Ayat
Terjemahan Per Kata
وَهُوَ
dan Dia
ٱلَّذِي
yang
خَلَقَ
telah menciptakan
ٱلَّيۡلَ
malam
وَٱلنَّهَارَ
dan siang
وَٱلشَّمۡسَ
dan matahari
وَٱلۡقَمَرَۖ
dan bulan
كُلّٞ
tiap-tiap/masing-masing
فِي
dalam
فَلَكٖ
garis edar
يَسۡبَحُونَ
mereka beredar
وَهُوَ
dan Dia
ٱلَّذِي
yang
خَلَقَ
telah menciptakan
ٱلَّيۡلَ
malam
وَٱلنَّهَارَ
dan siang
وَٱلشَّمۡسَ
dan matahari
وَٱلۡقَمَرَۖ
dan bulan
كُلّٞ
tiap-tiap/masing-masing
فِي
dalam
فَلَكٖ
garis edar
يَسۡبَحُونَ
mereka beredar
Terjemahan
Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya.
Tafsir
(Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari semua itu) lafal Kullun ini tanwinnya merupakan pergantian daripada Mudhaf ilaih, maksudnya masing-masing daripada matahari, bulan dan bintang-bintang lainnya (di dalam garis edarnya) pada garis edarnya yang bulat di angkasa bagaikan bundaran batu penggilingan gandum (beredar) maksudnya semua berjalan dengan cepat sebagaimana berenang di atas air. Disebabkan ungkapan ini memakai Tasybih, maka didatangkanlah Dhamir bagi orang-orang yang berakal; yakni keadaan semua yang beredar pada garis edarnya itu bagaikan orang-orang yang berenang di dalam air.
Tafsir Surat Al-Anbiya': 30-33
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) guncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.
Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. Allah ﷻ berfirman seraya mengingatkan (manusia) akan kekuasaanNya Yang Mahasempurna lagi Mahabesar dalam menciptakan segala sesuatu dan semua makhluk tunduk kepada Keperkasaan-Nya. Untuk itu disebutkan dalam ayat berikut: Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 30) Yakni orang-orang yang mengingkari ketuhanan-Nya lagi menyembah yang lain bersama Dia.
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah, Dialah Yang Maha Menyendiri dalam menciptakan makhluk-Nya, lagi Mahakuasa dalam mengatur makhluk-Nya. Maka apakah pantas bila Dia disembah bersama dengan yang selain-Nya, atau mempersekutukan-Nya dengan yang lain? Tidakkah mereka perhatikan bahwa langit dan bumi itu pada asalnya menyatu. Dengan kata lain, satu sama lainnya menyatu dan bertumpuk-tumpuk pada mulanya. Lalu keduanya dipisahkan dari yang lain, maka langit dijadikan-Nya tujuh lapis, bumi dijadikan-Nya tujuh lapis pula.
Dia memisahkan antara langit yang terdekat dan bumi dengan udara, sehingga langit dapat menurunkan hujannya dan dapat membuat tanah (bumi) menjadi subur karenanya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Al-Anbiya: 30) Padahal mereka menyaksikan semua makhluk tumbuh sedikit demi sedikit dengan jelas dan gamblang. Semuanya itu menunjukkan adanya Pencipta, Yang Membuat semuanya, Berkehendak Memilih, dan Mahakuasa atas segala sesuatu.
..... Pada segala sesuatu terdapat tanda (yang menunjukkan kekuasaan)-Nya, bahwa Dia adalah Maha Esa. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari ayahnya, dari Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya, "Apakah pada permulaannya penciptaan malam lebih dahulu, ataukah siang lebih dahulu?" Ibnu Abbas menjawab, "Bagaimanakah menurut kalian, langit dan bumi saat keduanya masih menjadi satu, tentu di antara keduanya tiada lain kecuali hanya kegelapan.
Demikian itu agar kalian mengetahui bahwa malam itu terjadi sebelum siang." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Hatim dari Hamzah ibnu Abu Muhammad, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar, bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepadanya menanyakan langit dan bumi yang dahulunya suatu yang padu, lalu Allah memisahkan keduanya.
Ibnu Umar berkata, Pergilah kepada syekh itu, lalu tanyakanlah kepadanya, kemudian datanglah kamu kemari dan ceritakanlah kepadaku apa yang telah dikatakannya." Lelaki itu pergi menemui Ibnu Abbas dan menanyakan masalah itu kepadanya. Ibnu Abbas menjawab, "Ya, memang dahulunya langit itu terpadu, tidak dapat menurunkan hujan; dan bumi terpadu (dengannya) sehingga tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan. Setelah Allah menciptakan bagi bumi orang yang menghuninya, maka Dia memisahkan langit dari bumi dengan menurunkan hujan, dan memisahkan bumi dari langit dengan menumbuhkan tetumbuhan." Lelaki itu kembali kepada Ibnu Umar dan menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas.
