Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱعۡتَصِمُواْ
dan berpeganglah kamu
بِحَبۡلِ
dengan/kepada tali
ٱللَّهِ
Allah
جَمِيعٗا
semuanya
وَلَا
dan jangan
تَفَرَّقُواْۚ
kamu bercerai-berai
وَٱذۡكُرُواْ
dan ingatlah kamu
نِعۡمَتَ
nikmat
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
إِذۡ
ketika
كُنتُمۡ
kalian adalah
أَعۡدَآءٗ
bermusuh-musuhan
فَأَلَّفَ
maka Dia menjinakkan
بَيۡنَ
antara
قُلُوبِكُمۡ
hati-hatimu
فَأَصۡبَحۡتُم
maka/lalu jadilah kamu
بِنِعۡمَتِهِۦٓ
dengan/karena nikmatNya
إِخۡوَٰنٗا
bersaudara
وَكُنتُمۡ
dan kalian
عَلَىٰ
atas
شَفَا
tepi
حُفۡرَةٖ
jurang/lubang
مِّنَ
dari
ٱلنَّارِ
neraka
فَأَنقَذَكُم
maka/lalu Dia menyelamatkan kamu
مِّنۡهَاۗ
daripadanya
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
ءَايَٰتِهِۦ
ayat-ayatNya
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَهۡتَدُونَ
kalian mendapat petunjuk
وَٱعۡتَصِمُواْ
dan berpeganglah kamu
بِحَبۡلِ
dengan/kepada tali
ٱللَّهِ
Allah
جَمِيعٗا
semuanya
وَلَا
dan jangan
تَفَرَّقُواْۚ
kamu bercerai-berai
وَٱذۡكُرُواْ
dan ingatlah kamu
نِعۡمَتَ
nikmat
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
إِذۡ
ketika
كُنتُمۡ
kalian adalah
أَعۡدَآءٗ
bermusuh-musuhan
فَأَلَّفَ
maka Dia menjinakkan
بَيۡنَ
antara
قُلُوبِكُمۡ
hati-hatimu
فَأَصۡبَحۡتُم
maka/lalu jadilah kamu
بِنِعۡمَتِهِۦٓ
dengan/karena nikmatNya
إِخۡوَٰنٗا
bersaudara
وَكُنتُمۡ
dan kalian
عَلَىٰ
atas
شَفَا
tepi
حُفۡرَةٖ
jurang/lubang
مِّنَ
dari
ٱلنَّارِ
neraka
فَأَنقَذَكُم
maka/lalu Dia menyelamatkan kamu
مِّنۡهَاۗ
daripadanya
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
ءَايَٰتِهِۦ
ayat-ayatNya
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَهۡتَدُونَ
kalian mendapat petunjuk
Terjemahan
Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.
Tafsir
(Berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah) maksudnya agama-Nya (kesemuanya dan janganlah kamu berpecah-belah) setelah menganut Islam (serta ingatlah nikmat Allah) yakni karunia-Nya (kepadamu) hai golongan Aus dan Khazraj (ketika kamu) yakni sebelum Islam (bermusuh-musuhan, maka dirukunkan-Nya) artinya dihimpun-Nya (di antara hatimu) melalui Islam (lalu jadilah kamu berkat nikmat-Nya bersaudara) dalam agama dan pemerintahan (padahal kamu telah berada dipinggir jurang neraka) sehingga tak ada lagi pilihan lain bagi kamu kecuali terjerumus ke dalamnya dan mati dalam kekafiran (lalu diselamatkan-Nya kamu daripadanya) melalui iman kalian. (Demikianlah) sebagaimana telah disebutkan-Nya tadi (Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya supaya kamu beroleh petunjuk).
Tafsir Surat Ali-'Imran: 102-103
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Dan berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (di masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati-hati kalian, sehingga dengan karunia-Nya kalian menjadi bersaudara, padahal (ketika itu) kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk.
Ayat 102
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sufyan dan Syu'bah, dari Zubaid Al-Yami, dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Ali Imran: 102 Yaitu dengan taat kepada-Nya dan tidak bermaksiat terhadapnya, selalu mengingat-Nya dan tidak lupa kepada-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap nikmat-Nya.
Sanad atsar ini shahih lagi mauquf. Ibnu Abu Hatim mengikuti sesudah Murrah (yaitu Amr ibnu Maimun), dari Ibnu Mas'ud.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui hadits Yunus ibnu Abdul A'la, dari Ibnu Wahb, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Zubaid, dari Murrah, dari Abdullah Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca firman-Nya: “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Ali Imran: 102), lalu beliau bersabda menafsirkannya bahwa hendaknya Allah ditaati, tidak boleh durhaka kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya dan jangan ingkar kepada (nikmat)-Nya, dan selalu ingat kepada-Nya dan tidak melupakan-Nya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Mis'ar, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara marfu' (yakni sampai kepada Rasulullah ﷺ).
Kemudian Imam Hakim menuturkan hadits ini, lalu berkata, "Predikat hadits shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya." Demikianlah menurut penilaian Imam Hakim. Tetapi menurut pendapat yang kuat, predikatnya adalah mauquf (hanya sampai pada Ibnu Mas'ud saja). lbnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang serupa dari Murrah Al-Hamdani, Ar-Rab'i ibnu Khaisam, Amr ibnu Maimun, Ibrahim An-Nakha'i, Tawus, Al-Hasan, Qatadah, Abu Sinan, dan As-Suddi.
