Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah kamu
ٱلَّذِي
yang
خَلَقَكُمۡ
menciptakan kalian
وَٱلۡجِبِلَّةَ
dan ummat-ummat
ٱلۡأَوَّلِينَ
terdahulu
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah kamu
ٱلَّذِي
yang
خَلَقَكُمۡ
menciptakan kalian
وَٱلۡجِبِلَّةَ
dan ummat-ummat
ٱلۡأَوَّلِينَ
terdahulu
Terjemahan
Bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakanmu dan umat-umat yang terdahulu.”
Tafsir
(Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dan makhluk) yakni umat-umat (yang dahulu").
Tafsir Surat Ash-Shu'ara': 181-81
sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orang- orang yang merugikan; 182. dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. 183. dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; 184. dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu. (asy-Syuaraa: 181-184) Syuaib memerintahkan mereka untuk menyempurnakan takaran dan timbangan serta melarang mereka berbuat curang dalam masalah tersebut.
Dia berkata: auful kaila wa laa takuunuu minal mukhsiriin (Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan.) yakni jika kalian menyerahkan sesuatu kepada manusia, maka sempurnakanlah timbangannya dan janganlah kalian mengurangi timbangannya dengan memberikannya secara kurang. Akan tetapi ambillah oleh kalian sebagaimana kalian memberi dan berikanlah oleh kalian sebagaimana kalian mengambil. Wa zinuu bil qisthaasil mustaqiim (Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.) al-qithas adalah timbangan.
Firman-Nya: wa laa tabkhasun naasa asy-yaa-aHum (Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya) yaitu janganlah kalian mengurangi harta-harta mereka.) walaa tatsau fil ardli mufsidiin (Dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan) yaitu menjadi perampok. Wat taqulladzii khalaqakum wal jibillatal awwaliina (Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakanmu dan umat-umat yang dahulu.) dia mengancam mereka dengan siksaan Allah, Rabb Yang telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek moyang mereka yang pertama, sebagaimana Musa as.
berkata: Rabbukum wa rabbu aabaa-ukumul awwaliin (Rabbmu dan Rabb nenek-nenek moyangmu yang dahulu. (asy-Syuaraa: 26) Ibnu Abbas, Mujahid, as-Suddi, Sufyan bin Uyainah dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata tentang: wal jibillatal awwaliin (Dan umat-umat yang dahulu) yaitu orang-orang terdahulu.
184. Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu. Umat terdahulu dari kaum Syuaib seperti kaum 'Ad, dan 'amud jauh lebih kuat. mereka dibinasakan oleh Allah karena dosa-dosa mereka. Terhadap ajakan nabi Syuaib, mereka mulai berang dan jengkel, lalu mereka mengeluarkan tuduhan dan hasutan yang tidak berdasar. 185. Mereka berkata: "Engkau tidak lain hanyalah orang yang kena sihir, Semua nabi yang berdakwah kepada kaumnya dituduh sebagai pesihir sebagai cara untuk menjauhkan para nabi dengan masyarakat.
Di samping menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, penduduk Madyan juga berbuat dosa dan melakukan kejahatan lain, di antaranya:
1. Mengurangi timbangan dan takaran pada waktu menjual dan minta dilebihkan pada waktu membeli.
2. Menurunkan harga barang-barang agar mereka dapat membeli barang-barang itu dengan harga yang amat rendah.
3. Membuat onar dan kerusakan di bumi.
Ayat ini menerangkan bahwa Syuaib menyeru kaumnya untuk menghentikan kejahatan yang biasa mereka lakukan. Mereka diseru untuk menyempurnakan takaran dan timbangan baik di waktu menjual maupun membeli. Mengurangi atau melebihkan takaran dan timbangan adalah perbuatan yang merugikan orang lain. Hal itu berarti membuat kerusakan di bumi. Syuaib mengingatkan kaumnya bahwa harta yang halal lebih baik bagi mereka, karena mereka adalah orang-orang yang berpenghidupan baik. Allah berfirman:
Sisa (yang halal) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu." (Hud/11: 86).
