Ayat
Terjemahan Per Kata
سُورَةٌ
suatu surat
أَنزَلۡنَٰهَا
Kami turunkannya
وَفَرَضۡنَٰهَا
dan Kami wajibkannya
وَأَنزَلۡنَا
dan Kami turunkan
فِيهَآ
didalamnya
ءَايَٰتِ
ayat-ayat
بَيِّنَٰتٖ
nyata/jelas
لَّعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَذَكَّرُونَ
kamu ingat/memperhatikan
سُورَةٌ
suatu surat
أَنزَلۡنَٰهَا
Kami turunkannya
وَفَرَضۡنَٰهَا
dan Kami wajibkannya
وَأَنزَلۡنَا
dan Kami turunkan
فِيهَآ
didalamnya
ءَايَٰتِ
ayat-ayat
بَيِّنَٰتٖ
nyata/jelas
لَّعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَذَكَّرُونَ
kamu ingat/memperhatikan
Terjemahan
(Inilah) surah yang Kami turunkan, Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum)-nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas agar kamu mengambil pelajaran.
Tafsir
An-Nuur (Cahaya)
Ini adalah (suatu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan) dapat dibaca secara Takhfif, yaitu Faradhnaahaa, dapat pula dibaca secara Musyaddad, yaitu Farradhnaahaa. Dikatakan demikian karena banyaknya fardu-fardu atau kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalamnya (dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas) yakni jelas dan gamblang maksud-maksudnya (agar kalian selalu mengingatnya) asal kata Tadzakkaruuna ialah Tatadzakkaruuna, kemudian huruf Ta yang kedua diidgamkan kepada huruf Zal, sehingga menjadi Tadzakkaruuna, artinya mengambil pelajaran daripadanya.
Tafsir Surat An-Nur: 1-2
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatinya. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Firman Allah ﷻ yang mengatakan bahwa 'ini adalah suatu surat yang Kami turunkan' mengandung pengertian yang mengisyaratkan perhatian Allah ﷻ kepada surat ini, tetapi bukan berarti surat-surat lainnya tidak diperhatikan-Nya. dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya (An-Nur: 1) Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa makna ayat ialah Kami telah menjelaskan halal, haram, perintah, larangan, dan batasan-batasan (hukum) di dalamnya. Imam Bukhari mengatakan bahwa orang yang membacanya dengan bacaan Faradnaha, maka artinya, 'Kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada kalian, juga kepada orang-orang yang sesudah kalian'. dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas. (An-Nur: 1) Yaitu ayat-ayat yang jelas dan gamblang maknanya.
agar kalian selalu mengingatnya. (An-Nur: 1) Kemudian Allah ﷻ berfirman: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2) Yakni ayat yang mulia ini di dalamnya terkandung hukum had bagi orang yang berzina. Para ulama membahas masalah ini dengan pembahasan yang terinci berikut segala perbedaan pendapat di kalangan mereka. Akan tetapi pada kesimpulannya pezina itu adakalanya seorang yang belum pernah menikah dan adakalanya seorang yang muhsan (yakni orang yang pernah melakukan persetubuhan dalam ikatan nikah yang sahih sedangkan dia telah akil balig).
Jika seseorang belum pernah menikah, lalu melakukan zina, maka hukuman had-nya seratus kali dera, seperti yang disebutkan oleh ayat yang mulia ini. Dan sebagai hukuman tambahannya ialah dibuang selama satu tahun jauh dari negerinya, menurut pendapat jumhur ulama. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah; ia berpendapat bahwa hukuman pengasingan ini sepenuhnya diserahkan kepada imam.
Dengan kata lain, jika imam melihat bahwa si pelaku zina harus diasingkan, maka ia boleh melakukannya; dan jika ia melihat bahwa pelaku zina tidak perlu diasingkan, maka ia boleh melakukannya. Alasan jumhur ulama dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kita Sahihain melalui riwayat Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Abu Hurairah dan Zaid ibnu Khalid Al-Juhani tentang kisah dua orang Badui yang datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ Salah seorang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini pernah menjadi pekerja orang ini, dan ternyata anak laki-lakiku ini berbuat zina dengan istrinya.
Maka aku tebus anak laki-lakiku ini darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang 'alim, maka mereka mengatakan bahwa anakku dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan istri orang ini dikenai hukuman rajam." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh aku akan melakukan peradilan di antara kamu berdua dengan berdasarkan Kitabullah. Budak perempuan dan ternak kambingmu dikembalikan kepadamu, dan anak laki-lakimu dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun.
