda: “Bagaimana bisa memperoleh keberuntungan suatu kaum yang berani melukai wajah nabi mereka?” Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128) Hadits ini sanadnya mu'allaq dalam shahih Al Al-Bukhari.
Al Al-Bukhari mengatakan dalam Bab "Perang Uhud”: Telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Salim ibnu Abdullah, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ mengucapkan doa berikut sesudah mengangkat kepalanya dari rukuk pada rakaat terakhir dari shalat Subuhnya, yaitu: “Ya Allah, laknatilah si Fulan dan si Fulan serta si Fulan.” Hal ini diucapkannya sesudah mengucapkan: “Semoga Allah memperkenankan bagi orang yang memuji kepada-Nya, wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu-lah segala puji. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128), hingga akhir ayat.
Diriwayatkan dari Hanzalah ibnu Abu Sufyan yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Abdullah mengatakan, "Rasulullah ﷺ pernah mendoakan kebinasaan yang ditujukan kepada Safwan ibnu Umayyah, Suhail ibnu Amr, dan Al-Haris ibnu Hisyam. Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu apakah Allah menerima tobat mereka atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim’.” (Ali Imran: 128). Demikianlah tambahan yang disebut oleh Imam Al-Bukhari secara mu'allaqah dan mursalah. Hadits ini disebut secara musannadah lagi muttasilah dalam Musnad Imam Ahmad tadi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas , bahwa gigi seri Nabi ﷺ pernah rontok dalam Perang Uhud dan wajahnya terluka, hingga darah membasahi wajah beliau. Maka beliau bersabda: “Bagaimana bisa mendapat keberuntungan suatu kaum yang berani melakukan perbuatan ini kepada nabi mereka, padahal nabi mereka menyeru mereka untuk menyembah Tuhan mereka.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali Imran: 128) Riwayat ini hanya diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri. Dia meriwayatkannya dari Al-Qa'nabi, dari Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, lalu ia menuturkan hadits ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Matar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah mengalami luka dalam Perang Uhud hingga gigi serinya rontok dan alisnya terluka, lalu beliau terjatuh yang saat itu beliau memakai baju besi dua lapis, sedangkan darah mengalir dari lukanya. Maka Salim maula Abu Huzaifah menghampirinya dan mendudukkannya serta mengusap wajahnya. Lalu Nabi ﷺ sadar dan bangkit seraya mengucapkan: “Bagaimana bisa memperoleh keberuntungan suatu kaum yang berani melakukan ini terhadap nabi mereka?” Nabi ﷺ mengucapkan demikian seraya mendoakan untuk kebinasaan mereka kepada Allah ﷻ. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128), hingga akhir ayat. Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah dengan lafal yang serupal. Akan tetapi, di dalam riwayatnya tidak disebutkan fa'afaqa (lalu beliau sadar).
Ayat 129
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi.” (Ali Imran: 129), hingga akhir ayat.
Yakni semuanya adalah milik Allah, dan para penghuni keduanya merupakan hamba-hamba-Nya. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki. (Ali Imran: 129)
Artinya, Dialah yang mengatur dan tidak ada akibat bagi keputusan-Nya. Dia tidak dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang Dia kerjakan, tetapi mereka dimintai pertanggungjawaban. “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 129)
Ayat ini menggambarkan upaya Rasulullah sebagai pemimpin untuk menyemangati umat Islam yang akan ikut Perang Uhud. Ingatlah, ketika engkau, wahai Nabi Muhammad, mengatakan kepada orangorang beriman, Apakah tidak cukup bagimu bahwa Allah membantu kamu dengan bantuan yang tidak tampak, yaitu tiga ribu malaikat yang diturunkan dari langit' Ya cukup. Meskipun jumlah tersebut sudah cukup, tetapi jika kamu bersabar menghadapi lawan dan bertakwa dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, ketika mereka, orang-orang kafir, datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang tampak berupa lima ribu malaikat yang memakai tanda, yaitu malaikat yang akan terlibat langsung dalam peperangan sesuai cara dan ketentuan Allah. Para malaikat tersebut digambarkan seperti para pemberani dalam peperangan yang lazimnya menggunakan tanda-tanda khusus.
Untuk lebih memperkuat hati dan tekad kaum Muslimin dalam menghadapi Perang Uhud ini, Nabi mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan dibantu oleh Allah dengan 3.000 malaikat. Apabila mereka sabar dan tabah menghadapi segala bahaya dan bertakwa, Allah akan membantu mereka dengan 5.000 malaikat.
Menurut riwayat Adh-ahhak, bantuan dengan 5.000 malaikat ini adalah janji dari Allah yang dijanjikan-Nya kepada Muhammad jika kaum Muslimin sabar dan bertakwa. Ibnu Zaid meriwayatkan, ketika kaum Muslimin melihat banyaknya tentara kaum musyrikin dan lengkapnya persiapan mereka, mereka bertanya kepada Rasulullah saw, "Apakah dalam perang Uhud ini Allah tidak akan membantu kita sebagaimana Dia telah membantu kita dalam Perang Badar?" Maka turunlah ayat ini.
Memang dalam Perang Badar Allah telah membantu kaum Muslimin dengan 1000 malaikat sebagai tersebut dalam firman-Nya:
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, "Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut." (al-Anfal/8:9).
Pada mulanya dalam Perang Uhud ini pasukan kaum Muslimin sudah dapat mengacaubalaukan musuh sehingga banyak di antara kaum musyrik yang lari kocar-kacir meninggalkan harta benda mereka, dan mulailah tentara Islam berebut mengambil harta benda itu sebagai ganimah (rampasan). Melihat keadaan ini para pemanah diperintahkan oleh Nabi Muhammad ﷺ agar tetap bertahan di tempatnya, apa pun yang terjadi. Menyangka kaum musyrikin telah kalah, para pemanah pun meninggalkan tempat mereka dan turun untuk ikut mengambil harta ganimah.
Karena tempat itu telah ditinggalkan pasukan pemanah, Khalid bin Walid panglima musyrikin Quraisy waktu itu, dengan pasukan berkudanya naik ke tempat itu dan mendudukinya, lalu menghujani kaum Muslimin dengan anak panah dari belakang sehingga terjadilah kekacauan dan kepanikan di kalangan kaum Muslimin. Dalam keadaan kacau balau itu kaum musyrikin mencoba hendak mendekati markas Nabi saw, tetapi para sahabat dapat mempertahankannya walaupun Nabi sendiri mendapat luka di bagian muka, bibirnya serta giginya pecah.
