Ayat
Terjemahan Per Kata
لَعَلَّكَ
boleh jadi kamu
بَٰخِعٞ
membinasakan
نَّفۡسَكَ
dirimu
أَلَّا
karena
يَكُونُواْ
adalah mereka
مُؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
لَعَلَّكَ
boleh jadi kamu
بَٰخِعٞ
membinasakan
نَّفۡسَكَ
dirimu
أَلَّا
karena
يَكُونُواْ
adalah mereka
مُؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
Terjemahan
Boleh jadi engkau (Nabi Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan) karena mereka (penduduk Makkah) tidak beriman.
Tafsir
(Boleh jadi kamu) hai Muhammad (akan membinasakan dirimu) bunuh diri karena sedih, disebabkan (karena mereka tidak) yaitu penduduk Mekah (beriman) lafal La'alla di sini bermakna Isyfaq atau menunjukkan makna rasa kasihan. Maksudnya, kasihanilah dirimu itu, ringankanlah dari kesedihannya.
Tafsir Surat Asy-Syu'ara: 1-9
Tha Sim Mim. Inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan. Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman. Jika Kami kehendaki, niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka suatu peringatan baru dari Tuhan Yang Maha Pemurah, melainkan mereka selalu berpaling darinya. Sungguh mereka telah mendustakan (Al-Qur'an), maka kelak akan datang kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan.
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Adapun penjelasan mengenai huruf-huruf hijaiyah yang mengawali surat-surat Al-Qur'an, kami telah membahasnya dalam permulaan tafsir surat Al-Baqarah.
Firman Allah ﷻ: Inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan. (Asy-Syu'ara': 2) Yakni ayat-ayat Al-Qur'an ini menerangkan. Maksudnya, terang, jelas, dan gamblang. Dialah yang memisahkan antara perkara yang hak dan perkara yang batil, serta memisahkan antara kesesatan dan petunjuk. Firman Allah ﷻ: Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu. (Asy-Syu'ara': 3) Yaitu karena keinginanmu yang sangat akan keimanan mereka dan kamu menjadi bersedih hati. karena mereka tidak beriman. (Asy-Syu'ara': 3) Ayat ini merupakan hiburan dari Allah ﷻ kepada Rasul-Nya untuk meringankan beban kesedihannya karena tidak mau berimannya orang-orang kafir dari kalangan kaumnya.
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. (Fatir: 8) Dan firman Allah ﷻ: Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling. (Al-Kahfi: 6), hingga akhir ayat. Mujahid, Ikrimah, Qatadah, Atiyyah, Ad-Dahhak, dan Al-Hasan serta lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu. (Asy-Syu'ara': 3) Yakni membunuh dirimu sendiri, demikianlah makna bakhi'un. Seperti pengertian yang terdapat di dalam perkataan seorang penyair: ...
... Ingatlah, hai orang yang membunuh dirinya sendiri karena kesedihan, sesungguhnya hal itu terjadi berdasarkan apa yang telah digariskan oleh takdir Tuhan. Kemudian Allah ﷻ berfirman: Jika Kami kehendaki, niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. (Asy-Syu'ara': 4) Maksudnya, sekiranya Kami kehendaki, tentulah Kami akan menurunkan suatu mukjizat yang memaksa mereka untuk beriman secara paksa. Tetapi Kami tidak akan melakukan hal itu karena Kami tidak menghendaki seseorang beriman melainkan berdasarkan kesadaran dirinya.
Dalam ayat yang lain disebutkan melalui firman-Nya: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak.) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (Yunus: 99) Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. (Hud: 118) Takdir Allah telah berlangsung, hikmah-Nya berjalan, serta hujah-Nya (alasan-Nya) telah ditegakkan terhadap makhluk-Nya, yaitu dengan mengutus para rasul kepada mereka dan menurunkan kitab-kitab-Nya kepada mereka. Firman Allah ﷻ: Dan sekali-kali tidak datang kepada mereka suatu peringatan baru dari Tuhan Yang Maha Pemurah, melainkan mereka selalu berpaling darinya. (Asy-Syu'ara': 5) Artinya, setiap kali datang kepada mereka suatu Kitab dari langit, kebanyakan manusia berpaling darinya.
Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf: 103) Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasul pun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. (Yasin: 30) Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya. (Al-Mu-minun: 44), hingga akhir ayat. Karena itulah disebutkan dalam surat ini oleh firman-Nya: Sungguh mereka telah mendustakan (Al-Qur'an), maka kelak akan datang kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan. (Asy-Syu'ara': 6) Yakni sesungguhnya mereka mendustakan kebenaran yang disampaikan kepada mereka, dan kelak mereka akan mengetahui akibat dari kedustaan mereka di hari kemudian.
Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy-Syu'ara': 227) Kemudian Allah ﷻ mengingatkan tentang kebesaran pengaruh-Nya, keagungan, kekuasaan dan kedudukan-Nya atas orang-orang yang berani menentang utusan-Nya dan mendustakan Kitab-Nya. Dia adalah Tuhan Yang Mahaperkasa, Mahabesar lagi Mahakuasa, Dialah Yang menciptakan bumi dan menumbuhkan padanya berbagai macam tetumbuhan, pepohonan yang berbuah, dan hewan yang baik. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Asy-Sya'bi, bahwa manusia termasuk ke dalam (pengertian) tetumbuhan bumi (ini). Maka barang siapa yang masuk surga, dia adalah orang yang baik; dan barang siapa yang masuk neraka, maka dia adalah orang yang tercela.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. (Asy-Syu'ara': 8) Yaitu yang menunjukkan kekuasaan Tuhan Yang menciptakan segala sesuatu, Yang menghamparkan bumi, dan meninggikan bangunan langit. Sekalipun demikian, kebanyakan manusia tiada yang beriman, bahkan mereka mendustakan rasul-Nya dan kitab-Nya, menentang perintah-Nya dan mengerjakan larangan-Nya. Firman Allah ﷻ: Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa. (Asy-Syu'ara': 9) Artinya, Allah Mahaperkasa atas segala sesuatu, Yang mengalahkan dan menundukkannya.
lagi Maha Penyayang. (Asy-Syu'ara': 9) Yakni terhadap makhluk-Nya. Maka Dia tidak menyegerakan azab-Nya terhadap orang yang durhaka kepada-Nya, bahkan menangguhkan serta memberinya tempo. Setelah itu (jika tidak mau bertobat), Dia akan menghukumnya dengan hukuman Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa. Abul Aliyah, Qatadah, Ar-Rabi ibnu Anas, dan Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Yang Mahaperkasa, artinya Mahaperkasa dalam menimpakan pembalasan-Nya terhadap orang-orang yang menentang perintah-Nya dan menyembah selain-Nya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Tuhan Maha Penyayang terhadap orang yang bertobat kepada-Nya dan memperbaiki amal perbuatannya.
Boleh jadi engkau, wahai Rasul, akan membinasakan dirimu dengan kesedihan yang mendalam karena mereka penduduk Mekah itu tidak mau beriman denganmu, padahal kamu sangat menginginkan mereka untuk beriman. 4. Jika Kami menghendaki agar mereka beriman kepadamu, niscaya Kami turunkan kepada mereka suatu kejadiaan yang luar biasa, yaitu berupa mukjizat dari langit yang turun kepada mereka yang akan memaksa mereka dan membuat tengkuk mereka tunduk dengan rendah hati kepadanya. Tapi kami tidak menghendaki cara pemaksaan seperti itu. Yang Kami inginkan adalah mereka beriman dengan suka rela, tanpa ada satu paksaan apa pun kepada mereka. Karena, iman dengan sukarela akan membuahkan hasil yang baik dan berkelanjutan. Sebaliknya keimanan dengan secara terpaksa, akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik pula.
Nabi Muhammad adalah seorang yang cinta kepada kaumnya dan selalu mengharapkan supaya mereka beriman semuanya. Dia yakin dengan memeluk Islam, mereka pasti akan bahagia dan selamat dari malapetaka yang biasa diturunkan Allah kepada orang-orang yang kafir dahulu. Hampir saja beliau berputus asa karena setelah sekian lama beliau menyeru mereka dengan mengemukakan alasan-alasan dan hujah-hujah yang kuat yang tidak bisa dibantah, mereka tetap membangkang dan menghinakannya. Sungguh amat tragis dan menyedihkan sekali bagi seorang pemuka agama yang cinta kepada umatnya dan berusaha untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka, tetapi selalu dicemoohkan oleh kaumnya.
Pada ayat ini, Allah menegur Nabi Muhammad yang sedang berada dalam puncak kesedihan dan duka-cita dengan mengatakan apakah Nabi akan membinasakan diri hanya karena kaumnya tidak mau menerima petunjuk dan ajaran yang benar? Seakan-akan Allah memberikan teguran kepadanya, mengapa Nabi terlalu berharap agar kaumnya beriman semuanya? Padahal kewajibannya yang utama hanyalah menyampaikan risalah Allah sebagai tersebut dalam firman-Nya:
Bukankah kewajiban para rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas. (an-Nahl/16: 35)
Sebenarnya dengan teguran ini Allah melarangnya berbuat demikian seperti tersebut dalam firman-Nya pada surah yang lain:
Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Maka jangan engkau (Muhammad) biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (Fathir/35: 8).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Surat
ASY-SYU'ARA'
(PARA PENYAIR)
Surat 26: 227 ayat Diturunkan di MAKKAH
Dengan nama Allah Yang Maha Murah lagi Pengasih.
