Ayat
Terjemahan Per Kata
فَإِذَا
maka apabila
رَكِبُواْ
mereka naik
فِي
di dalam/di atas
ٱلۡفُلۡكِ
perahu
دَعَوُاْ
mereka berdo'a
ٱللَّهَ
Allah
مُخۡلِصِينَ
dengan ikhlas
لَهُ
kepada-Nya
ٱلدِّينَ
ketaatan/agama
فَلَمَّا
maka tatkala
نَجَّىٰهُمۡ
Dia menyelamatkan mereka
إِلَى
sampai
ٱلۡبَرِّ
darat
إِذَا
tiba-tiba
هُمۡ
mereka
يُشۡرِكُونَ
mereka mempersekutukan
فَإِذَا
maka apabila
رَكِبُواْ
mereka naik
فِي
di dalam/di atas
ٱلۡفُلۡكِ
perahu
دَعَوُاْ
mereka berdo'a
ٱللَّهَ
Allah
مُخۡلِصِينَ
dengan ikhlas
لَهُ
kepada-Nya
ٱلدِّينَ
ketaatan/agama
فَلَمَّا
maka tatkala
نَجَّىٰهُمۡ
Dia menyelamatkan mereka
إِلَى
sampai
ٱلۡبَرِّ
darat
إِذَا
tiba-tiba
هُمۡ
mereka
يُشۡرِكُونَ
mereka mempersekutukan
Terjemahan
Apabila naik ke dalam bahtera, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya. Akan tetapi, ketika Dia (Allah) menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).
Tafsir
(Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.) Yakni mereka tidak menyeru selain-Nya, karena mereka dalam keadaan kritis dan bahaya, tiada seorang pun yang dapat melenyapkannya melainkan hanya Dia (maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan) Allah.
Tafsir Surat Al-'Ankabut: 64-66
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah), agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). Kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya). (Al-'Ankabut: 64-66)
Ayat 64
Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, menceritakan hinanya duniawi dan kefanaannya serta kesudahannya yang akan lenyap, dan bahwa dunia itu tidak kekal, dan bahwa kehidupan dunia itu tiada lain hanyalah senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan. (Al-'Ankabut: 64) Yaitu kehidupan yang abadi lagi sebenarnya yang tiada kefanaan serta tiada penghabisannya, bahkan kehidupan akhirat terus berlangsung untuk selama-lamanya.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: kalau mereka mengetahui. (Al-'Ankabut: 64) Seandainya mereka mengetahui, tentulah mereka lebih memilih pahala yang kekal daripada imbalan yang fana.
Ayat 65
Dalam ayat berikutnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberitahukan bahwa bila mereka dalam keadaan terjepit, maka mereka berdoa kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, mengapa hal ini tidak mereka lakukan selamanya? Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (Al-'Ankabut: 65) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia.
Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. (Al-Isra: 67), hingga akhir ayat. Dan dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). (Al-Ankabut: 65)
Muhammad ibnu Ishaq telah menuturkan dari Ikrimah ibnu Abu Jahal yang telah menceritakan bahwa ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam beroleh kemenangan atas kota Mekah, Ikrimah melarikan diri dari Mekah. Dan ketika ia menempuh jalan laut menaiki perahu untuk pergi ke negeri Habasyah, di tengah perjalanan perahunya oleng karena ombak yang besar. Maka para penumpangnya berseru, "Hai kaum, murnikanlah doa kalian hanya kepada Tuhan kalian (Allah), karena sesungguhnya tiada yang dapat menyelamatkan kita dari bencana ini selain Dia."
Ikrimah berkata, "Demi Allah, bilamana tiada yang dapat menyelamatkan dari bencana di laut selain Dia, maka sesungguhnya tiada pula yang dapat menyelamatkan dari bencana di daratan kecuali hanya Dia. Ya Allah, aku berjanji kepadaMu seandainya aku selamat dari bencana ini, sungguh aku akan pergi dan benar-benar aku akan meletakkan tanganku pada tangan Muhammad (masuk Islam), dan aku pasti menjumpainya seorang yang pengasih lagi penyayang," dan memang apa yang diharapkannya itu benar-benar ia jumpai pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Ayat 66
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). (Al-Ankabut: 66) Huruf lam yang ada pada lafal liyakfuru ini menurut pendapat kebanyakan ulama bahasa Arab dan tafsir serta juga ulama usul menyebutnya dengan istilah lamul 'aqibah (sehingga artinya menjadi yang berakibat mereka mengingkari nikmat Allah dan hidup bersenang-senang dalam kekafirannya).