Akhirnya berkat kesetiaan mereka membela Nabi dan kegigihan mereka mempertahankan posisinya, mereka bersama Nabi naik kembali ke bukit Uhud dengan selamat. Dengan demikian berakhirlah pertempuran dan pulanglah kaum musyrikin menuju Mekah dengan rasa kecewa karena tidak dapat mengalahkan Muhammad dan pasukannya, walaupun mereka sendiri masih selamat dari kehancuran.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERBANDINGAN ANTARA KEKALAHAN DI PERANG UHUD DAN KEMENANGAN DI PERANG BADAR
Pada ayat yang lalu telah ditekankan oleh Allah bahwasanya begitu pun hebatnya tipu daya yang telah diatur musuh, tidaklah itu akan mencelakakan kamu, wahai orang yang beriman, asai dua syarat tetap kamu pegang teguh, yaitu sabar dan takwa. Dalam sabar itu tentu termasuk disiplin, taat kepada pimpinan, dan dalam takwa tentu termasuk teguh dan tekun beribadah kepada Allah. Kalau keduanya ini tidak kamu lepas-lepaskan, jangan kamu pusingkan siasat musuh itu, sebab Allah telah mengepung dan mengelilingi mereka dengan siasat Allah sendiri pula. Akan tetapi, kalau sabar dan takwa itu pernah terlepas dari sikap hidup dan hatimu, janganlah menyesal jika siasat musuh itu berhasil juga sekali-sekali. Karena itu adalah karena lengah dan kela-laianmu sendiri.
Ini disuruh kembali kepada Nabi ﷺ untuk umatnya. Gunanya ialah memperingatkan bagaimana pentingnya sabar dan takwa itu dalam menghadapi musuh. Hal ini terjadi dalam Peperangan Uhud. Dan duduk asalnya adalah begini.
Setelah kaum musyrikin Quraisy mendapat kekalahan yang sangat besar di dalam Peperangan Badar yang terkenal itu dan banyak pemuka mereka yang penting tewas di sana, timbullah dalam hati mereka dendam yang besar, keinginan berkobar-kobar hendak menuntut balas. Untuk itu, dan mulai saat itu, pimpinan kaum Quraisy menentang Nabi ﷺ diserahkan kepada Abu Sufyan. Namanya saja pun hebat, yaitu si Sakhar (elang rajawali) anak si Harb (si perang) Abu Sufyan bersumpah bahwa dia tidak akan mandi junub selama-lamanya sesudah bersetubuh dengan istrinya sebelum dendam di Badar dapat ditebus.
Untuk maksud menyerang Madinah de ngan kekuatan besar, terlebih dahulu Abu Sufyan pernah memimpin sendiri 100 orang datang dengan sangat rahasia ke perkampungan Yahudi Bani Nadhir, meminta supaya kaum Yahudi itu sudi membantunya. Akan tetapi, mata-mata Nabi ﷺ segera mengetahui kedatangan mereka, maka sebelum pertemuan terlaksana, mereka telah dapat dikejar dan diusir. Mereka segera lari pulang ke Mekah, sehingga berceceranlah barang-barang perbekalan mereka di satu tempat bernama Suaik, menjadi ghanimah empuk bagi kaum Muslimin.
Sesampai di Mekah, dari petualangan 100 orang itu, Abu Sufyan langsung mengerahkan tenaga kaum Quraisy untuk menyerang Madinah. Mereka ajak juga dua kabilah sekutu mereka, yaitu Kinanah dan Tihamah, sehingga tidak kurang jumlah angkatan perang itu dari 1000 orang banyaknya. Untuk membangkitkan semangat perang, dibawa juga perempuan-perempuan. Di antaranya ialah Hindun binti Utbah sendiri, istri Abu Sufyan yang sangat berdendam, sebab banyak keluarganya yang mati di Badar. Di samping itu, dibawa juga seorang budak yang bernama Wahsyi (si liar) budak bangsa Habsyi, kepunyaan Jubair bin Muth'im. Dia diberi janji oleh Jubair, kalau dia dapat membunuh Hamzah bin Abi Thalib, paman Rasulullah, dia akan langsung dimerdekakan. Mereka juga membawa genderang-genderang perang untuk ditabuh dan dinyanyikan oleh perempuan-perempuan, untuk membangkitkan semangat juang.
Mereka telah siap hendak menyerbu kota Madinah, Islam hendak diserbu di dalam tempat tumbuhnya sendiri.
Setelah berita itu sampai kepada Rasulullah ﷺ langsunglah beliau memanggil seluruh sahabat, Muhajirin dan Anshar bersidang untuk bermusyawarah, bagaimana cara menghadapi musuh yang telah datang hendak me-nyerbu kota Madinah ini.
Angkatan-angkatan muda berpendapat lebih baik musuh itu dihadang di luar kota. Abdullah bin Ubay sendiri yang sudah sewajarnya dibawa bermusyawarah—sebab dia penduduk terkemuka kota Madinah—menge-mukakan pendapat bahwa lebih baik bertahan di dalam kota saja. Sedangkan Rasulullah ﷺ mengeluarkan pendapat bersamaan dengan pendapat Abdullah bin Ubay itu.
Tetapi Rasulullah ﷺ mengerti latar belakang kedua pendapat yang berbeda ini. Pemuda-pemuda itu berkeras mengusulkan biar menyerbu keluar kota didorong oleh semangat jihad yang berkobaran, Sedang pendapat Abdullah bin Ubay, meskipun sama dengan pendapat Nabi, tidaklah dipercayai kejujurannya. Kalau musuh masuk, belum tentu Abdullah bin Ubay dengan pengikut-pengikutnya akan bertahan dengan setia.
Setelah mengimbangi antara kedua pendapat itu, akhirnya Rasulullah mengambil keputusan menurut suara terbanyak, yaitu bukan bertahan di dalam kota tetapi menyambut musuh itu keluar kota. Beliau telah melakukan perintah Allah yang kelak akan tersebut juga di dalam surah ini, ayat 159, “Ajak bermusyawarah; maka apabila tekadmu telah bulat (‘azam-ta), bertawakallah kepada Allah dan hilangkan segala keragu-raguan."
