Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
إِذَا
apabila
ذُكِّرُواْ
mereka diberi peringatan
بِـَٔايَٰتِ
dengan ayat-ayat
رَبِّهِمۡ
Tuhan mereka
لَمۡ
tidak
يَخِرُّواْ
mereka tunduk
عَلَيۡهَا
atasnya/kepadanya
صُمّٗا
orang-orang tuli
وَعُمۡيَانٗا
dan orang-orang buta
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
إِذَا
apabila
ذُكِّرُواْ
mereka diberi peringatan
بِـَٔايَٰتِ
dengan ayat-ayat
رَبِّهِمۡ
Tuhan mereka
لَمۡ
tidak
يَخِرُّواْ
mereka tunduk
عَلَيۡهَا
atasnya/kepadanya
صُمّٗا
orang-orang tuli
وَعُمۡيَانٗا
dan orang-orang buta
Terjemahan
Dan, orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka tidak bersikap sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
Tafsir
(Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan) diberi nasihat dan pelajaran (dengan ayat-ayat Rabb mereka) yakni Al-Qur'an (mereka tidak menghadapinya) mereka tidak menanggapinya (sebagai orang-orang yang tuli dan buta) tetapi mereka menghadapinya dengan cara mendengarkannya sepenuh hati dan memikirkan isinya serta mengambil manfaat daripadanya.
Tafsir Surat Al-Furqan: 72-74
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka mereka "tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Apa yang telah disebutkan di atas merupakan sebagian dan sifat-sifat hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu bahwa mereka tidak pernah memberikan kesaksian palsu. Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud adalah tidak pernah berbuat kemusyrikan dan tidak pernah menyembah berhala. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah tidak pernah berdusta, tidak pernah berbuat fasik, tidak pernah berbuat kekafiran, tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak ada faedahnya, dan tidak pernah berbuat kebatilan.
Menurut Muhammad ibnul Hanafiyah, makna yang dimaksud ialah perbuatan yang tidak ada faedahnya dan bernyanyi. Abul 'Aliyah, Tawus, Ibnu Sirin, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak pernah menghadiri hari-hari raya kaum musyrik. Menurut Umar ibnu Qais, maknanya ialah tidak pernah menghadiri majelis yang di dalamnya dilakukan kejahatan dan kefasikan.
Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa makna yang dimaksud ialah tidak pernah minum khamr dan tidak pernah menghadiri tempatnya serta tidak pernah menyukainya, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka janganlah ia duduk di suatu hidangan yang digilirkan padanya minuman khamr. Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah ﷻ: yang tidak memberikan persaksian palsu. (Al-Furqan: 72) Yakni kesaksian palsu alias sengaja berdusta untuk mencelakakan orang lain, seperti pengertian yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ".
"Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa yang paling besar?, sebanyak tiga kali. Maka kami menjawab, "Wahai Rasulullah, kami mau. Rasulullah ﷺ bersabda, "Mempersekutukan Allah dan menyakiti kedua orang tua. Pada mulanya beliau bersandar, lalu duduk tegak dan bersabda, "Ingatlah, ucapan dusta, ingatlah kesaksian palsu!" Rasulullah ﷺ mengulang-ulang sabda terakhirnya ini, sehingga kami berkata (dalam hati) bahwa seandainya beliau diam. Akan tetapi, menurut makna lahiriah nas ayat ini menunjukkan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak menghadiri hal-hal yang berdosa. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya: dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72) Yakni mereka tidak mau menghadiri perbuatan yang tidak berfaedah itu, dan apabila secara kebetulan mereka bersua dengan orang-orang yang sedang melakukannya, maka mereka lewati saja dan tidak mau mengotori dirinya dengan sesuatu pun dari perbuatan yang berdosa itu.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Al-Ajali, dari Muhammad ibnu Muslim, bahwa Ibrahim ibnu Maisarah telah menceritakan kepadaku bahwa Ibnu Mas'ud pernah bersua dengan orang-orang yang sedang melakukan perbuatan yang tidak berfaedah, maka dia tidak berhenti. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Ibnu Masud di pagi hari dan petang harinya menjadi orang yang menjaga kehormatan dirinya.
". Telah menceritakan pula kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Salamah An-Nahwi, telah menceritakan kepada kami Hibban, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepadaku Maisarah; telah sampai suatu berita kepadanya bahwa Ibnu Mas'ud pernah bersua derigan orang-orang yang sedang melakukan perbuatan yang tidak berfaedah, tetapi dia tidak berhenti.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Ibnu Masud di pagi hari dan petang harinya menjadi orang yang menjaga kehormatan dirinya. Kemudian Ibrahim ibnu Maisarah membaca firman-Nya: dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72) Adapun firman Allah ﷻ: Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Al-Furqan: 73) Hal ini pun merupakan salah satu dari sifat dan ciri khas orang-orang mukmin, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (Al-Anfal: 2) Berbeda dengan orang kafir; karena sesungguhnya apabila dia mendengar kalamullah, tiada pengaruh dalam dirinya dan tiada perubahan dari apa yang sebelumnya dia lakukan, bahkan dia tetap pada kekafiran, kesesatan, kejahilan, dan kelewat batasnya.
Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain: Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada). (At-Taubah:124-125) Adapun firman Allah ﷻ: mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Al-Furqan: 73) Yaitu berbeda dengan orang kafir yang apabila mendengar ayat-ayat Allah, maka dirinya tidak terpengaruh, bahkan tetap dalam keadaannya yang kafir, seakan-akan tidak mendengarnya bagaikan orang yang tuli dan buta.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka tidak menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Al-Furqan: 73) Maksudnya, mereka tidak mendengarkannya, tidak mau melihatnya, dan tidak mau mengerti akan sesuatu pun darinya. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa betapa banyaknya lelaki yang membaca ayat-ayat Allah, sedangkan mereka menghadapinya seperti orang-orang yang tuli dan bisu. Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Al-Furqan: 73) Yakni mereka tidak tuli terhadap perkara yang hak dan tidak buta terhadapnya; merekademi Allah adalah kaum yang memikirkan perkara hak dan beroleh manfaat dari apa yang mereka dengar dari Kitab-Nya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hamran, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Asy-Sya'bi tentang seorang lelaki yang melihat suatu kaum sedang melakukan sujud, tetapi dia tidak mendengar ayat yang menyebabkan mereka melakukan sujud. Bolehkah ia ikut sujud bersama mereka? Asy-Sya'bi membacakan ayat ini kepadanya.
Dengan kata lain, yang dimaksudkan oleh Asy-Sya'bi ialah lelaki itu tidak boleh ikut sujud bersama mereka karena dia tidak mendengar apa yang menyebabkan mereka sujud. Tidaklah layak bagi seorang mukmin menjadi seorang yang membebek, bahkan dia harus mengetahui apa yang dilakukannya dan melakukan perbuatannya dengan penuh keyakinan dan keterangan (alasan) yang jelas. Firman Allah ﷻ: Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74) Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah agar dikeluarkan dari sulbi mereka keturunan yang taat kepada Allah dan menyembahNya semata, tanpa mempersekutukan-Nya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka ingin memperoleh keturunan yang selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah sehingga hati mereka menjadi sejuk melihat keturunannya dalam keadaan demikian, baik di dunia maupun di akhirat. Ikrimah mengatakan, mereka tidak bermaksud agar beroleh keturunan yang tampan, tidak pula yang cantik, tetapi mereka menginginkan keturunan yang taat. Al-Hasan Al-Basri pernah ditanya tentang makna ayat ini.
Ia menjawab, "Makna yang dimaksud ialah bila Allah memperlihatkan kepada seorang hamba yang muslim istri, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah. Demi Allah, tiada sesuatu pun yang lebih menyejukkan hati seorang muslim daripada bila ia melihat anak, cucu, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah ﷻ" Ibnu Juraij telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74) Yakni orang-orang yang menyembah-Mu dengan baik dan tidak menjerumuskan kami ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka memohon kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada istri-istri mereka dan keturunan mereka untuk memeluk agama Islam. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Jubair ibnu Nafir, dari ayahnya yang mengatakan, "Pada suatu hari kami duduk di majelis Al-Miqdad ibnul Aswad.
Kemudian lewatlah seorang lelaki yang mengatakan kepadanya, 'Beruntunglah kedua matanya yang telah melihat Rasulullah ﷺ Seandainya saja kami dapat melihat seperti apa yang telah dilihat matanya dan menyaksikan apa yang telah disaksikannya.' Maka Al-Miqdad marah sehingga membuat diriku terheran-heran, sebab lelaki tersebut tidak mengucapkan kata-kata kecuali yang baik-baik. Kemudian Al-Miqdad berpaling ke arah lelaki itu seraya berkata, 'Apakah gerangan yang membuat lelaki itu mengharapkan hal yang digaibkan oleh Allah darinya? Dia tidak mengetahui seandainya ditakdirkan dia menyaksikan masa itu (masa Nabi ﷺ), apa yang bakal dilakukannya.
Demi Allah, sesungguhnya banyak kaum yang semasa dengan Rasulullah ﷺ, tetapi Allah menyeret mereka ke dalam neraka Jahanam karena mereka tidak menyambut seruannya dan tidak pula membenarkannya. Apakah kalian tidak memuji kepada Allah karena Dia telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa pun kecuali hanya Tuhan kalian seraya percaya kepada apa yang disampaikan kepada kalian oleh nabi kalian; sesungguhnya kalian telah ditolong dari musibah oleh selain kalian.
Allah mengutusNabi-Nya di masa yang paling buruk yang pernah dialami oleh seseorang nabi, yaitu di masa Jahiliah. Orang-orang di masa itu tidak melihat adanya suatu agama yang lebih utama daripada agama yang menganjurkan menyembah berhala. Lalu datanglah Nabi dengan membawa Al-Qur'an yang membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang batil, dan membedakan (hak) antara orang tua dan anak. Seorang lelaki yang telah dibukakan hatinya untuk beriman pasti akan yakin terhadap anaknya, orang tuanya, dan saudaranya yang masih kafir, bahwa jika mati mereka pasti masuk neraka.
Dan pasti tidak akan senang hatinya bila mengetahui bahwa orang yang dikasihinya dimasukkan ke dalam neraka." Hal inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah ﷻ: Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74) Sanad asar ini sahih, tetapi para ahli sunan tidak ada yang mengetengahkannya. Firman Allah ﷻ: dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74) Ibnu Abbas, Al-Hasan As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa yang dimaksud ialah para pemimpin yang mengikuti kami dalam kebaikan.
Selain mereka mengatakan, yang dimaksud ialah para pemberi petunjuk yang mendapat petunjuk dan para penyeru kebaikan; mereka menginginkan agar ibadah mereka berhubungan dengan ibadah generasi penerus mereka, yaitu anak cucu mereka. Mereka juga menginginkan agar hidayah yang telah mereka peroleh menurun kepada selain mereka dengan membawa manfaat, yang demikian itu lebih banyak pahalanya dan lebih baik akibatnya.
