Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلۡتَكُن
dan jadilah/hendaklah ada
مِّنكُمۡ
diantara kamu
أُمَّةٞ
ummat
يَدۡعُونَ
(mereka) menyeru
إِلَى
kepada
ٱلۡخَيۡرِ
kebajikan
وَيَأۡمُرُونَ
dan (mereka) menyuruh
بِٱلۡمَعۡرُوفِ
dengan/kepada kebaikan
وَيَنۡهَوۡنَ
dan (mereka) mencegah
عَنِ
dari
ٱلۡمُنكَرِۚ
mungkar
وَأُوْلَٰٓئِكَ
dan mereka itulah
هُمُ
mereka
ٱلۡمُفۡلِحُونَ
orang-orang yang beruntung
وَلۡتَكُن
dan jadilah/hendaklah ada
مِّنكُمۡ
diantara kamu
أُمَّةٞ
ummat
يَدۡعُونَ
(mereka) menyeru
إِلَى
kepada
ٱلۡخَيۡرِ
kebajikan
وَيَأۡمُرُونَ
dan (mereka) menyuruh
بِٱلۡمَعۡرُوفِ
dengan/kepada kebaikan
وَيَنۡهَوۡنَ
dan (mereka) mencegah
عَنِ
dari
ٱلۡمُنكَرِۚ
mungkar
وَأُوْلَٰٓئِكَ
dan mereka itulah
هُمُ
mereka
ٱلۡمُفۡلِحُونَ
orang-orang yang beruntung
Terjemahan
Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Tafsir
(Hendaklah ada di antara kamu satu golongan yang menyeru kepada kebaikan) ajaran Islam (dan menyuruh kepada yang makruf dan melarang dari yang mungkar. Merekalah) yakni orang-orang yang menyeru, yang menyuruh dan yang melarang tadi (orang-orang yang beruntung) atau berbahagia. 'Min' di sini untuk menunjukkan 'sebagian' karena apa yang diperintahkan itu merupakan fardu kifayah yang tidak mesti bagi seluruh umat dan tidak pula layak bagi setiap orang, misalnya orang yang bodoh.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 104-109
Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat,
Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang menjadi putih berseri, dan ada pula wajah yang menjadi hitam muram.
Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (dikatakan kepada mereka), "Mengapa kalian kafir setelah beriman? Karena itu, rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu."
Adapun orang-orang yang berwajah putih berseri, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga), mereka kekal di dalamnya.
Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan sebenarnya, dan tiadalah Allah berkehendak untuk mezalimi (siapapun) di seluruh alam.
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.
Ayat 104
Allah ﷻ berfirman bahwasanya hendaklah ada dari kalian sejumlah orang yang bertugas untuk menegakkan perintah Allah, yaitu dengan menyeru orang-orang untuk berbuat kebajikan dan melarang perbuatan yang mungkar; mereka adalah golongan orang-orang yang beruntung.
Adh-Dhahhak mengatakan, mereka adalah para sahabat yang terpilih, para mujahidin yang terpilih, dan para ulama.
Abu Ja'far Al-Baqir meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan.” (Ali Imran: 104) Kemudian beliau bersabda: “Yang dimaksud dengan kebajikan ini ialah mengikuti Al-Qur'an dan sunnahku.” Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih.
Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah hendaklah ada segolongan orang dari kalangan umat ini yang bertugas untuk mengemban urusan tersebut, sekalipun urusan tersebut memang diwajibkan pula atas setiap individu dari umat ini. Sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah. Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya; dan jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika masih tidak mampu juga, maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Di dalam riwayat lain disebutkan: “Dan tiadalah setelah itu iman barang seberat biji sawi pun. "
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Amr, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Al-Asyhal, dari Huzaifah ibnul Yaman, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kalian benar-benar harus memerintahkan kepada kebajikan dan melarang perbuatan mungkar, atau hampir-hampir Allah akan mengirimkan kepada kalian azab dari sisi-Nya, kemudian kalian benar-benar berdoa (meminta pertolongan kepada-Nya), tetapi doa kalian tidak diperkenankan.”
Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Amr ibnu Abu Amr dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Hadits-hadits mengenai masalah ini cukup banyak, demikian pula ayat-ayat yang membahas mengenainya, seperti yang akan disebut nanti dalam tafsirnya masing-masing.
Ayat 105
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.” (Ali Imran: 105) hingga akhir ayat. Melalui ayat ini Allah ﷻ melarang umat ini menjadi orang-orang seperti umat-umat terdahulu yang bercerai-berai dan berselisih di antara sesama mereka, serta meninggalkan amar makruf dan nahi munkar, padahal hujah (argumen) telah jelas menentang mereka.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Safwan, telah menceritakan kepadaku Azhar ibnu Abdullah Al-Harawi, dari Abu Amir (yaitu Abdullah ibnu Yahya) yang menceritakan, "Kami melakukan haji bersama Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan. Ketika kami tiba di Mekah, ia berdiri ketika hendak melakukan shalat zhuhur, lalu berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah bersabda: 'Sesungguhnya orang-orang Ahli Kitab telah bercerai-berai dalam agama mereka menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya umat ini kelak akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga keinginan (golongan), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al-Jama'ah. Dan sesungguhnya kelak di dalam umatku terdapat kaum-kaum yang selalu mengikuti kemauan hawa nafsunya sebagaimana seekor anjing mengikuti pemiliknya. Tiada yang tersisa darinya, baik urat maupun persendian, melainkan dimasukinya'." Selanjutnya Mu'awiyah mengatakan, "Demi Allah, wahai orang-orang Arab, seandainya kalian tidak menegakkan apa yang didatangkan kepada kalian oleh Nabi kalian, maka orang-orang selain dari kalian benar-benar lebih tidak menegakkannya lagi."
Demikian pula menurut riwayat Abu Dawud dari Ahmad ibnu Hambal dan Muhammad ibnu Yahya, keduanya dari Abul Mugirah yang nama aslinya adalah Abdul Quddus ibnul Hajjaj Asy-Syami dengan lafal yang sama. Hadits ini diriwayatkan melalui berbagai jalur.
Ayat 106
Firman Allah ﷻ: “Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang menjadi putih berseri, dan ada pula wajah yang menjadi hitam muram.” (Ali Imran: 106) Yakni kelak di hari kiamat, di waktu itu putih berseri wajah ahli sunnah wal jama'ah, dan tampak hitam muram wajah ahli bid'ah dan perpecahan. Demikianlah menurut tafsir Ibnu Abbas.
“Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (dikatakan kepada mereka), ‘Mengapa kalian kafir setelah beriman’?" (Ali Imran: 106)
Menurut Al-Hasan Al-Basri, mereka adalah orang-orang munafik.
“Karena itu, rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu.” (Ali Imran: 106) Gambaran ini bersifat umum menyangkut semua orang kafir.
Ayat 107
“Adapun orang-orang yang berwajah putih berseri, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga), mereka kekal di dalamnya.” (Ali Imran: 107) Maksudnya, mereka tinggal di dalam surga untuk selama-lamanya, dan mereka tidak mau pindah darinya.
Abu Isa At-At-Tirmidzi dalam tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada karni Waki', dari Ar-Rabi' ibnu Sabih dan Hammad ibnu Salamah, dari Abu Galib yang menceritakan bahwa Abu Umamah melihat banyak kepala dipancangkan di atas tangga masuk masjid Dimasyq. Maka Abu Umamah mengatakan, "Anjing-anjing neraka adalah seburuk-buruk orang yang terbunuh di kolong langit ini; sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang-orang yang dibunuhnya." Kemudian Abu Umamah membacakan firman-Nya: “Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang menjadi putih berseri, dan ada pula wajah yang menjadi hitam muram.” (Ali Imran: 106), hingga akhir ayat. Kemudian aku bertanya kepada Abu Umamah, "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ﷺ?" Abu Umamah menjawab, "Seandainya aku bukan mendengarnya melainkan hanya sekali atau dua kali atau tiga kali atau empat kali dan bahkan sampai tujuh kali, niscaya aku tidak akan menceritakannya kepada kalian."
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abu Galib; dan Imam Ahmad mengetengahkannya di dalam kitab musnadnya, dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Abu Galib dengan lafal yang serupa. Ibnu Mardawaih meriwayatkan dalam tafsir ayat ini dari Abu Dzar sebuah hadits yang panjang, tetapi isinya sangat aneh dan mengherankan.
Ayat 108
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu.” (Ali Imran: 108)
Yakni itulah ayat-ayat Allah dan hujah-hujah-Nya serta keterangan-keterangan-Nya, Kami bacakan kepadamu, wahai Muhammad.
“Dengan sebenarnya.” (Ali Imran: 108)
Yaitu Kami membuka perkara yang sesungguhnya di dunia dan akhirat.
“Dan tiadalah Allah berkehendak untuk mezalimi (siapapun).” (Ali Imran: 108) Artinya, Allah tidak akan berbuat aniaya terhadap mereka, melainkan Dia adalah Hakim Yang Maha Adil yang tidak akan zalim; karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, maka untuk itu Dia tidak perlu berbuat zalim terhadap seseorang dari makhluk-Nya.
Ayat 109
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: “Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi;” (Ali Imran: 109) Yakni semuanya adalah milik Allah dan semuanya berlaku sebagai hamba-hamba-Nya.
“Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Ali Imran: 109) Maksudnya, Dialah Tuhan Yang Memutuskan lagi Yang Mengatur di dunia dan akhirat.
Pada ayat ini Allah memerintahkan orang mukmin agar mengajak manusia kepada kebaikan, menyuruh perbuatan makruf, dan mencegah perbuatan mungkar. Dan hendaklah di antara kamu, orang mukmin, ada segolongan orang yang secara terus-menerus menyeru kepada kebajikan yaitu petunjuk-petunjuk Allah, menyuruh (berbuat) yang makruf yaitu akhlak, perilaku dan nilai-nilai luhur dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, dan mencegah dari yang mungkar, yaitu sesuatu yang dipandang buruk dan diingkari oleh akal sehat. Sungguh mereka yang menjalankan ketiga hal tersebut mempunyai kedudukan tinggi di hadapan Allah dan mereka itulah orang-orang yang beruntung karena mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Dan janganlah kamu, wahai orang mukmin, menjadi seperti orangorang yang berkelompok-kelompok, seperti orang Yahudi dan Nasrani yang bercerai berai dan berselisih dalam urusan agama dan kemaslahatan umat, karena masing-masing mengutamakan kepentingan kelompoknya. Betapa buruk apa yang terjadi pada mereka, karena berselisih secara sadar dan sengaja setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas, yaitu diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Mereka yang berkelompok dan berselisih itulah orang-orang yang celaka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat kelak di hari kiamat.
Untuk mencapai maksud tersebut perlu adanya segolongan umat Islam yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan, bilamana tampak gejala-gejala perpecahan dan penyelewengan. Karena itu pada ayat ini diperintahkan agar di antara umat Islam ada segolongan umat yang terlatih di bidang dakwah yang dengan tegas menyerukan kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf (baik) dan mencegah dari yang mungkar (maksiat). Dengan demikian umat Islam akan terpelihara dari perpecahan dan infiltrasi pihak manapun.
Menganjurkan berbuat kebaikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan, maka ia terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya, yaitu kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kukuh dan kuat tidak akan tercapai kecuali dengan sifat-sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin agama terpelihara melainkan dengan adanya dakwah. Maka kewajiban pertama umat Islam itu ialah menggiatkan dakwah agar agama dapat berkembang baik dan sempurna sehingga banyak pemeluknya.
Dengan dorongan agama akan tercapailah bermacam-macam kebajikan sehingga terwujud persatuan yang kukuh kuat. Dari persatuan yang kukuh kuat tersebut akan timbullah kemampuan yang besar untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi syarat-syarat perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEPENTINGAN DAKWAH
Ayat 104
“Hendaklah ada antara kamu satu golongan yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan melaramg perbuatan mungkar."
Kalau pada ayat yang telah lalu telah diterangkan bahwa nikmat Islam telah menimbulkan persaudaraan, menjinakkan hati, dan menyebut umat manusia yang nyaris terbenam ke dalam neraka, maka untuk memelihara kukuhnya nikmat itu, hendaklah ada dalam kalangan jamaah Muslimin itu suatu golongan, dalam ayat ditegaskan suatu umat yang menyediakan diri mengadakan ajakan atau seruan, tegasnya adalah dakwah. Yang selalu mesti mengajak dan membawa manusia berbuat kebaikan, menyuruh berbuat ma'ruf, yaitu yang patut, pantas, dan sopan; dan mencegah, melarang perbuatan mungkar, yang di-benci; dan yang tidak diterima.