Karena mereka tidak bermaksud demikian pada mulanya, dan tidak diragukan lagi makna ini memang benar bila dipandang dari sudut mereka. Tetapi bila dipandang dari sudut takdir Allah atas diri mereka dan kepastian-Nya yang telah menentukan mereka demikian, maka tidak diragukan lagi lam di sini bermakna ta'lil. Penjelasan mengenai hal ini telah kami sebutkan sebelumnya dalam firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. (Al-Qassas: 8)
Padahal, saat menghadapi situasi mencekam di dunia ini, bahkan orang kafir pun akan menaruh harapan kepada Tuhan yang selama ini mereka ingkari. Ayat ini memberi gambaran tentang sikap buruk mereka tersebut. Maka apabila mereka naik kapal lalu badai datang menerjang, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian kepada-Nya agar bisa selamat. Akan tetapi, ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka kembali mempersekutukan Allah. Inilah karakter orang kafir dan munafik, berbeda sama sekali dari karakter orang mukmin. 66. Allah membiarkan mereka bergelimang dalam kenikmatan penuh dosa sebagai istidraj. Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka, seperti selamat dari bencana, sukses setelah kegagalan, sembuh dari sakit, dan silakan mereka hidup bersenang-senang dalam kekafiran dan dosa. Maka, di akhirat kelak mereka akan mengetahui akibat perbuatan mereka dan merasakan penyesalan yang tidak berguna lagi.
Ayat ini melukiskan kehidupan orang-orang musyrik yang penuh pertentangan dan kontradiksi. Hati mereka percaya kepada kekuasaan dan keesaan Allah, tetapi pengaruh dunia dan hawa nafsu menutup keyakinan hati mereka yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak dapat beramal dan mengingat Allah secara ikhlas. Mereka seperti orang bingung di dalam kehidupan yang penuh kemusyrikan.
Mereka diibaratkan Allah dengan orang yang naik kapal, berlayar mengarungi lautan luas. Tiba-tiba datang angin topan yang kencang disertai gelombang dan ombak yang menggunung sehingga kapal mereka terhempas ke sana ke mari. Maka timbul ketakutan dalam hati mereka, diiringi perasaan bahwa mereka tidak akan selamat dan akan ditelan oleh gelombang itu. Di saat itu, mereka ingat kepada Allah, dan meyakini bahwa hanya Dia Yang Mahakuasa menyelamatkan dan melindungi mereka dari hempasan ombak itu. Mereka mengakui keesaan Allah, baik dalam hati dan perasaan maupun dalam ucapan. Singkatnya dalam semua tindak tanduk, mereka kembali kepada fitrah semula, yaitu mengakui keesaan dan kekuasaan Allah. Mereka tidak percaya lagi bahwa tuhan-tuhan yang selama ini disembah sanggup melepaskan dan menyelamatkan mereka dari malapetaka yang sedang mengancam itu. Oleh karena itu, mereka berdoa dan mohon pertolongan kepada Allah saja.
Maka Allah mengabulkan permohonan dan doa mereka yang ikhlas itu dengan menyelamatkan mereka dari segala bencana. Akan tetapi, setelah mereka terlepas dari bencana yang menakutkan itu, dan hati mereka telah merasa aman dan tenteram, serta merta mereka kembali mengingkari Allah yang telah menyelamatkan mereka. Mereka lupa bahwa mereka pernah berdoa kepada-Nya untuk meminta keselamatan dan berjanji akan tetap tunduk dan patuh hanya kepada-Nya. Mereka kembali mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang tidak layak sedikit pun dipersekutukan dengan-Nya. Maka Allah membiarkan mereka bersenang-senang sampai pada waktu yang ditentukan dan Allah akan memberi ganjaran yang setimpal di akhirat kelak.
Pada ayat yang lain diterangkan keadaan orang-orang musyrik di akhirat kelak. Mereka akan mengakui keesaan dan kekuasaan Allah di saat mereka mengalami siksaan yang pedih di dalam neraka dan berdoa meminta pertolongan-Nya agar dilepaskan dari siksaan itu. Allah berfirman:
Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya (kembalikanlah kami ke dunia), jika kami masih juga kembali (kepada kekafiran), sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim." Dia (Allah) berfirman, "Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku." (al-Mu'minun/23: 107-108)
Muhammad bin Ishaq dalam kitab Sirah (tarikh Nabi Muhammad saw) meriwayatkan bahwa 'Ikrimah bin Abi Jahal berkata, "Tatkala Rasulullah menaklukkan Mekah, aku lari daripadanya. Ketika aku naik kapal ke Habsyah, kapal itu terombang-ambing. Para penumpang kapal berkata, Hai teman-teman, berdoalah dengan ikhlas kepada Tuhanmu, sesungguhnya tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari bencana ini, kecuali dia." Selanjutnya 'Ikrimah berkata, "Andaikata di laut tidak ada yang dapat menyelamatkan, kecuali Dia maka di darat pun tidak ada pula yang dapat menyelamatkan, kecuali Dia. Hai Tuhanku, aku berjanji kepadamu, jika aku keluar dari laut ini, maka aku akan pergi kepada Muhammad dan aku akan menyatakan keimananku kepadanya, maka akan kudapati dia seorang yang sangat pengasih dan penyayang, dan terlaksanalah janjiku itu."
