Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّكَ
sesungguhnya kamu
لَا
tidak
تَهۡدِي
kamu dapat memberi petunjuk
مَنۡ
siapa/orang
أَحۡبَبۡتَ
kamu cintai/sukai
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱللَّهَ
Allah
يَهۡدِي
memberi petunjuk
مَن
siapa/orang
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَهُوَ
dan Dia
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
dengan/kepada orang-orang yang mau menerima petunjuk
إِنَّكَ
sesungguhnya kamu
لَا
tidak
تَهۡدِي
kamu dapat memberi petunjuk
مَنۡ
siapa/orang
أَحۡبَبۡتَ
kamu cintai/sukai
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱللَّهَ
Allah
يَهۡدِي
memberi petunjuk
مَن
siapa/orang
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَهُوَ
dan Dia
أَعۡلَمُ
lebih mengetahui
بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
dengan/kepada orang-orang yang mau menerima petunjuk
Terjemahan
Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tidak (akan dapat) memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia paling tahu tentang orang-orang yang (mau) menerima petunjuk.
Tafsir
Ayat berikut ini diturunkan berkenaan dengan keinginan Nabi ﷺ akan keimanan pamannya yaitu Abu Thalib. (Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi) supaya ia mendapat hidayah (tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya dan Allah lebih mengetahui) yakni mengetahui (orang-orang yang mau menerima petunjuk).
Tafsir Surat Al-Qasas: 56-57
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. Dan mereka berkata, "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami. Dan apakah kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya, bahwa sesungguhnya kamu, hai Muhammad: tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. (Al-Qashash: 56) Yakni masalah petunjuk bukanlah merupakan urusan kamu. Sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan, sedangkan Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Bagi-Nya hikmah yang tak terperikan dan hujah yang mengalahkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. (Al-Baqarah: 272) Dan firman Allah ﷻ: Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf: 103) Tetapi ayat dalam surat Al-Qashash ini lebih khusus daripada ayat lainnya yang semakna, karena sesungguhnya disebutkan di dalamnya: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Al-Qashash: 56) Artinya, Dia lebih mengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa yang berhak mendapat kesesatan.
Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Talib, paman Rasulullah ﷺ Padahal Abu Talib adalah orang yang melindunginya, membantunya dan berdiri di pihaknya, serta mencintainya dengan kecintaan yang sangat secara naluri, bukan secara syar'i. Tatkala ajal menjelang dan sudah tiba saat ajalnya, Rasulullah ﷺ menyerunya untuk beriman dan masuk Islam. Tetapi takdir telah mendahuluinya dan nyawanya telah meregang, sedangkan ia masih tetap berada di dalam kekafirannya. Hanya bagi Allah-lah hikmah yang sempurna. -: ". ". [: 113] Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayyab, dari ayahnya Al-Musayyab ibnu Hazn Al-Makhzumi r.a. yang menceritakan bahwa ketika Abu Talib menjelang ajalnya, Rasulullah ﷺ datang. Beliau ﷺ menjumpai Abu Jahal ibnu Hisyam dan Abdullah ibnu Abu Umayyah ibnul Mugirah ada di sisi Abu Talib. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Wahai paman(ku), ucapkanlah, "Tidak ada Tuhan selain Allah, yaitu suatu kalimat yang dengannya kelak aku akan membelamu di hadapan Allah! Maka Abu Jahal dan Abdullah ibnu Abu Umayyah berkata, "Hai Abu Talib, apakah kamu tidak suka dengan agama Abdul Muttalib?" Rasulullah ﷺ terus-menerus menawarkan hal itu kepada Abu Talib, tetapi keduanya selalu menentangnya dengan kalimat itu terhadap Abu Talib.
Sehingga di akhir kalimat yang diucapkan Abu Talib menyatakan bahwa dirinya tetap berada pada agama Abdul Muttalib, dan menolak untuk mengucapkan kalimat "Tidak ada Tuhan selain Allah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Demi Allah, sungguh aku akan memohonkan ampun buatmu (kepada Allah) selama aku tidak dilarang memohonkannya buatmu. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya). (At-Taubah:113) Dan sehubungan dengan Abu Talib itu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Al-Qashash: 56) Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Az-Zuhri.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya dan Imam Turmuzi: ". melalui hadis Yazid ibnu Kaisan, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ketika Abu Talib menjelang ajalnya, Rasulullah ﷺ datang kepadanya, lalu bersabda: Wahai paman(ku), ucapkanlah, "Tidak ada Tuhan selain Allah," maka aku akan membelamu dengannya kelak di hari kiamat. Abu Talib menjawab (dengan bahasa diplomasi), "Seandainya aku tidak merasa khawatir nanti akan dicela oleh orang-orang Quraisy karena kalimat tersebut, yang akan ditanggapi oleh mereka, bahwa tiada yang mendorongku mengatakannya melainkan karena takut mati, tentulah aku akan membuat hatimu senang, padahal aku tidak mengatakannya melainkan hanyalah untuk membuat hatimu senang." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Al-Qashash: 56) Imam Turmuzi menilai hadis ini hasan garib, bahwa ia tidak mengenalnya melainkan hanya melalui hadis Yazid ibnu Kaisan.