Di sini terdapat dua kata penting, yaitu menyuruh berbuat ma'ruf, mencegah perbuatan mungkar. Berbuat ma'ruf diambil dari kata uruf yang dikenal, atau yang dapat dimengerti dan dapat dipahami serta diterima oleh masyarakat. Perbuatan yang ma'ruf apabila dikerjakan, dapat diterima dan dipahami oleh manusia serta dipuji, karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal. Yang mungkar artinya ialah yang dibenci; yang tidak disenangi; yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut, tidak pantas. Tidak selayaknya yang demikian dikerjakan oleh manusia berakal.
Agama datang menuntun manusia dan memperkenalkan mana yang ma'ruf itu dan mana yang mungkar. Sebab itu, ma'ruf dan mungkar tidaklah terpisah dari pendapat umum. Kalau ada orang berbuat ma'ruf, seluruh masyarakat, umumnya menyetujui, membenarkan, dan memuji. Kalau ada perbuatan mungkar, seluruh masyarakat menolak, membenci, dan tidak menyukainya. Sebab itu, bertambah tinggi kecerdasan beragama, bertambah kenal orang akan yang ma'ruf dan bertambah benci orang kepada yang mungkar. Lantaran itu wajiblah ada dalam jamaah Muslimin segolongan umat yang bekerja keras menggerakkan orang kepada yang ma'ruf itu dan menjauhi yang mungkar, supaya masyarakat itu bertambah tinggi nilainya.
Menyampaikan ajakan kepada yang ma'ruf dan menjauhi yang mungkar itulah yang dinamai dakwah. Dengan adanya umat yang berdakwah, agama menjadi hidup, tidak menjadi seolah-olah mati.
Bidang untuk menyampaikan dakwah terbagi dua, umum dan khusus. Yang umum banyak pula cabangnya, sebab masyarakat bercabang-cabang pula. Dakwah kepada kalangan umat islam sendiri supaya mereka memegang agama dengan betul dan beragama dengan kesadaran. Dan pemeluk agama itu ada dalam segala bidang kemasyarakatan, dalam pertanian, perniagaan, pekerjaan tangan, perburuhan, dan kepegawaian. Dipertimbangkan juga tingkat kecerdasan, di kampung atau di kota, laki-laki perempuan, tua ataupun muda, orang yang lebih cerdas atau yang tinggi pendidikannya dengan orang yang rendah kecerdasannya.
Dalam bidang umum termasuk propagarda menjelaskan kemurnian agama keluar. Pertama bersifat mengajak orang lain supaya turut memahami hikmat ajaran Islam. Dan kadang-kadang bersifat menangkis serangan atau tuduhan yang tidak-tidak terhadap agama.
Yang bersifat khusus ialah dakwah dalam kalangan keluarga sendiri, menimbulkan suasana agama di kalangan keluarga, mendidik agar patuh akan perintah Allah; berlomba berbuat baik. Dakwah tidak berhenti, walaupun antara sesama golongan sendiri.
Di dalam ayat bertemu tiga kewajiban yang dihadapi. Dua berpusat pada yang satu. Yang satu mengajak pada kebaikan. Dia menimbulkan dua tugas. Pertama menyuruh berbuat ma'ruf, kedua melarang berbuat mungkar.
Setengah ahli tafsir mengatakan bahwasanya yang dimaksud dengan al-khairi yang berarti kebaikan di dalam ayat ini ialah Islam; yaitu memupuk kepercayaan dan iman kepada Allah, termasuk tauhid dan ma'rifat. Dan itulah hakikat kesadaran beragama yang menimbulkan pengetahuan untuk memper-bedakan yang baik dengan yang buruk, yang ma'ruf dengan yang mungkar. Selanjutnya ialah timbul dan tumbuhnya rasa kebaikan dalam jiwa, yang menyebabkan tahu pula dan berani menegakkan mana yang ma'ruf dan menentang mana yang mungkar. Kalau kesadaran beragama belum tumbuh, menjadi sia-sia sajalah menyebut yang ma'ruf dan menentang yang mungkar. Sebab, untuk mem-perbedakan yang ma'ruf dengan yang mungkar tidak lain dari ajaran Allah.
Oleh sebab itu, dapatlah diambil kesan bahwa di dalam mengadakan dakwah, hendaklah kesadaran beragama ini wajib ditimbulkan terlebih dahulu. Suatu dakwah yang mendahulukan hukum halal dan hukum haram, sebelum orang menyadari agama, adalah perbuatan yang percuma, sama saja dengan seorang yang menjatuhkan talak kepada istri orang lain.
Di sini kita bertemu dengan dua kata penting, yaitu pertama Umatun, yang berarti umat. Hendaklah antara kamu ada suatu umat. Yang kedua kata Yad'unna, yaitu melancarkan dan menjalankan seruan, tegasnya adalah dakwah. Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa di kalangan umat Islam yang besar jumlahnya ini, dewasa ini tidak kurang dari 900 juta bilangannya. Hendaklah ada lagi segolongan umat yang menjadi inti; yang kerjanya khusus mengadakan dakwah. Atau hendaklah seluruh umat itu sendiri sadar akan kewajibannya mengadakan dakwah. Sebab, kehidupan agama, kemajuan, atau kemundurannya sangat bergantung kepada dakwah.
Ayat yang mengatakan, “Hendaklah ada antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan." Jelaslah, bahwa bidang yang akan dihadapi oleh umat pemegang dakwah itu ada dua. Pertama dakwah ke dalam kalangan umatnya sendiri dan kedua dakwah keluar kalangan Islam.
Pada zaman hidup Rasulullah ﷺ dan beberapa waktu kemudian setelah beliau meninggal dunia, orang-orang telah beragama Islam sendiri masih menerima dakwah langsung dari Muhammad ﷺ dan para sahabat beliau. Maka, hukum-hukum yang belum diketahui mereka minta penjelasannya kepada Rasul. Kalau tidak tahu, mereka bertanya. Dan setelah zaman Rasul dan zaman sahabat berlalu, datanglah ulama-ulama, sejak tabi'in, sampai kepada tabi' tabi'in sampai kepada ulama mutaqaddimin, sampai kepada ulama mutaakhkhirin melanjutkan dakwah dalam kalangan Islam sendiri, supaya Muslim itu sadar terus akan agamanya.
Dalam pada itu diadakan pula dakwah keluar, memberikan pengertian tentang hakikat kebenaran Islam kepada orang-orang yang belum memeluknya.
