Ayat
Terjemahan Per Kata
فَأَصۡبَحَ
maka jadilah dia/Musa
فِي
dalam
ٱلۡمَدِينَةِ
kota
خَآئِفٗا
ketakutan
يَتَرَقَّبُ
dia menunggu-nunggu
فَإِذَا
maka tiba-tiba
ٱلَّذِي
(orang) yang
ٱسۡتَنصَرَهُۥ
meminta tolong kepadanya
بِٱلۡأَمۡسِ
dengan kemarin
يَسۡتَصۡرِخُهُۥۚ
ia berteriak kepadanya
قَالَ
berkata
لَهُۥ
kepadanya
مُوسَىٰٓ
Musa
إِنَّكَ
sesungguhnya kamu
لَغَوِيّٞ
benar-benar orang sesat
مُّبِينٞ
yang nyata
فَأَصۡبَحَ
maka jadilah dia/Musa
فِي
dalam
ٱلۡمَدِينَةِ
kota
خَآئِفٗا
ketakutan
يَتَرَقَّبُ
dia menunggu-nunggu
فَإِذَا
maka tiba-tiba
ٱلَّذِي
(orang) yang
ٱسۡتَنصَرَهُۥ
meminta tolong kepadanya
بِٱلۡأَمۡسِ
dengan kemarin
يَسۡتَصۡرِخُهُۥۚ
ia berteriak kepadanya
قَالَ
berkata
لَهُۥ
kepadanya
مُوسَىٰٓ
Musa
إِنَّكَ
sesungguhnya kamu
لَغَوِيّٞ
benar-benar orang sesat
مُّبِينٞ
yang nyata
Terjemahan
Karena (peristiwa) itu, dia (Musa) menjadi ketakutan berada di kota sambil menunggu (akibat dari apa yang dilakukannya). Tiba-tiba orang yang kemarin meminta pertolongan berteriak-teriak meminta pertolongan lagi kepadanya. Musa berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang jelas-jelas sesat.”
Tafsir
(Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir) apa yang bakal dilakukan oleh keluarga orang yang telah dibunuhnya itu terhadap dirinya (maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak-teriak meminta pertolongan kepadanya) maksudnya minta tolong lagi dari orang Mesir yang lain. (Musa berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata.") kesesatannya, karena apa yang telah kamu perbuat kemarin dan sekarang ini.
Tafsir Surat Al-Qasas: 18-19
Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan, kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya). Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata, "Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.
Allah ﷻ menceritakan keadaan Musa setelah membunuh orang Egypt, bahwa jadilah ia: di kota itu merasa takut. (Al-Qashash: 18) sebagai akibat dari apa yang telah diperbuatnya. menunggu-nunggu dengan khawatir. (Al-Qashash: 18) Yakni memantau perkembangan dari perkara yang telah dilakukannya itu. Maka di suatu jalan tiba-tiba ia bersua dengan orang yang pernah ditolongnya kemarin menghadapi orang Egypt. Ternyata orang itu sedang berkelahi lagi dengan orang Egypt lainnya. Ketika orang Israil itu melihat Musa, ia meminta tolong lagi kepada Musa untuk menghadapi orang Egypt yang menjadi lawannya.
Maka Musa berkata kepadanya: Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya). (Al-Qashash: 18) Maksudnya, jelas kesesatannya dan banyak keburukannya. Lalu Musa berniat hendak memukul orang Egypt tersebut, tetapi orang Israil yang lemah lagi terhina itu mengira bahwa Musa tiada lain hendak memukul dirinya karena apa yang barusan dikatakannya. Maka orang Israil itu berkata membela dirinya: Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? (Al-Qashash: 19) Padahal peristiwa tersebut tiada yang mengetahuinya selain dia dan Musa a.s.
Tetapi setelah pengakuan tersebut terdengar oleh orang Egypt yang menjadi lawannya, maka ia segera melarikan diri dan langsung menuju ke istana Fir'aun, lalu melaporkan hal tersebut kepadanya. Dengan demikian, Fir'aun mengetahui siapa pelaku pembunuhan itu. Maka ia menjadi sangat marah dan bertekad akan membunuh Musa. Kemudian ia mencarinya dengan mengutus orang-orangnya untuk mengejar Musa dan menangkapnya, lalu dihadapkan kepada dirinya."