Telah diriwayatkan pula dari sahabat Anas; ia pernah mengatakan bahwa seorang hamba masih belum dikatakan benar-benar bertakwa kepada Allah sebelum mengekang (memelihara) lisannya.
Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Zaid ibnu Aslam, As-Suddi, dan lain-lain berpendapat bahwa ayat ini (Ali Imran: 102) telah dimansukh (direvisi) oleh firman-Nya: “Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Ali Imran: 102) Bahwa ayat ini tidak dimansukh, dan yang dimaksud dengan haqqa tuqatih ialah berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad demi membela agama Allah, dan janganlah kalian enggan demi membela Allah hanya karena celaan orang-orang yang mencela; tegakkanlah keadilan, sekalipun terhadap diri kalian dan orang-orang tua kalian serta anak-anak kalian sendiri.
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
Artinya, peliharalah Islam dalam diri kalian sewaktu kalian sehat dan sejahtera agar kalian nanti mati dalam keadaan beragama Islam, karena sesungguhnya sifat dermawan itu terbina dalam diri seseorang berkat kebiasaannya dalam berderma. Barang siapa yang hidup menjalani suatu hal, maka ia pasti mati dalam keadaan berpegang kepada hal itu; dan barang siapa yang mati dalam keadaan berpegang kepada suatu hal, maka kelak ia dibangkitkan dalam keadaan tersebut. Kami berlindung kepada Allah dari kebalikan hal tersebut.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa Sulaiman pernah mengatakan dari Mujahid, "Sesungguhnya ketika orang-orang sedang melakukan tawaf di Baitullah dan Ibnu Abbas sedang duduk berpegang kepada tongkatnya, lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda seraya membacakan firman-Nya: 'Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam' (Ali Imran: 102). Seandainya setetes dari zaqqum (makanan ahli neraka) dijatuhkan ke dunia ini, niscaya tetesan zaqqum itu akan merusak semua makanan penduduk dunia. Maka bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai makanan lain kecuali hanya zaqqum (yakni ahli neraka) ."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, Imam Ibnu Majah, dan Imam Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya; serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Syu'bah dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Imam Hakim mengatakan shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkan hadits ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka'bah, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang suka dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah di saat kematian menemuinya ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah ia memberikan kepada orang lain apa yang ia sukai bila diberikan kepada dirinya sendiri.”
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir yang menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda tiga hari sebelum wafat, yaitu: “Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian meninggal dunia melainkan ia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah ﷻ.”
Imam Muslim meriwayatkannya melalui jalur Al-A'masy dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah berfirman, ‘Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku. Jika dia menyangka balk kepada-Ku, maka itulah yang didapatinya. Dan jika dia berprasangka buruk terhadap-Ku, maka itulah yang didapatinya’."
Asal hadits ini ditetapkan di dalam kitab Shahihain melalui jalur lain dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Allah berfirman, ‘Aku menuruti prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku’."
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit menurut dugaanku dari Anas yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Anshar mengalami sakit, maka Nabi ﷺ datang menjenguknya. Dan di lain waktu Nabi ﷺ bejumpa dengannya di pasar, lalu beliau mengucapkan salam kepadanya dan bertanya kepadanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Fulan?" Lelaki itu menjawab, "Dalam keadaan baik, wahai Rasulullah. Aku berharap kepada Allah, tetapi aku takut akan dosa-dosaku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali berkumpul di dalam kalbu seorang hamba yang dalam keadaan seperti ini (yakni sakit), melainkan Allah memberinya apa yang diharapkannya, dan mengamankannya dari apa yang dikhawatirkannya.” Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahui perawi yang meriwayatkannya dari Sabit selain Ja'far ibnu Sulaiman. Demikian pula Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya dari hadisnya. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini garib. Hal yang sama diriwayatkan oleh sebagian mereka (para perawi) dari Sabit secara mursal.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad seperti berikut: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Yusuf ibnu Mahik, dari Hakim ibnu Hizam yang menceritakan: “Aku telah berbaiat (berjanji setia) kepada Rasulullah ﷺ bahwa aku tidak akan mundur kecuali dalam keadaan berdiri.”
Imam An-Nasai meriwayatkannya di dalam kitab sunannya dari Ismail ibnu Mas'ud, dari Khalid ibnul Haris, dari Syu'bah dengan lafal yang sama; dan ia mengategorikannya ke dalam Bab "Cara Menyungkur untuk Bersujud", lalu ia mengetengahkannya dengan lafal yang serupa.
Menurut suatu pendapat, makna hadits di atas ialah bahwa aku tidak akan mati kecuali dalam keadaan sebagai orang muslim. Menurut pendapat yang lain lagi, makna yang dimaksud ialah bahwa aku tidak sekali-kali berperang (berjihad) melainkan dalam keadaan menghadap (maju), bukan membelakangi (mundur/lari). Pengertian ini merujuk kepada makna yang pertama.