Cara musyawarah seperti ini masih saja tetap dilakukan oleh jenderal-jenderal yang ahli di dalam peperangan yang besar-besar. Didengar segala usul dan keterangan, lalu panglima mengambil keputusan.
Setelah keputusan itu diambil, menyerang dan menangkis musuh keluar kota, beliau lekatkanlah alat pakaian perang beliau; keto-pong perisai, pedang, dan tombaknya. Beliau telah siap. Dan musyawarah tidak akan ada lagi. Akan tetapi, beberapa sahabat tertua
yang berpengalaman mengambil kesempatan, memberi beberapa keterangan kepada pemuda-pemuda yang bersemangat itu bahwa pendapat Rasulullah ﷺ yang benar. Musuh yang kabarnya tidak kurang dari 3.000 orang banyaknya itu hanya dapat ditangkis dengan pertahanan kota yang kuat, sampai mereka tidak berdaya lagi. Taktik perang dalam hal ini, yang lebih baik ialah bertahan (defensif) Lalu pemuda-pemuda itu menjadi ragu kembali kepada usul mereka sendiri yang telah dijadikan keputusan itu dan mau tunduk kepada pendapat Rasulullah ﷺ yang semula, biar bertahan saja, jangan menyerbu.
Lalu, seorang di antara mereka memberanikan diri menghadapi Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa mereka sekarang telah surut dari pendapat semula dan sudi menuruti pendapat Rasulullah yang pertama. Mendengar usul itu, Rasulullah ﷺ marah, lalu berkata, “Pantang bagi seorang Rasul, apabila pakaian perangnya telah lekat ke badannya, akan membukanya kembali, sebelum Allah menentukan siapa yang akan menang, dia atau musuhnya!"
Kalau keputusan sudah diambil, tidak boleh ragu lagi! Lalu semuanya terdiam dan tunduk. Dan pagi-paginya Rasulullah ﷺ keluar dari rumahnya lalu menyusun tentara beliau, Mujahidin yang gagah perkasa itu. Yang masih saja menggerutu-gerutu ialah Abdullah bin Ubay.
Beliau menyusun tentara pagi-pagi itulah yang diperingatkan pada ayat 121 ini.
Ayat 121
“Dan (ingatlah) tatkala engkau ketuan dari ahlimu pagi-pagi, menyiapkan tempat-tempat kedudukan untuk berperang bagi orang-orang yang beriman; Allah Mendengar lagi Mengetahui “
Pada hari Sabtu pagi-pagi benar, 15 Syawwal tahun ketiga hijrah, Rasulullah ﷺ telah memimpin 1.000 orang tentara Islam menuju Uhud. Tempat itulah yang beliau pilih menjadi Maqa'ida lilqitali, yaitu tempat-tempat kedudukan untuk berperang, artinya tempat yang beliau pandang sangat strategis, baik untuk menangkis serangan maupun sebagai pangkalan untuk menyerbu.
Dengankisahyangpendekini, terbayanglah bagi kita betapa Rasulullah sebagai kepala perang. Terlebih dahulu rupanya beliau telah mengetahui betapa pentingnya Bukit Uhud dalam taktik dan teknik perang, asal saja tentara yang berada di bawah perintah beliau taat memegang disiplin. Dari lereng Bukit Uhud yang tidak berapa tinggi, dengan alat-alat yang sederhana pada zaman itu, dapat diketahui dari mana datangnya musuh dan bagaimana gerak-gerik mereka. Dari sejemput kata Maqa'ida lilqitali, kita umat Muhammad diberi isyarat betapa pentingnya dan wajibnya mengatur siasat perang; strategi, taktik, dan teknik, mempelajari medan perang dan cuaca.
Tetapi sedikit lagi akan sampai ke Bukit Uhud itu, terjadilah suatu pengkhianatan besar; Abdullah bin Ubay dengan 300 orang pengikutnya menarik diri, tidak mau melanjutkan perjalanan dan langsung pulang ke Madinah. Dia berkata, “Pendapat saya tidak dipertimbangkannya. Hanya kehendak paja-paja yang beium tahu apa-apa itu yang diper-turutkannya. Saya tidak mau mati konyol menghadapi musuh sebesar itu. Mari kita pulang!"
Tampaknya beliau telah memperhitungkan juga pengkhianatan Abdullah bin Ubay ini. Sebab, meskipun pada mulanya pendapat Abdullah bin Ubay sama pendapat beliau, beliau juga sudah tidak percaya akan kesetiaan orang ini. Sebab itu, beliau tidak ragu sedikit pun. Beliau pimpin terus kaum beriman yang setia yang 700 orang itu. Asal orang yang 700 orang itu teguh mengikuti pimpinan beliau, mereka tidak akan kalah. Beliau mengetahui kelemahan pihak musuh. Dan kaum Muslimin hendaklah teguh memegang persenjataan batin yang ampuh, yaitu sabar dan takwa.
Di ujung ayat ini dikatakan bahwa Allah Mendengar dan Mengetahui. Yaitu Allah mendengar kata-kata khianat yang keluar dari mulut Abdullah bin Ubay dan Allah pun mengetahui betapa keteguhan hati Rasul-Nya meneruskan perjuangan.
Rasul meneruskan perjalanan, tetapi perbuatan khianat Abdullah bin Ubay itu hampir pula memengaruhi yang lain. Inilah yang diingatkan ayat yang selanjutnya,
Ayat 122
“(Ingatlah) tatkala dua golongan antara kamu hampirt saja lemah, Allah-lah menjadi pelindung mereka keduanya. Dan kepada Allah-lah bertawakal orang-orang yang beriman."
Karena 300 orang mengundurkan diri, maka dua kabilah Anshar, yaitu Bani Salmah dari kaum Aus dan Bani Haritsah dari Khazraj, timbul keragu-raguan mereka. Kalau kita hanya tinggal 700 saja guna ke depan dan disuruhnya anak buahnya itu berkumpul. Dia sadarkan apa perang dilanjutkan keluar kota, lebih baik bertahan saja di Madinah. Dan mereka pun telah hampir hendak pulang saja. Akan tetapi, di dalam mereka ragu-ragu itu, bertindaklah salah seorang pemimpin mereka, yaitu Abdullah bin Amr bin Haraam dari persekutuan Bani Salmah. Dia tampik mereka dengan berkata, “Ingatlah Allah, hai kaumku. Jangan kamu kecewakan kaum kamu dan Nabi kamu. Mari kita berperang pada jalan Allah, atau kita bertahan sampai mati! Tidak ada kata lain!"