Sekarang pergilah kamu, hai Unais -seorang lekuki dari Bani Aslam yang ada di majelis itu- kepada istri lelaki ini. (Tanyailah dia) jika dia mengaku, maka hukum rajamlah dia. Maka Unais berangkat menemui istri lelaki Badui itu dan menanyainya. Akhirnya wanita itu mengakui perbuatannya, lalu ia dihukum rajam (dengan dilempari batu-batu sebesar genggaman tangan hingga mati). Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukuman pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum pernah kawin sesudah menjalani hukuman dera sebanyak seratus kali.
Jika dia adalah seorang muhsan (yakni seorang yang pernah melakukan persetubuhan dalam nikah yang sahih, sedang dia merdeka, akil dan balig), maka hukumannya adalah dirajam dengan batu. Hal yang sama telah dikatakan oleh Imam Malik. Ia mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud; Ibnu Abbas pernah mengatakan kepadanya bahwa Khalifah Umar pada suatu hari berdiri di atas mimbarnya, lalu mengucapkan puji dan sanjungan kepada Allah ﷻ, kemudian mengatakan: .
Amma Ba'du. Hai manusia, sesungguhnya Allah ﷻ telah mengutus Muhammad ﷺ dengan hak dan menurunkan kepadanya Al-Qur'an. Maka di antara yang diturunkan kepadanya ialah ayat rajam, lalu kami membacanya dan menghafalnya. Rasulullah ﷺ telah memberlakukan hukuman rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudah beliau tiada. Aku merasa khawatir dengan berlalunya masa pada manusia, lalu ada seseorang yang mengatakan bahwa kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitabullah. Akhirnya mereka sesat karena meninggalkan suatu perintah fardu yang telah diturunkan oleh Allah ﷻ Hukum rajam benar ada di dalam Kitabullah ditujukan kepada orang yang berbuat zina bila ia telah muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan kesaksian telah ditegakkan terhadapnya atau terjadi kandungan atau pengakuan. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Malik secara panjang lebar.
Sedangkan yang kami kemukakan ini merupakan petikan dari sebagiannya yang di dalamnya terkandung dalil yang kita maksudkan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Hasyim, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas, bahwa telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berkhotbah kepada orang-orang banyak, dan aku (Abdur Rahman ibnu Auf) mendengarnya mengatakan: Ingatlah, sesungguhnya ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa tiada hukum rajam di dalam Kitabullah, dan sesungguhnya yang ada hanyalah hukum dera.
Padahal Rasulullah ﷺ pernah merajam, dan kami pun merajam pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan ada seseorang berpendapat atau mengatakan bahwa Umar membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan menetapkannya sebagaimana ia diturunkan. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ubaidillah ibnu Abdullah dengan sanad yang sama. Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Hasyim, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. berkhotbah yang di dalamnya ia menyebutkan masalah hukum rajam.
Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami tidak mempunyai jalan lain untuk menghindari hukum rajam, karena sesungguhnya hukum rajam itu merupakan salah satu dari hukum had Allah ﷻ Ingatlah, sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah memberlakukan hukum rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan akan ada orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Umar telah membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan mencatatnya di dalam pinggiran mushaf. Umar ibnul Khattab, Abdur Rahman ibnu 'Aun dan Fulan serta Fulan telah bersaksi bahwa Rasulullah ﷺ telah melakukan hukuman rajam, maka kami memberlakukannya pula sesudahnya hanya saja kelak akan ada suatu kaum sesudah kalian yang mendustakan hukum rajam, adanya syafaat, adanya siksa kubur, dan adanya suatu kaum yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka hangus." Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Yahya Al-Qattan, dari Yahya Al-Ansari, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Umar ibnul Khattab, "Jangan biarkan diri kalian binasa karena meninggalkan ayat rajam," hingga akhir hadis.
Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Sa'id, dari Umar dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih. Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Abu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin, bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Kasir ibnus Silt yang bercerita bahwa ketika ia berada di majelis Marwan, sedangkan di antara mereka yang ada di dalam majelis itu terdapat Zaid ibnu Sabit.
Maka Zaid ibnu Sabit berkata, "Kami dahulu (di masa Rasulullah ﷺ) pernah membaca ayat berikut, yaitu: 'Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah dewasa (kawin) berbuat zina, maka pastikanlah keduanya kalian rajam'. Marwan berkata, "Mengapa engkau tidak menuliskannya di dalam Al-Qur'an?" Zaid menjawab, "Kami pernah membicarakan hal tersebut di hadapan Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu ia mengatakan, 'Aku bebaskan kalian dari tugas itu.' Ketika kami bertanya, 'Mengapa?' Ia menjawab bahwa pernah seorang lelaki datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ, lalu menyebutkan masalah rajam dan juga hal lainnya.