Karena itulah disebutkan di dalam Sahih Muslim melalui hadis Abu Hurairah r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu anak saleh yang mendoakan (orang tua)nya, atau ilmu yang bermanfaat sesudah dia tiada, atau sedekah jariyah."
Dan sifat 'ib'durrahm'n berikutnya adalah orang-orang yang apabila diberi peringatan oleh Allah atau nabi-Nya dengan ayat-ayat Tuhan mere-ka, mereka tidak bersikap sebagai orang-orang yang tuli dan buta, tapi mereka mendengar peringatan tersebut dengan penuh perhatian dan sikap yang penuh kepedulian. 74. Dan sifat 'ib'durrahm'n berikutnya adalah orang-orang yang berkata yakni memanjatkan doa, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami yang menjadi pendamping kami dalam melaksanakan kehidupan ini dan anugerahkanlah juga kepada keturunan kami yang akan melanjutkan kehidupan diri kami sebagai penyenang hati kami, karena perbuatan mulia mereka, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin dan panutan bagi orang-orang lain yang bertakwa. '.
Kedelapan: Pada ayat ini, Allah menerangkan sifat para hamba-Nya, yaitu mereka dapat menanggapi peringatan yang diberikan Allah bila mereka mendengar peringatan itu. Hati mereka selalu terbuka untuk menerima nasihat dan pelajaran, pikiran mereka pun selalu merenungkan ayat-ayat Allah untuk dipahami dan diamalkan, sehingga bertambahlah keimanan dan keyakinan mereka bahwa ajaran-ajaran yang diberikan Allah kepada mereka benar-benar ajaran yang tinggi nilai dan mutunya, ajaran yang benar yang tidak dapat dibantah lagi. Tidaklah mengherankan apabila mereka sangat fanatik kepada ajaran itu, karena mereka sangat meyakini kebaikannya.
Sangat jauh perbedaan antara mereka dengan kaum musyrikin yang juga fanatik kepada sembahan-sembahannya. Kefanatikan mereka adalah fanatik buta karena tidak mau menerima kebenaran walaupun telah jelas dan nyata bahwa akidah yang mereka anut itu salah dan bertentangan dengan akal yang sehat. Bagaimana pun kuat dan jelasnya alasan-alasan yang dikemukakan kepada mereka tentang ketidakbenaran faham yang dianut mereka tidak akan mau menerimanya karena hatinya telah tertutup dan matanya telah buta untuk memikirkan mana yang benar dan mana yang salah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
‘Ibadur Rahman
Untuk meresapkan ayat-ayat ‘Ibadur Rahman ini ke dalam jiwa, bacalah dengan penuh khusyu' ayat yang sebelumnya, yang telah ditafsirkan di atas tadi."Dialah, Tuhan, yang telah mempergantikan di antara malam dengan siang." Apabila hal itu diperhatikan dan direnungkan, timbullah ingatan akan kebesaran Ilahi (zikir) dan akan timbullah rasa syukur.
Pergantian siang dengan malam, pertemuan hari dengan bulan dan bulan dengan tahun. Matahari terbit dan matahari terbenam, memperlihatkan pula putaran roda nasib dalam dunia fana ini. Kadang-kadang ada bintang naik dan kadang-kadang ada bintang jatuh. Usia manusia laksana terbitnya bulan, sejak bulan sabit sampai bulan pemama dan sampai susut bulan. Banyak yang kita dapat baca dalam pergantian malam dengan siang itu. Ada bangsa jatuh, ada bangsa naik dan kemudian tiba giliran bagi yang jatuh buat bangkit kembali, semuanya berlaku dalam siang dan dalam malam. Dengan pergantian malam dengan siang itulah kita mengumpulkan sejarah dalam ingatan kita.
Tak ada pergantian malam dengan siang, niscaya tak ada apa yang dinamai sejarah. Bila menilik pergantian di antara malam dengan siang, akan timbullah ingatan atas kekuasaan Tuhan (zikir). Tidak ada artinya dan nilainya pergantian malam dengan siang itu bagi orang yang tidak menyediakan jiwanya buat mengenAl Tuhan dan mensyukuri nikmatNya.
Apabila zikir dan syukur telah tumbuh dalam hati, mulailah terasa bahwa kehidupan makhluk seluruhnya, termasuk kehidupan kita sendiri, tidaklah pemah terlepas daripada kasih-sayang dan kemurahan Tuhan. Ke mana saja pun mata memandang. Rahman Ilahi akan jelas nampak. Rahman Ilahi meliputi segala. Terasalah kecil diri di hadapan kebesaranNya, dan bersedialah kita dengan segala kerelaan hati buat menjadi hamba dari Tuhan Pemurah itu. Orang-orang yang insaf itulah ‘Ibadur Rahman.
Keinsafan siapa diri di hadapan Kemurahan Tuhan menimbulkan kesukarelaan mengabdi dan berbakti. Dasarnya ialah Zikr dan Syukr membentuk peri-badi sehingga tumbulah “tokoh-tokoh" ‘Ibadur Rahman itu.
Adalah di dalam ayat-ayat akhir Surat “al-Furqan" ini Tuhan mewahyukan kepada Rasul tentang sifat-sifat, karakter, sikap hidup dan pandangan hidup dari ‘Ibadur Rahman.
Pertama sekali ialah sebagai yang dijelaskan pada ayat 63: Orang yang berhak disebut ‘Ibadur Rahman (Hamba-hamba daripada Tuhan Yang Maha Murah), ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi Allah dengan sikap sopan-santun, lemah-lembut, tidak sombong dan tidak pongah. Sikapnya tenang.