Yang ma'ruf, seperti kita katakan tadi, ialah perbuatan baik yang diterima oleh masyarakat yang baik. Dengan demikian, ternyatalah kewajiban seorang yang jadi ahli dakwah atau umat dakwah membentuk pendapat umum yang sehat, atau public opini. Dan yang mungkar adalah segala perbuatan atau gejala-gejala yang buruk yang ditolak oleh masyarakat. Dengan selalu adanya dakwah, maka terdapatlah masyarakat yang sehat. Dan itulah tujuan hidup manusia. Sebab, manusia itu pada hakikatnya tidaklah ada yang menyukai yang mungkar dan yang menolak ma'ruf. Maka, apabila amar ma'ruf nahi mungkar terhenti, itulah tanda bahwa masyarakat tadi mulai ditimpa penyakit. Kemenangan dan kejayaan pergaulan hidup manusia ialah pada adanya kesadaran akan kebaikan dan ma'ruf dan tolakan mutlak atas yang mungkar. Itulah sebabnya maka ujung ayat menegaskan,
“Dan mereka itu, ialah orang-orang yang beroleh kemenangan."
Meskipun di dalam rasa bahasa, sepintas lalu agak kaku bunyinya salinan ayat ini, yaitu “dan mereka itu, ialah," namun dengan menyalin demikian lebih terasalah ini inti maksud ayat, yaitu hanya orang-orang yang tetap menjalankan dakwah itu; artinya itu sajalah yang akan beroleh kemenangan. Sebab, dengan adanya dakwah, kemungkaran dapat dibendung dan yang ma'ruf dapat dialirkan terus, sehingga umat tadi menjadi pelopor kebajikan di dalam dunia.
Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ tentang kepentingan amar ma'ruf nahi mungkar. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Demi Allah, yang diriku ini adalah dalam tangan-Nya. Hendaklah kamu suruh mengerjakan yang ma'ruf dan kamu cegah, sungguh-sungguh dari yang mungkar, atau dipastikan bahwa Allah akan menimpakan bencana-Nya ke atas kamu. Setelah itu kamu pun mendoa memohonkan kepada-Nya, tetapi permohonan itu tidak dikabulkan-Nya lagi. “ (HR at-Tirmidzi dari Hudzaifah r.a.)
Bahkan, dakwah itu pun kadang-kadang dengan berjuang keras (jihad). Bersabda pula Rasulullah ﷺ,
“Yang seutama-utama jihad (perjuangan) ialah kalimat keadilan di hadapan Sultan yang zalim." (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abu Said al-Khudri)
Tersebut lagi di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Muslim dari Abu Said al-Khudri juga, berkata Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa antara kamu yang melihat sesuatu yang mungkar, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak sanggup (dengan tangan), hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya. Jika dia tidak sanggup (dengan lidah), hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang demikian (dengan hati) adalah selemah-lemah iman." (HR Muslim)
Kemudian, datang lagi sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Muslim dari hadits Abdullah bin Mas'ud, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
“Tidaklah ada seorang jua pun nabi yang diutus Allah kepada umatnya sebelum aku, melainkan ada baginya di kalangan umatnya itu hawari-hawari dan sahabat-sahabat yang memegang teguh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian, muncullah (sesudah mereka) keturunan-keturunan yang berkata, tetapi tidak mengerjakannya; dan memperkuat apa yang tidak diperintahkan. Maka, barangsiapa yang menentang mereka dengan tangannya, itulah dia orang yang beriman. Barangsiapa yang menentang mereka dengan lidahnya, itulah orang yang beriman. Dan barangsiapa yang menentang mereka dengan hatinya, itulah dia orang yang beriman. Di belakang itu tidak ada yang patut disebut iman lagi, walaupun sebesar biji sawi." (HR Muslim)
Dengan hadits-hadits ini kita mendapat kejelasan bahwasanya dakwah itu tidak boleh kendur. Hadits pertama menjelaskan bahwa lemahnya dakwah akan membawa malapetaka besar, yang kalau malapetaka itu datang, sudah sulit membendungnya. Pada hadits kedua dijelaskan lagi buat menyuruh atau berdakwah untuk menyadarkan raja atau penguasa, atau kepala negara, pemegang tampuk kekuasaan, mencegah dan membendung kezalimannya, dan berani menuntut keadilan dan kebenaran, adalah jihad yang sangat afdhal.
Hadits yang ketiga meletakkan kewajiban menegur dengan tangan sebagai kewajiban tingkat pertama. Menegur dengan lidah sebagai kewajiban tingkat kedua. Dan menegur dengan hati adalah yang paling bawah dan disebut sebagai iman yang paling lemah. Hadits keempat memperkuat hadits ketiga ini, bahwa di belakang menegur dengan hati (iman lemah) itu tidak ada lagi yang patut sebagai iman, walaupun sebesar biji sawi. Di sini kita diberi tuntunan bahwa jika kita merasakan umat dakwah itu sedang lemah, janganlah dia menyatakan setuju dengan kezaliman itu; jangan buka mulut. Tunjukkan bahwa engkau tidak suka dengan sikapmu yang diam; tutup mulut! Karena kalau tidak tutup mulut, kalau hendak bercakap juga, akhirnya akan terperosok kepada menyetujui perbuatan zalim, karena tenggang-menenggang atau karena takut. Akhirnya berlawanan dengan hati sanubari sendiri. Maka, timbullah sikap munafik. Inilah yang disebut oleh Ibnu Khaldun,
“Yang munafik, itu hanyalah orang-orang yang lemah."
Dari hadits ketiga dan keempat ini kita melihat lagi betapa besarnya tugas yang terpikul di atas pundak umat dakwah itu. Pertama sekali, dia wajib berusaha merebut kedudukan yang memungkinkan dengan tangan dia dapat menegakkan yang ma'ruf dan memerangi yang mungkar. Artinya ialah kekuasaan. Kalau itu tidak tercapai, hendaklah lidahnya kuat mengatakan, yaitu kewibawaan; sehingga walaupun tidak atau belum dapat menguasai negara, tetapi lidahnya dan ucapannya didengar orang. Kalau keduanya belum tercapai, lebih baik diam, bahkan tolak kemungkaran itu dengan hati, tutup mulut, sampai kekuatan membuka mulut atau mengangkatkan tinju tercapai. Sebab itu, berdiam diri bukan berarti berhenti. Sebab, berhenti artinya mati.