Ayat 103
Firman Allah ﷻ: “Dan berpeganglah kaian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan hablillah ialah janji Allah. Seperti yang disebutkan di dalam ayat selanjutnya, yaitu firman-Nya: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. (Ali Imran: 112) Yakni janji dan jaminan.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah Al-Qur'an. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Al-Haris Al-A'war, dari sahabat Ali secara marfu' mengenai sifat Al-Qur'an, yaitu: Al-Qur'an adalah tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus.
Sehubungan dengan hal ini terdapat hadits yang khusus membahas mengenai makna ini. Untuk itu Imam Al-Hafidzh Abu Ja'far At-Tabari mengatakan: telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, dari Abdul Malik ibnu Sulaiman Al-Azrami, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Kitabullah (Al-Qur'an) adalah tali Allah yang menjulur dari langit ke bumi.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari jalur Ibrahim ibnu Muslim Al-Hijri, dari Abu Ahwas, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah tali Allah yang kuat. Dia adalah cahaya yang jelas, dia adalah penawar yang bermanfaat, perlindungan bagi orang yang berpegang kepadanya, dan keselamatan bagi orang yang mengikuti (petunjuk)Nya.”
Telah diriwayatkan dari hadits Huzaifah dan Zaid ibnu Arqam tentang hal yang serupal.
Waki' mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Wail yang menceritakan bahwa Abdullah pernah mengatakan (bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepadanya): “Sesungguhnya jalan itu adalah tempat lalu lalang, setan-setan selalu datang kepadanya. Wahai Abdullah, ambillah jalan ini, kemarilah, tempuhlah jalan ini. Maka mereka berpegang kepada tali Allah karena sesungguhnya tali Allah itu adalah Al-Qur'an.”
Firman Allah ﷻ: “Dan jangan kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
Allah memenntahkan kepada mereka untuk menetapi jamaah (kesatuan) dan melarang mereka bercerai-berai.
Banyak hadits yang isinya melarang bercerai-berai dan memerintahkan untuk bersatu dan rukun. Seperti yang dinyatakan di dalam kitab Shahih Muslim melalui hadits Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah rida kepada kalian dalam tiga perkara dan murka kepada kalian dalam tiga perkara. Allah rida kepada kalian bila kalian menyembah-Nya dan kalian tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, bila kalian sekalian berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak bercerai-berai, dan bila kalian saling menasihati dengan orang yang dikuasakan oleh Allah untuk mengurus perkara kalian. Dan Allah murka kepada kalian dalam tiga perkara, yaitu qil dan qal (banyak bicara atau berdebat), banyak bertanya dan menyia-nyiakan (menghambur-hamburkan) harta.”
Bilamana mereka hidup dalam persatuan dan kesatuan, niscaya terjaminlah mereka dari kekeliruan, seperti yang disebutkan oleh banyak hadits mengenai hal tersebut. Sangat dikhawatirkan bila mereka bercerai-berai dan bertentangan. Hal ini ternyata menimpa umat ini, hingga bercerai-berailah mereka menjadi tujuh puluh tiga golongan. Di antaranya terdapat suatu golongan yang selamat masuk surga dan diselamatkan dari siksa neraka.
Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jejak yang telah dilakukan oleh Nabi ﷺ dan para sahabatnya.
Firman Allah ﷻ: “Dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (di masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati-hati kalian, sehingga dengan karunia-Nya kalian menjadi bersaudara.” (Ali Imran: 103), hingga akhir ayat.
Konteks ayat ini berkaitan dengan keadaan kabilah Aus dan kabilah Khazraj, karena sesungguhnya dahulu di antara mereka sering terjadi peperangan, yaitu di masa Jahiliah. Kedengkian dan permusuhan, pertentangan yang keras di antara mereka menyebabkan meletusnya perang yang berkepanjangan di antara sesama mereka.
Ketika Islam datang dan masuk Islamlah sebagian orang di antara mereka, maka jadilah mereka sebagai saudara yang saling mengasihi berkat keagungan Allah. Mereka dipersatukan oleh agama Allah dan saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan. Allah ﷻ berfirman: “Dialah yang menguatkanmu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati-hati mereka, tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati-hati mereka.” (Al-Anfal: 62-63) Sebelum itu mereka berada di tepi jurang neraka karena kekafiran mereka, lalu Allah menyelamatkan mereka darinya dengan memberi mereka petunjuk kepada iman.
Sesungguhnya hal tersebut disebut-sebut oleh Rasulullah ﷺ pada hari beliau membagi-bagikan ganimah Hunain, lalu ada sebagian orang yang merasa kurang puas karena ada sebagian yang lain mendapat bagian yang lebih banyak daripada mereka. Nabi ﷺ sengaja melakukan demikian karena berdasarkah apa yang dianjurkan oleh Allah ﷻ kepadanya. Lalu Nabi ﷺ bersabda kepada mereka: “Wahai orang-orang Anshar, bukankah aku menjumpai kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku; dan kalian dalam keadaan bercerai-berai, lalu Allah mempersatukan kalian melalui diriku; dan kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah memberi kecukupan kepada kalian melalui aku?” Setiap kalimat yang diucapkan Nabi ﷺ hanya bisa mereka katakan dengan kalimat berikut sebagai pengakuan mereka, "Hanya kepada Allah dan Rasul-Nya kami percaya."