Bagaimana dia akan menyangkat muka dengan sombong, padahal alam di kelilingnya menjadi saksi atasnya bahwa dia mesti menundukkan diri. Dia adalah laksana padi yang telah berisi, sebab itu dia tunduk. Dia tunduk kepada Tuhan karena insaf akan kebesaran Tuhan dan dia rendah hati terhadap sesamanya manusia, karena dia pun insaf bahwa dia tidak akan sanggup hidup sendiri, di dalam dunia ini. Dan bila dia berhadapan, bertegur sapa dengan orang yang bodoh dan dangkal fikiran, sehingga kebodohannya banyaklah katanya yang tidak keluar daripada cara berfikir yang teratur, tidaklah dia lekas marah, tetapi disambutnya dengan baik dan diselenggarakannya. Pertanyaan dijawabnya dengan memuaskan, yang salah dituntunnya sehingga kembali ke jalan yang benar. Orang semacam itu pandai benar menahan hati.
Dalam ayat 64 diterangkan lagi sifat-sifatnya yang lain. Yaitu kesukaannya ialah bergadang, tidak banyak tidur di waktu malam, karena dia hendak melakukan sujud dan berdiri, tegasnya sembahyang mengingat Tuhan dan membuat hubungan kontak dengan Tuhan. Laksana jiwanya itu sebagai suatu dinamo yang selalu diisi dengan kekuatan yang baru, hampir setiap malam.
Pada sembahyang malam itulah sumber kekuatannya. Dia mengenal Tuhan demi melihat bekas RahmanNya, dan sebab itu dia selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Lantaran itu pula maka jiwanya yang tadinya tidak berdaya (la haulAl dan tidak berupaya (la quwwatAl, dengan sebab Tahajjud (sembahyang malam), dia berdaya kembali dan dia pun berupaya.
Ayat 65
Dia pun berdoa (ayat 65) agar kiranya terlepas daripada azab siksa neraka jahannam, karena azab neraka jahannam adalah membawa kepiluan jiwa. Permohonan seorang Mu'min agar terlepas daripada a2ab siksa neraka, adalah gejala daripada kerendahan hati tadi, tersunyi daripada kesombongan. Dia insaf bahwa dia manusia yang tidak suci daripada lengah dan lalai, selalu dipengaruhi oleh hawanafsu dan diancam oleh perdayaan syaitan. Hanyalah perlindungan diri kepada Ilahi jua yang akan melepaskan seseorang daripada siksaan itu.
Seorang ‘Ibadur Rahman tidaklah merasa bahwa dia telah mengerjakan suruhan Tuhan dengan menghentikan larangannya saja, sudah terjamin bahwa dia akan masuk ke dalam syurga dan terlepas daripada azab neraka. Seorang beriman memandang dosanya, betapa kecil sekalipun, adalah laksana orang duduk di bawah naungan sebuah bukit, yang merasa seakan-akan bukit itu selalu akan menimpa dirinya.
Kemudian pada ayat 67 diterangkan lagi sikap hidup sehari-hari seorang ‘Ibadur Rahman itu, yaitu apabila dia menafkahkan hartabendanya tidaklah dia ceroboh, royai dan berlebih daripada ukuran yang mesti, tetapi tidak pula sebaliknya, yaitu bakhil (kikir), melainkan dia berlaku sama tengah. Tidak dia ceroboh royal sehingga hartabendanya habis tidak menentu, karena pertimbangan fikiran yang kurang matang, tidak memikirkan hari depan. Dan tidak pula dia bakhil, karena bakhil pun adalah satu penyakit. Dia berusaha mencari hartabenda ialah pemagar maruah, penjaga kehormatan diri. Hartabenda dicari ialah buat dipergunakan sebagaimana mestinya, bukan mencari harta yang harus diperbudak oleh harta itu sendiri. Maka dua sikap itu, royal dan bakhil, terhadap hartabenda adalah alamat jiwa yang tidak “stabil". Keroyalan dan berbelanja lebih daripada keperluan, menjadi alamat bahwa jika orang ini ditimpa bahaya karena kehabisan harta itu kelak, dia akan dapat menjaga keseimbangan dirinya lagi, Dan orang yang bakhil menjadi putus hubungannya dengan masyarakat, karena dia salah pilih di dalam meletakkan cinta. Kalau di waktu yang penting hartabenda ditahan keluarnya, karena bakhil, maka suatu waktu kelak hartabenda itu akan terpaksa dikeluarkan juga mau ataupun tidak mau. Seorang yang bakhil ditimpa sakit keras, doktor menasihatkan supaya dia berobat, supaya dia tetirah (istirahat) ke tempat yang berhawa sejuk berobat meminta belanja banyak. Kalau dia tidak berobat, dia akan mati. Karena takui akan mati, hartabenda itu dikeluarkan pengobat diri, padahal di waktu sedang sihat dia tidak merasai nikmat harta itu.
Timbullah hidup yang “Qawaaman", yang sama tengah di antara royal dan bakhil, tidak lain sebabnya ialah karena kecerdasan fikiran yang telah terlatih. Memandang bahwa hartabenda semata-mata pemberian Tuhan yang harus dirasai nikmat pemakaiannya, dan dijaga pula jangan sampai dipergunakan untuk yang tidak berfaedah.
Hartabenda amat perlu. Kita hendaklah kaya supaya dapat membayar Zakat dan Naik Haji. Sedang zakat dan haji adalah dua di antara 5 tiang (rukun) dari Islam.