Yang dimaksud dengan sisa keuntungan dari Allah (baqiyyatullah) ialah keuntungan yang halal dalam perdagangan sesudah menyempurnakan takaran dan timbangan.
Syuaib mengingatkan bahwa perbuatan jahat yang mereka lakukan itu bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah bagi semua makhluk-Nya. Oleh karena itu, mereka diminta untuk menghentikan perbuatan itu, dan takut kepada azab Allah yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Dialah yang menciptakan segala yang ada, termasuk mereka. Diciptakan-Nya dari tidak ada kepada ada untuk mengadakan kemaslahatan di bumi. Allah pernah menciptakan orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan yang lebih kuat dan besar dari mereka, serta mempunyai harta dan kekayaan yang lebih banyak, seperti kaum Hud yang pernah mereka katakan sebagai kaum yang lebih kuat dan perkasa dari mereka. Karena kezaliman dan kejahatan umat-umat dahulu itu, Allah mengazab dan menimpakan malapetaka yang besar kepada mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Syu'aib Dan Penduduk Aikah
Ayat 176
Pada lanjutan ayat ini telah disebutkan pula: ‘Telah mendustakan penduduk Aikah akan Utusan-utusan Tuhan." (ayat 176).
Ayat 177
‘Tatkala berkata Syu'aib kepada mereka: “Tidakkah kamu mau bertakwa?" (ayat 177).
Pada kedua ayat ini kita bertemu lagi dengan kisah Nabi Syuaib, yang dikenal sebagai mertua dari Nabi Musa, ketika Musa melarikan diri ke Madyan. Dalam ayat-ayat yang lain lebih banyak kita bertemu bahwa Nabi Syu'aib ini diutus Tuhan kepada kaumnya penduduk negeri Madyan Tetapi pada ayat yang dua berturut ini, yaitu ayat 176 dan 177, kita bertemu keterangan bahwa sebagai ummat-ummat pula penduduk Aikah. Di ayat 176 telah diterangkan bahwa sebagai ummat-ummat yang terdahulu penduduk Aikah ini pun telah mendustakan Rasul-rasul Allah. Artinya meskipun seorang Syuaib yang mereka dustakan, berarti mereka telah mendustakan juga Rasul-rasul yang lain. Sebab itulah maka Tuhan Allah memberi ajaran kepada kita, sebagai yang tersebut di awal Surat al-Baqarah bahwa di samping kita percaya kepada apa yang diturunkan kepada Nabi-nabi yang sebelum Nabi Muhammad s. a.w. (Lihat Surat al-Baqarah ayat 4). Dan di penutup Surat itu dianjurkan supaya di dalam doa-doa kita kepada Tuhan, di dalam permohonan meminta sesuatu hendaklah kita nyatakan bahwa kita sebagai Ummat Muhammad s.a.w. tidak memperbeda-bedakan dan tidak memisah-misahkan di antara sekalian Rasul Allah. (Lihat al-Baqarah ayat 286). Kalau tidak demikian sikap kita kepada sekalian Rasul, berartilah kita mendustakan sekalian Rasul. Selanjutnya apabila ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad s. a. w. dan hanya mengakui Rasul yang sebelum beliau, berartilah bahwa dia pun telah mendustakan sekalian Rasul juga. Karena inti hakikat ajaran sekalian Rasul hanya satu, yaitu menyeru manusia menuju satu tujuan, yaitu Allah.