Lelaki itu mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tuliskanlah ayat rajam buatku.' Rasulullah ﷺ menjawab, 'Saya tidak bisa melakukannya sekarang,' atau dengan kalimat lainnya yang semisal." Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Muhammad ibnul Musannadari Gundar, dari Syu'bah dan Qatadah, dari Yunus ibnu Jubair, dari Kasir ibnus Silt, dari Zaid ibnu Sabit dengan sanad yang sama. Semua jalur periwayatan hadis ini sebagiannya dengan sebagian yang lain saling memperkuat. Hal ini menunjukkan bahwa ayat rajam dahulunya memang tertulis, kemudian tilawah (bacaan)nya di-mansukh, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan agar dilakukan hukum rajam terhadap seorang wanita istri seorang lelaki yang mempekerjakan seorang buruh, lalu buruh itu berbuat zina dengan si istri. Rasulullah ﷺ pernah pula melakukan hukum rajam terhadap Ma'iz dan seorang wanita dari Bani Gamidiyah. Para perawi tersebut tidak menukil dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau mendera mereka yang berbuat zina sebelum dirajam. Sesungguhnya semua hadis sahih yang saling memperkuat satu sama lainnya dengan berbagai lafaz mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ hanya merajam mereka, dan tidak disebutkan dalam hadis-hadis tersebut adanya hukuman dera. Karena itulah maka hal ini dijadikan pegangan oleh pendapat jumhur ulama; dan berpegangan kepada dalil ini pula berpendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii.
Imam Ahmad berpendapat, diwajibkan penggabungan dua jenis sangsi hukuman terhadap pezina muhsan antara hukuman dera karena berlandaskan sunnah dan hukuman rajam karena berlandaskan sunnah. Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa ketika dihadapkan kepadanya seorang wanita yang bernama Sirajah yang telah berbuat zina, sedangkan dia telah muhsan, maka Ali r.a. menderanya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat. Lalu Ali r.a. berkata: Saya menderanya berdasarkan (hukum) Kitabullah dan merajamnya berdasarkan (hukum) sunnah Rasulullah ﷺ Imam Ahmad, para pemilik kitab sunnah yang empat orang, dan Imam Muslim telah meriwayatkan melalui Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang telah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Terimalah keputusanku, terimalah keputusanku, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka (kaum wanita) jalan keluar; orang yang belum pernah kawin (yang berzina) dengan orang yang belum pernah kawin didera seratus kali dan diasingkan satu tahun, dan orang yang sudah kawin (yang berzina) dengan orang yang sudah kawin didera seratus kali dan dirajam.
Firman Allah ﷻ: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yakni untuk menjalankan hukum Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian berbelas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan syariat Allah. Hal yang dilarang bukanlah belas kasihan yang manusiawi saat menimpakan hukuman had. melainkan belas kasihan yang mendorong hakim untuk membatalkan hukuman had. Belas kasihan yang terakhir ini tidak diperbolehkan. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yaitu untuk menjalankan hukuman had bilamana kasusnya telah dilaporkan kepada sultan (penguasa); hukuman harus dijalankan dan tidak boleh diabaikan.
Hal yang sama telah dikatakan melalui riwayat yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan Ata ibnu Abu Rabah. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan: Hindarilah hukuman had yang terjadi di antara sesama kalian; karena kasus had apa pun yang telah dilaporkan kepadaku, maka pelaksanaannya adalah suatu keharusan. Di dalam hadis yang lain disebutkan: Sesungguhnya suatu hukuman had yang dilaksanakan di bumi lebih baik bagi penghuninya daripada mendapat hujan selama empat puluh hari.
Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah ﷻ: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Artinya, janganlah kalian menegakkan hukuman had sebagaimana mestinya seperti melakukan pukulan yang keras untuk mencegah terulangnya perbuatan dosa. Dan makna yang dimaksud bukanlah melakukan pukulan yang membuat si terhukum luka berat. Amir Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yakni belas kasihan untuk melakukan pukulan yang keras.
Ata mengatakan bahwa deraan yang dimaksud adalah deraan yang tidak melukakan (memayahkan). Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Hammad ibnu Abu Sulaiman, bahwa orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti dihukum dera dalam keadaan memakai baju yang dipakainya, sedangkan si pezina menjalani hukuman deranya dalam keadaan terbuka pakaiannya (ditanggalkan), kemudian Hammad ibnu Abu Sulaiman membaca firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Sa'id ibnu Abu Arubah berkata, "Itu kalau dalam memutuskan hukum." Hammad menjawab, "Berlaku dalam memutuskan hukuman dan pelaksanaan eksekusi." Yakni dalam menegakkan hukuman had dan dalam menjatuhkan pukulan yang keras.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnu Nafi', dari Ibnu Amr, dari Ibnu Abu Malaikah, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar, bahwa pernah ada seorang budak perempuan Ibnu Umar berbuat zina, lalu Ibnu Umar memukuli kedua kakinya. Nafi' berkata bahwa menurutnya Ubaidillah mengatakan juga punggungnya.