Ayat 64
Perjuangan agama, jihad, meminta pengurbanan harta dan jiwa. Dan bila membaca urutan ayat bangun bergadang tengah malam (ayat 64), dan takut akan siksa neraka jahannam (ayat 65 dan 66) disambungkan lagi dengan ayat melarang royal dan melarang bakhil, nampaklah bahwa Hamba Allah Yang Pemurah itu mempertalikan keteguhan batinnya dengan sembahyang tengah malam, dengan usaha mencari hartabenda untuk dinafkahkan. Satu dengan lainnya tiada terpisah.
Kemudian itu datanglah ayat 68, menyatakan bahwa seorang Hamba Tuhan Pemurah itu tidaklah menyeru atau berbakti pula kepada Tuhan lain, selain Allah. Dalam ayat itu bertemu tiga hal yang amat dijauhi oleh Hamba Allah yang sejati itu. Pertama tidak memperserikatkan Tuhan dengan yang lain, kedua tidak membuwuh akan suatu nyawa yang diharamkan Allah, kecuali menurut hak-hak yang tertentu, dan ketiga tidak berbuat zina.
Sebagai urut-urutan ayat-ayat yang tersebut sebelumnya, kehidupan seorang Muslim itu adalah tali berjalin tiga. Pertama kepercayaan akan keesaan Tuhan, menjadi Ummat Tauhid yang sejati. Kalimat Tauhid membentuk satu pandangan yang luas, yaitu bahwa seluruh makhluk Allah ini, terutama sesama manusia adalah bersama diberi hak hidup oleh Tuhan di dalam dunia. Kita tidak berhak mencabut nyawa sesama manusia, kita tidak berhak membunuh. Baik membunuh orang lain ataupun membunuh diri sendiri. Karena membunuh artinya ialah merampas hak hidup satu nyawa.
Maka dirumuskanlah oleh ahli-ahli penyelidik agama tentang maksud yang sebenarnya dari satu masyarakat Islam. Hukum Islam berdiri ialah guna memelihara hartabenda, nyawa dan masyarakat. Seorang hanya boleh dibunuh atas keputusan Hakim, atas suatu kesalahan yang patut dibayarnya dengan nyawanya. Itulah yang disebut Hukum Qishash. Dan karena bertemu kegagalan di dalam hidup, seseorang tidak boleh membunuh dirinya. Di dalam Hadis-hadis Nabi diberikan penjelasan bahwa seorang yang mati karena mem-bunuh dirinya, tidak boleh diselenggarakan jenazahnya menurut ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Islam.
Seorang Hamba Allah sejati pun tidak melakukan zina. Zina adalah perhubungan setubuh yang di luar nikah, atau yang tidak sah nikah. Karena maksud kedatangan agama adalah guna mengatur keturunan. Kelahiran ke dunia adalah menurut pendaftaran yang sah. Jelas hendaknya bahwa si anu adalah anak si fulan. Perhubungan kelamin laki-laki dengan perempuan adalah termasuk keperluan hidup dan hajatnya. Agama mengatur hubungan kelamin itu dengan nikah-kawin dan ditentukan pula perkawinan yang terlarang, yaitu dengan yang disebut mahram, sebagai tersebut di Surat 4 ali imran ayat 23-24.
Maka di dalam ayat 68 dan 69 dijelaskanlah bahwasanya orang yang memperserikatkan Tuhan dengan yang lain, atau menyeru pula akan Tuhan selain Allah dan membunuh sesama manusia termasuk diri sendiri dan berzina, adalah orang-orang itu akan bertemu dengan hukuman. AL-Qur'an menentukan hukuman bagi si pembunuh sesama manusia, jiwa bayar dengan jiwa. Al-Qur'an pun menegaskan hukum bagi pezina, karena orang berzina adalah mengacau-baiaukan masyarakat. Orang yang kedapatan berzina akan dihukum, sebagaimana dahulu telah dijelaskan perincian hukuman ini dalam Surat an-Nur. Surat al-Furqan diturunkan di Makkah. Dosa zina diterangkan sebagai dosa jiwa. Setelah di Madinah berdiri masyarakat Islam, bagi zina diadakan hukuman badan. Setelah mereka menerima hukumannya yang setimpal di dunia ini, setelah mereka mati akan mendapat siksa berlipat-ganda lagi dan ditimpa pula oleh kehinaan.
Ayat 70 dan 71 menjelaskan bahwa pintu taubat senantiasa terbuka. Betapa pun kerasnya Hukum Tuhan, namun pintu taubat selalu dibukakan. Di samping kekerasan HukumNya, Tuhan pun adalah mengampun dan pengasih.
TAUBAT adalah kesadaran diri atas kesalahan yang pernah dibuat. Dalam sudut hati sanubari manusia tersimpanlah suatu perasaan yang murni, kesadaran bahwa yang salah tetaplah salah. Manusia berjuang dengan hawa-nafsunya sendiri untuk menegakkan kebenaran. Dia harus berjuang dengan hawanafsu itu. Bertambah keras cita menegakkan yang benar bertambah keras pula rayuan nafsu buat melanggar suara kebenaran itu. Tetapi selalulah timbul sesal apabila telah terlanjur menuruti hawanafsu. Hati sanubari senantiasa meratap, memekik, menjerit ingin lepas dari belenggu hawanafsu. Pada saat yang demikian perjuangan batin itu maha hebat. Manusia jijik dengan kesalahannya sendiri. Di saat yang demikian berkehendaklah kepada suatu IRADAH, kemauan yang keras sebagai waja. Di hadapannya terbuka satu pintu, yaitu pintu taubat. Tuhan memberi kesempatan, memanggil, supaya dia lekas keluar dari kesulitan itu. Kekuatan iradahnya menyebabkan dia taubat. Arti taubat ialah kembali kepada jalan yang benar.