Ayat 1
Thaa-Siin-Miim." (ayat 1).
Huruf-huruf di permulaan Surat, sebagai Alif-Laam-Miim, Alif-Laam-Raa dan sebagainya adalah huruf-huruf yang pada hakikatnya Allah dan RasulNya-lah yang lebih mengetahui akan rahasianya.
Sungguhpun demikian ahli-ahli Tafsir tidak juga suni-suninya menjalankan renungan ataupun berkhayal mencari rahasia itu dengan kesungguhan sendiri. Maka adalah penafsir yang memberi huruf Thaa-Siin-Miim itu dengan Thaa, adalah rumusan daripada gunung Thursina tempat Nabi Musa mula-mula menerima Wahyu Kitab Taurat. Siin rumusan daripada sebuah bukit di Palestina bernama bukit Sa ir, tempat Nabi Isa mula menerima Wahyu Kitab Injil dan Miim rumusan daripada negeri Makkah, Baladil Amin, kota yang aman sejah tera, di sana ada gua Hira' tempat Nabi Muhammad s.a.w. menerima Wahyu yang pertama.
Dari pengajian dan “penyelidikan" huruf-huruf ini timbul pula salah satu cabang ilmu terutama dalam kalangan kaum Shufi, diikuti pula oleh setengah penganut Syi'ah, bernama Ibnu Simiyaa. Muaarrikh Ibnu Khaldun panjang lebar mengupas soal-soal ilmu rahasia huruf itu di dalam kitab Muqaddimah-nya. Kadang-kadang Ilmu Huruf ini dapat pula dijadikan orang rajah-rajah untuk azimat.
Misalnya Kaaf-Haa-Yaa-'Ain-Shaad dengan Haa-Miim-'Ain-Siin-Qaaf. Mereka peradukan ayat yang Kaaf dengan ujungnya Haa. Maka bertemulah ayat:
“Laksana air yang Kami turunkan dari langit, maka bercampur-aduklah dengan dia tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi, tiba-tiba kemudian menjadi kering diterbang-hembuskan oleh angin."
Pangkal ayat ialah Kaaf, yang ada pada Kaaf-Haa-Yaa-'Ain-Shaad, dan ujung ayat ialah huruf Haa yang sesuai dengan pangkal Haa-Miim-'Ain-Siin-Qaaf. Demikian pula selanjutnya. Huruf Haa dicarikan ayat yang berpangkal Haa dan berujung Miim dan seterusnya sehingga bertemu lima ayat yang berpangkal Kaaf-Haa-Yaa-'Ain-Siin-Shaad dan berujung Haa-Miim-'Ain-Siin-Qaaf, yang dipergunakan untuk pertahanan diri daripada bahaya.
Maka adalah golongan yang asyik dengan perbuatan menyesuaikan huruf itu. Dipandanglah dia sebagai “Ulama" kalau telah ada “ilmu'nya tentang rahasia yang demikian. Seperti ayat: “Rabbaka fakabbir"
Bisa dibaca dari muka rabbaka fakabbir dan bisa dibaca pula dari belakang, fakabbir rabbaka juga.
Setelah kita turut membalik-balik kitab-kitab demikian, sebagai pusaka orang-orang Islam di zaman tengah, kagumlah kita memikirkan betapa jauhnya orang merenung, sehingga khayal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ilmu pengetahuan yang asli daripada Rasulullah s.a.w. kemudian di-dakwakan orang sebagai suatu ilmu, dan dipandang tidak Alim barangsiapa yang tidak mengetahui itu, demikian besar pengaruhnya bahkan kadang-kadang dia menjadi sumber pedukunan.
Penafsiran demikian bisa dijadikan bahan di waktu sengyang, di waktu tidak ada pekerjaan yang lebih penting. Dapat juga diketahui, asal jangan dikatakan bahwa yang demikian itu ilmu yang sebenarnya.
Ada pula yang mentafsirkan bahwasanya huruf di awal Surat itu, yang menurut Ilmu Qira'at dan Tajwid, hendaklah dibaca menurut bunyi hurufnya.