Di dalam Surat al-A'raf atau Surat Hud dan surat yang lain disebutkan bahwa Nabi Syu'aib itu diutus Tuhan kepada orang Madyan. Di sini disebut bahwa beliau diutus kepada penduduk Aikah Maka kata-kata Nabi Syu'aib kepada mereka: “Tidakkah kamu mau bertakwa?" Dengan ucapan langsung, tidak diawali dengan kalimat: “Wahai kaumku", sebagai ucapan dari Nabi-nabi yang disebutkan pada ayat-ayat yang sebelumnya tadi, memberi petunjuk kepada kita bahwa penduduk Aikah ini bukanlah kaum Syu'aib, yang kaumnya ialah orang Madyan. Rupanya Aikah adalah kampung lain yang bertetangga dengan Madyan. Ini menunjukkan bahwa Syu'aib diutus kepada dua negeri.
Pertama kepada kaumnya sendiri orang Madyan, kedua kaum tetangganya penduduk Aikah.
Penafsiran ini dikuatkan oleh satu riwayat yang dikeluarkan oleh lbnu Asakir dan lkrimah dan as-Suddi. Telah berkata mereka: “Tidaklah Tuhan mengutus seorang Nabi dua kali, kecuali Nabi Syu'aib saja. Sekali dia telah diutus kepada kaum Madyan, maka kaum Madyan itu telah dibinasakan Tuhan dengan pekik dahsyat. Dan sekali lagi kepada penduduk Aikah, maka mereka telah disiksa Tuhan dengan azab suatu hari yang bermega."
Bolehlah saudara para pembaca meninjaunya kembali pada Tafsir Surat al-A'raf dan Tafsir Surat Hud.
Ayat 178
Nabi Hud telah menerangkan apa tugas dan kewajiban yang dipikulkan Tuhan kepada mereka: “Sesungguhnya aku ini adalah Utusan Tuhan yang dipercaya untuk kamu." (ayat 178).
Apa sebab dia berkata demikian?
Ayat 179
Sebab Tuhan telah melihat penyakit yang sama di antara penduduk Madyan dengan penduduk Aikah. Kisah-kisah yang menceriterakan ihwal mereka adalah menunjukkan keruntuhan masyarakat mereka karena tidak ada lagi kejujuran dalam hubungan perniagaan. Nabi Syu'aib telah memberi mereka peringatan, sebagai tercantum dalam ayat 177 di atas tadi. Tidakkah kamu merasa takut kalau kamu terus-menerus melakukan kecurangan ini? Tidakkah kamu perhatikan bagaimana nasib kesudahan dari ummat-ummat yang terdahulu daripada kamu? Mereka dihancurkan Allah karena dosa-dosa yang mereka perbuat? Beliau serukan agar mereka kembali ke jalan yang benar dengan katanya: “Maka bertakwalah kepada Allah dan patuhilah aku." (ayat 179).
Takwa dan takut.kepada Allah, berarti kembali kepada jalan yang benar dan meninggalkan segala perbuatan-perbuatan yang buruk selama ini. Dan patuhilah aku, atau taatilah aku. Sebab akulah yang dipercayai oleh Tuhan buat datang menyampaikan kata kebenaran ini kepada kamu dan akulah yang ditetapkan Tuhan menjadi pemimpinmu akan membawa kamu kepada jalan yang benar itu.
Ayat 180
Sebagai Nabi-nabi dan Rasul-rasul Allah yang lain, yang tersebut di atas Jadi juga, Nabi Syu'aib mengucapkan sebagai yang mereka ucapkan. “Dan tidaklah aku meminta upah kepada kamu." (pangkal ayat 180). Kalau kamu surut kepada jalan yang benar, jalan bertakwa kepada Allah, niscaya kamu akan berbahagia dunia dan akhirat. Untuk itu tidaklah aku meminta upah, tidaklah aku meminta balas jasa dan balas budi. Ditaati saja tuntunanku, cukuplah itu bagiku: “Sesungguhnya tidaklah ada upahku, kecuali dari Tuhan Sarula sekalian alam." (ujung ayat 180). Sebab tidak ada upah dunia ini yang akan memuaskan bagi seorang pejuang, walaupun apa yang akan diberikan oleh manusia. Upah sejati hanya ada pada Allah, upah yang kekal. Sedang seruan yang aku bawa ini bukanlah urusan perhitungan benda yang tidak kekal, me-lainkan soal keselamatan rohani dan kebahagiaan batin untuk dunia dan akhirat. Sehingga jika seorang Nabi atau seorang pejuang memuliakan seruannya, kalau bukan upah Allah yang dia harapkan, akan kecewalah hatinya. Sebab jarang manusia yang menghargai nilai suci seruan seorang manusia.