Ikrimah juga berkata, "Bangsa Jahiliah itu apabila menaiki kapal, berhala-berhala mereka juga ikut dibawa. Jika angin ribut datang, berhala-berhala itu dilemparkan ke laut, lalu mereka mengucapkan, "Ya Tuhan, Ya Tuhan."
Ar-Razi mengatakan dalam bukunya, al-Lawami, "Ini adalah suatu pertanda bahwa pengetahuan tentang Tuhan itu merupakan fitrah bagi manusia. Walaupun mereka lalai mengingat-Nya di waktu mereka bersuka ria, namun mereka mengingat-Nya di waktu kesusahan.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 60
“Dan betapa banyak binatang yang tidak membawa rezekinya sendiri." (pangkal ayat 60)
Akan timbul keragu-raguan buat berpindah, buat hijrah, karena berat bercerai dengan harta benda, dan berat bercerai dengan kesenangan selama ini; rumah ada, harta ada, makan minum terjamin, kehidupan sudah tetap. Kalau sekiranya pindah, apa jaminan pindah? Dari mana akan dapat makan? Dari mana akan dapat rezeki. Maka datanglah peringatan Allah ﷻ ini."Tengoklah binatang yang melata di atas bumi itu! “Kalimat yang dipakai untuk arti binatang dalam ayat ini ialah daabbatin. Artinya yang asli ialah menjalar. Menjalar di atas bumi, baik dengan kaki dua atau kaki empat, laba-laba menjalar dengan kaki enam, kepuyuk pun dengan kaki enam, bahkan ada yang menjalar di muka bumi dengan kaki lebih dari empat-puluh. Semua binatang yang merangkak, menjalar, dan beringsut itu, tidak ada yang berjalan membawa kantong untuk persediaan makanan. Ikan dalam air pun tidak membawa makanan ke mana pergi, bahkan di mana ada air di sana ada makanannya, Namun selama binatang-binatang itu masih hidup, rezekinya telah tersedia. “Allah-lah yang memberinya rezeki, dan untuk kamu pun." Rezeki yang paling kukuh dan tidak akan hilang dari dada ialah iman; dan iman itulah kelak yang akan jadi modal pertama dalam menempuh hidup, walaupun kantong diterbangkan angin. Sebab orang yang beriman itu jiwanya besar, keyakinannya penuh, pikirannya tidak pernah tertumbuk.
“Dan Dia adalah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
(ujung ayat 60)
Oleh sebab Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, maka orang-orang yang telah menyerah bulat kepadanya tidaklah sekali-kali akan dikecewakannya.
“Dan sesungguhnya jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan semua langit dan bumi?"
Ayat 61
“Dan Yang Mengatur matahari dan bulan?" Pastilah mereka akan berkata, “Allah!" (pangkal ayat 61)
Agama apa pun yang mereka peluk, ataupun mereka menyembah berhala beratus-ratus banyaknya. Kalau ditanyakan siapakah yang menjadikan langit terbentang tinggi itu? Mereka tidak akan menjawab lain. Pasti mereka akan mengatakan bahwa Allah-lah yang menciptakan! Begitu pun bumi! Begitu pun matahari yang jalannya begitu teratur dari masa ke masa, tidak pernah bertingkah, sehingga teratur pergantian malam dan siang. Demikian pun bulan, sejak dari bulan sabitnya sampai purnamanya dan sampai dia susut kembali. Tidak ada yang akan berteori menjawabkan bahwa yang menjadikan tujuh petala langit adalah dewanya sendiri.
“Maka betapa lagi mereka dipalingkan?"
(ujung ayat 61)
Kalau memang sudah mengakui dengan serba kepastian bahwa tidak ada pencipta alam selain Allah, baik bumi atau langit dengan ketujuh tingkatnya, atau matahari bersama bulannya, mengapa yang lain yang disembah?