Dilepaskan diri dari belenggu hawanafsu itu dan dengan kemauan yang keras, dia masuk ke dalam pintu taubat itu dan dia tidak menolehkan mukanya lagi kepada jalan raya kesalahan yang selama ini telah ditempuhnya. Dia sekarang benar-benar merasai kebebasan jiwa karena lepas dari belenggu. Dia sekarang menempuh hidup yang baru. Maka di dalam ayat 70 itu dijelaskan bahwa taubat yang berjaya ialah taubat yang dituruti oleh amalan yang shalih. Sebab yang taubat itu ialah hati sanubari, bukan semata-mata taubat di mulut. Taubat ialah keinsafan, bukan permainan. Maka akibat atau konsekwensi dari taubat ialah “mengamalkan amal yang shalih", artinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang baik.
Pertukaran haluan hidup daripada kejahatan kepada menuruti suara batin yang mumi adalah kemenangan batin yang tiada taranya. Selama diri bergelimang dalam dosa, selama itu pula batin tertekan dan hidup jadi gelisah. Kadang-kadang meremuk-redamkan jiwa sendiri.
Dan bukan sedikit telah terjadi, bahwasanya dosa yang mengyanggu jiwa, menyebabkan jiwa menjadi sakit, dan sakit jiwa mempengaruhi pula kepada jasmani. Itulah neraka dalam hidup. Itulah yang disebut di ujung ayat 68: “Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu akan berjumpalah dia dengan dosa." Dan itulah neraka dalam hidup.
Maka dapatlah difahami satu ceritera yang dahulu pernah kita terangkan panjang lebar dalam Surat an-Nur, bahwasanya seorang yang terperosok berbuat zina pernah datang sendiri kepada Rasulullah s. a.w. mengakui perbuatannya dan minta dihukum. Meskipun dia tahu bahwa hukum zina adalah rajam (ditimpuk dengan batu sampai mati), jiwanya merasa puas menerima hukuman itu. Apalah artinya siksa badan, dibandingkan dengan kepuasan jiwa? Karena dosa rasa tertebus?
Maka taubat kepada Allah hendaklah dituruti langsung oleh amal, oleh kerja dan usaha, Sisa umur digunakan untuk beramal, agar sakit derita jiwa karena tekanan dosa yang telah lalu dapat diobati atau dilupakan Di situlah terdapat isi-mengisi di antara batin dengan anggota. Batin bertambah insaf dan sadar, lantaran itu atnal pun bertambah banyak. Bertambah banyaknya amal menambah kepuasan jiwa.
“Bagi mereka nikmat Allah, karena hasil usaha mereka sendiri."
Maka orang-orang yang demikian' beransurlah merasai nikmat hidup baru.
“Akan diganti Allah amal-amal yang buruk selama ini dengan berbagai ragam kebajikan."
Kadang-kadang pun terdapatlah orang yang dahulunya durjana, seakan-akan kebenaran tidak akan masuk ke dalam hatinya, lalu dia bertaubat. Setelah dia taubat, dia mendapat kemajuan besar dalam perkembangan jiwa iman. Maka berkatalah setengah ahli Tashawuf, bahwasanya orang yang menyesali din karena pernah berdosa, kadang-kadang lebih suci hati dan lebih murni amalnya daripada orang yang berbangga karena merasa diri tidak pernah berdosa.
Diulang Tuhan sekali lagi dalam ayat 71, bahwasanya orang yang bertaubat disertai amalan shalih. Tuhan memberikan taubat untuknya sebenar-benarnya taubat.
Setelah itu datanglah ayat 72, sebagai lanjutan penegasan dari sifat-sifat ‘Ibadur Rahman itu. Yaitu orang yang tidak suka memberikan kesaksian palsu. Atau mengarang-ngarangkan ceritera dusta untuk menjahannamkan orang lain. Dan mereka itu, apabila berjalan di hadapan orang yang sedang bercakap mengkosong, ngobrol yang tidak tentu ujung pangkal, perkataan-perkataan yang tidak bertanggungjawab, dia pun berialu saja dari tempat itu dengan baik. Dia menjaga agar dirinya jangan masuk terikat ke dalam suasana yang tidak berfaedah. Usia manusia adalah terlalu singkat untuk dibuang-buang bagi pekerjaan yang tidak berfaedah. Dia keluar dari tempat itu dengan sikap yang mulia dan tahu harga diri, sehingga sikapnya yang demikian meninggalkan kesan yang baik mendidik orang-orang yang bercakap kosong itu.
“Laghwi" dalam bahasa Arab ialah omong kosong, cakap tak tentu ujung pangkal, sehingga menjatuhkan martabat budi pekerti yang melakukannya. Inilah yang disebut oleh orang Deli “membual", oleh orang Jakarta “ngobrol" dan oleh orang Padang “ma-hota", atau oleh daerah lain disebut juga “memburas".
Pertama melakukan kesaksian dusta, kedua obrolan yang tidak tentu ujung pangkal, amatlah membahayakan dan menjatuhkan mutu masyarakat. Karena kesaksian dusta di muka Hakim, seorang jujur tak bersalah bisa teraniaya, terhukum dalam hal yang bukan salahnya. Dan bisa pula membebaskan orang yang memang jahat dari ancaman hukuman. Kesaksian dusta di muka hakim adalah termasuk dosa besar yang payah dimaafkan.