Inilah beberapa tuntunan tegas dari hadits tentang dakwah. Selama kesadaran dakwah masih ada, selama itu pula kemenangan dan kejayaan akan dapat dipelihara dan akan dapat dicapai kembali kalau dahulu telah pernah terlepas dari tangan.
Kemudian, akan kita tinjau lagi alat-alat dakwah yang umum. Cungkilan dari Tafsir al-Azhar surah Aali ‘Imraan, ayat 104 tentang pentingnya dakwah.
PERALATAN UNTUK DAKWAH
Kolonel Lawrence, perwira Inggris yang terkenal sangat besar pengaruhnya dalam Perang Dunia Pertama, memengaruhi orang Arab supaya berontak kepada kekuasaan Turki Osmani, sehingga dia diberi orang gelar “Raja Arab yang tidak bermahkota." Dia berkeliling di mana-mana di Jazirah Arab itu menghasut dan menjalankan berbagai bujukan agar Arab Badwi (yang disangkanya masih bodoh, karena hidup di padang pasir) Dia memulai propagardanya kepada Syekh Badwi yang sederhana itu, membanggakan kemajuan bangsa Barat, terutama bangsa Inggris. Mereka duduk berdua di muka kemah. Hari ketika itu tengah malam, bintang-bintang berkelip-kelip di halaman langit dan segumpal awan pun tidak ada yang menghalangi, sehingga bintang -bintang itu rasanya dekat sekali.
Lawrence amat pandai berbahasa Arab langgam Badwi. Lalu sambil mereka berdua menengadah langit merenung bintang-bintang dengan tidak putus-putus dan tidak bosan-bosannya itu, berceritalah Lawrence tentang kemajuan ilmu pengetahuan orang Barat. Bahwa dengan teleskop yang besar-besar, berdiri di mana-mana benua Eropa dan Amerika, bintang-bintang di langit itu telah diketahui banyak sekali oleh orang Barat. Ada bintang yang jaraknya dengan bumi 100.000 tahun perjalanan cahaya, ada yang 300.000 tahun perjalanan cahaya. Sedangkan kecepatan perjalanan cahaya itu adalah 180.000 mil dalam satu detik. Oleh sebab itu, mulai sekarang tidak ada lagi yang rahasia dalam pengetahuan orang Barat.
Tetapi Syekh Badwi tua yang kelihatan sederhana itu telah memberikan satu jawaban yang menyebabkan Lawrence tidak dapat berkata lagi, melainkan setelah bertahun-tahun kemudian perkataan orang Arab tua itu telah dimasukkannya ke dalam catatan hidupnya. Berkata Syekh Badwi itu dengan sambutan yang cepat terhadap perkataan Lawrence, “Saya tahu. Kalian orang Barat telah dapat menghitung bintang di langit, entah berapa banyaknya. Akan tetapi, kalian tidak pernah melihat siapa yang di belakang bintang-bintang itu. Kalian tidak pernah berbicara tentang Allah. Adapun bagi kami orang Arab, berapa pun bintang yang terlihat atau tidak terlihat, jauh sekian ribu tahun atau ratusan ribu tahun, ketika kami melihatnya, selalu kami mengingat siapa yang berada di belakangnya."
Seorang ahli pengetahuan bangsa Barat di dalam kejadian yang lain pula berhadapan dengan seorang budiman Timur. Orang Barat ini pun membanggakan betapa pesatnya kemajuan pengetahuan ilmu alam orang Barat zaman sekarang. Sehingga rahasia-rahasia alam yang dahulu masih tersembunyi, sekarang telah terbuka. Sehabis dia berkata itu, menjawablah budiman Timur tadi, “Saya tahu. Kamu orang Barat telah dapat terbang di udara lepas laksana burung dan berenang dalam air laksana ikan. Akan tetapi, saya pun tahu bahwa sampai kepada saat sekarang ini, kalian orang Barat belum juga tahu bagaimana caranya berjalan di atas bumi."
Dari kedua cerita ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bagaimana sangat pentingnya dakwah agama di dalam zaman modern ini, di dalam zaman revolusi ilmu pengetahuan, terutama setelah diketahui betapa hebatnya tenaga yang tersimpan di dalam atom.
Manusia modern sangat memerlukan kejayaan jiwa, kepercayaan, dan pegangan batin. Karena kalau itu tidak ada, pengetahuan modern yang mereka dapati hanyalah akan menghancurkan hidup, bukan membawa ke-bahagiaan. Oleh sebab itu, kepentingan dakwah agama dalam zaman modern, lebih berlipat ganda daripada dalam zaman-zaman yang lampau. Baik terhadap dunia Barat yang telah sangat maju maupun kepada dunia Timur yang masih kebingungan, sehingga tidak tahu lagi menyisihkan mana yang isi dan inti dari kemajuan itu dan mana yang kulit. Apatah lagi terhadap kaum Muslimin sendiri, jangan sampai kemajuan modern itu memesona mereka, sehingga tidak dapat membedakan mana yang atah dan mana yang beras. Jangan sampai mereka hanyut karena terpesona, sehingga pendirian dan pegangan hidup mereka yang mereka terima dari Nabi, mereka lepaskan, lalu mereka hidup terkatung-katung kehilangan pedoman dan haluan.
Enam puluh tahun yang lalu, artinya permulaan abad kedua puluh ini, al-Ustadz al-Imam Syekh Muhammad Abduh telah menguraikan apa-apa syarat yang penting yang harus menjadi isi jiwa apabila orang hen-dak mengadakan dakwah. Meskipun telah 60 tahun berlalu, ingin kita menyalinkan di sini, menurut catatan yang dituliskan oleh Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar. Rasanya syarat-syarat yang harus dipenuhi itu patut menjadi perhatian setiap Muslim yang berminat dalam lapangan dakwah.
(1) Hendaklah seorang pemberi dakwah mempunyai pengetahuan yang sempurna atau menguasai sepenuhnya ke mana manusia itu hendak dibawanya dengan dakwahnya. Yaitu hendaklah mereka mengetahui benar-benar Al-Qur'an dan mengetahui pula Sunnah Rasulullah serta mengetahui pula sejarah hidup Nabi dan sejarah perjuangan sahabat-sahabat Rasulullah yang utama, yaitu khalifah-khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali); juga kehidupan ulama-ulama salaf yang saleh serta mengetahui pula syarat-syarat yang perlu dalam la' pangan hukum. Sebab, dakwah adalah penerangan, sedang Al-Qur'an dan Sunnah itu terlebih dahulu perlu kepada penerangan. Dan hendaklah diinsafi sebelum bertindak kepada yang lain bahwasanya Al-Qur'an adalah petunjuk, perbandingan (ibadah), pelajaran yang mempunyai daya tarik. Demikian pun Sunnah Rasul dan sejarah beliau yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya yang tidak bercampur dongeng, sehingga dapat menjadi tuntutan bagi orang banyak.