Imam Ahmad meriwayatkannya melalui Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Yazid ibnu Kaisan, bahwa telah menceritakan kepadanya Abu Hazim, dari Abu Hurairah, lalu disebutkan hadis yang semisal. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Qatadah, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Talib ketika Rasulullah ﷺ menawarkan kepadanya untuk mengucapkan kalimah "Tidak ada Tuhan selain Allah." Abu Talib menolaknya dan mengatakan, "Wahai keponakanku, saya tetap berada pada agama orang-orang tua," dan perkataan terakhir yang diucapkan Abu Talib ialah bahwa dirinya berada pada agama Abdul Muttalib.
:" Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Sa'id ibnu Abu Rasyid yang mengatakan, "Utusan Kaisar Romawi datang kepadaku, lalu mengatakan, 'Kaisar telah menulis sepucuk surat untuk Rasulullah ﷺ melaluiku.' Maka aku datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan kuserahkan surat itu kepadanya, lalu beliau meletakkannya di pangkuannya. Kemudian beliau bertanya, 'Dari manakah lelaki itu?' Aku menjawab, 'Dari kabilah Tanukh (kabilah Arab yang berpihak kepada Romawi).' Beliau bertanya, 'Apakah kamu memeluk agama bapak moyangmu Nabi Ibrahim yang hanif?' Aku menjawab, 'Sesungguhnya aku adalah utusan suatu kaum dan aku memeluk agama mereka, hingga aku kembali kepada mereka.' Maka Rasulullah ﷺ berseri dan memandang kepada para sahabatnya seraya bersabda: 'Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.' (Al-Qashash: 56)." Firman Allah ﷻ: Dan mereka berkata, "Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami." (Al-Qashash: 57) Allah ﷻ menceritakan alasan sebagian orang-orang kafir yang tidak mau mengikuti jalan petunjuk.
Mereka berkata kepada Rasulullah Saw, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami diusir dari negeri kami. (Al-Qashash: 57) Yakni kami takut jika mengikuti petunjuk yang kamu sampaikan dan menentang orang-orang Arab musyrik yang ada di sekitar kami, maka mereka akan mengganggu kami, memerangi kami, dan mengusir kami dari tempat kami berada. Allah ﷻ menjawab ucapan mereka melalui firman-Nya: Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman. (Al-Qashash: 57) Dengan kata lain, apa yang mereka kemukakan sebagai alasannya adalah dusta dan tidak benar sama sekali; karena sesungguhnya Allah menempatkan mereka di negeri yang aman dan tanah suci yang besar, yang sejak pertama kali telah aman.
Maka bagaimanakah tanah suci ini menjadi tanah yang aman bagi mereka, padahal mereka kafir dan syirik, sedangkan bagi kaum yang beriman dan mengikuti jalan yang benar menjadi kota yang tidak aman bagi mereka? Firman Allah ﷻ: yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan). (Al-Qashash: 57) Yaitu semua buah-buahan yang beraneka ragam dari daerah sekitarnya, seperti dari Taif, juga dari tempat-tempat lainnya, begitu pula barang dagangan dan keperluan lainnya.
untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Al-Qashash: 57) Karena itulah mereka mengatakan perkataan tersebut. Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, dari Ibnu Juraij, bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah yang mengatakan bahwa Amr ibnu Syu'aib pernah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tetapi ia tidak mendengarnya langsung dari Ibnu Abbas bahwa Al-Haris ibnu Amir ibnu Naufal adalah orang yang mengatakan apa yang disitir oleh firman-Nya: Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami. (Al-Qashash: 57)"
Hidayah yang mengantar seseorang menerima dan melaksanakan tuntunan Allah bukanlah wewenang manusia, atau dalam batas kemampuannya, tetapi semata-mata wewenang dan hak prerogatif Allah. Di sini Allah menjelaskan hakikat tersebut dengan penegasan, Sungguh, engkau wahai Nabi Muhammad, tidak dapat memberi petunjuk dalam bentuk hidayah tawf'q yang menjadikan seseorang menerima dengan baik dan melaksanakan ajaran Allah kepada orang yang engkau kasihi, meski engkau sangat berhasrat untuk memberi petunjuk kepada kaummu. Engkau hanya mampu memberi hidayah irsy'd, dalam arti memberi petunjuk dan memberitahu tentang jalan kebahagiaan, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk keimanan hidayah kepada orang yang Dia kehendaki-Nya bila dia bersedia menerima hidayah dan membuka hatinya untuk itu, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. 57. Dan untuk menjelaskan alasan mengapa mereka tetap memegang teguh kepercayaan yang mereka anut selama ini, mereka orang-orang musyrik Mekkah berkata kepada Rasul, 'Jika kami mengikuti petunjuk itu dengan memeluk Islam dan bergabung bersama engkau, wahai Nabi Muhammad, yang ajaranmu sangat berbeda dengan kepercaya-an masyarakat Arab, niscaya kami akan diusir dari negeri kami, diculik dan kekuasaan kami akan direbut. ' Mereka bohong dengan alasan mereka itu. Allah membantah alasan mereka itu dengan berfirman, 'Bagaimana mereka berucap demikian, padahal bukankah Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram, yakni tanah suci Mekah, dengan menjadikan wilayah tempat tinggal mereka sebagai negeri yang aman dari serangan dan pembunuhan; yang terus-menerus dan senantiasa sepanjang waktu didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam tumbuh-tumbuhan sebagai rezeki bagimu dari sisi Kami kendati mereka kafir' Sungguh, dalih mereka itu tidak logis dan apa yang mereka khawatirkan itu tidak terjadi, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui keagungan karunia tersebut.
Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad tidak dapat menjadikan kaumnya untuk taat dan menganut agama yang dibawanya, sekalipun ia berusaha sekuat tenaga. Ia hanya berkewajiban menyampaikan dan hanya Allah yang akan memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dia yang mempunyai kebijaksanaan yang mendalam dan alasan yang cukup. Hal tersebut ditegaskan pula pada ayat lain di dalam Al-Qur'an.
Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (al-Baqarah/2: 272)
Dan firman-Nya:
Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12:103)
Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia lebih mengetahui siapa orang-orang yang bersedia dan pantas menerima hidayah itu. Di antara mereka ialah orang-orang Ahli Kitab yang pernah dikisahkan peristiwanya pada ayat-ayat yang lalu. Sebaliknya orang-orang yang tidak bersedia menerima hidayah seperti beberapa kerabat Nabi, maka hidayah tidak akan diberikan kepada mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Petunjuk Semata Dari Tuhan
Ayat 56
“Sesungguhnya engkau tidaklah akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi." (pangkal ayat 56). Karena yang menguasai hati manusia itu bukanlah Nabi Muhammad s.a.w., melainkan langsung ada dalam kekuasaan Allah sendiri. Sebagaimana tersebut dalam sebuah Hadis yang pernah kita salinkan beberapa ayat sebelum ini, bahwa hati manusia itu terletak di dalam jari-jan Tuhan Maha Pengasih belaka. Oleh sebab itu betapa pun kasih-sayang Nabi Muhammad kepada seseorang, namun Nabi tidaklah ada kekuasaan atau daya upaya membuat hati orang itu menurut yang beliau inginkan: “Tetapi Aliahlah yang memberikan petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki." Maka pertimbangan siapa yang akan diberi petunjuk itu adalah pada Allah sendiri. Karena ini adalah soal hati, atau soal jiwa manusia: “Dan Dia lebih mengetahui siapakah yang dapat diberi petunjuk itu." (ujung ayat 56).
Beberapa Hadis, ada yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, ada pula yang dirawikan oleh az-Zuhri dan Said bin al-Musayyab, ada pula yang dirawikan oleh Termidzi dan Hadis Yazid bin Kisam dari Abu Hurairah, dan yang dirawikan oleh Ibnu Abbas, lbnu Umar, Mujahid, asy-Sya'bi dan Qatadah; bahwa ayat 56 ini turun ialah berkenaan dengan Abu Thalib ketika akan meninggal dunia.
Abu Thalib adalah paman dari Nabi s.a.w., abang dari ayahnya. Beliau sangat mengasihi Nabi sejak beliau kecil. Sejak neneknya Abdul Muthalib meninggal dalam usia Nabi s.a.w. 8 tahun, Abu Thalib itulah yang membesarkan dan mendidik dan mengasuh beliau, bahkan sampai beliau dewasa. Beliau sangat cinta kepada pamannya itu dan pamannya itu pun sangat cinta kepada beliau. Di waktu beliau telah menyatakan kepada manusia bahwa Aliah telah mengutusnya menjadi Rasul dan menyampaikan da'wahnya dalam kalangan kaum Quraisy, banyaklah beliau mendapat tantangan dari kaum' itu. Bahkan paman beliau yang lain, yaitu Abu Lahab termasuk dalam golongan yang menantang. Tetapi Abu Thalib selalu membela anaknya ini. Dia mempertahankannya dari setangan orang. Pendirian beliau ialah peyangan terkenal dalam kalangan orang Arab."Benar ataupun salah, dia adalah anakku!" “Mengyanggu anakku berarti mengyanggu diriku sendiri!"
Orang Quraisy pernah memboikot Bani Hasyim, persukuan Nabi, diperbuat sumpah oleh pemuka persukuan atau kabilah yang lain-lain, lalu ditulis di kertas dan digantungkan tulisan itu di Ka'bah. Bahwa Bani Hasyim sebagai keluarga dari Nabi Muhammad tidak dibawa duduk sama rendah, tegak sama tinggi, tidak dibawa sehilir semudik dengan mereka, Tidak dijual barang-barang kepada mereka dan tidak pula dibeli dari mereka. Dua tahun lama pemboikotan itu. Turut menderita lapar dan kekurangan dari Bani Hasyim yang lain yang menjadi pengikut setia dari Muhammad s a.w.
