Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّوۡلَآ
mengapa tidak
إِذۡ
tatkala
سَمِعۡتُمُوهُ
kamu mendengarnya
ظَنَّ
menyangka
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
orang-orang mu'min
وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ
dan orang-orang mu'minat
بِأَنفُسِهِمۡ
terhadap diri mereka
خَيۡرٗا
baik
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
هَٰذَآ
ini
إِفۡكٞ
berita bohong
مُّبِينٞ
yang nyata
لَّوۡلَآ
mengapa tidak
إِذۡ
tatkala
سَمِعۡتُمُوهُ
kamu mendengarnya
ظَنَّ
menyangka
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
orang-orang mu'min
وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ
dan orang-orang mu'minat
بِأَنفُسِهِمۡ
terhadap diri mereka
خَيۡرٗا
baik
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
هَٰذَآ
ini
إِفۡكٞ
berita bohong
مُّبِينٞ
yang nyata
Terjemahan
Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap kelompok mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu, dan berkata, “Ini adalah (berita) bohong yang nyata?”
Tafsir
(Mengapa tidak, sewaktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang Mukmin dan Mukminat berprasangka terhadap diri mereka sendiri) sebagian dari mereka mempunyai prasangka terhadap sebagian yang lain (dengan sangkaan yang baik, dan mengapa tidak berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata") dan jelas bohongnya. Di dalam ayat ini terkandung ungkapan Iltifat dari orang-orang yang diajak bicara. Maksudnya, mengapa kalian hai golongan orang-orang yang menuduh, mempunyai dugaan seperti itu dan berani mengatakan hal itu?.
Tafsir Surat An-Nur: 12-13
Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan muminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Hal ini merupakan pelajaran dari Allah kepada orang-orang mukmin dalam kisah Aisyah r.a. saat sebagian dari mereka memperbincangkan hal yang buruk dan pergunjingan mereka tentang berita bohong tersebut.
Allah ﷻ berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu (yakni tuduhan yang dilontarkan terhadap diri Siti Aisyah r.a.) orang-orang mukmin dan muminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri. (An-Nur: 12) Yaitu mengapa pada diri mereka sendiri seandainya tuduhan seperti itu dilontarkan terhadap diri mereka. Jika tuduhan tersebut tidak layak dilontarkan terhadap diri mereka, maka terlebih lagi tidak layaknya jika dilontarkan kepada Ummul Muminin; ia lebih bersih dari pada diri mereka. Menurut pendapat lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari dan istrinya.
Seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari ayahnya, dari sebagian orang yang terkemuka dari kalangan Bani Najjar, bahwa Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari ditanya oleh istrinya (yaitu Ummu Ayub), "Hai Abu Ayub, tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah r.a." Abu Ayub menjawab, "Ya, berita tersebut adalah dusta. Apakah engkau berani melakukan hal tersebut (seperti yang dituduhkan oleh mereka), hai Ummu Ayub?" Ummu Ayub menjawab, "Tidak, demi Allah, aku benar-benar tidak akan melakukan hal tersebut." Maka Abu Ayub menjawab, "Aisyah, demi Allah, lebih baik daripada kamu." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan ayat Al-Qur'an yang menyebutkan tentang apa yang telah dituduhkan oleh para penyiar berita bohong terhadap diri Aisyah, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. (An-Nur: 11) Maksudnya, Hassan dan teman-temannya yang mengatakan berita bohong itu.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan muminat tidak berprasangka baik. (An-Nur: 12), hingga akhir ayat. Yakni seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ayub dan istrinya. Muhammad ibnu Umar Al-Waqidi mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Habib, dari Daud ibnul Husain, dari Abu Sufyan, dari Aflah maula Abu Ayyub, bahwa Ummu Ayyub berkata kepada Abu Ayyub, "Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah?" Abu Ayyub menjawab, "Ya, benar, dan itu adalah berita bohong.
Apakah kamu berani melakukan hal itu, hai Ummu Ayyub?" Ummu Ayyub menjawab, "Tidak, demi Allah." Abu Ayyub berkata, "Aisyah, demi Allah, lebih baik daripada kamu." Setelah diturunkan wahyu yang menceritakan tentang para penyiar berita bohong itu, Allah ﷻ berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata. (An-Nur: 12) Yaitu seperti yang dikatakan oleh Abu Ayyub saat berkata kepada istrinya, Ummu Ayyub.
Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya orang yang berprasangka baik itu hanyalah, Ubay ibnu Ka'b. Firman Allah ﷻ: orang-orang mukmin (tiada) berprasangka. (An-Nur: 12), hingga akhir ayat. Artinya, mengapa mereka tidak berprasangka baik, karena sesungguhnya Ummul Muminin adalah orang yang ahli kebaikan dan lebih utama sebagai ahli kebaikan. Hal ini berkaitan dengan hati, yakni batin orang yang bersangkutan. Firman Allah ﷻ: Dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata. (An-Nur: 12) Kemudian lisan mereka mengatakan bahwa berita tersebut adalah dusta dan bohong belaka yang mereka lontarkan terhadap pribadi Siti Aisyah Ummul Muminin.