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar dan lain-lainnya menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami oleh kabilah Aus dan kabilah Khazraj. Itu terjadi ketika ada seorang lelaki Yahudi lewat di hadapan sejumlah orang penting dari kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj, maka si Yahudi itu merasa tidak senang dengan kesatuan dan kerukunan yang ada di antara mereka. Lalu ia mengirimkan seorang lelaki kepercayaannya dan memerintahkan kepadanya duduk bersama mereka dan mengingatkan mereka kepada peristiwa-peristiwa masa lalu yang pernah terjadi di antara mereka, yaitu peperangan Bi'as dan peperangan-peperangan lainnya yang terjadi di antara sesama mereka.
Kemudian lelaki utusan si Yahudi itu melakukan apa yang diperintahkan kepadanya; dengan tekunnya ia melakukan tugas tersebut secara rutin, hingga suasana kaum menjadi panas kembali dan bangkitlah amarah sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Lalu timbullah fanatisme mereka, dan masing-masing pihak menyerukan semboyan-semboyannya, lalu mempersiapkan senjatanya masing-masing dan mengadakan tantangan kepada lawannya di tempat yang terbuka pada hari tertentu.
Ketika berita tersebut sampai kepada Nabi ﷺ, maka beliau mendatangi mereka, lalu beliau meredakan dan melerai mereka serta bersabda: “Apakah kalian menyerukan seruan Jahiliah (kebodohan), sedangkan aku ada di antara kalian?" Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan ayat ini kepada mereka. Akhirnya mereka menyesali perbuatannya, lalu mereka berdamai, saling berpelukan, dan semua senjata mereka lemparkan. Semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka. Ikrimah menyebutkan bahwa peristiwa tersebut menimpa mereka ketika mereka dalam keadaan emosi karena peristiwa berita bohong (haditsul ifki).
Pada ayat ini Allah memerintah kaum mukmin menjaga persatuan dan kesatuan. Dan berpegangteguhlah serta berusahalah sekuat tenaga agar kamu semuanya bantu-membantu untuk menyatu pada tali (agama) Allah agar kamu tidak tergelincir dari agama tersebut. Dan janganlah kamu bercerai berai, saling bermusuhan dan mendengki, karena semua itu akan menjadikan kamu lemah dan mudah dihancurkan. Pada ayat ini Allah memerintahkan orang mukmin agar mengajak manusia kepada kebaikan, menyuruh perbuatan makruf, dan mencegah perbuatan mungkar. Dan hendaklah di antara kamu, orang mukmin, ada segolongan orang yang secara terus-menerus menyeru kepada kebajikan yaitu petunjuk-petunjuk Allah, menyuruh (berbuat) yang makruf yaitu akhlak, perilaku dan nilai-nilai luhur dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, dan mencegah dari yang mungkar, yaitu sesuatu yang dipandang buruk dan diingkari oleh akal sehat. Sungguh mereka yang menjalankan ketiga hal tersebut mempunyai kedudukan tinggi di hadapan Allah dan mereka itulah orang-orang yang beruntung karena mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.
Diingatkan hendaklah mereka berpegang teguh kepada Allah dan ajaran-Nya dan selalu mengingat nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada mereka. Dahulu pada masa jahiliah mereka bermusuhan sehingga timbullah perang saudara beratus-ratus tahun lamanya, seperti perang antara kaum 'Aus dan Khazraj. Maka Allah telah mempersatukan hati mereka dengan datangnya Nabi Muhammad ﷺ dan mereka telah masuk ke dalam agama Islam dengan berbondong-bondong. Allah telah mencabut dari hati mereka sifat dengki dan memadamkan dari mereka api permusuhan sehingga jadilah mereka orang-orang yang bersaudara dan saling mencintai menuju kebahagiaan bersama.
Juga karena kemusyrikan, mereka berada di tepi jurang neraka, hanya terhalang oleh maut saja. Tetapi Allah telah menyelamatkan mereka. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya, agar kaum Muslimin mendapat petunjuk dan mensyukuri nikmat agar nikmat itu terpelihara.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MENGETUK HATI NURANI AHLUL KITAB
Ayat 98
“Katakanlah! Wahai Ahlul Kitab! Mengapa kamu tidak percaya kepada ayat-ayat Allah itu, padahal Allah menyaksikan apa-apa yang kamu kerjakan?"
Di dalam ayat ini kita melihat Allah memberikan satu macam tuntunan dakwah kepada Rasul, yaitu mengetuk hati atau menyadarkan pihak lawan, supaya mereka jangan mendustai hati nurani sendiri. Karena hati nurani itu kalau dibebaskan dari hawa nafsu, tidak lain, dia pasti akan mengatakan bahwa yang benar itu tetaplah benar. Hati nurani tidak pernah berbohong. Maka, Nabi disuruh menanyakan kepada Ahlul Kitab.