Tetapi kasih-sayang Abu Thalib itu adalah semata-mata kasih-sayang bapak kepada anak. Anak yang diasuhnya sejak kecil, sejak yatim kematian ayah. Ditambah lagi dengan perasaan himyah, yaitu rasa kebanggaan keluarga sebagai kita katakan tadi.
Pernah, di dalam suatu pertemuan keluarga setelah timbul pertengkaran yang agak panas, karena saudaranya Abu Lahab menantang keras gerakan Nabi Muhammad menyerukan Islam itu, Abu Thalib berkata: “Teruskan Muhammad! Paman akan membelamu!"*
Sampai saatnya yang terakhir Abu Thalib tetap membela dan mempertahankan Muhammad, bukan sebagai pengikutnya dalam akidah, melainkan sebagai seorang paman terhadap putera tercinta.
Maka datangiah waktunya. Abu Thalib jatuh sakit, yaitu sakit yang akan membawa ajalnya. Sedang beliau terbaring di tempat tidur, Nabi Muhammad datang membujuknya dan mengajaknya supaya mengucapkan dua kalimat syahadat, namun beliau tidak juga mengucapkannya sampai matinya.
Riwayat tentang ini diuraikan oleh az-Zuhri dari Said bin al-Musayyab yang menerimanya dari ayahnya al-Musayyab bin Hazan al-Makhzumi, salah seorang sahabat Rasulullah kalangan Muhajirin. Yaitu tatkala maut telah mendekat kepada Abu Thalib masuklah Nabi ke dalam rumahnya dan segera ke pembaringannya. Beliau dapati Abu Jahal bin Hisyam dan Abduliah bin Umayyah bin al-Mughirah telah duduk lebih dahulu. Lalu berkatalah Nabi s.a.w.: “Ya pamanku, ucapkanlah kalimat “La Ilaha Mallah", supaya paman dapat aku bela di hari kiamat di sisi Allah!"
Sebelum Abu Thalib memberikan sambutan Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah telah berkata pula: “Hai Abu Thalib! Apakah akan engkau tinggalkan agama ayahmu Abdul Muthalib!" Tiap-tiap Rasulullah membujuk pamannya mengucapkan syahadat, setiap itu pula Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah mengyanggu dengan menyebut agama Abdul Muthalib, sehingga akhirnya Abu Thalib menyatakan sendiri: “Biarlah aku menurut agama Abdul Muthalib saja.' Dan engganlah beliau hendak mengucapkan kalimat La Ilaha Illallah!
Sungguhpun demikian, Nabi s.a.w. masih berkata dengan penuh keharuan: “Aku akan tetap memohonkan ampun untuk engkau, hai paman, selama Allah tidak melarangnya."
Inilah asal mula turunnya ayat 113 dari Surat 9 at-Taubah yang demikian bunyinya:
“Tak adalah bagi Nabi dan orang-orang yang beriman bahwa akan memohonkan ampun untuk orang-orang musyrikin, walaupun orang-orang itu adalah keluarga terdekat sekalipun, sesudah ternyata bagi mereka bahwa mereka itu adalah penghuni neraka jahim."
Dan tentang Abu Thalib datang ayat, (yaitu ayat 56 yang tengah kita tafsirkan ini).
Sepintas lalu kelihatanlah kejam agama ini. Paman kandungnya, yang mengasuh, membimbing dan membelanya sejak dia kecil, sampai dewasa, sampai dia diutus jadi Nabi dan Rasul pun, Abu Thalib tetap berdiri di samping dia, dalam suka dan dukanya.
Tetapi oleh karena agama ini bukan agama kekeluargaan, melainkan garis dan pedoman hidup untuk peyangan manusia sepanjang zaman, ditunjukkan-lah dengan kejadian itu bahwa semata-mata cinta saja, yang tidak diberi urat atau dasar akidah, tidaklah ada gunanya dalam agama.
Sesudah itu akan banyak lagi orang yang cinta kepada Rasulullah, semata-mata cinta, tetapi tidak memeyang akidah yang dibawakannya, malahan ada orang yang menyamakan pandangannya kepada Rasul s.a.w. dengan pandangan kepada Allah, menyerupai cinta orang Kristen kepada Nabi Isa, lalu diangkatnya Nabi Isa jadi Tuhan atau sebahagian dari Tuhan, atau Allah itu ialah Isa!