Karena pembunuhan tak disengaja yang dilakukan oleh Musa itu, dia menjadi ketakutan berada di kota tempat terjadinya perkelahian dan pembunuhan itu sambil menunggu dengan perasaan cemas dan khawatir akibat yang akan diterima dari perbuatannya. Tiba-tiba orang lbrani yang kemarin meminta pertolongan yakni pada hari terjadinya perkelahian dan pembunuhan terhadap orang Mesir, berteriak meminta pertolong-an lagi kepadanya. Tapi kali ini mengecam dan menghardiknya. Musa berkata kepadanya, "Engkau sungguh, orang yang nyata-nyata sesat."19. Kecaman itu tidak menghalangi Nabi Musa untuk menyambut permintaan pertolongan tersebut, sebab dia yakin bahwa memang orang Mesir itu yang berlaku sewenang-wenang. Maka ketika dia yakni Musa bersiap hendak memukul dengan keras orang yang menjadi musuh mereka berdua, yakni orang Mesir itu, dia yakni musuhnya yang orang Mesir berkata, "Wahai Musa! Apakah engkau bermaksud membunuhku, sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang yang memaksakan pendapatmu di negeri ini, dan engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang dari kelompok orang-orang yang mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk masyarakat'.
Pengampunan Allah telah menjadikan hatinya lega dan lapang, tetapi bagaimana dengan penduduk asli Mesir di mana ia hidup di kalangan mereka? Apakah mereka akan membiarkan saja bila pembunuhan itu mereka ketahui? Inilah yang sangat mengganggu ketenteraman hati Musa dan selalu menjadi beban pikirannya. Oleh sebab itu, dengan sembunyi-sembunyi Musa mencari informasi apakah perbuatannya itu telah diketahui orang, dan bila mereka telah mengetahuinya, bagaimana sikap mereka? Tindakan apakah yang akan mereka ambil terhadapnya?
Ketika ia menyusuri kota itu, kelihatan olehnya orang yang ditolong dahulu dan berteriak lagi minta tolong agar ia membantunya sekali lagi melawan orang Mesir yang lain. Rupanya orang yang ditolongnya dahulu itu kembali terlibat dalam perkelahian dengan orang Mesir lainnya. Mungkin orang itu meminta kepadanya supaya ia membunuh orang Mesir itu sebagaimana ia telah membunuh dahulu. Tergambarlah dalam otaknya bagaimana ia telah dosa dengan pembunuhan itu, tetapi Tuhan dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, telah mengampuni kesalahannya. Apakah ia akan berbuat kesalahan lagi, apalagi ia telah berjanji dengan Tuhannya bahwa dia tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu.
Oleh sebab itu, Musa berkata kepada orang Israil itu bahwa ia adalah orang yang sesat. Akan tetapi, tergambar pula dalam pikirannya bagaimana nasib kaumnya yang terhina dan selalu dianiaya oleh orang-orang Mesir, maka bangkit pulalah rasa amarahnya dan hampir saja ia menyerang orang Mesir itu. Namun sebelum ia menyerang, orang Mesir itu membentaknya dengan mengatakan apakah ia hendak membunuhnya seperti ia membunuh kawannya kemarin? Rupanya orang itu sudah mengenali wajah Musa karena orang-orang di kota ramai membicarakan pembunuhan itu dan pelakunya.
Kemudian orang Mesir itu membentaknya dan mengatakan, "Sesungguhnya engkau telah bertindak sewenang-wenang di muka bumi. Engkau bukanlah termasuk orang-orang yang berbuat baik." Dengan bentakan itu, Musa sadar dan ingat akan janjinya bahwa dia tidak akan mengulangi kesalahannya lagi sehingga dia tidak jadi memukul orang itu.