Tindakan pemimpin yang bertanggung jawab adalah hal yang amat menentukan pada saat yang genting. Perkataan Abdullah bin Amr yang pendek itu sangat memengaruhi Bani Salmah. Semangat mereka bangkit kembali.
Melihat itu, Bani Haritsah pun bangkit pula semangat mereka. Biar bersama mati dengan Rasulullah dan nama persukutuan mereka jangan dikotori, sebagaimana yang diperbuat Abdullah bin Ubay yang telah mengotori nama pengikut-pengikutnya. Dan bilangan tidak lagi berkurang dari 700 orang. Dan kalau hati sudah bulat, orang yang beriman mulailah menegakkan tawakalnya kepada Allah, sebagai tersebut di ujung ayat.
Demikian tinggi semangat, sehingga antara orang itu terdapat tidak kurang dari 17 orang anak-anak yang usianya lebih kurang di bawah 15 tahun. Mereka tidak mau ditinggalkan, walaupun memikul tombak masih berat bagi mereka. Untuk menyenangkan hati mereka, mereka dipanggil disuruh bergumul. Mana yang lebih kuat dibawa tampil ke depan dan mana yang lemah disuruh bersedia-sedia di garis belakang.
Ada seorang tua, Khaisamah namanya. Pada waktu Peperangan Badar dahulu dia berebut dengan putranya hendak pergi, sehingga ayah dan anak membuat undian. Lalu menang undian anaknya itu, dia syahid di Perang Badar.
Tiba-tiba sebelum pergi ke Perang Uhud, orang tua yang bernama Khaisamah itu bermimpi melihat putranya itu bermain-main bersuka ria di sebuah taman yang indah di dalam surga, memetik buah-buahan dan me-renungi air jernih mengalir. Setelah anaknya itu melihat ayahnya, dia pun memanggil, “Ayah! Ananda di sini sekarang. Rupanya janji Allah telah berlaku sebenar-benarnya pada diriku. Mari ayah, marilah turuti aku."
Dia tersentak bangun pagi-pagi, hatinya gelisah, lalu dia datang menghadap Rasulullah ﷺ minta dimasukkan dalam daftar untuk berperang ke Uhud. Dia berkata, “Ya Rasulullah! Aku telah tua, tulangku sudah mulai lemah, dan aku ingin sekali hendak menemui Tuhanku. Bawa aku serta ya Rasulullah dan doakan aku moga-moga aku pun mendapat syahadah sebagaimana anakku dan hidup bersama dia di surga."
Dengan rasa terharu, Rasulullah mengangkatkan tangannya ke langit, mendoakan Khaisamah tua agar permohonannya terkabul. Dan dia pun turut berperang Uhud dengan gagah beraninya. Di sana doa Rasulullah ter-kabul. Khaisamah tua beroleh syahidnya.
Satu macam semangat lagi, ialah semangat Nu'aim bin Malik. Dia datang kepada Rasulullah sebelum perang berkecamuk, lalu berkata dengan penuh keharuan, “Ya Rasulullah, aku ingin masuk surga. Ya Rasulullah, demi Allah, izinkan aku pergi ke surga. Bekalku ialah cinta kepada Allah dan Rasul. Aku sekali-kali tidak akan mundur bila berhadapan dengan musuh" Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “Engkau benar!"
Nu'aim bin Malik turut dalam peperangan dan tidak mengenal mundur walau setapak, keinginannya meneruskan perjalanan ke surga pun terkabul.
Ada lagi seorang pincang, namanya Amir bin Juwamah. Dia beranak laki-laki berempat; keempatnya pergi berperang mengikuti Rasulullah ke Uhud. Setelah empat orang anaknya berangkat, dia mengikuti dari belakang. Anak-anaknya menyuruh pulang, karena mereka berempat sudah cukup, lagi pula dia pincang. Dia tidak wajib berjihad. Akan tetapi, Amir pincang tidak merasa puas dengan penolakan itu, lalu dia langsung menemui Rasulullah dan berkata, “Anak-anakku menghalang-halangiku turut berperang, ya Rasulullah, padahal aku ingin sekali mati syahid, supaya dengan kaki pincangku ini aku pun dapat menginjak tanah surga!"
Rasulullah ﷺ menjawab, “Tetapi sebenarnya engkau tidak wajib berjihad karena cacat badanmu ini." Air matanya menggelang-gang dengan jawab beliau, sambil berkata pula, “Walaupun aku pincang ya Rasulullah, tanganku masih kukuh menetak leher musuh!"
Mendengar permintaan sungguh-sungguh itu, menolehlah Rasulullah ﷺ kepada ke-empat putranya itu dan berkata, “Biarkanlah dia, moga-moga Allah mengabulkan keinginannya!" Keempat anaknya terpaksa mengizinkan dia dan dengan pincangnya dia menyerbu musuh. Keinginannya dikabulkan Allah!
Pada hari akan berangkat, malam Sabtu itu jugalah Abdullah bin Jahasy menyatakan sumpahnya bahwa dia hendak menemui musuh besok. Dia berkata, “Mungkin besok musuh akan membelah perutku; mungkin mereka akan mengerat hidungku dan memotong telingaku. Namun aku tidak peduli, aku akan tetap bertempur."
Apa yang disangkanya itu memang terjadi, dia bertempur dan dia pun membunuh musuh juga, tetapi adat perang bunuh-membunuh dan terbunuh, dia pun terbunuh, perutnya dibelah, hidungnya dipotong, dan telinganya dikerat musuh; dia pun syahid.
Inilah contoh betapa tingginya semangat pada waktu itu, tetapi sayang sekali, perang di Uhud membawa satu kekalahan yang tidak diduga. Hanya karena salah satu sayap barisan melanggar disiplin.
Ketika memulai peperangan, Rasulullah telah mengatur susunan pertahanan dan penyerbuan. Kompi yang mana penyerbu dan yang mana penjaga garis belakang telah diatur. Abdullah bin Jubair diperintahkan memimpin barisan 50 orang pemanah, dan menjaga di lereng Bukit Uhud. Mereka diberi perintah, sekali-kali tidak boleh meninggalkan tempat itu, sebab tempat itu adalah kunci pertahanan. Mana musuh yang mendekat, mesti terus mereka panah, atau dilempari dari tempat itu. Rasulullah ﷺ bertitah, “jangan diberi musuh itu lewat ke rusuk kita, walaupun bagaimana. Kalau kami mundur karena desakan mereka, segera kalian hantam dengan panah. Kalau kami maju, sekali-kali kalian tidak boleh turun dari pertahanan ini, sebelum musuh hancur sehancur-hancurnya atau lari. Kalian baru boleh meninggalkan tempat itu setelah datang perintah dari aku sendiri."