(2) Berpengetahuan tentang keadaan umat yang akan dilakukan dakwah kepadanya. Diketahui bagaimana ukuran pendidikan dan pengalaman dan lingkungan umat itu dan iklim negeri-negeri mereka serta budi kebiasaan mereka yang di dalam pengetahuan modern disebut suasana masyarakat mereka. Itulah yang disebut ethnologi.
Sayyid Rasyid Ridha mengemukakan sebuah contoh, yaitu seketika Rasulullah ﷺ telah wafat, timbul selisih antara sahabat-sahabat beliau tentang siapa yang pantas menjadi khalifah beliau. Setelah dua hari berbincang, akhirnya jatuhlah pilihan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Meskipun semula masih ada suara yang menantang, tetapi akhirnya diterima baik oleh segala golongan. Karena semuanya mengakui bahwa beliau sangat mengerti kebiasaan-kebiasaan tiap-tiap kabilah dan suku antara sekalian bangsa Arab, Mudharnya dan Rabi'ahnya, Adnannya dan Qahthannya. Mengetahui bukan berarti menghafal nama-nama suku dan kaum, melainkan mengetahui tabiat yang umum dan akhlak mereka. Sebagai perumpamaan kita zaman sekarang, mengetahui perbedaan laku perangai orang Batak, orang Minangkabau, orang Sunda, orang Jawa, orang Bugis, orang Banjar, dan sebagainya.
Sebab itu, seketika timbul pemberontakan di mana-mana, sampai beberapa orang di daerah-daerah yang jauh menyatakan lepas dari pusat pimpinan pemerintahan, mengakui menjadi nabi sendiri sesudah Rasulullah ﷺ sebagaimana Musailamah al-Kadzab, Aswad Ansi, Sajjah binti Harits, Malik bin Nuairah.
Abu Bakar dengan berani dan tegas memadamkan sekalian pemberontakan itu, meskipun Umar bin Khaththab yang gagah berani menjadi mundur-maju. Pengetahuan Abu Bakar tentang ethnologi kabilah-kabilah Arab itulah yang menolongnya, sehingga dia berhasil dengan gilang-gemilang. Dia tahu yang harus ditundukkan dengan paksa dan garang, mana yang cukup dengan diplomasi saja, yang cukup dengan ancaman gertak sambal saja.
Seorang ahli dakwah wajib mengetahui ethnologi.
(3) Wajib berpengetahuan tentang pokok dan sumber ilmu sejarah yang umum supaya dapat mengetahui dari mana sumber kerusakan akhlak dan timbulnya adat istiadat yang mengganggu kecerdasan berpikir. Dengan jalan demikian, apabila dia melakukan dakwah, dia tidak berlaku seram, dengan memberantas adat kebiasaan ataupun hal yang dipandangnya bid'ah, sebelum dia mengetahui apa sebab musababnya dan dari mana asal usulnya. Kata-kata yang diucapkan dengan latar belakang pengetahuan yang demikian, sangat besar kekuasaannya kepada orang yang diseru, sehingga yang diseru itu bisa dipindahkan dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Itulah sebabnya Al-Qur'an penuh dengan berita-berita tarikh.
(4) Hendaklah si pembawa dakwah berpengetahuan ilmu bumi. Sebab, kalau dia hendak berangkat menuju suatu tempat, terlebih dahulu telah diketahuinya garis-garis besar keadaan negeri yang akan didatanginya itu. Diketahui letak sungai dan gunungnya, demikian pun tabiat dan cuaca. Karena pengetahuan tentang inilah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ pada zaman dahulu itu bisa menang apabila menaklukkan sebuah negeri. Kebodohan tentang itu menyebabkan kegagalan.
Itu pula sebab, fatwa Syafi'i berubah setelah dia pindah dari Baghdad ke Mesir. Karena keadaan kedua negeri itu telah berbeda—yang menyebabkan berbeda pula kebiasaan penduduknya—karena pengaruh sungai dan padang pasirnya, sehingga fatwa di tempat pertama tidak bisa dipasangkan lagi dengan fatwa di tempat kedua. Lantaran itu Syafi'i mempunyai Qaul Qadim (kata lama) dan Qoul jadid (kata baru) Sebab, keadaan Irak lain dan Mesir pun lain.
(5) Ilmu jiwa. Kepentingan ilmu jiwa di dalam menghadapi diri orang seorang atau apa yang kita namai sekarang pribadi, sama pentingnya dengan mengetahui sejarah untuk mengetahui keadaan umat dalam keseluruhan. Ini tentu raja hanya mengenai soal-soal ijtihadiyah.
Di dalam memberikan pendidikan atau menerangkan suatu ilmu yang menyampaikan seruan, akan gagal jika orang tidak mengetahui jiwa. Ilmu jiwa pada zaman sekarang telah meluas sekali. Belum tentu seorang profesor yang biasa mengajar di sekolah tinggi akan berhasil menyampaikan seruan kepada orang kampung yang buta huruf dan buta ilmu. Sebab, profesor itu kaku. Ilmu dalam dan luas mengenai vak (kepandaian khusus, perty.) yang diketahuinya, tetapi belum tentu dia tahu keadaan si pendengar yang menyimakkan kuliah yang diberikannya. Sebab itu, penafsir ini pernah mengatakan dalam permulaan suatu kuliah umum yang diadakannya pada Fakultas Ekonomi Universitas Andalas di Padang, di permulaan Agustus 1966, “Sayu lebih senang menghadapi mahasiswa dalam aula ini dan lebih sukar jika menghadapi orang kampung."
Beberapa orang dosen sangat tercengang karena mereka sukar memberikan kuliah, sebab yang diberikan itu adalah ilmu. Sedang kepada orang kampung kita tidak perlu memberikan ilmu dalam-dalam. Dosen itu berkata demikian, karena dia tidak biasa menghadapi orang kampung. Dia belum merasai betapa sukar memberi pengertian ilmu secara populer kepada orang yang belum ada dasar penerima di dalam otaknya. Saya sudah kerap kali melihat bahwa seorang profesor yang sangat ahli dalam satu ilmu, gagal sama sekali ketika membawa ilmunya itu kepada orang kampung. Di sinilah perlunya ada ilmu jiwa, sehingga sebagai seorang pembawa dakwah jangan sampai beroleh kegagalan di dalam menghadapi masyarakat yang berbagai golongan dan berbagai pula tingkatan pendidikannya.