Alif-Laam-Miim (A-L-M), tidak boleh dibaca Alam atau Ulam melainkan hendaklah menurut asli bacaan huruf. H-M mestinya dibaca Haa-Miim. TH-S-M hendaklah dibaca Thaa-Siin-Miim, demikian juga yang lain-lain. Lantaran itu maka timbullah kesan setengah penafsir bahwasanya huruf-huruf di pangkal beberapa Surat itu maksudnya ialah untuk memfasihkan bacaan huruf-huruf itu yang membawa kepada fasihnya bacaan al-Qur'an adalah pada kekuatan kesadaran membacanya.
Setengah penafsir lagi mendapat kesan bahwasanya huruf-huruf di pangkal beberapa Surat yang dibaca menurut makhrajnya itu adalah laksana peringatan supaya orang bersedia mendengarkan ayat-ayat yang akan datang di belakangnya. Bagaikan sirene pemberitahu bahwa beberapa ayat akan turun.
Penafsiran yang timbul dari ijtihad dan renungan masing-masing penafsiran itu, tidaklah ada yang dapat disalahkan. Sebab larangan buat memakai renungan sendiri dalam perkara demikian tidak pula ada. Islam memberi kebebasan kita buat merenung, asal saja jangan kita katakan bahwa semuanya itu adalah ajaran Rasulullah s.a.w. atau sama kuat kuasanya dengan hajat Rasulullah.
Oleh sebab itu jika kita pakai saja keterangan “Allah dan RasulNyalah yang lebih tahu akan makna huruf-huruf itu", pada pendapat kita adalah penafsiran yang lebih dekat kepada kebenaran.
Ayat 2
Pada ayat 2 Tuhan menerangkan, sebagaimana juga telah diterangkan dalam ayat-ayat pertanda dan perintah Ilahi, termaktub di dalam kitab yang nyata, memberikan penerangan yang jelas, peyangan hidup bagi yang percaya. Dengan ayat ini ditegaskan lagilah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah penyambung kehendak Tuhan, buat disampaikan kepada manusia. Dijelaskan dan diterangkan. Sehingga manusia mendapat pedoman dalam jalan hidupnya.
Ayat ini harus dijelaskan karena adalah permulaan jalan. Ini masih di Makkah, di permulaan peijalanan. Pangkal kata tatkala di Makkah ialah menegakkan keyakinan Tauhid, membebaskan diri dari pengaruh yang selain Allah. Tugas yang pertama ini mesti tegas, mesti nyata (mubin). Kalau dalam persiapan pertama menegakkan cita sudah ada kompromi akidah (doktrin) alamat sampai ke akhir tujuan akan kabur. Itulah sebab maka ayat 2 itu berbunyi: “/niloh dia ayat-ayat dari kitab yang nyata."
Ayat 3
Ayat yang berikutnya, ayat 3, membukakan rahasia perasaan yang pernah terlintas dalam batin Nabi Muhammad s.a.w. ketika beliau melihat beberapa sikap acuh tak acuh kaumnya ketika diajak kepada jalan yang benar.
Nabi Muhammad s.a.w. diutus kepada kaumnya, kaum Quraisy Beliau yakin akan benarnya seruan yang beliau bawa.
Beliau yakin bahwa orang yang tidak mau menerima seruan ini akan binasalah mereka. Dalam hati seorang Rasul yang merangkap menjadi pemimpin besar terhunjamlah rasa cinta yang mendalam. Belas kasihan kalau mereka akan binasa. Tetapi sebelum kebenaran terbuka bagi mereka, selama hijab hati masih tertutup, orang yang mencintai mereka, yaitu Muhammad s.a.w. akan mereka pandang sebagai musuh. Alangkah banyaknya yang teringat pada waktu itu oleh beliau. Penghalang-penghalangnya ialah keluarga-keluarga karibnya, seketurunan darah dengan dia. Pamannya sendiri, saudara kandung dari ayahnya, ialah Abu Lahab, dengan keras menentang dia. Menumpahkan segenap kebencian kepada beliau. Padahal sebagai paman yang turut membesarkan beliau, tidaklah patut orang tua ini menjadi kepala daripada orang-orang yang menentangnya. Demikian juga pamannya yang lain, yang sangat menyintainya dan sangat pula dicintainya, yaitu Abu Thalib. Dalam rumah Abu Thalib itu dia dibesarkan, tetapi ketika Abu Thalib diajak ke dalam Islam, Abu Thalib tidak mau, meskipun dia tetap mencintai Muhammad. Apalah artinya mencintai dan membela peribadi Muhammad, kalau ajakannya kepada kebenaran tidak mau menuruti?