Di dalam ayat ini yang dimaksud Ahlul Kitab ialah pemuka-pemuka Yahudi di Madinah ataupun utusan-utusan Nasrani dari Najran itu. Mengapa mereka masih juga belum mau percaya kepada ayat-ayat Allah itu? Seum-pama telah disebutkan di atas tadi, bukti-bukti telah banyak menunjukkan bahwa Ibrahim sebagai nenek moyang segala keturunan Semiet (bangsa keturunan Sam) yang mendirikan Ka'bah; tandanya masih dapat dilihat, satu di antaranya ialah Maqam Ibrahim, Kamu tidak dapat lagi memungkiri kebenaran itu. Dan kamu pun tidak akan dapat memungkiri bahwa kedatangan Rasulullah ﷺ adalah penyambung ajaran Ibrahim, sedang ajaran Ibrahim yang sejati tentang tauhid terdapat pula dalam kitab-kitabmu sendiri. Mengapa kamu masih berkeras kepala juga mempertahankan pendirian yang salah? Padahal apa yang kamu perbuat dan apa yang kamu kerjakan senantiasa tidak terlepas dari tilikan Allah,
Di kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu pasti ada orang-orang yang halus perasaannya. Teguran kepada mereka secara lunak lembut lebih berkesan dalam jiwa mereka daripada teguran kasar. Mereka selama ini mengakui lebih tinggi daripada orang Arab ja-hiliyyah, karena mereka keturunan Ahli Kitab, Mereka mempunyai Taurat, Zabur, dan Injil.
Di dalam Taurat, Zabur, dan Injil itu pasti terdapat kebenaran, tidak ada kebohongan. Sekarang hati mereka diketuk dengan terlebih dahulu mengakui bahwa memang mereka kaum yang menerima kitab. Sekarang telah bertemu tanda-tanda bahwa memang Ka'bah adalah rumah pertama untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Pendirinya memang Nabi Ibrahim dan tanda-tanda dalam kitabmu sendiri pun mengakui hai itu. Maka, kalau kamu ingin menegakkan kebenaran, apalagi yang menghalangimu mengakuinya?
Kemudian, datang lagi tempelak (celaan/ teguran untuk menunjukkan kebenaran, peny.) selanjutnya,
Ayat 99
“Katakanlah: Wahai Ahlul Kitab! Mengapa kamu palingkan orang-orang yang beriman dari jalan Allah, karena keinginan kamu agar dia bengkok? Padahal kamu menyaksikan.'"
Mengapa kamu securang itu? Mengapa kamu tidak jujur, padahal kamu orang yang keturunan kitab? Dalam kitab-kitab yang kamu pegang itu, tersebutlah hikmat dan ajaran budi yang tinggi, sepatutnya kamu peganglah isi kitab itu. Dan kalau dia kamu pegang, niscaya tidaklah ada alasan bagi kamu menolak seruan Muhammad.
Namun sekarang, usahkan mengakui kebenaran itu, bahkan kamu sanggah. Bukan saja kamu sanggah, bahkan kamu halang-halangi orang lain yang mau percaya kepadanya. Untuk itu kamu telah berbuat perbuatan yang salah sekali. Jalan yang lurus kamu bengkokkan, maksud yang baik kamu salah artikan, fitnah yang dusta kamu karang-karangkan. Padahal kamu menyaksikan sendiri bahwa seruan Muhammad itu tidak ada yang menyalahi isi kitab yang kamu pegang itu. Sama berisi tauhid ajaran Ibrahim!
“Dan tidaklah Allah lengah dari apa yang kamu kerjakan."
Allah tidak melengahkan perbuatanmu itu. Allah mengetahui dari mana sebabnya, yaitu dengki, karena Nabi timbul dari kalangan Arab, atau karena pantang kelintasan, sebab selama ini kamu merasa bahwa kamulah yang paling tinggi. Dengki dan sombong yang menjadi pangkalnya.
Menurut satu riwayat yang dibawakan oleh al-Fariyabi dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, sebab timbulnya ayat ini ialah kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang Yahudi di Madinah di antara orang-orang yang telah beriman. Dijelaskan pula oleh riwayat ibnu Ishaq dan Abu Syekh bahwa orang Yahudi dengki dan benci melihatoleh karena dua suku. Aus dan Khazraj, sejak menerima ajaran Nabi Muhammad ﷺ telah hidup sangat damai dan berkasih sayang. Maka, ada seorang Yahudi tua benci benar melihat itu, namanya Syaas bin Qais. Sedang orang-orang Aus dan Khazraj itu duduk bersama dalam suasana gembira dan bersatu, Syaas datang masuk ke majelis mereka. Dengan amat pintarnya, dibukanyalah kembali hal yang lama-lama, yaitu Aus dan Khazraj pernah berperang sesama sendiri atau perang kabilah yang mereka namai Perang Ba'ats. Mula-mula masih bercerita, lama-lama bongkar-membongkar siapa yang kalah dan siapa yang menang, sampai bertengkar dan nyaris berkelahi. Si Syaas tersenyum-senyum sebab maksudnya berhasil. Syukurlah lekas Rasulullah ﷺ mengetahui hal ini. Beliau segera datang ke tempat mereka.
Setelah Rasulullah ﷺ kelihatan, mereka pun terdiam semua, perkelahian tidak terjadi. Maka, beliau berilah mereka nasihat sebaik-baiknya dan beliau mendamaikan mereka. Mereka pun insaflah dan menyesali kebodohan mereka serta memperbarui kembali ketaatan mereka kepada Rasulullah ﷺ. Kemudian, datanglah ayat ini menyesali kelakuan yang rendah Syaas bin Qais itu dan juga teman-temannya dari Ahlul Kitab yang lain, yang usahkan beriman kepada Muhammad ﷺ, bahkan mereka mengacaukan kaum Muslimin, membengkokkan jalan mereka yang lurus, membangkit-bangkitkan kembali permusuhan jahiliyyah yang telah ditinggalkan.