Ayat 181
Lalu Nabi Syu'aib menyebut kebobrokan dan kerusakan masyarakat mereka, dengan perkataan beliau selanjutnya: “Cukupkanlah sukatan dan janganlah kamu termasuk orang-orang yong merugikan." (ayat 181).
Jelaslah di dalam ayat ini bahwa penduduk Aikah itu sama juga penyakitnya dengan penduduk Madyan, yaitu tidak mencukupkan sukatan menurut ukurannya yang sebetulnya. Rupanya mereka mempunyai dua buah sukatan seketika berniaga barang-barang yang diukur sukat (liter) sebagai beras, gandum, kacang dan jagung. Ketika mereka menjual, mereka pakai sukat yang kurang dari ukuran. Dan seketika mereka membeli, mereka pakai pula sukat yang ukurannya lebih besar dari ukuran.
Ayat 182
“Dan timbanglah dengan neraca yang adil." (ayat 182).
Ayat 183
Di atas sukat dan gantang mereka pun rupanya memperjual belikan puia barang yang diukur pada beratnya, dengan memakai timbangan dan katian, atau dacing. Barang-barang emas dan perak ditimbang dengan necara yang halus sekali; mempunyai daun timbangan, dacing timbangan atau bungkal yang piawai. Kadang-kadang dipakai saga yang merah dan kundi yang kurik, sampai se"miang" pun harus dipertimbangkan. Di samping emas, perak ada juga barang-barang yang dipertimbangkan beratnya dengan timbangan. Sebab itu neraca wajiblah adil: “Dan janganlah kamu curangi hak-hak kepunyaan manusia, dan janganlah kamu merajalela di atas bumi membuat kerusakan." (ayat 183).
Dengan ini Nabi Syu'aib memberi ingat supaya baik gantang, liter, dan sukat atau timbangan dan katian jangan dicurangi, jangan merugikan hak orang lain. Perbuatan yang demikian itu jangan diteruskan, jangan bersimaharajalela membuat kerusakan. Sebab kalau sukat dengan gantang sudah tidak betul lagi, neraca dan katian telah curang, hubungan masyarakat mesti rusak. Yang bernama ekonomi, atau iqtishad dan kemakmuran ialah apabila hubungan antar manusia berlaku dengan jujur. Kecurangan hanya memberikan untung sementara, adapun kelanjutannya ialah kerusakan budi seluruh masyarakat. Orang tidak percaya-mempercayai lagi sesamanya, maka jalan niaga akan macet, terhenti dan terbendung. Inilah salah satu yang di zaman moden ini dinamai Korupsi. Padahal hubungan masyarakat tidak lain daripada ikatan janji. Ketentuan ukuran gantang dan sukat, atau neraca dan timbangan tidak lain daripada hasil permufakatan bersama.
Ayat 184
Lalu Nabi Syu'aib menyatakan selanjutnya: “Dan takwalah kepada Allah. Tuhan yang menjadikan kamu dan menjadikan ummat-ummat yang terdahulu." (ayat 184).