Di dalam ayat ini kita mendapat perasaan yang halus sekali tentang bagaimana penghargaan Allah kepada RasuINya, dan bagaimana pula tunduk Rasul kepada Tuhannya. Di dalam ayat ini Tuhan mengatakan bahwa tidaklah ada kekuasaan bagimu, hai Muhammad buat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi! Karena Tuhan memang Maha Tahu betapa kasih-sayangnya Muhammad kepada pamannya. Hati Muhammad diobat dan disadarkan bahwa soal memberi petunjuk adalah soal Tuhan sendiri.
Dan di dalam Hadis yang kita salinkan di atas itu kita lihat pula seruan terakhir Muhammad kepada pamannya yang hampir sampai ajal, bahwa jika Allah tidak melarang, beliau akan tetap memohonkan agar paman itu diampuni dosanya.
Dan kita melihat pula dalam sejarah bahwa tahun kematian Abu Thalib yang bersamaan dengan kematian isteri beliau tercinta, Siti Khadijah Yang Agung, beliau s. a.w. namai tahun itu “Tahun Dukacita" dan disebutkannya terus-terang ialah sebagai kenangan akan dukacitanya atas hilangnya dua orang yang dicintainya. Maka tidaklah ada larangan Tuhan kepada beliau memberi nama “Tahun Dukacita" yang disangkutkan juga dengan kematian pamannya itu, walaupun tidak dalam Islam Bahkan tidak matinya dalam islam itu pun menambah dukacita beliau. Meskipun dukacita itu sebahagian bisa terobat karena keterangan Tuhan bahwa soal memberikan petunjuk dan hidayat kepada manusia adalah kebijaksanaan Allah sendiri. Nabi hanya diwajibkan semata-mata menyampaikan.
Takut Kena Boikot
Ayat 57
“Dari mereka berkata:" — Yaitu orang Quraisy yang tidak mau menerima da'wah itu — “Jika kami mengikuti petunjuk itu bersama engkau, niscaya akan diusirlah kami dari tanah kami." (pangkal ayat 57).
Ini nampaknya adalah satu golongan lagi dari kaum Quraisy itu. Nampaknya sudah terasa kebenaran seruan Muhammad, sudah mereka akui kebenaran petunjuk itu, tetapi mereka takut akan diusir dari kampung halaman mereka. Takut akan diboikot pula sebagaimana telah diboikot Bani Hasyim. Takut akan dipencil sehingga terpaksa hijrah, sebagaimana telah terpaksa hijrah pengikut-pengikut Muhammad itu dua kali ke negeri Habasyah.
Itulah perasaan dari hati yang masih bimbang dan belum dimasuki oleh akidah. Dia telah mengakui bahwa yang dibawa Muhammad ini adalah petunjuk Ilahi, jalan kebenaran, tetapi mereka takut kalau-kalau mereka akan dibenci orang, akan diusir orang dan tidak dibawa lagi sehidup semati, sehilir semudik. Karena hati yang demikian belum mempunyai perpeyangan yang teguh, yaitu akidah kepada Allah itu sendiri Berbeda keadaan mereka dengan pengikut-pengikut Rasul yang telah tergabung dalam Iman. Kalimat “La Ilaha lllallah" mempunyai cakupan yang luas sekali, mereka belum merasainya. Orang apabila telah masuk ke dalam lingkungan “kalimat" tersebut, tidak ada tempatnya takut selain Allah. Alam tidaklah memberi bekas. Manusia tidaklah akan dapat berbuat apa-apa terhadap diri kita, kalau tidak dengan izin Allah.
Lalu Tuhan memberi peringatan kepada mereka itu tentang jaminan hidup mereka selama ini."Dan apakah Kami tidak meneguhkan untuk mereka di tanah haram yang aman?" Keturunan demi keturunan mereka telah hidup di tanah Makkah itu, sejak dari nenek-moyang mereka Ibrahim dan Ismail, dan Tuhan telah memerintahkan dengan perantaraan Ibrahim menjadikan tanah di Makkah tempat mereka berdiam itu jadi tanah haram. Artinya tanah yang disucikan, tanah larangan dan dihormati. Tanah itu nyatanya kering, lalu ditumbuhkan Tuhan di sana dengan sumur Zamzam yang tidak pernah kering sejak tumbuhnya. Tanah itu tandus, tetapi dia tidak pernah kekurangan buah-buahan."Diangkut ke sana buah-buahan tiap sesuatu untuk jadi rezeki bagi mereka." Dari luar Makkah diangkut orang ke sana hasil kebun mereka, buah-buahan dan sayur-sayuran, sehingga mereka sebagai penduduk Makkah tidak pernah kekurangan makanan pokok untuk hidup. Semuanya itu tumbuh subur, lalu dihantarkan orang, diangkut oleh peladang-peladang itu pada hakikatnya ialah “dari sisi Kami." Artinya, semuanya itu tidak akan jadi kalau tidak dengan izin Allah, kalau tidak Allah yang mengatur."Tetapi terlebih banyak mereka-mereka yang tidak mengetahui. “ (ujung ayat 57). Tidak mengetahui karena akal terlalu pendek, fikiran terlalu sempit dan angan-angan siang dan malam hanya di sekeliling diri sendiri saja, takut akan teryanggu kesenangan tiap hari.