Karena sesungguhnya kejadian yang sebenarnya sama sekali tidak mengandung hal yang mencurigakan, sebab Siti Aisyah Ummul Muminin datang dengan mengendarai unta Safwan ibnul Mu'attal di waktu tengah hari, sedangkan semua pasukan menyaksikan kedatangan tersebut dan Rasulullah ﷺ ada di antara mereka. Seandainya hal tersebut mengandung kecurigaan, tentulah kedatangan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan, tentu pula kedatangan keduanya tidak mau disaksikan oleh semua orang yang ada dalam pasukan itu. Bahkan dengan segala upaya seandainya mengandung hal yang mencurigakan, tentu kedatangan mereka dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang lain.
Berdasarkan kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa apa yang mereka lontarkan terhadap diri Siti Aisyah berupa tuduhan tidak baik hanyalah bohong belaka dan buat-buatan, serta tuduhan keji dan merupakan transaksi yang merugikan pelakunya. Allah ﷻ berfirman: Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan. (An-Nur:. 13) Yakni untuk membuktikan apa yang mereka katakan dalam tuduhannya itu. empat orang saksi. (An-Nur: 13) untuk mempersaksikan kebenaran dari apa yang mereka tuduhkan. Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (An-Nur: 13) Menurut hukum Allah, mereka adalah orang-orang yang dusta lagi durhaka."
Ketika isu itu merebak, sebagian kaum muslim tidak percaya berita tersebut dan meyakini kesucian 'Aisyah. Sebagian yang lain terdiam, tidak membenarkan dan tidak pula membantah'nya. Di satu sisi ayat ini mengecam mereka yang diam seakan membenarkan isu itu, dan di sisi lain menganjurkan mereka bersikap proaktif dan mengambil langkah positif. Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat ketika mendengar berita bohong itu tidak berbaik sangka terhadap saudara-saudara me-reka yang dicemarkan namanya, padahal orang itu adalah bagian dari diri mereka sendiri, yakni sesama muslim; dan mengapa juga saat kamu mendengar berita bohong itu kamu tidak berkata, 'Ini adalah berita bohong yang nyata. '13. Setelah mengecam umat Islam yang pasif atas berita bohong itu, Allah lalu beralih berbicara tentang penyebar berita bohong itu. Diskursus pada ayat ini tidak diarahkan secara langsung kepada mereka untuk mengisyaratkan betapa besarnya kemurkaan Allah. Mengapa mereka yang menuduh itu tidak datang membawa empat saksi yang bersaksi atas kebenaran tuduhan mereka' Oleh karena mereka tidak membawa saksi-saksi maka mereka itu dalam pandangan Allah, yaitu dalam ketetapan hukum-Nya, khususnya dalam kasus ini, adalah orang-orang yang berdusta.
Ayat ini menerangkan bahwa Allah mencela tindakan orang-orang mukmin yang mendengar berita bohong itu yang seakan-akan mempercayainya. Mengapa mereka tidak menolak fitnahan itu secara spontan? Mengapa mereka tidak mendahulukan baik sangkanya? Iman mereka, semestinya membawa mereka untuk berbaik sangka, dan mencegah mereka berburuk sangka kepada sesama orang mukmin, karena baik atau buruk sesama mukmin, pada hakikatnya adalah juga baik atau buruk juga bagi dia sendiri, sebagaimana firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (al-hujurat/49: 12)
Maksudnya, janganlah orang mukmin mencela sesama orang mukmin, karena orang mukmin itu seperti satu badan.
Rasulullah sendiri mencegah para sahabat melakukan sangkaan yang tidak baik itu ketika beliau menjemput kedatangan Aisyah dengan mempergunakan unta shafw?n bin Muaththal di tengah hari bolong dan disaksikan oleh orang banyak, agar mencegah adanya sangkaan-sangkaan yang tidak sehat. Kalau ada desas-desus yang sifatnya negatif, sebenarnya hal itu adalah luapan prasangka mereka yang disembunyikan dan kebencian yang ditutupi selama ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Propokasi
Kemenangan-kemenangan dan kejayaan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. menegakkan masyarakat Islam di Madinah, .adalah tegak di atas kesetIsan sahabat-sahabatnya dan keberician musuh-musuhnya. Orang besar selalu diuji oleh pujaan dan celaan. Di samping orang-orang sebagai Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khalhab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thaiib yang menyediakan jiwa-raganya dan hartabenda biar sama hilang sama timbul dengan Nabi, ada juga musuh-musuh besar yang dalam memusuhi itu pun mereka “besar" pula. Musuh demikian dihartapi Nabi ketika beliau di Makkah, di antaranya ialah Abu Jahat yang terkenal menentang Nabi terang-terangan secara jantan. Tetapi setelah Nabi s.a.w. pindah ke Madinah, dan masyarakat Islam mulai berdiri, beliau menghadapi musuh yang bukan satria, orang berjiwa kecil yang hanya berani membuat fitnah, menghasut, menggunjing, berbicara di belakang, sedang pada lahinya dia bermulut mania menyatakan setuju. Dan apabila ada jalan buat memasukkan jarum dengki dan bericinya, dimulainyalah memainkan jarum itu, walaupun di balik pembelakangan.
Itulah yang dinamai golongan munafiqin yang dipimpin oleh seorang yang mengaku kawan padahal lawan, yaitu Abdullah bin Ubay. Kalau ada musuh