Maka sebagai Insan, kadang-kadang terlintaslah dalam ingatan beliau, lebih baik saya mati saja, biar saya lompati lurah yang dalam, sehingga patah leherku, agar senang benar hati keluargaku ini. Kalau aku telah mati kelak, barulah mereka akan meratap mengingat kebenaran yang aku bawa.
Ini hanyalah semata-mata lintasan fikiran. yang harus bertemu dalam fikiran beliau sebagai manusia. Kalau dikupas secara Ilmu Jiwa, yang terasa ini hanyalah semata-mata endapan yang tidak keluar. Nabi Muhammad tidak akan mengerjakan demikian. Seorang Nabi yang telah terdahulu daripadanya, yaitu Nabi Yunus, pernah seketika hiba hatinya melihat keingkaran kaumnya, meninggalkan kampung halaman dan merantau larat. Perbuatannya itu disesali Tuhan, sehingga disuruh seekor ikan raya menelannya dan memohon ampunlah dia dalam perut ikan itu akan kelalaiannya meninggalkan tugas, sehingga setelah ikan itu menghantarkan dirinya ke tepi pantai dan beliau dapat keluar kembali, beliau pulang ke kampungnya, dibangunnya semangat baru, dan diajaknya kaumnya kembali ke dalam jalan yang benar, dan berhasil!
Beberapa Orientalis yang selalu mengorek-ngorek bahan untuk mencela Nabi Muhammad s.a.w. mencoba mengambil ayat itu mencari alasan buat menuduh bahwa Nabi Muhammad itu seorang yang berjiwa lemah. Karena kebencian kaumnya dan karena keingkaran mereka itu, dia berniat hendak membunuh diri.
Beberapa Ulama Islam sendiri membawa soal ini ke dalam perbincangan Ilmu Fiqh, berdosakah seorang yang terkhatar dalam hatinya hendak membunuh dirinya karena orang tidak mau menerima kebenaran yang dibawanya?
Ketahuilah bahwa ini adalah rasa yang terlintas dalam batin, bukan niat dan azam. Orientalis yang menuduh bahwa ini adalah alamat suatu kelemahan dari Nabi, harus pula meminjam soal ini dari segi ilmu jiwa. Seorang pemimpin besar yang merasa beratnya tanggungjawab tidaklah akan membunuh dirinya karena ajakannya ditolak orang. Tetapi kadang-kadang terlintas dalam batin bahwa pengurbanan diri sendiri kadang-kadang lebih besar faedahnya di dalam membangkitkan kesadaran bagi orang yang acuh tak acuh.
Misal yang terdekat masih hidup dalam ingatan kita. Beberapa orang Pendeta agama Budha di Vietnam Selatan membakar dirinya di hadapan umum supaya perhatian dunia tertumpah kepada soal yang mereka perjuangkan. Maka pendeta-pendeta yang membakar dirinya itu bukanlah karena dia lemah, tetapi itulah dia sesuatu kekuatan jiwa. Dan Nabi Muhammad pernah terkhatir dalam hatinya demikian:
“Kalau aku binasakan diriku, barulah kaumku yang aku cintai ini mengerti apa yang aku serukan."
Lintasan fikiran atau khatiran hati yang kecil ini pun niscaya diketahui oleh Tuhan, lalu dibujuk dia dengan teguran halus ini: “Boleh jadi engkau hendak membinasakan dirimu sendiri, karena mereka tidak mau beriman.".
Dalam Surat al-Kahfi (GuAl ayat 6 pun, yang turun di Makkah juga, di saat meruncingnya suasana keingkaran kaum Quraisy datang )uga ayat yang serupa itu:
“Barangkali engkau mau saja membinasakan dirimu sepeninggal mereka, jika mereka tidak mau percaya dengan seruanmu ini, karena sangat dukacita-nya hatimu."
Dalam Surat al-Fathir ayat 8 datanglah bujukan halus Tuhan kepadanya, supaya dia terus bekerja:
“Janganlah engkau binasakan dirimu karena kemenyesalan menghadapi mereka."
Ini bukanlah dari kemarahan dan kejengkelan, melainkan dari dukacita dan pedih hati, seakan-akan terasa, apalah artinya perjuangan yang berat buat kebahagiaan kaumku ini, maksudku suci, padahal mereka tidak mau memper-dulikan. Lebih baik aku mati saja.
Maka tidaklah perlu soal yang dalam ini dibawa ke dalam daerah Ilmu Fiqh, berdosakah Nabi Muhammad s.a.w. jika pernah terkhatir dalam fikirannya yang demikian itu? Padahal tidak pernah diniatkannya?