Kata-kata yang “laghivi" cakap kosong, omong kosong, ngobrol yang tidak tentu ujung pangkal, tidaklah layak menjadi perbuatan daripada ‘Ibadur Rahman. Seorang hamba Tuhan Pemurah mempunyai disiplin diri yang teguh. Lebih baik berdiam diri daripada bercakap yang tidak ada harganya. Kalau hendak bercakap juga, isilah lidah dengan zikir, menyebut dan mengingat nama Allah.
Selanjutnya dalam ayat 73 diterangkan lagi sifat ‘Ibadur Rahman itu, ialah apabila mereka mendengar orang menyebut ayat-ayat Tuhan, tidaklah mereka bersikap acuh tak acuh seakan-akan tuli ataupun buta.
Sebenarnya kata kebenaran adalah ayat dari Tuhan. Apabila orang menyebut kebenaran, meskipun dia tidak hafal ayat al-Qur'annya ataupun Hadisnya, maka seorang Hamba dari Tuhan Pemurah akan mendengarkannya dengan penuh minat; tidak dia akan menulikan telinganya dan tidak dia akan membutakan matanya. Seorang yang beriman mempertimbangkan nilai kata yang benar dan mentaatinya, sebab Kebenaran adalah suara Tuhan. Apatah lagi kalau bunyi ayat dari al-Qur'an telah didengar. Hidupnya telah ditentukan buat menjunjung tinggi Kalimat Ilahi. Betapa dia akan menulikan telinga dan membutakan matanya?
Cahaya kebenaran bukan saja memasuki jendela hatinya. Dia belum merasa cukup kalau sekiranya ahli rumahnya, anaknya dan isterinya belum merasai kehidupan yang demikian pula Oleh sebab itu tersebutlah pada ayat 74 bahwa ‘Ibadur Rahman itu senantiasa bermohon kepada Tuhannya agar isteri-isteri mereka dan anak-anak mereka dijadikan buah hati permainan mata, obat jerih pelerai demam, menghilangkan segala luka dalam jiwa, penawar segala kekecewaan hati dalam hidup. Betapa pun shalih dan hidup beragama bagi seseorang ayah, belumlah dia akan merasa senang menutup mata kalau kehidupan anaknya tidak menuruti lembaga yang dituangkannya. Seorang suami pun demikian pula. Betapa pun condong hati seorang suami mendirikan kebajikan, kalau tidak ada sambutan dari isteri, hati suami pun akan luka juga. Keseimbangan kemudi dalam rumahtangga adalah kesatuan haluan dan tujuan. Hidup Muslim adalah hidup Jamaah, bukan hidup yang nafsi-nafsi.
Di dalam Hadis Rasulullah s.a.w. ada dikatakan:
“Dunia ini adalah perhiasan hidup, dan sebaik-baik perhiasan dunia itu ialah isteri yang shalih."
Berjuta milyar uang pun, berumah, bergedung indah, bermobil kendaraan model tahun terakhir, segala yang dikehendaki dapat saja karena kekayaan, semuanya itu tidak ada artinya kalau isteri tidak setia. Kalau dalam rumahtangga si suami hendak ke hilir dan si isteri hendak ke hulu. Akhirnya akan pecah juga rumahtangga yang demikian, atau menjadi neraka kehidupan sampai salah seorang menutup mata.
Apatah lagi anak. Semua kita yang beranak berketurunan merasai sendiri bahwa inti kekayaan ialah putera-putera yang berbakti, putera-putera yang berhasil dalam hidupnya. Putera berbakti adalah obat hati di waktu tenaga telah lemah.
Apakah hasil itu? Dia berilmu dan dia beriman, dia beragama dan dia pun dapat menempuh hidup dalam segala kesulitannya, dan setelah dia besar dewasa dapat tegak sendiri dalam rumahtangganya Inilah anak yang akan menyambung keturunan. Dan inilah bahagia yang tidak habis-habisnya. Si ayah akan tenang menutup mata jika ajal sampai.
Sebagai penutup dari doa itu, dia memohon lagi kepada Allah agar dia dijadikan Imam daripada orang-orang yang bertakwa. Setelah berdoa kepada Allah agar isteri dan anak menjadi buah hati, permainan mata karena takwa kepada Allah, maka ayah atau suami sebagai penangungjawab menuntun isteri dan anak menempuh jalan itu, dia mendoakan dirinya sendiri agar menjadi Imam, berjalan di muka sekali menuntun mereka menuju Jalan Allah.
Doa seorang Mu'min tiadalah boleh tanggung-tanggung. Dalam rumah-tangga hendaklah menjadi Imam, menjadi ikutan. Alangkah janggalnya kalau seorang suami atau seorang ayah menganjurkan anak dan isteri menjadi orang-orang yang berbakti kepada Tuhan, kalau dia sendiri tidak dapat dijadikan ikutan?
Itulah dia — “‘Ibadur Rahman" -orang-orang yang' telah menyediakan jiwa raganya menjadi Hamba Allah dan bangga dengan perhambaan itu.
Mukanya selalu tenang dan sikapnya lemah-lembut. Mudah dalam pergaulan, tidak bosan meladeni orang yang bodoh. Bangun beribadat tengah malam, mendekatkan jiwanya dengan Tuhan. Menjauhi kejahatan karena insaf akan azab api neraka.
Tengah malam dia bangun bermunajat, bertahajjud dan memohon ampun kepada Ilahi, terdengar azan Subuh dia pun segera bersembahyang Subuh, kalau dapat hendaklah berjamaah. Tidak dia menyangkat diri karena barangkali “kelasnya" dalam masyarakat duniawi terpandang tinggi. Dia menyebarkan senyum dan sikap sopan kepada sesama manusia. Selesai sembahyang, dia pun berjalan di atas bumi Allah mencari rezeki yang telah disediakan Tuhan karena diusahakan. Dan apabila rezeki itu telah dapat, dinafkahkannya dengan baik. Tidak dia royal dan ceroboh dan tidak pula dia bakhil dan kikir. Dan bukanlah mereka, karena sangat tekunnya sembahyang malam, tak kuat lagi berusaha siang harinya.