Menurut riwayat yang lain yang lebih panjang, dalam Peperangan Ba'ats zaman jahiliyyah yang dibangkit-bangkitkan oleh Syaas bin Qais itu telah terjadi pertumpahan darah hebat antara Aus dengan Khazraj, dengan kemenangan Aus. Beberapa orang dari pihak Khazraj demikian naik darahnya sehingga diajaknya kalangan Aus mengulang perang itu kembali ketika itu juga. Beberapa orang Aus telah berkumpul mencari sesama Aus dan orang Khazraj begitu pula. Tiba-tiba ha! ini diketahui Rasul, segera beliau datang diiringkan oleh beberapa orang Muhajirin. Melihat beliau datang semua terdiam. Setelah tenang, berpidatolah beliau di hadapan mereka: “Ma'asyiral Muslimin! Allah, Allah! Mengapa kamu bangkit-bangkit kembali dakwa jahiliyyah? Padahal aku masih ada di tengah-tengah kamu? Sesudah Allah memberi kamu hidayah dengan Islam? Sesudah kamu di-muliakan-Nya dengan Islam dan dipotong akar-akar jahiliyyah itu? Sesudah kamu dicabutkan dari kekafiran? Sesudah kamu dipersatukan? Lalu kamu hendak kembali jadi kafir?"
Mendengar perkataan Rasulullah itu, sadarlah kaum itu akan diri, insaflah mereka bahwa setan telah mengacaukan mereka dan mereka telah ditipu oleh musuh mereka, Yahudi itu. Maka, senjata-senjata yang telah mereka siapkan, mereka lemparkan, mereka menangis lalu berpeluk-pelukan satu sama lain, Aus dan Khazraj. Kemudian, mereka tinggalkan tempat itu, mereka ikut Rasulullah meninggalkan tempat itu dengan patuh dan taat. Maka, dipadamkan oleh Allah api jahiliyyah yang telah dikobarkan oleh setan dan oleh Syaas bin Qais, Yahudi itu.
Berkata Ibnu Jarir dalam tafsirnya, “Maka turunlah ayat ini. Wahai Ahlul Kitab! Mengapa kamu palingkan dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman (sampai ujung ayat ini), sebagai teguran kepada si Syaas bin Qais pengacau itu." Dan terhadap kepada Aus bin Qaizhij dan Jabbar bin Shakhr, kedua pemuka Aus dan Khazraj yang telah gelap mata itu beserta kaum mereka masing-masing turun pulalah ayat berikutnya yang demikian bunyinya,
Ayat 100
“Wahai orang-orang yang beriman! Jikalau kamu ikuti (kehendak) segolongan dari orang-orang yang keturunan Ahlul Kitab itu, niscaya mereka akan mengembalikan kamu jadi kafir, sesudah kamu beriman."
Jika kita renungi ayat ini dan ayat yang sebelumnya, dapatlah kita melihat wibawa dan kekuasaan Rasulullah ﷺ di Madinah waktu itu. Baik kaum Yahudi yang keturunan kitab itu, atau kaum Muslimin yang telah beriman kepada ajaran Muhammad ﷺ, keduanya adalah rakyat beliau. Yang pertama diberinya nasihat bahwa tidaklah baik memungkiri kebenaran, sebab kebenaran itu ada dalam hati sendiri, dan tidaklah baik mengacaukan, menghasut, dan memfitnah terhadap kaum Muslimin. Sebab, agama mereka sendiri tidaklah pernah diganggu oleh kaum Muslimin setelah demikian lamanya bergaul dalam Madinah. Perbuatan demikian adalah melanggar inti sari perintah agama mereka sendiri. Kalau mereka tilik di dalam kitab Taurat yang mereka pegang, di sana terdapatlah beberapa janji di antara Bani Israil dengan Allah, agar bersikap kasih sayang antara sesama manusia.
Setelah itu Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan pula peringatannya kepada kaum yang telah beriman, supaya mereka selalu berhati-hati, siap dan waspada, jangan sampai kehendak sebagian daripada Ahlul Kitab itu kamu turuti. Bujuk rayu mereka jangan didengarkan. Karena maksud mereka tidak lain ialah supaya kamu jadi kafir kembali. Supaya kamu kembali ke dalam hidup jahiliyyah; bermusuh-musuhan antara kamu, berperang antara kabilah dengan kabilah. Kembali dari terang-benderang iman kepada gelap gulita kufur. Dan kalau itu kejadian, kamu akan lemah kembali sesudah kuat. Setelah kamu lemah kembali, Yahudilah yang akan menguasai kamu.
Dalam zaman modern kita ini, selalu kita mendengar apa yang dinamai provokasi atau intimidasi dan ketika kitab tafsir ini diselesaikan, timbul lagi kata lain yang disebut gerpol atau gerilya politik. Pihak musuh berusaha membuat berbagai hasut fitnah supaya persatuan yang kompak dan teguh menjadi pecah belah, di antara satu golongan dan golongan yang lain tidak ada percaya-memercayai lagi. Demikianlah pula yang dibuat oleh Yahudi di Madinah terhadap kaum beriman yang telah bersatu-padu. Bersatu-padu antara Muhajirin dan Anshar. Bersatu-padu antara Aus dan Khazraj. Bersatu-padu antara kabilah dengan kabilah. Yahudi insaf bahwa kalau persatuan ini terus, mereka tidak akan naik lagi. Satu kekuatan baru telah tumbuh di bawah pimpinan Muhammad ﷺ. Sebab itu, mereka selalu akan berusaha memecahkan persatuan itu.