Bagi orang yang mendalami perasaan kemanusiaan, khatir hati Nabi Muhammad yang demikian itu, bukanlah menambah jauhnya daripada Nabi, bahkan menambah imannya dan cintanya. Di sinilah terletak perjuangan batin beliau sebagai manusia.
Dan di sini pula dapat diketahui betapa hebatnya suasana yang beliau hadapi. Dan beliau sendiri pun pernah mengatakan:
“Saya ini adalah manusia seperti kamu juga."
Oleh sebab itu, bagi kita hal itu bukan suatu cacat, tetapi suatu kebesaran!
Ayat 4
Kemudian datanglah ayat 4:
“Kalau Kami mau niscaya akan Kami turunkan kepada mereka ayat (pertandaan) dari langit, sehingga kucuk mereka akan tunduk demi melihatnya."
Khatir hati dan kekecewaan Nabi itu disadarkan Tuhan kembali kepada zaman depan yang gemilang. Datang kelak waktunya orang-orang yang sekarang bersikap masa bodoh itu akan merundukkan kepalanya. Waktu itu pasti datang, tidak dapat tidak. Sedangkan cita buatan manusia, yang hanya disokong oleh ilham, lagi berhasil karena teguhnya keyakinan, apatah lagi kalau yang diperjuangkan itu adalah Wahyu Ilahi melalui Sunnatullah yang tertentu.
Ayat pertandaan Kebesaran Tuhan itu akan tumbuh, mulanya suatu benih kecil yang tumbuh di padang pasir yang kersang tidak bertumbuh-tumbuhan, tetapi akhir kelaknya pasir itu akan berubah menjadi mesiu membakar segala sisa kebekuan kafir, keberhalaan dan kezaliman manusia atas manusia Tidaklah mengapa jika ada khatir hati yang kecil-kecil seakan-akan hendak menyudahi saja hidup yang penuh penderitaan dan penanggungan ini. Tetapi apabila difikirkan bila ayat itu telah datang kelak, apakah artinya diri di hadapan kemenangan cita.
Ayat 5
Kemudian pada ayat 5, diakui Tuhan adanya perangai orang-orang yang kafir itu: “Tidaklah cfatang kepada mereka suatu peringatan daripada Tuhan Yang Rahman, Yang Pengasih dan Pemurah, dalam keterangan dan cara yang baru, namun mereka selalu membelakanginya “ (menolaknyAl
Dalam ayat ini tersembunyilah suatu ilmu masyarakat (sosiologi), yakni bahwasanya manusia bersikeras bertahan pada yang lama, tidak mau menerima perbaharuan, walaupun perbaharuan itu benar adanya.
Ayat 6
“Mereka selalu mendustakan saja; maka akan datanglah kepada mereka kelak berita dari hal perkara yang mereka olok-olokkan itu." (ayat 6).
Inilah suatu pemastian dari Tuhan sendiri, bahwasanya kata yang benar itu pasti menang. Sebab kebenaran tidaklah dapat diikat, dibelenggu atau ditolak. Zaman berputar terus. Orang yang berdiri di pinggir jalan menonton kebenaran akan digulungnya. Kekerasan hati dan kekerasan kepala manusia tidaklah dapat menghambat berlakunya kebenaran Tuhan.
Sekarang timbullah pertanyaan. Apakah sebabnya maka kebanyakan manusia tidak suka menerima gagasan-gagasan yang baru? Apa sebab kaum Musyrikin Makkah begitu keras mempertahankan pendirian yang lama? Sebagaimana terjadi atas diri Bilal bin Rabah dan Yasir dan ibunya? Dan lain-lain?
Sebab yang terutama ialah karena daerah pandangan yang sempit. Mereka tidak dapat lagi berfikir dan merenungkan keadaan yang sekeliling. Pandangan mereka hanya dipusatkan kepada kepentingan diri sendiri dan golongan mereka.
Fikiran baru yang mengajak ummat manusia supaya membebaskan diri daripada perhambaan benda dan naik ke atas, kepada SATU Kuasa Mutlak Ilahi akan membawa akibat yang jauh sekali kepada kedudukan mereka dan keistimewaan mereka dalam masyarakat. Mereka merasa dirugikan. Kalau riba dilarang, ekonomi mereka macet. Kalau berhala tidak boleh dipuja lagi, tradisi mereka runtuh. Dan kalau zina dilarang, tersinggunglah puncak kadal pihak-pihak yang menguasai masyarakat. Bukankah pada masa itu wanita hanyalah laksana “segelas air diminum ketika haus" saja'?