Beliau telah merasa puas dengan perintah demikian. Maka, kepada yang lain diperintahkannya pula. “Sekali-kali jangan kita yang memulai. Kita wajib tenang di tempat kita. Sebelum ada perintah dari Rasul sendiri tidak boleh ada yang menyerbu."
Setelah beliau memberikan perintah-perintah, lalu beliau kenakan dua perisai.
Pertempuran terjadi dengan hebatnya. Musuh telah menyerbu. 3.000 lawan 700 orang. Akan tetapi, semangat yang 700 terlalu tinggi, sehingga pihak musuh memandang seakan-akan mereka berhadapan dengan 6000 orang, bukan dengan 700. Rasulullah menawarkan pedangnya kepada siapa yang berani, asal saja hak pedang itu dibayar, tidak boleh dipulangkan sebelum mencincang musuh. Tampil ke muka Abu Dijanah, diambilnya pedang itu dan dia pun menyerbu ke tengah-tengah musuh, laksana panah lepas dari busurnya.
Pembawa bendera Quraisy ialah Thalhah bi n Abu Thalhah. Dia bersorak-sorak menantang kalau-kalau ada pengikut Rasulullah yang berani berperang tanding dengannya, yaitu berduel. Maka, menyerbulah Zubair bin Awwam menjawab tantangan itu. Bersama-samalah keduanya menyerbukan untanya sekencang-kencangnya. Unta Zubair lebih kuat unta Thalhah tersungkur jatuh, Zubair laksana kilat melompat turun, terus menikam Thalhah dan memotong lehernya.
Ka'ab bin Malik, sahabat Anshar yang terkenal bercerita, “Aku lihat dari jauh seorang musyrik menyerbu dengan kelengkapannya, lalu berhadapan dengan seorang Muslim. Berdebar jantungku melihat, sebab kelengkapan mereka tidak sepadan. Alat yang di tangan si Muslim hanya sebilah pedang. Setelah berhadapan berdesak si Muslim mengayunkan pedangnya, tepat pada bahu si musyrik, putus badannya dan mati."
Dan kata Ka'ab bin Malik pula, “Aku kagum sekali dan aku tidak tahu siapa Muslim yang gagah berani itu. Setelah aku mendekat, disimbahkannya serban merah yang mengikat kepalanya, lalu dia berkata, ‘Aku Abu Dijanah!' Inilah pemuda yang dipinjami Nabi pedang beliau itu yang beliau minta dibayar haknya!"
Apatah lagi Hamzah bin Abdul Muthalib, Dia pun menyerbu laksana kilat tidak ter-tahan-tahan. Mana yang bertemu disapunya. Bergelimpangan bangkai di bawah kakinya. Akan tetapi, Wahsyi, budak Habsyi kepunyaan fubair bin Muth'im yang dijanjikan akan diberi kemerdekaan bila dapat membunuh Hamzah itu melihat kesempatan yang baik ini. Sedang Hamzah menyerbu, dicobakan-nyalah kepandaiannya yang istimewa itu, yaitu melempar dengan lembing dari jauh. Lemparan cara Habsyi itu jarang tidak mengenai sasarannya. Hamzah jatuh tergelimpang, perutnya kena, sehingga terburai isi perut beliau. Hamzah mencapai syahidnya.
Meskipun Hamzah telah mati, semangat perang kaum Muslimin tidak mundur. Mereka bertambah ganas, sedangkan semangat Quraisy sudah mulai patah. Mereka sudah mulai lari terbirit-birit; barang-barang rampasan telah berceceran dan beberapa bangkai mereka telah bergelimpangan. Cuma satu saja pahlawan Quraisy yang memimpin barisan berkuda yang tidak lari, tetapi setengah terkepung. Orang itu ialah Khalid bin Walid, mundur tidak bisa, maju pun tidak. Sebab, lereng bukit terjaga keras. Nyaris kaum Muslimin mencapai kemenangan terakhir.
Tetapi apa lacur? Demi melihat kaum Muslimin yang menang memunguti harta rampasan dan musyrikin telah bersimpang siur meninggalkan harta benda mereka, si pemanah 50 orang di lereng bukit mulai guncang semangatnya dan mulai lupa disiplin. Mereka lupakan perintah Rasul dan mereka pun turut sambil berkata, “Kawan-kawan telah mendapat ghanimah, mengapa juga kita di sini?"
Dengan keras Abdullah bin Jubair menyeru mereka supaya ingat akan perintah Rasul, supaya bertahan, tidaklah mereka dengarkan lagi. Dan dengan turunnya mereka, pertahanan penting jadi bocor. Khalid bin Walid cepat bertindak menyerbu tempat tersebut.
Khalid bin Walid, pemimpin tentara berkuda Quraisy, dapat merebut tempat pertahanan terakhir ketika itu, sebab 50 orang pemanah turun dari sana, mengejar ghanimah, takut ketinggalan, tidak kebagian. Bocorlah pertahanan strategi yang telah diatur Nabi. Tempat beliau berteduh memberikan komando segera diserbu oleh musuh. Sedang dari tadi perempuan-perempuan Quraisy bernyanyi-nyanyi untuk membangkitkan semangat ber-perang laki-laki mereka, kadang-kadang dengan kata-kata cabul. Kalau mereka menang, mereka akan disambut dengan pelukan dan ciuman dan seketiduran hangat.
Setelah benteng pertahanan Nabi diserbu, nyanyi mereka bertambah hebat kembali, padahal tadinya mereka sudah lari. Keberanian kaum Muslimin cukup besar mempertahankan Nabi mereka, tetapi seorang musyrik telah menyerbu ke tempat itu dan melemparkan sebuah batu besar ke wajah Rasulullah ﷺ kena hidung beliau dan patah gigi-saing beliau; ketopong beliau sendiri membenam ke dalam pipi beliau, sehingga terpancarlah darah.