Ubaidillah ibnu Abdullah mengatakan kepada ayahnya, "Bukankah engkau telah membacakan firman-Nya yang mengatakan: 'dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah' (An-Nur: 2) Ibnu Umar menjawab, "Hai Anakku, apakah engkau melihat bahwa diriku merasa belas kasihan terhadapnya? Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kepadaku untuk membunuhnya, tidak pula agar aku mendera kepalanya. Sesungguhnya aku telah membuatnya kesakitan saat aku memukulinya." Firman Allah ﷻ: jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. (An-Nur: 2) Yakni lakukanlah hal tersebut dan tegakkanlah hukuman-hukuman had terhadap orang-orang yang berzina; dan pukullah mereka dengan pukulan yang keras, tetapi tidak dengan pukulan yang membuat mereka lumpuh.
Dimaksudkan agar dia jera, juga dijadikan pelajaran bagi orang lain yang hendak melakukan perbuatan yang semisal. Di dalam kitab musnad telah disebutkan sebuah hadis dari salah seorang sahabat yang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar menyembelih kambing, sedangkan hatiku merasa kasihan kepadanya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Engkau mendapat suatu pahala atas belas kasihanmu itu. Firman Allah ﷻ: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Hal ini merupakan pembalasan bagi sepasang pezina bila keduanya didera di hadapan orang banyak dan akan lebih keras pengaruhnya terhadap keduanya agar keduanya benar-benar jera.
Sesungguhnya hal tersebut adalah kecaman dan pencemoohan terhadap si terhukum, juga mempermalukannya, bila banyak orang menyaksikan pelaksanaan hukumannya. Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yaitu hendaknya eksekusi itu dilaksanakan secara terang-terangan. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah satu orang laki-laki hingga seterusnya.
Mujahid mengatakan bahwa sekumpulan orang ialah satu orang laki-laki hingga seribu orang. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa sesungguhnya satu orang laki-laki sudah termasuk ke dalam pengertian taifah. Ata ibnu Abu Rabah mengatakan dua orang. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ishaq ibnu Rohawais. Demikian pula Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah dua orang laki-laki lebih.
Az-Zuhri mengatakan tiga orang lebih. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, dari Malik sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa taifah itu artinya empat orang lebih, karena sesungguhnya persaksian terhadap tindak pidana zina belumlah cukup melainkan hanya dengan empat orang saksi lebih; pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii. Sedangkan menurut Rabi'ah, lima orang.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sepuluh orang. Qatadah mengatakan bahwa Allah telah memerintahkan agar pelaksanaan eksekusi keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman, yakni sejumlah kaum muslim. Dimaksudkan agar hal tersebut dijadikan sebagai pelajaran dan pembalasan bagi pelakunya (dan juga orang lain). Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, bahwa ia pernah mendengar Nasr ibnu Alqamah yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa hal tersebut bukanlah untuk tujuan mempermalukannya, melainkan agar mereka mendoakan kepada Allah buat keduanya supaya diterima tobat keduanya dan mendapatkan rahmat dari-Nya."
Surah ini dibuka dengan penegasan bahwa ketentuan hukum Allah wajib dilaksanakan. 'Inilah suatu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan bagi kamu untuk menjalankan hukum-hukum di dalam-nya, dan Kami turunkan di dalamnya tanda-tanda yang jelas tentang kekuasaan dan keesaan Kami agar kamu selalu ingat dan mengambil pelajaran darinya. 2. Surah ini mengandung ketentuan hukum yang pasti, salah satunya hukum perzinaan. Kepada pezina perempuan yang belum pernah menikah dan demikian pula pezina laki-laki yang belum pernah menikah, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali jika perziaan keduanya terbukti sesuai dengan syarat-syaratnya, dan janganlah rasa belas kasih-an kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama dan hukum Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Salah satu konsekuensi iman adalah melaksanakan hukum Allah. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman, sedikitnya tiga atau empat orang, agar hukuman itu menjadi pelajaran bagi pihak-pihak yang melihat dan mendengarnya.