Jika kita tilik ayat-ayat al-Qur'an yang diturunkan di Makkah itu, sebagai telah kita bayangkan pada beberapa penafsiran yang telah lalu, seruan Muhammad s. a. w. yang berupa Wahyu Ilahi itu bukanlah semata-mata melarang berbuat munkar, dosa besar atau Fawaahisy (perbuatan keji dan cabul) Bukan saja anjuran supaya berbuat baik kepada sesama manusia, tolong-menolong, membela yang lemah, tetapi juga selalu dianjurkcn supaya orang memperhalus jiwanya yang menyebabkan kehalusan budinya. Karena sikap yang kasar adalah lantaran jiwa yang kasar, jiwa yang tidak mengena! keindahan.
Ayat 7
Hal ini dapatlah dilihat pada ayat yang seterusnya, (ayat 7),
“Tidaklah mereka pandangi kepada bumi, berapa banyaknya Kami tumbuhkan padanya tumbuhan aneka warna dari pengawinan yang indah?"
Alangkah kasar jiwa kalau manusia hanya tahu memakan hasil bumi saja, tetapi tidak mau tahu betapa asal tumbuh makanan itu? Semuanya terjadi “min kulli zaujin karimin", dari perkawinan atau perkelaminan jantan dan betina. Orang Arab menanam korma. Korma yang subur adalah oculasi korma tampang yang jantan dengan korma tampang betina, Kadang-kadang buah-buahan sebagai mangga dan rambutan, atau buah-buahan yang lain yang mulanya berbunga, beribu-ribu bunga mekar muncul dari celah dahan: separuh rontok ke bumi dan separuh menjadi buah. Diciptakan Tuhan berbagai makhluk untuk mempertemukan si jantan dengan si betina kembang itu. karena dia tidak dapat ziarah-menziarahi. Kumbang, rama-rama, lebah dan bahkan angin, mempertemukan zat kejantanan dengan zat kebetinaan. Setelah bertemu gugurlah satu kembang ke bumi, atau separuh kembang ke bumi, dan yang tinggal melanjutkan hidup buat mengarangkan buah. Itulah pengawinan atau perkawinan yang indah.
Dengan pengetahuan yang dangkal kita telah tahu bahwa lahirnya manusia ke dunia ialah karena pertemuan kelamin laki-laki dengan perempuan. Dengan pengetahuan yang dangkal pula kita telah tahu bahwa berkembangnya binatang ternak kita karena pertemuan si jantan dengan si betina. Tetapi kalau kita telah berilmu lebih maju, akan tahulah kita bahwa buah korma, buah mempelam dan mangga dan beratus jenis buah-buahan yang lain adalah tercipta dalam rangka pertemuan “zaujin karimin", pertemuan jantan dan betina yang indah dan mulia.
Dan pengetahuan ini kelak akan dapat lebih tinggi lagi, bahwasanya seluruh Alam Raya ini, terkandunglah sesuatu kekuatan besar, gabungan tenaga dan benda. Kekuatan besar itulah Elektrisita. Barulah kekuatan itu menjadi kenyataan bila bertemu negatif dengan positif, betina dengan jantan, yang menerima dengan yang memberi. Kekuatan itulah yang menimbulkan atom. Dan atom itulah soal dari segala kejadian.
Dan itu semua diatur dengan satu peraturan oleh Pengatur Tunggal.
“Baik kejadian kamu, ataupun kebangkitan kamu kelak adalah laksana nafas yang satu saja."
Oleh sebab itu apabila manusia sudi, janganlah hanya laksana burung merak mengigal melihat indahnya bulu diri, lalu timbul kesombongan. Manusia sekali-kali harus melepaskan perhatiannya dan perhatiannya dari semata-mata diri, dan terus renung keadaan yang berada di sekelilingnya. Apalah artinya tubuh insan yang kecil ini di hadapan tenaga-tenaga dan peraturan yang ada di kelilingnya? Benarlah apa yang dikatakan orang, bahwasanya hidup di dunia bukanlah semata-mata untuk sandang untuk pangan, tetapi yang terutama sekali ialah berfikir, merenung dan meninjau.
Maka pada ayat berikutnya, ayat 8 ditegaskan oleh Tuhan; “Semuanya itu adalah ayat. Tetapi kebanyakan mereka tidaklah percaya."