Orang yang melemparkan batu secara pengecut itu lalu lari dan bersorak-sorak meneriakkan bahwa Nabi telah kena dan mungkin telah mati. Musyrikin menyambutnya dengan bersorak-sorak kegirangan. Setengah kaum Muslimin sudah mulai kehilangan semangat, sehingga ada yang lari pulang ke Madinah.
Tetapi Rasulullah ﷺ sendiri tidaklah beranjak dan sikap beliau yang gagah perkasa lantaran luka, patah saing, pecah hidung, robek pipi, dan patah salah satu jari beliau. Beliau berseru dengan gagah suaranya, “Mari kemari hai hamba Allah sekalian, mari kemari."
Maka segeralah berkumpul 30 orang laki-laki. Akan tetapi, musyrikin telah bersemangat kembali. Yang 30 itu mereka serbu pula. Pada saat itulah Thalhah bin Ubaidullah dan Sahi bin Hunaif dengan gagah perkasanya berdiri di samping kiri kanan Nabi. Satu anak panah menembus sebelah tangan Thalhah bin Ubaidullah. Waktu itu menyerbulah seorang pemuda musyrikin ke dekat Nabi, demi melihat Thalhah tidak berdaya lagi karena anak panah terselip pada lengannya. Orang itu ialah musuh lama, Ubay bin Khalaf. Ubay telah bersumpah hendak membunuh Nabi. Dia merasa bahwa inilah saat yang sebaik-baiknya. Sambil menyentak pedangnya, dia tampil dan berkata, “Hai pembohong besar! ke mana engkau hendak lari lagi?"
Tetapi Rasulullah menyambut musuh itu dengan tenagarya dan berkata, “Sayatah akan membunuhmu, in syaa Allah!" Lalu seketika Ubay mengangkat pedangnya hendak menghantam Rasulullah, beliau menyodorkan pula pedang beliau ke sebalik kantong perisai Ubay, menembus perutnya. Ubay pun jatuh tersungkur memancar darah dari lukanya, dan tidak beberapa lama kemudian dia pun mati. Hanya sekali itulah tangan beliau sendiri membunuh musuh di dalam perang selama hidupnya.
Meskipun luka beliau belum dibebat, beliau masih terus memanggil kaum Muslimin yang nyaris bercerai-berai itu; beberapa orang telah datang berkumpul keliling beliau dan rasa cemas karena tersiar kematian beliau telah mulai hilang. Diceritakan bahwa Anas bin an-Nadhr melihat beberapa Muslimin telah berkumpul-kumpul seperti orang patah hati. Lalu Anas bertanya, “Apa yang kalian menungkan di sini?" Mereka jawab, “Rasulullah telah mati terbunuh!" Lalu Anas berkata pula, “Kalau benar demikian, apa guna kita hidup lagi? Mari bangun, mari mati terbunuh sebagai beliau pula. Mari!" Mereka pun bangkit dan Anas bin an-Nadhr memimpin mereka. Anas pun tewas karena kepungan kaum musyrikin.
Musyrikin terus menyerang. Akan tetapi, Thalhah yang tangannya sebelah telah luka kena panah dan Abu Dijanah yang memakai pedang Nabi serta beberapa sahabat Anshar dan Muhajirin yang lain, tidak lebih dari sembilan orang menyediakan diri masing-masing mati terlebih dahulu sebelum badan Nabi tersinggung. Tujuh orang Anshar gugur di hadapan Rasulullah. Sahabat-sahabat sisa yang telah berserak-serak, segera datang pula ke tempat pertahanan Nabi itu, memberanikan diri mereka, biar mati terlebih dahulu sebelum badan Nabi tersinggung.
Melihat kesediaan mati yang demikian hebatnya, musyrikin jadi bingung dan tidak mengira sama sekali. Hai itu beliau perhatikan benar. Dan ketika itu pulalah beliau menyerahkan busur panahnya ke tangan Sa'ad bin Abu Waqash, “Panah dengan tepat! Panah," kata beliau, Dan setiap Sa'ad membidikkan panahnya, beliau berdiri melihat kenakah sasarannya atau tidak. Sedang Abu Thalhah tegak mendindingkan dirinya, agar jangan sampai Nabi kena oleh panah musuh. Dia pun memanah pula dan jarangyangtidakmengenai sasarannya. Dia berkata kepada Nabi, “Aku cukup kebal, ya Rasulullah, hadapkanlah aku ke mana engkau suka dan perintahkanlah apa yang engkau kehendaki!"
Kaum Muslimin sungguh-sungguh telah sangat payah, tetapi semangat sekali-kali tidak patah. Di keliling Rasulullah mereka mulai mendapatkan pribadi kembali. Akan tetapi, kaum Quraisy pun tidak pula kurang kepayahan mereka. Mulanya sudah lari pontang-panting, kemudian ada kesempatan menyerbu, dilihat pihak Muslimin rupanya tidak bisa dihancurkan, Nabi mereka ternyata masih hidup. Melihat hal yang demikian, semangat merekalah yang mundur, mereka cukupkan, sehingga begitu saja. Perempuan-perempuan, terutama Hindun, istri Abu Sufyan, memuaskan hatinya dengan membelah dada mayat Hamzah, lalu mengais-ngais dan memakan jantung beliau untuk melepaskan sakit hati.
Setelah itu mereka mengundurkan diri.
Dengan luka-lukanya yang agak berat itu Rasulullah tetap memberikan komando. Beliau perintahkan Ali bin Abi Thalib memerhatikan apa yang akan dilakukan musuh. Kata beliau, “Kalau mereka naiki unta dan mereka giring kuda, tanda mereka menuju Mekah, tetapi kalau mereka naiki kuda dan unta yang mereka giring, tanda mereka hendak menyerang Madinah. Kita mesti waspada dan segera kejar mereka, kita hancurkan di Madinah!" Berkata Ali, “Setelah perintah itu aku laksanakan, ternyata bahwa mereka naik unta dan menggiring kuda, menuju Mekah."
Kata Ibnu Ishaq, setelah Abu Sufyan hendak berangkat meninggalkan Uhud itu, naiklah dia ke puncak sebuah bukit, lalu menyeru dengan suara lantang, “Sekarang aku merasa senang, perang berganti kalah dan menang. Kemenangan kami hari ini adalah tebusan atas kekalahan di Badar. Biarlah berhala Hubal tetap dalam kejayaannya!"