(6) Ilmu akhlak, yaitu ilmu yang mengupas perbedaan yang baik dan yang buruk, yang terpuji dan yang tercela. Untuk ini tidak berapa perlu memperpanjang penyelidikan tentang nilai etika menurut ajaran Aristoteles, sebab akhlak bukan semata-mata diilmukan, tetapi diamalkan dan diperlihatkan contoh teladannya. Sebab itu, baiklah lebih banyak mengetahui anekdot, cungkilan, dan kehidupan sehari-hari Rasulullah ﷺ atau sahabat-sahabat beliau atau orang-orang saleh yang lain yang akan dapat dijadikan contoh teladan oleh orang yang diberi dakwah, terutama oleh si pembawa dakwah itu sendiri. Dengan demikian, kita dapat memberikan contoh nyata, bahwa tuntunan-tuntunan Allah dalam Al-Qur'an dan anjuran Rasulullah di dalam amar ma'ruf dan nahi mungkar bukanlah semata-mata tulisan, akan tetapi dijalankan dan telah pernah ada orang yang menjalankan.
Bagian ilmu akhlak adalah garam syarat yang diperlukan. Karena teladan baik yang ditunjukkan oleh si pembawa dakwah sendiri dalam laku dan perangainya, itulah yang akan lebih banyak menolong menghasilkan apa yang dia dakwahkan.
(7) Ilmu masyarakat (sosiologi) Ilmu masyarakat adalah suatu ilmu hidup, sebab dia mengkaji, membahas, dan menyelidiki sebab-sebab kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Atau perangsurannya dari zaman sederhana (badwi) sampai menjadi bangsa yang bertamaddun. Bagaimana masyarakat itu tumbuh lalu berkembang, atau layu sebelum berbuah. Ilmu masyarakat berjalin berkelindan dengan ilmu sejarah dan ilmu akhlak, atau bersumber dari keduanya. Dan di antara ilmu masyarakat dengan filsafat sejarah sulitlah memisahkannya. Kadang-kadang orang mengatakan, bahwa “sejarah berulang". Akan tetapi, setengah manusia lagi mengatakan bahwa sejarah tidaklah pernah berulang; yang berulang ialah laku perangai manusia. Pelaku-pelaku sejarah yang besar-besar dapat mempelajari sebab-sebab kejayaan atau kegagalan orang yang dahulu daripadanya, tetapi bila dia yang menjalankan lakonnya, dia pun kerap kali juga jatuh, sebagaimana jatuhnya orang dahulu daripadanya.
Yang terkenal sebagai pelopor ilmu ini dalam Islam ialah Ibnu Khaldun. Dan yang terkenal sebagai pembangunnya yang pertama di Barat ialah Auguste Comte. Maka, ilmu masyarakat ini amat perlu bagi si pembawa dakwah dalam zaman modern. Sedang dasar-dasarnya dan dalilnya terdapat banyak sekali di dalam Al-Qur'an.
(8) Ilmu politik. Ini amat diperlukan oleh seorang pembawa dakwah untuk mengetahui dalam zaman apa dia hidup. Terutama sekali dia harus mengetahui susunan pemerintahan dalam negeri tempat dia melakukan dakwah. Misalnya seorang muballigh atau ahli dakwah yang telah bertahun-tahun di Mekah, langsung pulang ke negerinya mengadakan dakwah dan menyamakan Mekah dengan Indonesia, niscaya dia akan gagal.
Dia mesti tahu, misalnya apa dasar Negara Republik Indonesia dan apa dasar Negara Kerajaan Malaysia. Mengapa susunan kedua negara itu berbeda padahal bangsanya sama, yaitu rumpun melayu.
Mengetahui bahasa negeri tempat melakukan dakwah supaya dapat menyelami lubuk jiwa yang empunya bahasa. Syarat ini pun mutlak. Karena bagaimanapun alimnya seorang, kalau tidak tahu bahasa, samalah dengan orang bisu. Banyak orang alim yang bertahun-tahun di Mekah dan Mesir, sangat fasih berbahasa Arab, tetapi tidak menguasai bahasa bangsanya sendiri, maka terpaksa dia “bersemayam di istana gading" dengan ilmunya dan tidak mengalir faedahnya kepada umat yang hendak diberinya dakwah.
Dalam pada itu niscaya bahasa Arab harus diketahui, walaupun sekadar guna membaca buku-buku Arab sebagai ilmu agama Islam. Dan alangkah baiknya pula jika si pemberi dakwah mengerti pula bahasa asing yang kerap kali menjadi bahasa kesarjanaan pada zaman modern, misalnya bahasa Inggris. Supaya dia tidak canggung dan tidak rendah gengsi jika berhadapan dengan bangsa lain atau bangsanya sendiri yang merasa bangga dalam pengetahuannya dalam bahasa asing itu. Orang Arab mempunyai pepatah, “Barangsiapa yang mengetahui bahasa satu kaum, niscaya terlepaslah dia dari tipu daya kaum itu."
Mengetahui kebudayaan dan kesenian serba sedikit yang beredar di kalangan umat yang hendak dia dakwahi itu. Karena pengetahuan akan seni dan budaya menyebabkan orang tidak lekas dan terburu nafsu meletakkan hukum atas suatu perkara sehingga dia tidak tersisih ke tepi seketika soal-soal demikian diperbin-cangkan orang dan tidak bingung seketika datang pertanyaan.
(9) Mengetahui pokok-pokok perbedaan agama-agama yang ada. Misalnya agama Kristen, Yahudi, Hindu, Kong Hu Cu, Budha, dan lain-lain dan mengetahui pula perbedaan pendapat antara madzhab-madzhab, sehingga timbul keluasan paham di dalam menghadapi umat. Jangan sampai merasakan bahwa yang umat Islam itu hanyalah kawan yang semadzhab saja, atau sepaham saja. Tegasnya, jangan sampai kalau dia misalnya seorang muba-High Muhammadiyah, hanya sanggup berhadapan dengan orang Muhammadiyah saja dan merasa kecil jiwanya berhadapan dengan orang luar Muhammadiyah.