Ayat 62
“Allah-lah yang melebarkan rezeki kepada barangsiapa yang Dia kehendaki dari hamba-Nya." (pangkal ayat 62)
Allah yang melebarkan, meluaskan dan memperkembangkan rezeki itu sehingga ada di antara hamba-hamba-Nya itu yang jadi kaya raya, melimpah-limpah. “Dan Dia yang membatasi baginya." Yaitu ada hamba Allah yang dapat hanya sekadar akan dimakan, itu pun susah mencarinya, sehingga hidup hamba Allah di dunia ini tidak sama keadaannya, tidak sama nasibnya, bertinggi-berendah, berkaya-bermiskin.
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahatahu."
(ujung ayat 62)
Perimbangan di antara kelebihan dan kekurangan, ketinggian dan kerendahan, atau ibarat adanya tanah datar dan gunung-gunung, adanya kayu di hutan lebat yang tinggi menjulang di samping rumput-rumput yang tingginya hanya sejengkal, semuanya itulah kekayaan.
Ayat 63
“Dan jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang telah menurunkan air dari langit, sehingga hiduplah tersebab dia bumi itu sesudah matinya?"
Ini pun pertanyaan yang disuruh oleh Allah ﷻ Nabi-Nya menanyakan pula kepada kaum yang mempersekutukan Allah dengan yang lain itu. Kalau hujan sudah lama tidak turun, sehingga terjadi kemarau panjang dan bumi seakan-akan mati, siapa yang berkuasa menurunkan hujan dari langit?
Maka kalau ditanyakan kepada mereka yang menyembah kepada yang selain Allah ﷻ itu, siapa yang menurunkan air itu dari langit? “Pastilah mereka akan berkata, “Allah!" Yaitu Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, Mahatinggi atas segala yang maujud ini."Katakanlah, “Segala puji bagi Allah!" Artinya, sambutlah jawaban mereka yang telah tepat itu dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT, sebab mereka telah menjawab yang tepat.
“Tetapi yang lebih banyak di antara mereka tidaklah memikirkan."
(ujung ayat 63)
Meskipun mereka mengaku bahwa tidak ada yang lain yang menciptakan semua langit dan bumi, atau matahari dan bulan, atau yang menurunkan hujan dari langit ketika bumi telah mulai mati, meskipun jika ditanyakan, mereka telah menjawab bahwa memang Allah-lah yang menciptakan semuanya itu, namun mereka tidaklah memakai pikirannya lebih lanjut. Allah ﷻ hanya sekadar diakuinya adanya, tetapi pengakuan itu tidak dihayatinya. Tidak dipupuknya rasa syukur dan terima kasih, rasa pengabdian dan pemahaman. Tidak mereka ikuti petunjuk menuju Allah dengan melalui jalan Allah yang dibimbingkan dan dipimpinkan oleh Rasul Utusan Allah SWT, sehingga nilai mereka sebagai manusia tidak naik, melainkan menurun. Padahal kalau sudah diakui dalam fitrah manusia bahwa Yang Mahakuasa, yang disebut Allah ﷻ atau Ilah itu hanya satu saja, hendaklah yang disembah yang satu itu pula.
***
Ayat 64
“Dan tidak lain hidup keduniaan ini hanyalah sendagwutu dan main-main." (pangkal ayat 64)
Pertama sekali hendaklah diingat bahwa segala kehidupan di dunia yang tidak meng-ingat akan mati dan tidak mengingat tujuan terakhirnya itu ridha Allah, adalah hidup yang hanya dipenuhi oleh senda gurau. Karena jika orang tidak menghadapkan hidupnya kepada kebenaran, niscaya hidup itu tidak mempunyai tujuan, Timbalan dari kebenaran tiada lain hanyalah kebatilan. Di sini bertemulah pertalian yang tidak berpisah di antara senda gurau dan main-main, tidak ada kesungguhan. Sebab itu maka menolak kebenaran menjadikan senda gurau dan menghadapkan perhatian kepada yang batil jadilah main-main.
Senda gurau dan permainan hidup itu jarang dirasakan oleh manusia. Sedang dia lekas menurutkan kehendak hati dengan tidak ada tujuan, umurnya berangsur juga habis. Hari-hari yang telah dilalui itu rasanya hanya sebentar saja.
Lalu datanglah ujung ayat memperingatkan,
“Dan sesungguhnya negeri akhirat, itulah dia sebenar hidup; kalau adalah mereka mengetahui."