Ujung ayat ini adalah bantahan atas ketakutan orang yang masih ragu-ragu itu, yang merasa ‘takut kalau mereka masuk Islam mereka akan diboikot orang. Karena mereka tidak merasakan betapa besarnya kekuasaan Allah. Padahal kekuasaan Allah itu telah mereka rasakan tiap hari sejak dari nenek-moyang, sehingga kalau hanya ditaksir sepintas lalu, dari manakah penduduk Makkah itu akan bisa hidup, padahal syarat-syarat buat hidup tidak nampak di sana!
Ayat 58
Lalu datang ayat peringatan, bahwa kalau perintah Tuhan yang dibawakan Rasul tidak' diperdulikan, bahaya yang lebih besar akan datang."Dan berapakah banyaknya telah Kami binasakan dari suatu negeri yang telah mantap kehidupan mereka." (pangkal ayat 58). Kehidupan penduduk negeri itu sudah mantap, sudah terjamin, aman dan makmur. Tetapi mereka lupa akan Allah yang memberikan nikmat itu. Mereka tidak bersyukur, sebab itu mereka celaka. Demikian jugalah penduduk Tanah Haram Makkah ini. Bisa saja datang siksaan dan kutuk Allah sebagaimana yang banyak telah kejadian dengan negeri-negeri yang lain, binasa negeri itu karena penduduknya telah lupa kepada Tuhan."Itulah dia tempat kediaman mereka itu." Masih bertemu bekas-bekas dari negeri yang telah runtuh, penduduk sudah habis punah. Yang tinggal hanya bekas saja."Tidak didiami lagi sesudah mereka, kecuali sedikit." Yang sedikit itu pun kalau rumah-rumah hanya tinggal runtuhan. Kalau penduduk, hanya tinggal orang-orang yang lemah dan tidak berarti."Dan Kami adalah pewaris." (ujung ayat 58).
Ujung ayat ini amat halus dan penuh filsafat. Sebuah negeri, bahkan sebuah mahligai, sebuah bangunan besar, sebuah istana bekas kedudukan seorang raja; bila penduduknya telah punah, bila kerajaannya telah runtuh, tidak ada manusia yang mempunyainya lagi.
Pandanglah runtuhan dari negeri-negeri yang telah hilang musnah, yang hanya tinggal tertulis dalam sejarah saja. Jika kita pergi ke sana, bertemulah batu-batu pualam dan marmar besar sebagai tonggak dari istana besar purbakala, tetapi telah tergolek saja di tengah padang. Sebagai runtuhan kota Athena, Parsepolis, Mohenjo Daro dan lain-lain. Semuanya dahulu adalah kepunyaan suatu bangsa atau kekayaan dan seorang raja, sekarang kembali kepada yang empunya semua, yaitu Tuhan Rabbui ‘Alamin. Dia yang empunya semuanya itu dan akhirnya diwariskan kepadaNya jua
Ayat 59
“Dan tidaklah Tuhan engkau merusakkan negeri-negeri sebelum Dia mengutus di ibu negeri-negeri itu seorang Rasul yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Kami." (pangkal ayat 59). Tuhan tidaklah bersifat sembarangan. Tuhan adalah Kasih. Sayang, Bijaksana dan semuanya dengan perhitungan. Dan Tuhan tidaklah zalim. Tidaklah Dia datang-datang menjatuhkan azab saja kepada satu negeri. Terlebih dahulu dikirimnya Rasul, Utusan, yang terdiri dari manusia juga, untuk memberi bimbingan dan menunjukkan kepada manusia jalan yang benar, supaya ditempuh. Dan yang salah, agar dijauhi.
Dijelaskan pula di sini bahwa Ibu negeri-negeri atau lebih ringkas Ibu Negeri, ke sanalah Rasul itu diutus. Seumpama Musa yang diutus ke Mesir sebagai Ibu Negeri, maka Muhammad pun diutus dan dimulai di Ibu Negeri sejak lama, yaitu Makkah. Kita katakan sejak lama, karena sejak Nabi Ibrahim diperintah Allah mendirikan Ka'bah sudahlah Makkah itu dianggap oleh bangsa Arab menjadi Ibu Negeri dari segi agama.
Sampai sekarang pun masih kita rasakan bahwa memulai suatu politik pemerintahan yang penting hendaklah di Ibukota Negara, atau lebih ringkas disebut orang di pusat. Dengan menguasai pusat, mudahlah menjalarnya gagasan-gagasan baru itu ke seluruh daerah yang bernaung ke bawah Ibu Negeri itu.
“Dan tidaklah Kami jadi Pembinasa negeri-negeri, kecuali karena penduduk-penduduknya zalim." (ujung ayat 59).
Selanjutnya tidaklah suatu negeri datang rusak saja dengan bersebab ber-karena. Suatu negeri jadi rusak karena penduduk negeri itu berbuat aniaya, berbuat yang tiada patut diperbuat dalam negeri itu.