Allah menjelaskan bahwa surah ini mengandung dua hal. Pertama, hukum-hukum yang wajib dipatuhi seperti yang akan disampaikan dalam ayat-ayat berikutnya mengenai zina, menuduh perempuan berzina, dan sebagainya. Hukum-hukum itu, bila dipikirkan oleh manusia dengan pikiran yang obyektif, pasti akan diakui bahwa ketentuan-ketentuan itu benar dan berasal dari Allah bukan buatan manusia. Semua itu diturunkan untuk ditaati dan dijalankan dalam kehidupan. Kedua, bukti-bukti nyata yang menunjuk-kan kekuasaan dan keesaan Allah di dunia ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
(1) Inilah dia satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankannya), dan Kami terakan pula di dalamnya ayat-ayat nyata, supaya kamu mendapat peringatan.
Di dalam ayat-ayat yang pertama ini sudah jelas bahwa Surat an-Nur ini telah diturunkan berisi peraturan-peraturan dan perintah yang wajib dijalankan dalam masyarakat Islam, dilakukan dan tidak boleh diabaikan, mesti dijadikan peraturan yang berjalan kuatkuasanya atas masyarakat.
Dan di samping peraturan-peraturan yang mesti dijalankan itu. Surat ini pun tetap mengandung ayat-ayat yang terang dan jelas, diterangkan atau di jelaskan terutama berkenaan dengan hubungan seseorang dengan Tuhannya,
dalam rangka kepercayaan Tauhid, yang menjadi pokok pangkal pendirian seorang Islam dan masyarakat Islam.
Dengan keduanya ini, peraturan yang diwajibkan dan ayat-ayat yang jelas tumbuhnya masyarakat dengan kuat dan teguhnya sebab segala peraturan yang berlaku bukan semata kehendak manusia, tetapi bersumber daripada Allah. Dijelaskan hal ini supaya kita segenap pendukung masyarakat Islam ingat benar-benar pegangan hidup atau sendi tempat menegakkan masyarakat Islam itu.
Dari ayat-ayat seperti Inilah tumbuhnya cita (ideologi) yang tak kunjung padam di dalam hati setiap Muslim hendak mengurus betapa supaya masya-rakat-yang baik dan terpuji, adil dan makmur, rambah dan ripah bIsa terberituk. Ini pula sebabnya maka dalam titik tolak fikiran Islam tidak ada pemIsahan di antara agama dengan masyarakat, baik masyarakat kesukuan dan kabilah ataupun kelaknya masyarakat yang telah memberituk dirinya sebagai sebuah negara. Tuhan mendatangkan perintah, dan perintah itu wajib dilaksanakan, dijadikan kenyataan dalam masyarakat Tuhan menjadi pemberituk undang-undang (legialatif), dan manusia sejak pemegang pemerintahan sampai rakyat pelaksananya (eksekutif). Apabila dia dapat berjihari (berjuang) untuk mencapai cita-cita itu, berapa pun tercapainya, si Muslim merasa mendapat pahala dari Tuhan, bukan saja kebahagIsan dunia, bahkan pula kebahagIsan syurga di akhirat. Dan kalau dia berlengah diri itu, dia merasa berdosa. Celakalah di dunia dan neraka di akhirat. Adapun kuat lemahnya cita yang demikian dalam dirinya adalah bergantung dari kuat atau lemahnya pengertiannya atas tuntutan-tuntutan agamanya.
Ini adalah tujuan hidup seorang Muslim: yaitu melaksanakan kehendak hukum Allah dalam masyarakat. Sebab trienurut Islam, sumber hukum ialah Allah dan Rasul, yang dinamai Syari'. Tetapi tidaklah dapat kita melupakan bahwasanya keadaan adalah terbagi dua. Yaitu tujuan (Ghayah) dan taktik untuk mencapai tujuan (Wasilah). Kadang-kadang dia jatuh karena kesalahan taktik, yang karena hebatnya rintangan atau karena belum adanya pengalaman. Tetapi kesalahan taktik atau kegagalan haruslah dijadikannya pengajaran untuk melanjutkan lagi mencapai yang ditujunya.
“Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan saja berkata: “Kami beriman.'' Padahal mereka belum diuji? Sungguh telah Kami uji orang yang sebelum mereka, maka diketahui Allah siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa pula yang hanya berbohong belaka."
(al-Ankabut: 2-3)
Hukuman Zina
Berzina adalah segala persetubuhan di luar nikah. Asal persetubuhan itu belum atau tidak dIsahkan dengan nikah, atau tidak dapat dIsahkan dengan nikah, termasuklah dia dalam golongan zina. Tidaklah diperhitungkan sukakah kedua belah pihak atau tidak suka, mIsal pihak yang seorang memaksa atau memperkosa atas pihak lain.