Demikianlah secara ringkas kita terangkan sebelas ilmu alat dakwah yang dipandang amat perlu dipersiapkan oleh seorang yang menceburkan diri ke dalam lapangan dakwah, menurut ajaran Syekh Muhammad Abduh.
Di samping itu, tentu saja diperlukan kefasihan lidah untuk berkata-kata, keberanian menyatakan pendapat, kebebasan berpikir, bebas dari taqlid, mempunyai pertimbangan sendiri, dan dipatrikan oleh satu lagi, yaitu berani berkorban dan berani menderita. Dan di atas itu semuanya, dakwah yang paling berhasil ialah bila budi akhlak tidak pernah menunjukkan kepalsuan. Sebab, sekali lancung ke ujian, selamanya orang tidak akan percaya lagi. Banyak ahli dakwah yang gagal sebab budinya yang buruk telah kedapatan.
Kita baca riwayat bahwa pada permulaan zaman Renaissance di Eropa, timbullah gerakan ilmu pengetahuan, penyelidikan rahasia-rahasia alam. Segala gerakan pembaruan itu dihalang-halangi oleh pendeta-pendeta, atau lebih dikenal lagi dengan sebutan kaum gereja. Maka timbullah pertentangan yang mahase-ngit antara ahli-ahli ilmu pengetahuan dengan ahli-ahli agama. Pada waktu gereja memegang tampuk kekuasaan. Di samping raja atau kar-dial seperti yang terdapat di Perancis, Galilie dihukum kucil dari gereja, bahkan sampai dipenjarakan, sebab dia mengeluarkan pendapat, bahwa bumi itu bulat. Dan banyak lagi ahli pengetahuan yang bernasib lebih buruk dari Galilie.
Akhirnya karena pertentangan yang sengit yang tidak dapat didamaikan itu, timbullah gerakan memisahkan negara dari gereja. Dan apabila disebut orang gereja atau uskup, atau kardinal, ataupun Paus di Vatikan sekalipun, pikiran orang melayang kepada kebobrokan, kebodohan, sempit paham, fanatik, dan anti ilmu pengetahuan.
Tetapi tantangan yang demikian hebat dari kalangan ahli-ahli ilmu pengetahuan, akhirnya menimbulkan kesadaran ahli-ahli gereja atau penguasa gereja. Mereka lalu berusaha memperbaiki diri dan pendirian. Berpuluh-puluh antara penguasa gereja itu mendalami hakikat ilmu pengetahuan itu, sehingga mereka pun dapat menguasainya. Sampai keluar dari dalam gereja pendeta-pendeta ahli ilmu alam, ahli berbagai-bagai isme, turut memecahkan soal-soal ekonomi yang menjadi masalah dunia. Orang berbicara misalnya tentang filsafat eksistensialisme yang menonjol pada zaman nama-nama filsuf sebagai Jean Paul Sastre dan Albert Camus; maka dari gereja timbul pula pendeta yang suaranya didengar orang dan filsafatnya dipertimbangkan orang.
Mereka pun adayangtekun di laboratorium mengadakan penyelidikan tentang rahasia atom, rahasia radio aktif dan sebagainya. Sehingga mereka lebih menang dari ahli pengetahuan sekuler yang memisahkan negara dengan gereja, sedang pendeta-pendeta itu kaya ruhaninya dan jasmaninya, ilmunya, dan imannya. Dengan demikian golongan yang memisahkan ilmu pengetahuan dengan agama itu, pada zaman sekarang ini, sudah termasuk dalam barisan kaum kolot.
Dan dengan sebab itu pula, betapa pun usaha kaum tidak beriman hendak mengesampingkan agama, tidaklah berhasil lagi. Sebab, kaum agama sendiri dalam bidang dakwah telah termasuk ke tengah medan.
Bagaimana pula bagi kita kaum Muslimin? Bagaimana bagi angkatan muda yang ada minat kepada dakwah? Padahal agama kita sendiri (Islam) tidaklah membenci ilmu, sehingga ada sebuah hadits mengatakan bahwa cinta orang yang menuntut ilmu kadang-kadang lebih suci daripada darah orang yang mati syahid.
Bagaimana dakwah Islam akan hidup kalau di Singapura pada tahun 1960 M, ada seorang Qadhi yang berfatwa bahwa orang Islam haram pergi ke bulan?
Dakwah di dalam ayat ini ialah menyeru manusia kepada jalan yang baik. Lalu ditegaskan lagi, yaitu berani menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan yang mungkar. Bagaimana seorang ahli dakwah akan jaya, kalau dia sendiri tidak dapat memberikan penilaian atas baik dan buruk atau ma'ruf dan mungkar dalam masyarakat yang bersimpang siur ini? Bagaimana melangsungkan dakwah kalau keadaan umat yang didakwahi itu tidak diketahui keadaannya, jenderal-jenderal memimpin suatu peperangan, penyerbuan ke daerah musuh. Mereka mutlak wajib mengetahui medan dan cuaca, barulah mereka melancarkan serangan. Dan serangan tidak boleh pula membabi buta, melainkan mempunyai taktik dan teknik. Meskipun tujuan baik dan suci, tidaklah akan diperoleh kemenangan dan kejayaan, kalau keadaan medan yang dihadapi tidak diketahui dan tidak pula diperhatikan cuaca udara pada saat akan memulai penyerbuan. Dan kerugian akan banyak kalau taktiknya dan tekniknya tidak tepat.
Demikian pulalah bidang dakwah. Itu sebabnya, di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini disebutkan bahwa yang mengadakan dakwah itu hendaklah satu umat, artinya terorganisasi dengan teratur. Sehingga umat itu di dalam berbilang orang menjadi satu, karena kesatuan tujuan.
Kalau sekiranya suatu gerakan islam di Indonesia atau Pemerintah Republik Indonesia sendiri (Departeman Agama) hendak mendirikan sebuah akademi dakwah, adalah sangat baik jika kesebelasan ilmu yang perlu itu dijadikan mata kuliah di dalam akademi tersebut, sehingga muballigh dan ahli-ahli dakwah dapat menghadapi tugasnya dengan baik. Sebab, Imam Malik pernah mengatakan bahwasanya seorang ulama hendaklah menjadi suluh zamannya. Maka, janganlah muballigh atau ahli dakwah itu membawa suluh yang lebih gelap dari masyarakat yang hendak diberinya terang, jangan sampai terdapat kecanggungan si muballigh dan ahli dakwah menghadapi umum karena kurang persiapannya.