Menurut pendapat sebagian mufasir yang mengucapkan kata-kata tersebut kepada Musa bukanlah orang Mesir tetapi orang Israil yang telah ditolongnya, karena Musa menuduhnya sebagai orang yang sesat dan hendak memukulnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tangan Terlanjur
Ayat 14
“Dan setelah cukup umurnya dan dewasa, Kami berikanlah kepadanya Hukum dan Ilmu." (pangkal ayat 14). Telah dapat dikira-kirakan bahwa kurang lebih 30 tahun dia menjadi “Anak Angkat" Fir'aun. Dari kecil dibesarkan dalam istana Fir'aun. Tetapi sejak kecil itu pula ibunya telah membiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan dia diasuh, dibimbing di rumah ibunya sendiri dan di saat-saat yang perlu dibawa ke istana. Dengan demikian maka keluarga Imran, yaitu nama ayah Musa telah pula mendapat keuntungan dari hubungan anaknya dengan istana. Abangnya Harun pun telah mendapat pekerjaan yang layak di istana dan leluasa masuk istana. Keluarga Musa sebagai-keluarga Bani Israil golongan yang tertindas dan dipandang hina, karena Musa jadi “anak angkat" telah mendapat hak istimewa yang tidak didapat oleh kelaurga Bani Israil yang lain. Keadaan ini pernah diuraikan oleh Musa di hadapan Fir'aun sendiri kemudiannya, sebagai yang tersebut pada ayat 22 dari Surat 26 asy-Syu'ara'.
Lantaran itu, meskipun dia dianggap sebagai “orann istana" Hia tirfaj-terpisah dari kaumnya. Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya. Dia telah Selalu melihatpertefcuanyang tidak adil yang dilakukan oleh kekuasaan Fir'aun “wa malai-hi" dan segala kaki-tangahnya terhadap kaumnya. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang pahit, yang dilihat, yang didengar, menambah pengetahuannya tentang mana yang adil dan mana yang zalim. Kalau terasa dalam hatinya, bahwa kalau dia yang memeyang hukum tentu tidak begini yang akan diputuskannya tentang hukum, tentu begitu mestinya. Dia pun melihat perbedaan yang mencolok mata tentang perlakuan kepada rakyat. Kalau yang bersalah itu kaum Qubthi, kaum Fir'aun sendiri, kesalahan itu akan ditutup-tutupi. Tetapi kalau ‘Bani Israil yahg bersalah, maka hukumnya sangat kejam, tidak sepadan dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya. Keadaan yang disaksikan tiap hari ini menambah matang pribadi Musa, menambah dia cerdik dan pandai. Allah telah memberinya anugerah Hukum dan Ilmu. Sebab dalam istana niscaya dia diajar sebagai anak-anak orang bangsawan dan dalam masyarakat diajar oleh pengalaman-pengalaman dan melihat kepincangan-kepincangan yang berlaku terhadap rakyat yang lemah. “Dan demikianlah Kami mengganjari orang-orang yang berbuat baik." (ujung ayat 14).
Pada ujung ayat ini dapat kita menggali suatu kenyataan. Yaitu bahwa di samping apa yang telah ditentukan oleh Allah bahwa Musa kelak kemudian hari akan dijadikan Nabi dan Rasul, dengan kehendak Tuhan juga telah ada orang-orang yang berbuat baik, yang telah berhasil usahanya sehingga Musa menjadi seorang yang mengerti Hukum dan berilmu. Tentu saja yang berusaha berbuht Laik ini ialah orang-orang yang mendidik dan mengasuhnya. Terutama ibu kandungnya, kedua isteri Fir'aun yang budiman itu. Dipujikan di sini bahwa usaha mereka yang baik itu berhasil.
Ayat 15
“Dan masuklah dia ke dalam kota, ketika penduduknya lengah." (pangkal ayat 15). Kalau begini bunyi ayat, besar kemungkinan bahwa Musa di waktu itu tidak menunjukkan diri sebagai seorang dari “istana". Sebab itu tidaklah di-perdulikan orang, apakah dan siapa dia."Maka didapatinya di dalamnya dua orang laki-laki berkelahi; yang seorang dari golongannya," — yaitu dari golongan Bani Israil — “dan yang seorang lagi dari musuhnya," — yaitu dari ; kaum Qubthi yang sekaum dengan Fir'aun sendiri. Sedang kelas Bani Israil selama" ini dianggap kelas budak, hambasahaya yang rendah dan kaum Qubthi merasa dirinya kelas yang tertinggi dalam negeri, sebab mereka dari kaum : Fir'aun."Maka orang yang dari golongannya itu meminta tolong kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya." Rupanya rasa dendam, benci dan muak memikirkan perangai kaum Qubthi terhadap Bani Israil selama ini telah meluap dalam dada Musa, sehingga permintaan tolong orang dari golongannya itu dikabulkannya; “Lalu orang itu dipukul oleh Musa, maka matilah orang itu." Jelas sekali dalam ayat ini bahwa membunuh bukanlah sengaja Musa. Dia hanya sengaja hendak memukul saja, tetapi akibatnya ialah ke-matian. Sebab itu Musa sangat menyesal, yang jelas dalam sambungan ayat:
“Berkatalah Musa: “Ini adalah dari perbuatan syaitan," bukan dari kehendakku sendiri. Sengaja hatiku bukanlah hendak membunuh orang, tetapi beginilah jadinya: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh menyesatkan yang nyata. (ujung ayat 15).