Kita jelaskan hal ini karena dalam buku-buku hukum pidana barat, yang sudah banyak ditiru oleh negara-negara orang Islam yang dijajah oleh orang Barat, ataupun terpengaruh oleh cara berfikir orang Barat yang disebut berzina ialah jika seorang laki-laki bersetuliub dengan seorang perempuan yang bersuami, dan suami perempuan itu mengadu kepada hakim. Maka kalau suaminya tidak keberatan tidak kena hukuman lagi.
Dalam hukuman pidana Barat itu juga, baru disebut berzina kalau mIsalnya si perempuan diperkosa, artinya dia tidak suka, karena dia masih di bawah umur. Lalu dia mengadu kepada hakim, dan pengaduannya itu diterima, maka dipersalahkan laki-laki itu. Maka segala persetubuhan suka sama suka, dalam cara fikiran demikian, tidaklah termasuk zina walaupun yang bersetubuh itu tidak nikah. Dan baru mendapat hukuman keras kalau terjadi perkosaan kepada gadia di bawah umur, sehingga pecah perawannya, padahal dia belum matang buat menerima persetubuhan. Tetapi walaupun dia masih perawan, kalau dia sendiri suka, tidaklah dihukum.
Maka perzinaan menurut yang ditentukan oleh Islam itu ialah persetubuhan yang terjadi di luar nikah, walau suka sama suka.
Mana pula pentinaan yang tidak suka sama suka?
(2) Perempuan yang berzina dengan laki-laki yang berzina, hendaklah kamu dera tiap-tiap satu dari keduanya itu dengan seratus kali deraan. Dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan kasihan kepada keduanya di dalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu seberianya beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah hukuman keduanya itu dIsaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Cara Pelaksanaan Hukuman
Sumber hukum yang pertama dalam Islam ialah al-Qur'an. Dengan demikian sudahlah ada patokan hukum dengan adanya ayat 2 pada Surat an-Nur inj. Tetapi belumlah cukup berpegang pada bunyi ayat saja, melainkan hendaklah diperhatikan pula betapa caranya Rasul Allah melaksanakan hukum itu.
Sebab ity maka “Sunnah Rasulullah" adalah sumber hukum yang kedua.
Menurut Rasul Allah s.a.w.: Yang melakukan zina itu dibagi atas dua tingkat, yaitu yang mendapat hukum sangat berat dan yang dijatuhi hukuman berat. Yang mendapat hukum sangat berat ialah orang muhshan ( j ).
Arti aslinya ialah orang-orang yang terberiteng, orang-orang yang tidak patut berzina, karena hidupnya berberiteng oleh pandangan masyarakat, sehingga pandangan umum sudah menganggap dia tidaklah patut berbuat demikian. Yaitu keduanya itu telah cukup umur (baligh) dan berakal faqil) lagi merdeka, lagi Islam dan laki-lakinya ada isteri,-dan perempuannya ada bersuami, dihubungkan “keberatan" atau tidaknya suaminya atau isterinya yang sah itu, hukumannya ialah rajam, yaitu diikat dan dibawa ke tengah kumpulan orang ramai kaum Muslimin, lalu dilempari dengan batu sampai mati.
Meskipun pelemparan dengan batu itu tidak tersebut dalam ayat, dia menjadi hujjab (alasan), karena demikianlah lelah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Dan menjalankan hukum ini diterima dari perawi-perawi yang dapat dipercaya, yaitu: Abu Bakar, Umar, Ali, Jahir bin Abdullah, Abu Said al-Khudari, Abu Hurairah, Zayid bin Khatid dan Buraidah al-Aslami. Semuanya sahabat-sahabat yang besar-besar dan temama.
Hukuman ini pernah dilakukan oleh Rasul Allah s.a.w. kepada seorang sahabat yang bernama Ma'iz, yang datang sendiri mengakui terus-terang kepada Nabi bahwa dia telah bersalah berbuat zina. Dia sendiri yang minta dihukum. Berkali-kali Nabi s.a.w. mencoba meringankan soal ini, sehingga beliau berkata: “Mungkin baru engkau pegang-pegang saja," “mungkin tidak sampai engkau setubuhi," dan sebagainya, tetapi Ma'iz berkata juga terus-terang bahwa dia memang telah berzina, bahwa dia memang telah melanggar larangan Tuhan, dan belumlah dia merasa ringan dari pukulan dan pukulan batin sebelum dia dihukum. Maka atas permintaannya sendirilah dia dirajam, sampai mati.