Untuk menghilangkan penyakit-penyakit kecurangan yang merusak masyarakat itu, tidak lain ialah dengan jalan takwa kepada Allah kembali. Nafsu-nafsu keserakahan, tidaklah ada batasnya. Batasnya ialah bila manusia mengingat kembali kepada Tuhannya. Sebab Tuhanlah yang menilik dan memperhatikan gerak-gerik dan langkah hidup. Ingat kepada Tuhan, letakkan dalam hati, maka hati itu akan dikontrol terus oleh Allah. Apatah lagi bukan saja Tuhan menjadikan kita, Dia pun menjadikan ummat yang telah terdahulu. Ummat yang terdahulu dari penduduk Aikah, telah banyak yang binasa kena siksaan Tuhan, karena melanggar peraturan Tuhan. Sunnatullah akan tetap berlaku. Dan di samping itu ingat pulalah bahwa tanah subur, kebun luas, dan hubungan perniagaan yang lancar dengan negeri lain itu, telah dimulai dan dipancangkan oleh nenek-moyangmu yang terdahulu. Sebab itu janganlah kamu tinggalkan Tuhan yang telah mentakdirkan mereka ada sebelum kamu ada, dan takwalah kepadaNya. Artinya, peliharalah perhubungan dengan Dia dan takutilah kepadaNya.
Ayat 185
“Mereka menyambut: “Sesungguhnya engkau ini hanyalah termasuk orang-orang yang telah diajar sihir." (ayat 185).
Segala seruan kepada jalan kejujuran itu telah mereka sambut dengan kata-kata yang ganjil sekali. Mereka tuduh bahwa Nabi Syuaib bercakap sedemikian rupa, ialah karena dia telah belajar ilmu sihir. Mengapa datang tuduhan mereka sehina itu? Bukankah tukang sihir bisa menyulap sesuatu, mengatakan yang hitam jadi putih dan yang putih jadi hitam? Padahal beliau berkata yang benar?
Ayat 186
Ini dapat dicari jawabnya dalam kehidupan Nabi Syu'aib sendiri. Nabi kita Muhammad s.a.w. pernah mengatakan bahwa Nabi Syu'aib itu adalah “Khathl-bul Anbiya'". Artinya, ahli pidato dari kalangan Nabi-nabi. Beliau lebih istimewa apabila beliau bercakap, ucapannya itu tidak dapat ditolak, karena dia bicara dari hatinya, dengan jujurnya. Sebab itu barangsiapa yang mendengar, pasti tertarik. Nabi Musa pernah mengeluh karena beliau tidak mempunyai keahlian sebagai mertuanya itu. Tetapi kaumnya, baik orang Madyan ataupun orang Aikah amat berat menanggalkan kebiasaan mereka. Sebab itu jika mereka terpesona oleh seruan beliau, mereka katakan saja bahwa beliau telah belajar sihir. Dan mereka katakan pula: “Engkau ini tidak lain hanyalah manusia seperti kami." (pangkal ayat 186). Sebab itu tidak ada kelebihan engkau daripada kami, sehingga engkau tidak berhak mengata-ngatai kami, menyindir kami, dan mengyanggu mata pencarian kami. Engkau pun memerlukan makanan dan minuman sebagai kami.
“Dan kami kira engkau ini tidak /ain hanyalah dari golongan orang-orang pembohong." (ujung ayat 186).
Ayat 187
Engkau bukan Rasul kepercayaan Tuhan sebagai yang engkau dakwakan itu. Engkau hanya manusia biasa sebagai kami. Segala dakwaanmu bahwa engkau adalah orang yang dipercaya Allah buat menyampaikan teguran kepada kami, kami anggap hanyalah bohong belaka. Bukan perkara mudah menunjukkan diri sebagai Rasul Allah: “Cobalah gugurkan kepada kami keping-kepingan dari langit, jika ada engkau dari orang-orang yang benar." (ayat 187).
Nabi Syu'aib mereka tuduh seorang pembohong besar dalam da'wahnya bahwa beliau menjadi Utusan Allah yang dipercaya. Mereka lalu meminta bukti: Kalau engkau dakwakan dirimu menjadi Rasul, tunjukkanlah buktinya kepada kami. Cobalah gugurkan dari langit keping-kepingan dari azab Allah. Kami mau melihat sanggupkah engkau atau tidak menciptakan hal yang demikian.