Teguh tauhidnya sehingga tidak ada tempatnya takut dan bertawakkal, kecuali kepada Allah, tidak dia memuja kepada Tuhan yang lain, karena memang tidak ada Tuhan yang lain. Hanya Allah. Tidak membunuh bahkan tidak pemah berniat jahat kepada sesamanya manusia, suci bersih kelaminnya daripada perzinaan, dan tidak naik saksi dusta, tidak suka mencampuri omong kosong dan dia pun tekun mendengar kebenaran. Bukan dirinya dan badannya sendiri saja yang difikirkannya, bahkan isteri dan anak-anaknya pun, diberinya contoh teladan sebagai Muslim yang baik.
Ayat 75
“Mereka itulah yang akan diberi ganjaran tempat yang mulia karena sabarnya, dan dia akan disambut di tempat itu dengan penuh kehormatan dan salam bahagia." (ayat 75).
Cobalah perhatikan inti ayat 75 itu. Mereka akan diberi ganjaran tempat yang mulia, bilik atau kamar yang indah permai, ruangan yang istimewa dalam syurga karena kesabaran mereka.
Mengapa tersebut kesabaran? Sebab masing-masing orang yang berjalan menegakkan Kebenaran, menyusun kekuatan diri dan melatih batin menjadi ‘Ibadur Rahman, Hamba Allah Tuhan Pemurah, akan merasai bahwasanya menyusun program apa yang harus ditempuh adalah mudah, tetapi menjalankannya amatlah sukar. Setiap segi tanda hidup ini seorang yang beriman itu meminta percobaan, meminta pengorbanan dan kadang-kadang meminta aliran darah dan airmata.
Kesabaran berjuang menegakkan keperibadian sebagai Muslim, sebagai hamba Allah yang sadar, menyebabkan kebahagiaan jiwa, karena mendapat syurga jannatun na'im, tempat tinggal yang tenteram, kediaman yang senang dan tenang; disambut oleh Malaikat-malaikat Tuhan dengan ucapan Tahiyyat (selamat) dan Salam bahagia.
Akhimya, sebagai penutup Surat Al-Furqan ini, Tuhan dengan perantaraan RasulNya menyuruh sampaikan kepada orang-orang yang selama ini lalai dan lengah, yang belum juga mendapat peyangan hidup, belum juga melatih diri,
“Katakanlah olehmu. Tuhanku tidak akan memperhatikan kamu kalau tidaklah karena doa atau ibadat kamu. Kamu telah mendustakan. Oleh sebab itu maka siksaan Tuhan atas dirimu adalah hal yang pasti."
Tuhan telah menunjukkan jalan yang harus ditempuh oleh orang yang telah insaf akan kurnia, Rahman dan Rahim Ilahi. Orang-orang yang dapat menuruti garis yang telah ditentukan Tuhan itu patutlah merasa bahagia karena dia telah diberi peyangan hidup, diberi penjelasan ke mana dia harus menuju. Orang lain yang masih kafir dan ragu ada juga mempunyai keinginan mendapat hidup bahagia, mendapat syurga yang dijanjikan. Tetapi dalam penutup Surat ini sudah diberikan kata tegas, bahwa selama kamu masih menyembah kepada yang selain Allah, selama kamu masih mempersekutukannya dengan yang lain, selama kamu masih mendustakan seruan-seruan yang dibawa oleh Utusan Allah janganlah kamu harap nasibmu akan berubah. Jalan yang salah itu pasti berujungkan azab dan siksa.
Pasti kamu menderita kesengsaraan jiwa di dunia dan neraka jahannam di akhirat.
Pintu taubat masfh terbuka: Masuklah ke dalam pintu itu kalau kamu mau. Tetapi kalau kamu masih menuruti jalan yang salah, azab siksa adalah pasti. (Lizaman). Yang harus menentukan bukan orang lain, tetapi engkau sendiri.
Maka bagi orang yang telah mendalam perasaan cintanya kepada Tuhan dirasainyalah satu kebanggaan jiwa yang amat tinggi apabila dia membaca ayat-ayat ‘ibadur Rahman dalam Surat al-Furqan ini, atau dalam Surat yang lain yang mengandung panggilan Tuhan kepada hambaNya: “Ya Tbadi", wahai HambaKu. Pernahlah seorang hamba Allah yang saking sangat terharunya membaca “Ya ‘Ibadi", atau ‘Ibadur Rahman, keluar ilham syairnya demikian bunyinya:
Satu hal yang amat menambah banggaku dan megahku, sehingga serasa berpijak kakiku di atas Bintang Timur.
Ialah Engkau masukkan daku dalam daftar “Hai HambaKu".
Dan Engkau telah jadikan Ahmad menjadi Nabiku.
Akan terasa pulalah oleh kita nikmat menjadi Hamba Tuhan apabila syarat-syarat dan latihan hidup yang telah digariskan dalam ayat-ayat ‘iBADUR RAHMAN dapat kita kerjakan, setapak demi setapak, selangkah demi selangkah. Itulah yang menentukan nilai peribadi kita sebagai Muslim.
Ayat ‘lbadur Rahman itulah cita (ideAl seorang Mu'min!
Selesai Penafsiran Surat al-Furqan
Pada pagi hari Jum'at
9 Rabi'u) Akhir 1383
30 Agustus 1963