Misalnya: tadinya negeri itu makmur dan subur, hasil bumi berlipat-ganda tiap tahun. Tetapi kemudian tiba-tiba hasil bumi rusak binasa karena timbul banjir besar, sehingga padi di sawah yang telah kuning habis menuai jadi rusak samasekali. Setelah diperiksa ternyata ada satu kesalahan amat besar pada penduduk negeri itu. Yaitu kesukaan penduduk negeri itu sendiri merembah dan menebas hutan, sehingga pohon-pohon kayu yang selama ini dapat menahan meluncurnya air hujan sekarang tidak ada lagi. Maka kalau hujan datang, karena tidak ada penghalangnya lagi, dia terus mengalir ke atas tanah, tidak ada lagi yang mengendap ke bawah. Sebab itu di musim hujan timbullah banjir dan di musim kemarau tidak ada persediaan air dalam sumur dan kali' kali dan sungai-sungai jadi mendangkal, bahkan ada yang jadi kering. Dengan hancurnya hasil bumi jatuhlah rakyat negeri itu ke dalam cengkeraman kemiskinan.
Atau anak-cucu yang datang kemudian hari mendapat hasil usaha dan teroka nenek-moyang yang dahulu kala. Sawah yang berjenjang, bandaran-bandaran air yang teratur. Tetapi anak-cucu hanya pandai mempergunakan pusaka itu saja. Tidak pandai menjaga bandaran air, tidak pandai menambah sawah teroka. Bahkan ada yang malas menggali bukit dan mendatarnya buat perumahan, lalu didirikannya saja rumah baru di atas sawah yang telah ada, karena tidak payah lagi mendatarkan. Akhirnya penyakit malas itu berkembang biak, negeri pun jatuh miskin, melarat dan musnah.
Atau ada hidup nafsi-nafsi, mementingkan diri sendiri. Tidak ada lagi semangat meneroka, serya-menyeraya dan gotong-royong. Orang mempertinggi pagar rumahnya karena takut berhubungan dengan orang lain. Akhir kelaknya putus silaturrahmi senegeri dan semangat persaudaraan padam pudur.
Semuanya ini adalah kezaliman kepada diri sendiri, yang menyebabkan Allah membinasakan mereka.
Sebab itu baiklah diambil kesimpulan bahwa suatu azab Allah tidakkan datang kalau tidak dimulai oleh kezaliman manusia sendiri.
Dapat Di Dunia Tinggal Di Dunia
Ayat 60
“Dan ..apa jua pun yang dianugerahkan kepada kamu maka itu adalah nikmat hidup di dunia dan perhiasannya belaka." (pangkal ayat 60). Pangkal ayat ini, ayat 60 dan ayat 61 masihlah sambutan dari apa yang dinyatakan oleh orang musyrikin yang menyatakan takut menerima petunjuk Nabi karena takut akan dikucil, akan diusir dan dicampakkan dari kampung halaman mereka tadi. Mereka merasa takut, karena hati mereka masih lekat kepada benda dan kekayaan, dan telah kita terangkan bahwa hati yang telah berisi Iman dan Takwa, hati yang telah memeluk Akidah tidaklah takut bercerai dengan harta-benda atau diusir dari negeri sekalipun. Berpuluh-puluh kaum Muhajirin meninggalkan Makkah dengan meninggalkan hartabenda kekayaan, rumah-tangga bahkan kaum keluarga karena “hijrah kepada Allah dan Rasul".
Maka pangkal ayat ini mengatakan bahwa seluruh anugerah Ilahi di dunia ini, tidak lain hanyalah nikmat hidup dan perhiasan di dunia belaka. Tidak ada yang akan dibawa ke akhirat. Rumah besar, gedung mewah, kendaraan megah, pangkat tinggi, kekayaan bertimbun; semuanya dapat di sini tinggal di sini. Walaupun orang mempunyai kekayaan tanah berhektar-hektar, namun yang diperlukannya kelak hanyalah seukuran badannya belaka, yaitu untuk kuburnya."Dan apa yang ada di sisi Allah, itulah yang baik dan lebih kekal." Yaitu syurga yang dijanjikan' Allah seluas langit dan bumi, yang sekarang di dunia ini dipersediakan terlebih dahulu dengan Iman dan Amal Shalih."Apakah tidak kamu fahamkan?" (ujung ayat 60).
Artinya: “Apakah tidak kamu fikirkan hal itu sejenak-sejenak dalam hidupmu?"
Ajaran Islam tidaklah melarang bagi manusia untuk menerima perhiasan hidup di dunia itu. Al-Qur'an sendiri yang mengakui bahwa perhiasan hidup di dunia itu jadi keinginan manusia. Ini dapat kita lihat dalam Surat 3, ali Imran ayat 14:
“Dihiaskan bagi manusia cinta kepada syahwat, dari perempuan-perempuan dan anak-anak dan kekayaan yang tersimpan, dari emas dan perak dan kuda kendaraan tersedia dan binatang-binatang ternak dan bercucuk-tanam. Itu semuanya adalah perhiasan hidup di dunia. Dan Allah, di sisinya tersedia sebaik-baik persiapan."