Jadi terang di sini bahwa mereka tidak menilai lagi seruan yang dibawa oleh Nabi Syu'aib, melainkan mereka hendak menilai peribadi Nabi Syu'aib sendiri. Mgskipun seruan yang beliau bawa adalah benar, mereka hendak menguji keterangan beliau tentang dia menjadi Rasul. Seorang Rasul menurut mereka mesti membuktikan bahwa dia benar-benar diutus Tuhan. Bukti ini harus ditunjukkan dengan menyatakan jatuhnya kepingan-kepingan ganjil dari langit.
Ayat 188
“Dia menjawab: “Sesungguhnya Tuhanku terlebih mengetahui apa yang kamu perbuat," (ayat 188).
Mereka mencari dalih meminta pembuktian tentang benar atau tidaknya beliau menjadi Rasul, adalah satu perbuatan yang sangat jahat. Mereka tidak dapat membantah seketika dikatakan bahwa perbuatan mereka curang. Untuk menangkis itu, pada mulanya mereka tuduh Syu'aib telah belajar sihir. Kemudian mereka tuntut Syu'aib menunjukkan bukti bahwa dia Rasul. Dengan jalan demikian, persoalan kecurangan, korupsi dengan merusak sukat dan timbangan hilang demikian saja. Di sini Nabi Syu'aib menjelaskan bahwa Tuhan Allah mengetahui kejahatan perbuatan itu.
Ayat 189
“Maka mereka dustakanlah dia." (pangkal ayat 189). Ayat ini menyatakan kesimpulan bahwa mereka tidak dapat bertahan diri karena membela kesalahan yang mereka perbuat, lalu mereka balikkan pertahanan mereka yang curang itu kepada mendustakan pengakuan Nabi Syu'aib bahwa dia Rasul. Pendeknya, sejak masa itu mereka telah mengambil sikap terus mendustakan kerasulan Nabi Syu'aib: “Lalu ditariklah mereka oleh siksaan pada hari bermega. Itu adalah suatu siksaan hari yang besar." (ujung ayat 189).
Nabi Allah telah mereka dustakan. Mereka meneruskan hidup yang curang dan korupsi itu. Dengan sombongnya mereka bertahan mengatakan Nabi Syu'aib bukan Nabi, dia adalah Nabi dusta, sebab tidak sanggup mengadakan keping-kepingan dari langit alamat nubuwwatnya.
Tiba-tiba di suatu hari yang sangat mengerikan, yaitu menurut satu riwayat dari Ibnu Abbas, datang angin samun yang sangat panas laksana dari jahannam layaknya, sehingga mereka semuanya merasa panas laksana terbakar; rumah tempat tinggal laksana berapi, sumur-sumur pun menjadi kering; sehingga banyak yang jatuh pingsan, dan otak laksana menggelegak dari sangat teriknya panas. Maka lekas-lekas mereka keluar dari rumah berlari-lari mengelakkan angin samun itu. Tetapi ke mana pun mereka lari, namun angin samun itu masih tetap mengejar mereka. Cahaya matahari panasnya bagai membakar, dan pasir yang dipijak pun terasa sebagai api, sehingga kulit tapak kaki terkelupas dari sangatnya panas. Tiba-tiba kelihatanlah di langit awan berkeping-keping menghitam, yang dipandang seakan-akan awan yang mengandung hujan, sebab warna awan itu hitam pekat. Setelah mereka melihat awan hitam itu berkejaranlah mereka ke bawah lindungannya, mengharapkan datangnya hawa dingin atau air hujan. Selelah mereka berkumpul ke sana semuanya, awan yang ajaib itu pun mengepung mereka dalam kepanasan yang sangat, sehingga habislah mereka mati semuanya. Maka Nabi Syu'aib sendiri dan orang-orang yang beriman, terlepaslah daripada siksaan itu.
Demikianlah menurut riwayat yang dibawakan oleh ‘Abd bin Humaid dan lbnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dan al-Hakim, disertai beberapa riwayat lain yang serupa maknanya dengan itu.