Kejadian itu pula hal demikian pada dua orang wanita, seorang dari suku Bani Lukham dan seorang lagi persukuan Bani Ghamid, datang pula mengaku di hadapan Nabi bahwa mereka telah terlanjur berzina. Seorang di antaranya sedang hamil dari perzinahan itu. Sebagai Ma'iz, kedua perempuan itu rupanya merasa tekanan batin yang amat sangat sebelum hukuman itu dijalankan atas diri mereka, sehingga dijalankan pula hukuman rajam itu, sampai mati. Dan terhadap kepada perempuan yang hamil itu, hukum tersebut baru dijalankan setelah anaknya lahir dan besar, lepas dari menyusu. Itu pun perempuan itu sendiri juga yang datang melaporkan diri.
Adapun perempuan dan laki-laki yang IIOBK munsnen. miaomyo perempuan yang tidak atau belum bersuami dan laki-laki yang tidak atau belum beristeri, dilakukankan hukuman sebagai tersebut dalam ayat tadi, yaitu dipukul cambuk, atau dengan rotan 100 kali, di hadapan khalayak ramai kaum Muslimin.
Itulah hukuman duniawi. Adapun dalam perhitungan agama, zina adalah termasuk dosa yang amat besar, dan azhab siksa -yang akan diterimanya di akhirat sangat besar pula. Adalah tiga macam dosa besar yang diancam oleh siksa yang besar, yaitu pertama mempersekutukan Tuhan Allah dengan yang lain, kedua membunuh manusia, ketiga berbuat zina. Yang pertama menjadi dosa besar karena dia menghancurkan hubungan dengan Tuhan, yang kedua karena menghilangkan keamanan masyarakat, yang ketiga karena mengacaukan masyarakat.
Tersebut dalam ayat:
“Dan orang-orang yang tidak menyeru Allah beserta Tuhan yang lain, dan tidak membunuh akan suatu diri, kecuali dengan haknya (hukum bunuh) dan tidak pula berzina. Barangsiapa berbuat semacam itu, bertemulah dia dengan dosa." (al-Furqan: 68)
Daiam suatu Hadist yang diriwayatkan oleh Huzaifah, tersebut pula Sabda Rasulullah s.a.w. tentang bahaya dan celakanya zina bagi seseorang yang melakukannya:'
“Hai sekalian orang, jauhilah olehmu akan zina, karena zina menimbulkan 6 kecelakaan. Adapun yang 3 di dunia ialah 3 pula di akhirat, yaitu menjatuhkan harga peribadi, menyebabkan miakin dan mengurangi umur, dan 3 di akhirat ialah keberician Tuhan, keburukan perhitungan dan azhab siksa neraka."
Sejak dari syariat Nabi Musa, baik dalam hukum 10 (Kitab Taurat) ataupun dalam pelaksanaan hukum Taurat itu, zina telah dilarang keras dan barangsiapa yang melakukannya diancam dengan hukum rajam juga. Dan Nabi Isa Almasih sendiri pun memberi peringatan keras kepada murid-muridnya agar janganlah memandang perkara enteng zina itu, sehingga beliau berpesan kalau matamu telah terlanjur berzina, yaitu salah pandangmu kepada perempuan karena syahwatmu, lebih baik dikorek mata itu. Cuma Nabi Isa yang tidak mempunyai kekuasaan buat menjalankan hukum Taurat, yaitu rajam itu. Sebab kekuasaan ketika itu tidak ada di tangan beliau. Negeri Palestina adalah di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Dan setebli Nabi Muhammad s.a.w. menegakkan ke-
kuasaan Islam di Madinah, barulah dibangkitkan hukum Taurat itu kembali. Malahan seketika terdapat orang Yahudi dalam pemerintahan beliau di Madinah berbuat zina, telah diauruhnya membaca Nash Kitab Taurat yang masih ada di tangan mereka, dan Nabi menjalankan hukum Taurat itu untuk mereka.
Di dalam ayat No. 2 itu dijelaskan bahwa hukum itu mesti dilakukan dan tidak boleh dikendurkan karena merasa belas-kasihan atau tenggang-menenggangi Malahan di dalam susunan ayat itu diriahulukan menyebut laki-laki yang berzina. Karena menghambat jangan sampai orang mengendurkan hukum karena yang akan dihukum itu ialah “kaum lemah", “wanita yang patut dikasihani" dan sebagairiya.
Mengapa Islam sekeras itu menghukum orang yang berzina?
Diterangkanlah kesimpulan maksud agama, yaitu untuk memelihara lima
Pertama, memelihara Agama itu sendiri. Sebab itu dihukum orang yang murtad, dihukum orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja, dihukum orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Dan untuk memelihara dlan mempertahankan Agama, diperbolehkan berperang.