Menurut tafsiran Mujahid: “Ditumbuknya dengan mengepalkan telapak tangannya." Dalam bahasa Indonesia ialah ditinjunya. Rupanya dengan sekali tinju saja, sampailah ajal orang Qubthi itu. Dan bagi Musa sendiri dengan meninju bukanlah bermaksud membunuh. Tiba-tiba orang itu telah mati. Musa menyesal, dan mengakui bahwa dirinya telah masuk ke dalam pengaruh syaitan. Sebab itu maka jelaskan bahwa kematian orang itu bukanlah membesarkan hati Musa, melainkan menimbulkan penyesalan yang besar sekali.
Dia merasa telah terdorong memukul orang karena tergerak hati mendengar seruan pemuda Bani Israil yang meminta tolong itu. Dengan tidak banyak fikir orang itu dibantunya. Sekali tinju saja musuh itu mati. Dia menyesal. Sesalan hatinya itu diserukannya kepada Tuhan. Dia melakukan munajat:
Ayat 16
“Dia pun berseru: “Tuhanku! Sesungguhnya aku telah menganiaya diriku!" (pangkal ayat 16). Bagaimana jua pun aku telah bersalah. Satu nyawa manusia telah melayang karena salahku: “Sebab itu ampunilah aku!" Di situ sudah jelas bahwa Musa tidak ada rasa dendam, meskipun dari kecil dia telah mendengar buah tutur orang bahwa kaumnya, Bani Israil, diperhina, diperbudak oleh kaum Qubthi, karena mereka merasa lebih tinggi dan mulia sebab dapat perlindungan dari Fir'aun.
Tuhan pun lebih tahu bahwa benarlah Musa memukul, tetapi bukan sengaja membunuh. Dalam menceriterakannya kepada Nabi kita s.a.w. di ayat 15 itu Tuhan katakan juga bahwa ajal orang itu telah sampai, bertepatan dengan datangnya pukulan Musa; Fa qadha ‘alaihi! Sebab itu, “Maka Tuban pun mengampuni dia." Karena Tuhan pun lebih tahu perbedaan bunuh yang sengaja dengan tinju yang mengakibatkan sampai ajal."Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (ujung ayat 16).
Apalh lagi dengan kejadian seperti Allah akan menanamkan himkat yang sangat besar jua bagi Musa. Kejadian sedih ini sangat berpengaruh bagi perkembangan jiwanya dan ketaatannya kepada Allah. Di dalam Hadis syafa'at yang terkenal, Hadits shahih yang sama-sama dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, ada tersebut, bahwa Nabi s.a.w. mengatakan tentang manusia kelak di hari kiamat menghadap Nabi-nabi meminta syafa'at mereka, yaitu agar Nabi-nabi itu menolong meringankan tuntutan Tuhan atas mereka. Manusia pergi kepada Nabi Adam, sesudah itu kepada Nabi Nuh, sesudah itu kepada Nabi Musa, sesudah itu kepada Nabi Isa, akhir sekali kepada Nabi Muhammad s.a.w. Maka segala Nabi-nabi yang ditemui manusia itu tidak dapat menolong, karena mereka merasa ada masalah mereka sendiri dengan Tuhan. Nabi Musa mengatakan bahwa orang yang terbunuh karena kena tiniunua itu mesti dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan. Nabi Isa menjawab bahwa karena manusia menyanggap dirinya jadi Tuhan pula, itu pun mesti dipertanggung-jawabkannya. Akhirnya manusia meminta syafa'at kepada Nabi Muhammad s.a.w. Maka beliaulah yang mengabulkan permohonan manusia itu.