Mendengar seruan itu Rasulullah menyuruh Umar menyambut, “Berdirilah Umar dan jawab kata itu lekas! Allah Mahamulia dan Mahatinggi dari berhalamu itu. Persamaan tidak ada, orang-orang yang tewas di kalangan kami masuk surga dan orang-orang yang tewas dari kalangan kamu menjadi isi neraka!"
Umar pun menyerukan kalimat-kalimat itu. Lalu Abu Sufyan berseru, “Datanglah ke mari, hai Umar!"
Nabi bersabda kepada Umar, “Pergi temui dan periksa hendak apa dia!"
Dengan gagah berani Umar melaksanakan perintah Nabi, lalu dia datang ke tempat Abu Sufyan itu.
Abu Sufyan langsung bertanya, “Katakan kepadaku terus terang, Umar! Apakah Muhammad berhasil kami tewaskan?"
Dengan tegas Umar menjawab, “Beliau hidup dan apa yang kamu ucapkan ini semuanya beliau dengar."
Abu Sufyan menjawab, “Perkataanmu lebih aku percayai daripada perkataan Ibnu
Umayyah. Ibnu Umayyah inilah yang menyebar-nyebarkan berita bahwa Nabi ﷺ telah tewas."
Akhirnya berkatalah Abu Sufyan, “Antara orang-orang yang tewas yang demikian ada yang dikoyak-koyak badannya oleh barisan kami. Hal yang demikian tidaklah aku sukai dan tidak pula aku benci, tidak aku melarang dan tidak aku menyuruh." Akhir sekali, dia berkata pula, “Kita bertemu lagi di Badar tahun depan."
Setelah perkataan ini disampaikan Umar kepada Rasulullah ﷺ, dengan tegas beliau suruh jawab bahwa janji itu akan dipenuhi.
Dalam pada itu luka-luka Rasulullah diobati. Fatimah putri beliau sendiri mencabut potongan besi ketopong dari pipi beliau dengan giginya. (Beberapa perempuan ikut dalam peperangan itu guna mengobati yang luka, di antaranya Fatimah)
Demikianlah kisah ringkas tentang Peperangan Uhud yang menyedihkan itu. Lalu datanglah ayat selanjutnya, Allah menyatakan perbedaan kemenangan Peperangan Badar dengan kekalahan di Perang Uhud.
Ayat 123
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di Badar, padahal kamu (waktu itu) lemah."
Kaum Muslimin di Perang Badar dibandingkan dengan musuh sangatlah lemahnya. Mereka hanya 313 orang, sedangkan musuh lebih dari 1.000 orang dengan perlengkapan yang lebih sempurna.
Namun demikian, di Badar kaum Muslimin beroleh kemenangan gilang gemilang. Sebab, di Perang Badar mereka sabar dan takwa, sedangkan di Perang Uhud kedua perlengkapan batin itu telah hilang. Terutama mereka tidak taat kepada pimpinan. Sebab itu, Allah melanjutkan firman-Nya, “Dan takwalah kepada Allah," karena dengan takwalah kamu akan dapat menyadari dirimu kembali. Dalam kalimat takwa terkandunglah kewaspadaan dan kesadaran kepada Allah.
“Supaya kamu berterima kasih."
Dengan takwa, jiwamu akan tenteram dan barisanmu akan teratur. Dalam takwa, terkandung ketakutan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul sebagai pimpinanmu. Dengan demikian kamu pasti menang dan lantaran menang, kamu berterima kasih.
Dengan sebab takwa bantuan malaikat akan datang.
Ayat 124
“(Ingatlah) tatkala engkau berkata kepada orang-orang yang beriman itu: Tidakkah cukup bagi kamu bahwa Tuhan kamu akan membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan?"
Ayat 125
Sungguh! Jika kamu bersabar dan bertakwa, walaupun mereka itu datang kepada kamu segera sekarang ini juga, Tuhan kamu akan membantu kamu dengan lima ribu malaikat dalam keadaan menyerbu."
Dengan kedua ayat ini, Nabi disuruh memperingatkan kembali bahwa beliau pada waktu Peperangan Uhud itu telah pernah menyampaikan kepada mereka, bahwa meskipun mereka hanya 700 orang dan musuh lebih dari 3.000 orang, Allah akan mendatangkan malaikat sebagai pembantu. Jika bertambah sabar dan takwa mereka bahkan malaikat akan datang menyerbu musuh bersama mereka.
Peringatan kedatangan malaikat bagi orang Mukmin bukanlah hal yang ganjil. Tatkala di Mekah, dengan surah Fushshilat ayat 30 pun Allah sudah memperingatkan bahwa orang yang tegak lurus tidak membelok ke kiri-kanan dalam imannya kepada Allah, akan turun kepada mereka malaikat menyampaikan peringatan agar mereka tidak merasa takut dan duka cita, apatah lagi di dalam menghadapi peperangan yang hebat, dengan selalu ingat kepada Allah. Karena dengan sabar dan takwa ruh insani menjadi naik martabatnya dan bersatulah malaikat kepada ruh yang demikian. Akan tetapi, di Uhud, malaikat itu tidak datang, baik yang 3.000 ataupun yang 5.000, sebab penampungan mereka dengan sabar dan takwa tidak ada. Padahal di Perang Badar sebagai kelak tersebut di surah al-Anfaal ayat 9, Allah mengirim bantuan 1.000 malaikat, karena sabar dan takwa.
Ayat 126
“Tidaklah Allah menjadikan yang demikian itu, melaunkan sebagai berita gembira bagi kamu, supaya tenteramlah hati kamu karenanya. Dan tidaklah ada kemenangan melainkan dari sisi Allah, Yang Mahagagah, lagi Bijaksana."
Ayat ini menambah memperkuat lagi kepentingan sabar dan takwa; yang pada ayat 122 di atas pun ditambah dengan bertawakal, sebagai pegangan teguh orang yang beriman. Asa) sabar, takwa, dan tawakal, termasuk keteguhan memegang disiplin komando peperangan, tidaklah usaha akan sia-sia, kemenangan mesti tercapai, malaikat akan turun. Allah telah menjadikan begitu. Adapun kemenangan bukanlah pemberian orang lain, melainkan akan dianugerahkan oleh Allah sendiri. Allah Mahagagah, teguh disiplin-Nya, dan perkasa menghadapi orang yang memusuhi-Nya, serta Allah pun Bijaksana. Antara lain kebijaksanaan Allah, ialah “Dia tidak memberikan kemenangan kepada orang yang hatinya, raga, dan pikirannya pecah, mempunyai tujuan-tujuan yang lain dari yang dikehendaki Allah."