Kedua, memelihara jiwa raga manusia. Sebab itu dihukum Qiahash barang-siapa yang membunuh sesamanya manusia. Dan dilarang membunuh diri sendiri. Dilarang menggugurkan kandungan. Tidak boleh orang bertindak sendiri membunuh orang yang bersalah mIsalnya, kalau tidak hakim yang melakukannya karena suatu keputusan hukum. Atau berbunuh-butiuhan karena berperang menegakkan agama atau membela batas-batas negara (Stughur).
Ketiga, memelihara kehormatan. Hendaklah hubungan laki-laki dan perempuan dengan nikah. Dilarang berzina dan diriera atau dirajam barang-siapa yang melakukannya. Di zaman pemerintah Khatifah keempat, Saiyidiria Ali bin Abu Thatib pernah dilakukan hukuman bakar atas orang yang ber-setubuh sejenia (liwath), yaitu laki-laki menyetubuhi laki-laki atau perempuan mengadu farajnya dengan sesamanya perempuan (musabaqah) dan pernah juga dijatuhkan hukuman bunuh atas orang yang tertangkap menyetubuhi binatang.
Keempat, memelihara akal. Sebab itu dihukum pukul (dera) orang yang minum minuman keras yang memabukkan, karena mabuk adalah merusak akal.
Kelima, memelihara hartabenda. Dianjurkan berusaha mencari rezeki harta' yang halal. Dihukum pencuri dengan memotong tangannya, perampok dIsalib atau dipotong kaki dan tangan, atau dibuang.
Dan wibawa hukum ini harus dijaga, tidak boleh diremehkan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh menenggang, atau karena rasa kasihan. Dikendurkan karena tenggang-menenggang.
perkara.
“Ka/au mencuri Fatimah binti Muhammad, akan saga potong juga tangan-
n ya.
Maka bereina adalah suatu dosa besar, yang apabila iman kepada Tuhan sudah amat mendalam, dan pengaruh kehidupan Islam itu telah mendalam pula dalam masyarakat Islam, sangatlah orang berusaha menjauhinya, dan seorang yang berzina akan dikutuk dan diberici oleh masyarakat yang masih dipengaruhi oleh fikiran-fikiran Islam, amat dipandang aib kalau ada seorang dara belum bersuami, setelah nikah perawannya tidak ada lagi. Sampai men-jadi adat yang ganjil dan agak buruk dipandang dengan kaca mata zaman sekarang, yaitu seluruh keluarga menunggu pagi-pagi hari pertama perkawinan, adakah pergaulan pengantin laki-laki dan perempuan itu “selamat''.
Artinya masih adakah perawan pengantin perempuan itu. Pengantin laki-laki wajib melaporkan dan menunjukkan bukti, mIsalnya kain yang berdarah.
Menilik kepada ini, sekarang mulailah hilang keheranan kita mengapa di zaman Rasul Allah hukuman rajam dan dera dilakukan kepada orang-orang yang mengaku terus-terang bahwa dia telah bersalah, padahal telah diriasihati, namun dia masih bersungguh-sungguh mengatakan bahwa dia memang bersalah, dia sendiri minta dihukum, dan jiwanya belum merasa puas sebelum dirinya mati ditimpuki batu. Sampai kejadian hal ini pada seorang laki-laki dan dya perempuan.
Nabi Muhammad s.a.w. sendiri, meskipun telah menjalankan hukum itu menurut Sabda Tuhan, dan sekali-sekali tidak dipengaruhi oleh rasa kasihan, karena membawa rasa demikian dalam melaksanakan hukum, telah dapat memIsahkan rasa kasihannya dalam pelaksanaan hukumnya. Seketika merajam seorang perempuan yang mengaku itu. sahabat-sahabat Nabi telah datang merajam beramai-ramai. Di antaranya ialah Pahlawan Islam yang besar, Khatid bin Walid turut merajamnya, dari mulutnya telah keluar perkataan kasar memaki dan mengutuk perempuan itu. Dengan tegas Nabi s.a.w. telah menegur Khatid: “Jangan memaki hai Khatid, jangan memaki. Laksanakan sajalah hukuman ini dengan tenang."
Memang, dia telah mengaku. Pengakuan itu ialah alamat.iman dan tauhid yang sudah kembali dalam jiwanya setelah dia taubat. Sebagai mana Sabda Tuhan di dalam satu Hadist Qudsi: “Kalau ada hambaKu yang bersalah agar dia bertaubat kepadaKu."
Kadang-kadang menurut ilmu jiwa, iman orang yang bersalah lalu bertaubat, kadang-kadang melebihi mumi daripada iman orang yang merasa tidak pernah bersalah.