Maka datang lanjutan ayat lagi, memberi kesadaran kepada orang beriman,
Ayat 101
“Dan bagaimana kamu akan kufur, padahal telah dibacakan kepada kamu ayat-ayat Allah"
Pangkal ayat ini adalah guna menimbulkan harga diri tiap-tiap Mukmin. Bahwasanya bukan orang-orang semacam mereka yang dapat dihasut fitnah oleh Ahlul Kitab yang dari golongan yang tidak jujur itu. Orang-orang yang telah selalu mendengar ayat Allah, yaitu Al-Qur'an yang datang dari Allah, dibawa oleh Jibril kepada Rasul, langsung diajarkan pula kepada mereka, tidaklah akan mudah dihasut-hasut oleh orang lain. Dengan datangnya ayat-ayat Allah dan ayat itu telah dibacakan kepada mereka, kedudukan mereka sudah lain dari dahulu. Mereka telah dituntun oleh Allah sendiri. Dan kalau selama ini Ahlul Kitab membanggakan diri karena mereka ada kitab, maka sekarang pun mereka telah mempunyai kitab pula, isi ayat-ayat AL-Qur'an itu telah menasikhkan ayat-ayat kitab yang dahulu; “Dan di antara kamu ada Rasul-Nya." Artinya, bahwa kamu ada berpemimpin, yaitu Rasul sendiri. Kalau ada suatu hal yang musykil, janganiah kamu mengambil tindakan sendiri-sendiri, melainkan nantikan keterangan dan pimpinan dari beliau. Adapun Ahlul Kitab itu bukan pemimpinmu. Kalau ada bujuk rayu mereka kepada kamu, pasti ada tersimpan di dalamnya satu maksud yang jahat. Maka, dengan kesadaran, bahwa kamu telah selalu mendengar ayat dibacakan dan dipimpin langsung pula oleh Rasul, kamu akan selamat. Sebab, ayat-ayat Allah dan Rasul adalah pedoman hidupmu.
“Dan banangsiapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya telah dibeii petunjuk dia kepada jalan yang Iwius."
Ayat-ayat yang dibacakan adalah datang dari Allah, dan Rasul yang ada di antara kamu, ialah utusan Allah. Jika keduanya ini kamu pegang teguh, berarti kamu telah berpegang pada Allah sendiri. Bila kamu telah berpegang teguh kepada Allah, kamu tidak akan tersesat lagi. Dan jalan Allah adalah jalan yang lurus. Allah akan memberimu petunjuk dengan ayat-ayat yang dibaca itu dan Rasul yang diutus itu, sehingga jalanmu tidak akan terpesong kepada kesesatan.
Ayat 102
“Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kamu dengan Allah sebenar-benar takwa."
Ayat-ayat sudah dibacakan kepada kamu dan Rasul pun ada hidup di antara kamu dan kamu pun telah beriman, telah percaya bahwa Allah itu memang ada. Dialah yang memberikan nikmat kurnia kepada kamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu cukupkan kepada Allah itu hanya sekadar tahu dan percaya akan ada-Nya. Hendaklah lebih dari itu; yaitu terasa hubungan yang erat dengan Dia. Erat, seerat-eratnya, sehingga Allah jangan hanya semata-mata terpikir oleh otak, melainkan terasa dalam jiwa. Jangan sampai terputus hubungan dengan Dia, melainkan dipelihara terus-menerus.
Itulah yang dinamai takwa.
Dengan takwa, maka iman yang telah ada itu dipupuk. Kepercayaan akan adanya Allah lalu membentuk hidup pribadi; sebagaimana yang terlebih dahulu di dalam ayat 79 dalam surah ini juga, kamu menjadi rabbani, menjadi keluarga Allah.
Orang yang memegang takwa dengan sebenar-benar takwa, terpeliharalah tujuan hidupnya. Sebab, arti takwa itu sendiri ialah pemeliharaan.
“Dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan Muslimin."
Pegang teguh takwa itu sampai mati dan mati tetap dalam Islam. Sekali telah datang ke dunia, maka jiwa telah terisi dengan kepercayaan kepada Allah dan berbakti (takwa) kepada Allah. Dengan demikian jiwa menjadi kebal dan besar. Apabila pendirian hidup dan pandangan hidup ini telah dibentuk dalam jiwa, kamu tidak akan dapat dipermain-mainkan orang lagi. Tempatmu berlindung hanya Allah, pedoman hidupmu adalah Ai-Qur'an, pemimpin yang sejati hanya Muhammad ﷺ. Walaupun seluruh dunia menantangmu, membujuk rayumu, mencoba mengutak-atikkan kamu, mereka pasti akan gagal.
Ayat 103
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada … Allah."