Allah pun menunjukkan pula bahwasanya pada permulaan perang itu, bukan kaum Muslimin tidak berhasil, Nyarislah kaum Muslimin menang. Cuma kemenangan meninggalkan kaum Muslimin setelah melanggar khittah yang telah ditentukan Nabi, Dari kemenangan kaum Muslimin di tingkat pertama itu tidak kurang dari delapan belas orang musyrikin tewas. Padahal mereka itu adalah tentara garis depan mereka.
Ayat 127
“Karena Dia hendak memotong sebagian dari orang-orang yang kafir itu dan hendak menduka citakan mereka, maka pulanglah mereka dalam keadaan hampa."
Di dalam Peperangan Uhud itu, menurut suatu riwayat yang terang, kelihatan mati ialah delapan belas orang kaum musyrikin. Akan tetapi, menurut suatu riwayat lagi, mati dibunuh Hamzah bin Abi Thalib saja tiga puluh orang banyaknya. Besar sekali kemungkinan— demikian kata ahli tafsir dan setengah ahli sejarah—bahwa beberapa antara yang mati itu lekas-lekas mereka kuburkan dengan cara sembunyi, sebagaimana yang mereka lakukan kepada kaum Muslimin sendiri. Bahkan tubuh Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi itu, mereka toreh dadanya, untuk mengeluarkan hati dan jantungnya dan jantung yang masih panas bergerak-gerak itu dikuis oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, untuk melepaskan sakit hatinya. Memang budak Habsyi si Wahsyi itulah yang membunuh beliau dengan melemparkannya lembing dari jauh, suatu kepandaian istimewa orang Habsyi.
Di dalam ayat ini diterangkan bahwa mereka itu pulang dengan tangan hampa. Sebab, maksud mereka hendak menghancurkan Madinah terutama membunuh Nabi Muhammad ﷺ tidaklah berhasil. Benar kaum Muslimin tewas 70 orang, tetapi kalangan mereka pun ada pula yang tewas, hampir separuh itu. Bagi kaum Muslimin, tewas di medan perang, jihad fi sabilillah, bukanlah suatu duka cita, tetapi suatu kesaksian (syahid), sehingga Hamzah diberi gelar “Sayyidus Syuhadaa" artinya Tuan sekalian orang yang mati syahid.
Tetapi bagi kaum musyrikin, apa nama mati yang demikian? Tidak lain hanya menambah duka cita. Dan boleh dikatakan hanya sekali itu saja ada sedikit kemenangan bagi mereka. Adapun perang-perang yang selanjut-nya, sampai pusat wilayah mereka, negeri Mekah ditaklukkan, adalah kekalahan saja berturut-turut yang mereka derita. Sebab, kaum Muslimin pun sudah lebih teratur perangnya.
Perang Uhud membawa pelajaran penting bagi mereka.
Setelah perang selesai dan kaum Quriasy telah kembali ke Mekah, demi melihat pamannya dikoyak-koyak orang dadanya dan tujuh puluh orang sahabat beliau tewas, beliau mintakan kutuk Allah terhadap pemuka-pemuka Quraisy itu, sampai beliau berkata, “Ya Allah! Laknatlah Abu Sufyan, Ya Allah! Laknatlah al-Harits bin Hisyam. Ya Allah! Laknatlah Sahi bin Umar. Ya Allah! Laknatlah Shafwan bin Umayyah." Inilah kepala-kepala dan pemuka-pemuka Quraisy waktu itu. Pelaknatan Nabi itu dirawikan oleh Ahmad, Bukhari, at-Tirmidzi dan an-Nasa'i.
Tiba-tiba sesudah Rasulullah memohonkan laknat untuk orang-orang itu, datanglah ayat,
Ayat 128
“Tidaklah suatu jua pun hak bagimu; apakah Allah menerima tobat mereka ataupun Dia hendak mengadzab mereka. Lantaran mereka itu adalah orang-orang yang zalim."
Maksudnya, janganlah Nabi ﷺ memohonkan kutuk untuk mereka. Hal ini adalah urusan Allah sendiri. Peperangan belum selesai pada hari itu dan hari depan orang-orang itu Allah jua yang tahu. Allah yang akan menentukan siapa yang akan diberi tobat dan siapa yang disiksa. Memang perbuatan mereka itu zalim, jahat. Akan tetapi, hikmat tertinggi ada pada Allah.
Dengan datangnya ayat ini, hanya sekali itu saja kata-kata memintakan kutuk laknat itu keluar dari mulut Rasulullah ﷺ Sejarah selanjutnya menulis bahwa Abu Sufyan dan istrinya Hindun serta budak Habsyi si Wahsyi yang membunuh Hamzah, semuanya masuk Islam.
(130) Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba berlipat ganda. Dan takwalah kepada Allah, supaya kamu beroleh kemenangan.
Ayat 129
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di seluruh langit dan bumi."
Kekuasaan Ilahi meliputi segenap alam, segala sesuatu beredar menurut kehendak-Nya, tidak ada yang tetap, semuanya beredar menurut takdir yang telah ditentukan. “Dia ampuni siapa yang Dia kehendaki dan Dia siksa siapa yang Dia kehendaki." Mungkin orang-orang ini yang memusuhi Islam karena hawa nafsu dan perdayaan setan pada hari ini, pada hari lain dibuka Allah hijab baginya; dia pun tobat dan diberi ampun; yang lain mungkin tidak demikian, sehingga mati sebelum sempat memperbaiki diri. Akan tetapi, ampunan dan rahmat Allah sekali waktu dapat juga mengatasi murka-Nya.
“Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang."
Semuanya ketentuan Ilahi itu, baik menjatuhkan siksa maupun mengurniakan ampun, adalah berjalan menurut hukum-hukum yang tertentu dan penuh kebijaksanaan pula.
Tidak berapa lama sesudah Perang Uhud, Khalid bin Walid dan Amru bin Ash telah hijrah dengan suka rela dan sembunyi-sembunyi ke Madinah. Abu Sufyan akhirnya tobat ketika utuh (penaklukan) Mekah. Wahsyilah yang membunuh Nabi palsu Musailamah pada zaman pemerintahan Abu Bakar.