Ayat

Terjemahan Per Kata
عَٰلِمِ
yang mengetahui
ٱلۡغَيۡبِ
yang gaib
وَٱلشَّهَٰدَةِ
dan yang nampak
فَتَعَٰلَىٰ
maka Maha Tinggi Dia
عَمَّا
dari apa
يُشۡرِكُونَ
mereka persekutukan
عَٰلِمِ
yang mengetahui
ٱلۡغَيۡبِ
yang gaib
وَٱلشَّهَٰدَةِ
dan yang nampak
فَتَعَٰلَىٰ
maka Maha Tinggi Dia
عَمَّا
dari apa
يُشۡرِكُونَ
mereka persekutukan
Terjemahan

Yang Maha Mengetahui semua yang gaib dan yang tampak. Mahatinggi (Allah) dari apa yang mereka persekutukan.
Tafsir

(Yang mengetahui semua yang gaib dan semua yang tampak) maksudnya semua yang tidak tampak dan semua yang tampak. Kalau dibaca 'Aalimil Ghaibi menjadi sifat, artinya yang mengetahui dan seterusnya. Jika dibaca 'Aalimul Ghaibi berarti menjadi Khabar dari Mubtada yang tidak disebutkan yaitu lafal Huwa, artinya Dia Mengetahui yang gaib (maka Maha Tinggi Dia) Maha Besar Dia (dari apa yang mereka persekutukan) kepada-Nya.
Tafsir Surat Al-Mu'minun: 91-92
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan besertanya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Yang mengetahui semua yang gaib dan semua yang tampak, maka Mahatinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. Allah ﷻ menyucikan diri-Nya dari beranak atau sekutu dalam kerajaan, kekuasaan, dan hak disembah. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Allah sekali-kali tidak mempunyai anak dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakan-Nya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. (Al Muminun: 91) Yakni seandainya tuhan itu berbilang, tentulah masing-masing dari mereka membawa makhluk ciptaannya masing-masing, dan pastilah alam ini tidak dapat teratur lagi.
Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa alam wujud ini berada dalam satu tatanan dan teratur. Semuanya mulai dari alam langit sampai alam bawahsebagian darinya berkaitan dengan sebagian yang lain, terikat dalam suatu tatanan yang sangat sempurna. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. (Al-Mulk: 3) Kemudian tentulah masing-masing dari tuhan-tuhan itu berupaya untuk mengalahkan yang lainnya dan berbeda dengannya, akhirnya sebagian dari mereka menguasai sebagian yang lainnya.
Ulama ahli Ilmu Kalam mengatakan bahwa hal seperti itu mustahil bagi Tuhan. Mereka mengemukakan suatu perumpamaan, bahwa seandainya ada dua pencipta lebih, lalu yang satu bermaksud menggerakkan tubuh yang diciptakannya, sedangkan yang lain bermaksud mendiamkannya, tentulah akan terjadi pertentangan sehingga tujuan masing-masing tidak tercapai, dan hal ini menunjukkan bahwa keduanya lemah (tidak mampu). Sedangkan sifat yang waj ib bagi Tuhan ialah tidak lemah (yakni berkuasa), dan tujuan dari keduanya itu tidak dapat bertemu karena bertentangan.
Hal mustahil ini tidaklah terjadi melainkan berdasarkan hipotesis seandainya tuhan itu berbilang. Dengan demikian, tersimpulkan bahwa berbilangnya tuhan itu mustahil. Adapun seandainya tujuan salah satunya dapat berhasil, sedangkan yang lainnya tidak, berarti yang menang adalah yang asli, sedangkan yang dikalahkan tidaklah pantas menyandang predikatnya, sebab sifat wajib baginya ialah hendaknya dia tidak terkalahkan. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. (Al Muminun: 91) Yakni dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang zalim lagi kelewat batas itu yang mendakwakan bahwa Tuhan beranak atau bersekutu. Mahasuci Allah lagi Mahatinggi dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Yang mengetahui semua yang gaib dan semua yang nampak. (Al Muminun: 92) Maksudnya, mengetahui semua yang gaib dari makhluk-Nya dan semua yang disaksikan oleh makhluk-Nya. maka Mahatinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. (Al Muminun: 92) Yakni Mahasuci, Mahatinggi, Mahaagung, dan Mahabesar dari semua yang dikatakan oleh orang-orang yang musyrik lagi ingkar itu.
Dialah Tuhan yang mengetahui semua yang gaib dari pandangan manusia dan semua yang tampak. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan seperti kepercayaan kaum musyrik tersebut. 93-94. Kezaliman kaum musyrik dengan menolak kebenaran itu meng-undang datangnya siksa Allah. Allah lalu mengajari Nabi doa berikut. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, 'Ya Tuhanku, seandainya Engkau hendak memperlihatkan kepadaku sebelum kematianku azab yang diancamkan kepada mereka, Ya Tuhanku, maka janganlah Engkau jadikan aku termasuk dalam golongan orang-orang zalim, dan jauhkanlah aku dari mereka. '.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Yang Mahatahu segala yang gaib yang tidak dapat dilihat dan dirasakan dengan panca indera, Maha Mengetahui segala yang tampak dan nyata dan dapat dilihat dan dirasakan. Apapun yang terjadi di alam ini baik alam langit ataupun alam bumi semuanya terjadi dengan sepengetahuan-Nya, tak ada yang besar maupun yang kecil kecuali ada dalam ilmu-Nya yang Mahaluas, seperti tersebut dalam firman-Nya:
Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Yunus/10: 61)
Demikianlah luas dan mencakupnya ilmu Allah. Mahasuci Allah dari segala tuduhan orang kafir yang mengatakan bahwa Dia mempunyai anak dan sekutu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
“Dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang lain bersama Dia."
Tidak dapat pula diterima akal bahwa Tuhan itu berbilang, mIsalnya ada tuhan langit dan ada tuhan bumi, ada tuhan laut dan ada tuhan darat. Peraturan alam ini akan kacau-balau, karena akan terjadi pertumbuhan kekuasaan, setiap tuhan bertindak sendiri-sendiri dalam dserah kekuasaannya.
Pemegang kepercayaan Hindu yang mengatakan bahwa Tuhan itu bertiga, yaitu Brahmana yang mencipta, Wiahnu yang memelihara dan Shiwa yang merusak. Akhinya tidak juga dapat mempertahankan pendirian itu. Mereka sampai juga kepada kesimpulan bahwa Yang Maha Kuasa hanya satu juga, yaitu Brahma.
Kepercayaan orang Iran (Persia) purbakala pun mengatakan bahwa Tuhan yang Maha Kuasa itu adalah dua. Pertama tuhan dari cahaya terang (Ahura, Mazda), kedua tuhan dari gelap-gulita (Ahriman). Kata filsafat bangsa Iran itu, kedua tuhan itu selalu berperang, tidak berkeputusan, selama masih berebut kuasa di antara siang dengan malam dan benar dengan salah, dan buruk dengan baik, dan indah dengan jelek. Tuhan dari kegelapan itu ialah Iblis, dan tuhan sinar terang-bencierang itu adalah Kekuasaan Yang Mutlak. Itulah ALLAH! Pada akhinya Dia juga yang menang. Artinya meskipun jalan fikiran pada mulanya kepada dua, akhir jalan fikiran itu kepada Esa jua adanya, lain tidak.
Di dalam ayat 91 ini dibukakanlah fikiran manusia kepada jalan yang wajar. Tidak mungkin Tuhan Allah beranak dantidak mungkin Tuhan itu berserikat dengan yang lain. Kalau Tuhan berbilang, dia akan berkelahi dan ber-
dibiarkan tergenang hingga itu saja. Fikiran yang sihal mestt sampai kepada TUHAN HANYA SATU, Maha Esa dia dalam KetuhananNya, dalam Kekuasa-anNya, dalam Zat dan SifatNya.
Fikiran yang sihal dan wajar pasti sampai kepada Kesatuan Tuhan. Fikiran yang masih saja mengenang pada berserikatnya Tuhan, adalah belum wajar. Kecuali kalau tidak berfikir, atau berhenti berfikir.
“Amat Suci Allah daripada yang mereka sifatkan itu."
Kepada fikiran atau jalan fikiran yang sihal itulah kita menyerah dan kita merasa rela, tidak dengan paksaan. Oleh sebab itu maka akidah Tauhid (menyatukan, mengesakan) itu selalu sejalan dengan kalimat ISLAM (menyerah dengan rela hati dan perasaan puas).
Oleh sebab itu, menurut ajaran Islam, agar tercapai akidah yang sihal, hendaklah turuti akal yang sihal, akal yang mencapai dan menyampai kepada KESATUAN KEPERCAYAAN. Kalau tidak demikian maka agama yang dianut, akhir kelaknya menjadi anutan yang tidak pernah difikirkan, atau takut memikirkannya, sebagaimana kebanyakan sarjana-sarjana Eropa di zaman moden yang di dalam “hitungan" masih beragama Kristen, tetapi mereka merasa lebih bebas berilmu pengetahuan bukan karena dorongan agama, melainkan setelah memIsahkan agama dengan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya tibalah ayat 92.
Ayat 92
“Yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata. Maka Maha Sucilah Dia dari yang mereka sekutiikan itu." (ayat 92)
Mana yang nyata?
Di belakang setiap yang nyata, pastilah ada yang ghaib. Seketika kita merenung alam di keliling kita, kita selalu dihartapkan dengan yang nyata dan yang ghaib. Di samping yang tersurat, kita melihat yang tersirat. Bahkan pada pohon rambutan yang tumbuh di hadapan rumah kita sendiri, “di belakang" pohon, daun, buah dan bunganya; di belakang pahit dan kelatnya di waktu masih muda dan manianya setelah masak; di belakang bijinya yang “tidak ada apa-apa", padahal mengandung “apa-apa", kita selalu bertemu dengan yang ghaib di belakang yang nyata.
Kadang-kadang hal-hal yang ghaib terpaksa kita jadikan kenyataan, supaya kita mendapat kenyataan. Betapa banyaknya ilmu pengetahuan yang telah jadi kenyataan, barulah dia nyata setelah kita rumuskan atas yang ghaib. MIsalnya kita berkata seketika mengaji Ilmu Alam bahwa haruslah kita percaya terlebih dahulu akan adanya ether memenuhi segala ruang, barulah kita meyakinkan akan peraturan yang meliputi alam, dan hubungan di antara sebagian alam dengan bagian yang lain. Padahal apakah ether itu? Masih ghaib!
“Maka amat luhurlah Allah dari yang mereka serikatkan itu." (ujung ayat 92).