Jika dipertalikan ayat yang tengah kita tafsirkan dengan ayat 14 Surat ali Imran ini tidaklah terdapat pertentangan. Sebab itu janganlah manusia mendustai dirinya. Berumah bagus, beristeri cantik setia, berkekayaan emas perak, berkuda kendaraan di zaman dulu dan bermobil merk yang mahal di zaman moden adalah keinginan syahwat manusia. Itu adalah benar, tetapi jangan lupa bahwa itu hanya perhiasan dunia. Jika engkau kembali kelak kepada Tuhan, artinya maii, tidak sebuah jua yang akan engkau bawa. Sebab itu janganlah lupa bahwa ada lagi yang lebih mahal dari itu, yaitu apa yang disediakan Tuhan buat engkau di belakang hari, di dalam syurga. Dan itu hendaklah engkau siapkan pula dari sekarang. Perbanyaklah amal, nafkahkanlah rezeki yang diberikan Allah untuk membantu fakir dan miskin, untuk menghubungkan silatur-rahmi, untuk berjihad memajukan Agama Allah. Semua itu dicatat Tuhan, dicatat oleh malaikat dan dijadikan kekayaan sejati yang akan engkau dapati pahalanya kelak di sisi Allah pada hidupmu yang kedua kali.
Ajaran ini sangat penting artinya untuk mengekang “hubbusy-syahawat", keinginan-keinginan syahwat yang tidak ada batas, padahal tenaga kita ada batas, bahkan hidup itu sendiri ada batasnya.
Rasulullah s.a.w. pun memberi peringatan untuk kembali hidup tentang apa yang bernama kekayaan.
“Daripada Ubaidillah bin Muhshin al-Anshari (Moga-moga Allah meridhai-nya), berkata dia: Berkata Rasulullah s.a.w.: Barangsiapa yang berpagi-pagi telah merasa aman dalam hatinya, sihat badan tubuhnya, ada di sisinya makanan untuk hari itu, maka samalah artinya dia telah diberi Allah dunia dengan seluruh isinya." (Hadis dirawikan oleh Termidzi. Berkata Termidzi: “Hadis ini Hasan, bagus.")
Selanjutnya datanglah pertanyaan Tuhan, untuk membandingkan orang yang mendapat rezeki akhirat dengan yang hanya semata-mata dunia.
Ayat 61
“Apakah orang yang telah Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik, lalu dia memperolehnya, akan sama seperti orang yang Kami berikan kepadanya nikmat hidup di dunia (saja)?" (pangkal ayat 61). Pertanyaan seperti ini namanya ialah “istifham inkari", yaitu Tuhan bertanya, tetapi dalam pertanyaan itu telah tersedia jawab mengingkarinya! Yaitu: “Tidak sama!" Maka tidaklah sama martabatnya seorang yang meskipun dia mempunyai juga keinginan-keinginan syahwat, namun itu dapat dikendalikannya, karena dia ingat akan kekayaan di hari akhirat. Dia tetap berusaha agar mendapat hidup yang layak, sebagaimana yang dituntunkan Nabi juga. Tetapi janji Tuhan tetap dipercayainya. Sebab itu dia pun bersedia juga untuk akhirat. Orang ini berbahagia dunia dan akhirat. Tetapi ada lagi sebaliknya, yaitu orang yang tujuan hidupnya hanya semata-mata nikmat dunia, pangkat, kebesaran, pengaruh, kekayaan, rumah bagus, gedung indah, kendaraan mengkilap, kekayaan berjuta, tetapi tidak memperdulikan hari akhirat, tidak mempercayai janji Allah. Dia hanya semata-mata merasakan nikmat hidup di dunia."Kemudian di hari kiamat dia termasuk orang-orang yang dipaksa hadir." (ujung ayat 61).
Mereka akan digiring ke hadapan Mahkamah Ilahi dengan tidak terhormat. Untuk mereka disediakan rantai, belenggu dan neraka. Mereka akan diseret ke dalam jahannam sebagai makhluk hina. Sebab hartabenda kekayaan mata'id-duniya, perhiasan yang menghiasi hidupnya di dunia itu kadang-kadang didapatnya tidak dengan jalan yang halal. Dia kumpulkan pula dan tidak dinafkahkan kepada jalan yang baik dan berfaedah. Yang difikirkannya hanyalah isi perutnya, kepausan syahwatnya, hawanafsunya.
Akan diperiksa satu demi satu dari mana didapatnya harta yang banyak itu. Akan ditanyakan apakah dibayarnya zakatnya. Akan diperiksai pula berapa banyak kaum miskin melarat yang teraniaya demi untuk dia menumpuk kekayaan.