Ayat 8
Alangkah halusnya anjuran pada ayat 7 di atas tadi. Manusia dianjurkan merenung alam kelilingnya. Di ayat-ayat yang lalu dianjurkan pula melihat kejadian langit, melihat berkelap-kelipnya bintang-bintang, meninjau hujan turun, memandangi kejadian hidup yang beratapkan langit, bukit, gunung yang menjadi pasak bumi dan bumi yang menjadi hamparan. Kadang-kadang dianjurkan melihat lalat, atau yang lebih atas daripada lalat. (Ba'udhatan fama fauqahAl, bahkan dianjurkan juga melihat betapa lawa-lawa membuat sarang, atau lebah bersarang di gunung dan di bubungan rumah. Sekarang dalam ayat ini (8) dianjurkan pula melihat tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayur-sayuran, betapa terjadi perkawinan yang indah. Itu adalah ayat. Itu pun adalah pula tanda dari Maha Kekuasaan Ilahi, (pangkal ayat 8). Tetapi di ujung ayat dikatakan: “Dan tidaklah kebanyakan mereka percaya."
Mengapa agaknya mereka tidak percaya?
Ialah karena mereka tidak pernah menjuruskan fikirannya ke sana. Mereka hanya siang malam menjuruskan fikiran kepada sandang dan pangan, dan kepentingan diri sendiri, keuntungan laba-rugi benda, beragih gedang ke awak. Jiwa yang kosong dari penilaian.
Ayat 9
Maka datanglah ayat 9 sebagai simpulan kaji:
“Sesungguhnya Tuhan engkau itu adalah Maha Kuasa dan Maha Penyayang." (Maha Pemurah).
Dengan Tuhan memperingatkan sifatNya yang Maha Kuasa “Al-Aziz" tersimpanlah makna bahwasanya betapa pun keingkaran dan tidak percaya, betapa pun kelengahan dan tidak perduli daripada insan yang ingkar dan kufur, namun athran Tuhan tidaklah akan berubah. Namun alam akan tetap berjalan menurut peraturannya yang tentu. Namun orang yang menyisih ke tepi tidak perduli itu, tidaklah dapat mengelakkan diri dari ketentuan Ilahi. Tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menghambat kekuasaan Tuhan itu.
Dalam kalimat Asma Tuhan Al-Aziz tersimpullah makna kekuasaan mutlak, kewibawaan, kemegahan, tuah dan gensi. Tersimpan juga di dalamnya makna disiplin.
Orang yang telah meresapkan ke dalam hatinya akan zauq (rasa halus) kalimat al-Qur'an, yang syarat membacanya adalah perlahan-lahan, (tartil), akan dapatlah menangkap betapa dalam kesannya jika Asma Tuhan “Al-Aziz" itu diiringi dengan Asma Tuhan “Ar-Rahim". Melimpahkan rahmat dan kumia, pengasih, penyayang dan pemurah. Artinya, betapa pun kuat kuasa aturannya dan keras disiplinnya, yang kadang-kadang mengandung kemurkaan. Namun apabila seorang makhlukNya telah insaf, lalu taubat, di saat itu juga pintu terbuka dan dia dipersilakan masuk. Dosa dan kelalaian yang lama diampuni, jalan pun terbuka. Laksana seorang budak kecil yang baru dilahirkan dari dalam perut ibunya.
“Sesungguhnya rahmatKu dapatlah mengalahkan murkaKu."
Sekarang cobalah baca kembali Surat dari ayatnya yang pertama dengan hati tenang dan terbuka. Bagi Nabi Muhammad s.a.w. yang pernah terkhatir dalam hati hendak menghabisi saja hidup ini karena sulitnya berhadapan dengan manusia yang ingkar, maka khatir hati tadi telah terobat. Dia telah diberi kepastian bahwa perjuangan menegakkan Al-Haq ini pasti menang. Kita ini hanya alat daripada Tuhan buat melangsungkan kehendak Ilahi yang mesti berlaku.
Dan kalau Tuhan telah memberikan obat bagi Rasulullah ikutan kita, maka betapa lagi bagi kita pengikut Muhammad? Yang telah sejak mulai sehitam semerah kuku, mulai lahir dari perut ibu dan dalam pengalaman hidup yang telah ditempuh, telah menyediakan diri jadi ummatnya, betapa kita akan ragu buat menurut jejak itu?
Diri kita ini apalah artinya? Dia hanya sekelumit kecil di hadapan makhluk Ilahi yang ada di keliling kita, sejak tumbuhnya sampai kepada margasatwa yang melata. Dan bumi tempat kita berdiam sejenak masa ini pun hanya sebuah bintang kecil yang menghiasi langit. Maka apabila hati ini digantungkan kepada Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Perkasa dan Maha Kasih, niscaya akan menggetarlah kebenaranNya dan KebesaranNya ke dalam kelumit kecil ini, sehingga hidup ini berarti dan besar pula adanya.