Ayat 190
“Sesungguhnya pada yang demikian adalah suatu pelajaran." (pangkal ayat 190). Ini adalah satu ibarat, satu hal yang hendaknya dijadikan perbandingan dan pelajaran oleh kaum Quraisy di zaman Rasulullah itu, dan menjadi ibarat dan pelajaran pula bagi manusia-manusia di segala zaman. Orang yang mempercayai bahwa Tuhan itu ada, hendaklah percaya bahwa Tuhan itu Maha Kuasa memperobahkan alam ini menurut kehendak kuasaNya. Jangan disangka bahwa perbuatan baik dan buruk manusia tidak ada hubungannya dengan alam sekelilingnya: “Tetapi adalah kebanyakan mereka tidak juga percaya." (ujung ayat 190).
Mereka pandang enteng saja kekuasaan Tuhan, mentang-mentang Tuhan itu tidak kelihatan oleh mata. Serupa halnya dengan satu kejadian di suatu negara di zaman kita ini. Seorang penguasa negara yang sombong pernah mengatakan: “Kita harus sanggup menundukkan Alam." Tiba-tiba beberapa hari setelah dia bercakap demikian turunlah hujan sangat lebat. Daedah tempat orang besar yang sombong itu langsung digenangi air bah dan banjir besar, padahal selama ini jaranglah terjadi banjir di daerah itu. Dia tidak bisa lagi keluar dari dalam istananya, walaupun dengan mengendarai mobilnya yang mahal mengkilap. Kalau dia hendak keluar, terpaksa didukung orang dan yang mendukung itu terpaksa berenang dalam air yang amat dalam itu. Orang yang berfikir semata-mata kebendaan (materialistis) tidak memikirkan hubungan di antara kata-kata si sombong yang hendak menguasai dan menundukkan alam itu Hengan tiba-tiba datangnya banjir di sekeliling pekarangan rumah kediamannya sendiri.
Ayat 191
“Sesungguhnya Tuhan engkau adalah Maha Gagah, lagi Maha Penyayang." (ayat 191).
Perbatikanlah ayat ini kembali, yang juga di dalam Surat asy-Syu'ara' ini, yang menjadi penutup dari sekalian kisah yang diuraikan. Didahulukan menyebut silat Tuhan Al-Aziz, Yang Maha Gagah Perkasa daripada menyebut sifatNya yang satu lagi, yaitu Maha Penyayang atau Ar-Rahim. Apa sebab maka Al-Aziz didahulukan dari Ar-Rahim? Apakah karena semata-mata menyusun bunyi ujung ayat-ayat supaya serupa?
Bukan! Karena al-Qur'an bukanlah syi'ir dan bukan sajak atau sanjak. Sebabnya ialah memberi peringatan kealpaan manusia juga. Setiap saat manusia hanya lebih banyak merasai betapa Maha Penyayangnya Allah itu. Di dalam alam yang sekelilingnya, dalam pergantian siang dengan malam, per-geleran matahari terbit dan terbenam dan dalam diri sendiri, manusia hanya terlebih banyak merasakan RahimNya Tuhan. Oleh karena merasai Rahim Tuhan, kerapkali manusia lalai dan lengah memperhatikan Kegagahan dan Keperkasan Tuhan. Kalau sikap Gagah Perkasa Ilahi itu datang, barulah mereka kalang kabut. Oleh sebab itu di dalam susunan ayat ini didahulukan sifatNya Gagah Perkasa daripada menyebut sifatNya Kasih dan Sayang. Sebagaimana juga didapati di dalam Surat al-Mulk (Surat 67, ayat 2), didahulukan menyebut mati daripada menyebut hidup, supaya di dalam manusia menjalani percobaan Allah dan ujianNya tentang kesanggupan berbuat baik, manusia itu jangan lupa akan akhir daripada hayat itu, yaitu maut.