Apa yang disebut sebagai tali Allah sudah terang pada ayat di atas tadi, ialah ayat Allah yang dibacakan kepada kamu, tegasnya Al-Qur'an. Berjalin berkelindan dengan Rasul yang ada di antara kamu. Yaitu Sunnahnya dan contoh bimbingan yang diberikannya. Di ayat ini ditegaskan, bahwa berpegang pada tali Allah itu ialah “kamu sekalian." Artinya telah bersatu padu. Karena kalau pegangan semuanya sudah satu, maka dirimu yang terpecah-belah itu sendirinya pun menjadi satu. Lalu dikuatkan lagi dengan lanjutan ayat, “Dan janganlah kamu bercerai-berai."
Di sini tampak pentingnya jamaah. Berpegang pada tali Allah sendiri-sendiri tidaklah ada faedahnya. Kalau tidak ada persatuan antara satu dengan yang lain. Di sinilah kepentingan kesatuan komando, kesatuan pimpinan. Pimpinan tertinggi ialah Rasul ﷺ Dengan ajaran yang demikian, kebanggaan kabilah tidak ada lagi. Tidak ada kemuliaan Arab atas Ajam, atau kulit putih atas kulit hitam, sebab ayat yang terdahulu telah menyebutkan kepastian takwa. Maka, yang lebih mulia di sisi Allah ialah siapa yang lebih takwa kepada-Nya.
Dengan sebab persamaan karena takwa ini, timbullah kekuatan yang besar dan barulah keadaan dan mulialah tujuan. Lalu datang lanjutan ayat, “Dan ingatlah olehmu nikmat Allah atas kamu; seketika kamu sedang ber-musuh-musuhan telah dijinakkan-Nya antara hati kamu masing-masing." Itulah satu nikmat paling besar. Sebab, perpecahan, permusuhan, dan berbenci-bencian adalah sengketa dan kutuk yang sangat menghabiskan tenaga jiwa. Sebelum datang ajaran Nabi Muhammad ﷺ, suku dan suku berkelahi. Antara Aus dan Khazraj di Madinah; antara Bani Abdi Manaf dan Bani Hasyim di Mekah; antara orang kota dan orang gunung dan padang pasir, semuanya itu bermusuhan, berbenci-bencian, berlomba memperebutkan kebanggaan dan kemegahan duniawi yang tidak berarti.
Sekarang setelah ajaran Allah datang dengan perantaraan Rasul, timbullah nikmat persatuan antara kamu “Sehingga dengan nikmat Allah kamu menjadi bersaudara" Apakah nikmat yang paling besar daripada persau-daraan sesudah permusuhan? Itulah nikmat yang lebih besar daripada emas dan perak. Sebab, nikmat persaudaraan adalah nikmat dalam jiwa. Dengan persaudaraan yang berat dapat sama dipikul, yang ringan dapat sama dijinjing. “Padahal kamu dahulu telah di pinggir lubang neraka" Artinya, neraka perpecahan, neraka kutuk-mengutuk, benci-membenci, sampai berperang bunuh-membunuh. Timbul dendam suku, sakit hati kabilah. Yang satu ingin memusnahkan yang lain. Berkali-kali terjadi peperangan dalam zaman jahiliyyah dan kalau berkelanjutan, kamu akan musnah karena berkelahi sesama sendiri.
“Namun, kamu telah diselamatkan-Nya daripadanya." Dibangkitkan Allah kamu dari dalam neraka jiwa itu, ditariknya tangan kamu, sehingga tidak jadi jatuh, yaitu dengan kedatangan Nabi Muhammad ﷺ. Maka, sekarang dengan kedatangan Nabi Muhammad ini, jahiliyyah tidak ada lagi; yang ada sekarang ialah Islamiyah. Permusuhan karena suku tidak ada lagi; yang ada sekarang hanyalah persatuan karena iman. Dan kalau berperang bukan lagi sesama umat yang beriman, melainkan berperang terhadap orang-orang yang memusuhi Allah. Akhirnya, Allah berfirman di ujung ayat,
“Demikianlah Allah menyatakan tanda-tanda-Nya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk."
Maka semua anjuran yang tersebut di atas itu disebutkan sebagai tanda-tanda (ayat-ayat) atau kesaksian tentang kekuasaan Allah, tentang peraturan dan Sunnah Allah di dalam alam ini. Bahwasanya persatuan dari manusia yang sepaham bisa menimbulkan kekuatan yang besar, ke dalam pribadi Allah.
Maulana Muhammad Iqbal pernah mengemukakan kesan filsafat tentang pembangunan pribadi insani masing-masing. Setiap orang mengisi pribadinya dengan takwa. Lalu setiap orang yang bertakwa itu meleburkan dirinya kepada pribadi yang besar, ke dalam pribadi Allah. Antara satu pribadi dengan pribadi yang lain tergabung jadi satu, karena kesatuan kepercayaan dan mereka pun jadi satu tujuan dalam kesatuan arah tujuan, yaitu Allah.
Di dunia mereka beroleh bahagia dengan kemenangan, sehingga dapat melaksanakan tugas suci, yaitu menjadi Khalifatullah di muka bumi. Maka, tercapailah maksud itu, sehingga pernahlah satu ketika kekuasaan Islam sebagai umat tauhid itu, sebelah kakinya menancap di Delhi Industan dan sebelah kakinya lagi menancap di Andalusia, Semenanjung Iberia. Dan ini pun akan tercapai kembali bila kita kembali kepada ajaran-ajaran ayat ini. in syaa Allah.