Dengan ceritera kelak kemudian hari dalam Hadis ini, jelaslah bagaimana merasa beratnya Nabi Musa karena kematian musuhnya yang tidak dia sengaja itu.
Di dalam ayat 10 dan 11 dari Surat 27 yang telah lalu ini, (Surat an-Naml) pun nampak, pula ketakutan atau keseganan Musa seketika tongkatnya telah menjelma menjadi Ular Besar (Naga) di hadapan Tuhan. Dia takut. Tuhan Maha Mengetahui salah satu yang ditakutkannya, yaitu karena rasa bersalah karena kematian orang itu juga. Sebab itu, meskipun sejak semula Tuhan telah memberi ampun, benar-benarlah bertemu apa yang dikatakan oleh Nab kita s.a.w. di dalam Hadis yang shahih, bahwasanya orang yang telah mendalam Imannya memandang suatu dosa, betapa kecilnya, seakan-akan dia duduk di bawah gunung, yang dia takut akan menimpanya. Sedangkan manusia biasa yang beriman lagi begitu, apatah lagi Musa, seorang Rasul Yang Agung.
Ayat 17
“Katanya (pula): Tuhan! Demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku." (pangkal ayat 17). Sekali tinju dia meninju orang, orang itu mati! Pada hakikatnya ini adalah suatu nikmat di antara berbagai nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya. Badannya sihat, tinggi semampai, gagah perkasa. Malahan ada riwayat mengatakan bahwa bulu dada dan bulu lengan beliau yang berketak-ketak itu dapat menembus bajunya! Melihat wajahnya, bentuk badannya dan mendengar suaranya saja, orang sudah mesti terpengaruh. Semuanya itu adalah nikmat jasmani. Adapun nikmat akal sudah diberikan lebih dahulu, yaitu hukum dan ilmu. Beliau cukup mempunyai wibawa. Sadar akan nikmat Allah itu berjanjilah dia: “Aku sekali-kali tiada akan jadi penolong (lagi) bagi orang-orang yang berbuat jahat." (ujung ayat 17).
Dengan demikian sinar nubuwat pun telaln datang kepada beliau. Beliau telah insaf akan nikmat Dahi atas dirinya. Kuat, gagah perkasa, temjoat simiskin meminta tolong. Maka berjanjilah Musa di hadapan Tuhan bahwa mulai saat itu hikmat Allah yang ada pada dirinya itu akan dipergunakannya sebaik-baiknya, bukan secara serampangan. melainkan dengan perhitungan. Bukan untuk hal yang tetek bengek, tetapi untuk maksud dan cita-cita yang besar.
Ayat 18
“Lantaran itu jadilah dia di kota itu dalam ketakutan." (pangkal ayat 18). Ketakutan karena akan ditangkap dan diminta pertanggunganjawabnya atas kematian orang Qubthi yang mati itu. Niscaya akan dirampaslah kemerdekaannya: “Sambil mengintip-intip," menengok ke kiri-kanan, menjingau jauh-jauh kalau-kalau ada orang-orang suruhan istana yang sedang mencari dia. Karena kematian seorang Qubthi itu akan segera sampai beritanya ke dalam istana. Bukan sebagai kalau seorang Bani Israil yang mati terbunuh. Sebab itu bila Musa berjalan, dia sudah sangat hati-hati. “Tiba-tiba orang yang meminta tolong kepadanya kemarin itu berteriak-teriak meminta pertolongannya pula." Dia sedang berkelahi pula rupanya dengan orang Qubthi yang lain. Karena dia merasa tidak terhadapi sendiri dilihatnya Musa, dia merasa berbesar hati karena sudah ada kawan yang akan menolong, kawan kemarin. Sebab itu dia bersorak-sorak memanggil Musa, minta tolong."Lalu Musa berkata kepadanya: “Sungguhlah engkau seorang pengacau yang nyata." (ujung ayat 18).
Ghawiyyun kita artikan pengacau. Yaitu orang yang suka mencari perselisihan, mau menang sendiri, dia saja yang benar. Kalau bertengkar mulutnya saja yang keras. Tetapi kalau sudah benar-benar berkelahi dengan tenaga, dia tidak mempunyai kekuatan dan kalau kelihatan ada orang yang akan membantu, mulutnya bertambah keras. Yang terkusut tidak sanggup dia menyelesaikan, yang keruh tak sanggup menjernihkan. Musa mencap orang ini pengacau, karena yang bertengkar berkelahi kemarin dia juga. Sampai Musa turun tangan memukul orang dan orang itu mati. Sekarang dia minta tolong sekali lagi, supaya Musa pula yang membalaskan dendamnya, sebab dia sendiri tidak sanggup menyelesaikan. Yang dia banggakan ialah karena dia Bani Israil; patut Musa membelanya walaupun dia yang salah.