(ujung ayat 64)
Hidup yang sejati, hidup yang khulud ialah hidup di negeri akhirat. Tetapi buat mencapai hidup di negeri akhirat yang sejati hidup, yang sebenar hidup, tidak ada pula alam lain melainkan di dunia ini juga. Sebab itu maka bukanlah seorang Muslim menyumpah atau mencampakkan dunia, mengutuk dunia. Melainkan mengambil kesempatan mempergunakan hidup di dunia ini untuk mengumpulkan bakal bagi kehidupan sejati di akhirat.
Kemudian itu Allah ﷻ pun membayangkan pula perangai kebanyakan manusia dalam menghadapi hidup di dunia ini. Yaitu dunia yang penuh dengan senda gurau dan main-main.
Ayat 65
“Maka apabila mereka telah naik ke kapal, mereka serulah Allah, dalam keadaan mengikhlaskan agamanya semata-mata untuk-Nya." (pangkal ayat 65)
Digambarkanlah keadaan manusia yang pergi belayar jauh mengarungi lautan dengan menumpang kapal, atau perahu, atau pencalang atau biduk dan sekunar. Mula belayar tentu belum apa-apa. Tetapi setelah kapal itu lebih ke tengah lagi dan tanah daratan bertambah jauh, tiba-tiba datanglah angin topan yang sangat kencang dan ombak gelombang bergulung-gulung amat dahsyat, sehingga mudah sajalah kapal itu tenggelam, jika dibanding besarnya gelombang yang laksana setinggi gunung dengan kapal yang terapung-apung laksana sabut itu. Di waktu itulah si penumpang kapal merasa cemas, timbul takut akan mati tenggelam. Ada yang muntah-muntah karena mabuk, bahkan ada yang berpancaran najis tidak tahu diri lagi. Di waktu itu sajalah mereka tidak bersenda gurau lagi dan tidak main-main lagi. Di waktu itu sajalah mereka betul-betul ikhlas mengenal Allah SWT, menyeru Allah saja, tidak memanggil yang lain. Orang musyrik ketika itu tidak musyrik lagi. Kalau ada yang membawa keris pusaka, dia tidak ingat lagi keris itu. Kalau ada yang memuja berhala, dia tidak menyebut berhala itu lagi. Waktu itu tidak ada main-main, di waktu itu semua sungguh-sungguh, bahkan ada yang bernadzar, kalau selamat saja sampai di darat mereka akan tobat."Tetapi setelah Dia selamatkan mereka ke daratan." Dan yang menyelamatkan itu tidak lain dari Allah sendiri,
“Tiba-tiba mereka pun mempersekutukan."
(ujung ayat 65)
Tetapi seperti pepatah Melayu, “Panas telah terik, kacang pun lupa akan kulitnya."
Begitulah keadaan manusia yang di-pesona oleh hidup keduniaan. Dalam hidup sehari-hari ini kehidupan mereka itu tidak ada tujuan, tidak ada dasar. Hati lekat kepada dunia, bukan kepada yang menganugerahkan dunia. Nanti satu waktu tidaklah mereka akan terlepas dari bala bencana, karena hidup itu bukahlah semata-mata enak saja. Di waktu itu baru mereka ingat Allah ﷻ dengan tulus ikhlas. Tetapi kalau telah lepas dari bahaya, mereka kembali mempersekutukan Allah ﷻ Malahan ada yang tidak mau mengakui bahwa Allah ﷻ campur tangan dalam nikmat yang mereka terima. Atau ada disebutnya dengan mulut “Allah, Allah!" tetapi cuma hingga mulut. Lanjutan ayat lebih tepat mengorek sudut yang buruk dalam jiwa mereka.
“Karena mereka hendak memungkiri apa yang telah Kami berikan kepada mereka."
Ayat 66
Artinya, setelah selamat beranilah mereka memungkiri kekuasaan Allah. Beranilah mereka mengatakan bahwa keselamatan itu berhasil karena kebetulan saja, atau karena per-juangan mereka sendiri."Dan karena mereka hendak bersenang-senang, “ sebab keuntungan telah didapat.
Dan suku ayat kedua, “Dan karena mereka hendak bersenang-senang," memperturutkan hawa nafsu melakukan pelanggaran perintah Allah SWT, bersuka hati, berkorupsi, sampailah suatu waktu pihak-pihak yang merasa dirinya menang atau berkuasa merasa tidak senang kalau ada orang yang menyebut-nyebut agama, apatah lagi kalau ada orang yang menyebut-nyebut hendaklah hukum dan perintah Allah ﷻ dijalankan di negara ini. Orang yang berkata demikian kerapkali dituduh musuh. Musuh negara!
“Namun mereka akan tahu jua kelak."
(ujung ayat 66)
Yaitu apabila kutuk Allah datang dan rahmatnya dicabut Allah ﷻ