Ayat 19
Setelah dia mengatakan bahwa si Israili itu memang seorang yang sangat pengacau, barulah dia menghadap pula dengan sikap menantang kepada si Qubthi itu: “Maka tatkala dia hendak menyerang orang yang jadi musuh mereka berdua itu, berkatalah dia: “Hai Musa! Apakah engkau hendak membunuhku pula sebagaimana telah engkau bunuh satu jiwa kemarin?" (pangkal ayat 19). Menilik bunyi perkataan si Qubthi ini, nampaknya tentang pembunuhan kemarin itu telah tersebar beritanya dalam seluruh kota. Telah menjadi buah mulut dan Musa yang jadi tumpuan tuduhan. Mungkin oleh karena dia dipandang orang yang dikasihi istana, belum ada tindakan terhadap dirinya. Lalu orang itu menambah pula: “Tidak ada maksudmu melainkan hendak menjadi seorang orang bersimaharajalela di muka bumi, “ berbuat apa yang engkau mau. Tidak senang kepada orang, pukul saja. Siapa yang melawan ajak berkelahi. Karena begitulah kelakuan dari orang yang bersimaharajalela atau bersewenang-wenang: “Dan tidaklah engkau bermaksud hendak menjadi seorang pembawa kebaikan." (ujung ayat 19).
Teguran orang yang berhak diserangnya itu keras sekali makannya kepada jiwa Musa.
Ada terdapat dua penafsiran tentang siapa yang berkata ini. Satu tafsir mengatakan bahwa yang berkata demikian ialah si Anak Israil itu. Karena setelah Musa mengatakan bahwa dia seorang Pengacau sangat, seketika dia hendak memukul atau menyerang si Qubthi, si Israili itu menyangka bahwa dia yang hendak ditampar oleh Musa. Lalu dia berkata seperti demikian kepada Musa, mengatakan apakah Musa akan membunuhnya pula, sebagai dia membunuh orang kemarin? Dengan pertanyaan demikian, tahulah orang-orang yang melihat bahwa Musalah rupanya yang membunuh orang yang mati kemarin itu. Tetapi penafsiran yang kedua ialah yang telah kita tuliskan di atas tadi. Yaitu bahwa yang berkata demikian, ialah orang Qubthi yang nyaris diserangnya itu. Kita condong kepada penafsiran yang kedua ini, karena lanjutan katanya, bahwa “main pukul" atau “main tinju" bukanlah perbuatan seorang mushlih, seorang yang ingin mencari perbaikan. Itu adalah seorang yang hendak menegakkan haknya dengan buku tangannya. Seorang Mush/ih, seorang yang suka akan perbaikan, kalau orang berselisih, hendaklah dia mengetahui dan mendamaikan, bukan memihak kepada yang sebelah.
Seakan-akan nampak di mata kita di antara dua orang berkelahi ini. Meskipun si Israili kaum dan keluarga Musa, dalam hal ini dia di pihak yang salah dan si Qubthi nampaknya lebih cerdas dari si Israili. Dalam tangkisan katanya nampak kecerdasannya. Dan nampak pula bahwa pada masa itu rupanya sudah mulai terasa bahwa Musa itu memang Mushlih atau Pemimpin yang ingin perubahan pada kaumnya Bani Israil. Telah menjadi bisik-desus rupanya, baik dalam kalangan Bani Israil ataupun di kalangan Qubthi bahwa terdapat tanda-tanda bahwa Musa ini akan memimpin kaumnya di belakang hari. Tetapi dengan dia membuat orang mati kemarinnya dan sekarang nyaris pula memukul orang, keluarlah pukulan halus dari si Qubthi. Kalau begini caranya engkau hendak membela kaummu, ini bukanlah sikap pemimpin atau seorang Mushlih yang ingin perbaikan, Ini tidak lain daripada sikap seorang “jago silat!"