Maka Ibnu Umar berkata, "Sekarang aku mengetahui bahwa Ibnu Abbas telah dianugerahi ilmu tentang Al-Qur'an. Dia benar, memang demikianlah pada asal mulanya." Ibnu Umar mengatakan, "Sebelumnya aku sering mengatakan bahwa betapa beraninya Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Qur'an, sekarang aku mengetahui bahwa dia benar-benar telah dianugerahi ilmu takwil Al-Our'an." Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa langit ini dahulunya merupakan sesuatu yang terpadu, tidak dapat menurunkan hujan, lalu menurunkan hujan.
Bumi ini juga dahulunya merupakan sesuatu yang terpadu tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan, lalu dijadikan dapat menumbuhkan tetumbuhan. Ismail ibnu Abu Khalid mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Saleh Al-Hanafi tentang makna firman-Nya: bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang terpadu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. (Al-Anbiya: 30) Bahwa langit dahulunya menyatu, lalu dipisahkan menjadi tujuh lapis langit; dan bumi dahulunya menyatu, lalu dipisah-pisahkan menjadi tujuh lapis.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, hanya ditambahkan dalam riwayatnya bahwa langit dan bumi menjadi tidak saling berkaitan. Sa'id ibnu Jubair mengatakan, bahkan langit dan bumi pada mulanya saling melekat; setelah langit ditinggikan dan ditampakkan darinya bumi ini, maka kejadian inilah yang disebutkan 'pemisahan' dalam Al-Qur'an. Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa langit dan bumi merupakan suatu yang terpadu, lalu dipisahkan di antara keduanya oleh udara ini.
Firman Allah ﷻ: Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. (Al-Anbiya: 30) Yakni air merupakan asal mula dari semua makhluk hidup. ". Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, bahwa ia pernah berkata kepada Nabi ﷺ, "Wahai Nabiyullah, apabila aku melihatmu pandanganku menjadi tenang dan hatiku senang.
Maka ceritakanlah kepadaku tentang segala sesuatu." Rasulullah ﷺ bersabda: Segala sesuatu diciptakan dari air. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mengatakan kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, apabila aku melihatmu, jiwaku merasa senang dan pandangan mataku merasa tenang. Maka ceritakanlah kepadaku tentang segala sesuatu." Rasulullah ﷺ bersabda: Segala sesuatu diciptakan dari air. Aku berkata lagi, "Ceritakanlah kepadaku tentang suatu amalan yang bila kukerjakan dapat mengantarkan diriku untuk masuk surga." Rasulullah ﷺ bersabda: Sebarkanlah salam, berilah makan, bersilaturahmilah, dan salatlah di malam hari di saat manusia sedang tidur, maka kamu dapat masuk surga dengan selamat.
Abdus Samad dan Affan serta Bahz telah meriwayatkan hadis ini dari Hammam. Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid, sanadnya sesuai dengan syarat Sahihain, hanya Abu Maimunah adalah salah seorang perawi kitab sunan, nama aslinya Sulaim. Imam Turmuzi menilainya sahih. Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan hadis ini secara mursal dari Qatadah. Firman Allah ﷻ: Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung. (Al-Anbiya: 31) Yaitu gunung-gunung yang dipancangkan di bumi agar bumi stabil dan tetap, supaya tidak guncang bersama manusia.
Yakni agar bumi tidak bergoyang dan terjadi gempa yang akan membuat manusia hidup tidak tenang di permukaannya. Bumi itu tenggelam di dalam air kecuali hanya seperempatnya saja yang menonjol di atas permukaan air untuk mendapat udara dan sinar matahari, agar penduduknya dapat melihat langit dan segala sesuatu yang ada padanya berupa tanda-tanda yang memukaukan dan hikmah-hikmah serta dalil-dalil yang menunjukkan akan kekuasaanNya.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: supaya bumi itu (tidak) guncang bersama mereka. (Al-Anbiya: 31) Maksudnya, agar bumi tidak mengguncangkan mereka. dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas. (Al-Anbiya: 31) Yakni celah-celah di gunung-gunung itu yang dapat mereka jadikan sebagai jalan-jalan dari suatu daerah ke daerah yang lain dan dari suatu kawasan ke kawasan yang lain. Seperti halnya yang kita saksikan, bahwa gunung itu menjadi pembatas alam antara satu negeri dengan negeri yang lain.
Maka Allah menjadikan padanya celah-celah dan lereng-lereng agar manusia dapat menempuhnya dari suatu negeri ke negeri lainnya dengan melaluinya. Karena itulah disebutkan oleh firman selanjutnya: agar mereka mendapat petunjuk. (Al-Anbiya: 31) Adapun firman Allah ﷻ: Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara. (Al-Anbiya: 32) Yakni di atas bumi, langit bagaikan kubah (atap)nya. Seperti halnya yang disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. (Adz-Dzariyat: 47) Dan Allah ﷻ berfirman: dan langit serta pembinaannya. (Asy-Syams: 5) Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? (Qaf: 6) Al-bina artinya pilar kubah, seperti pengertian yang terdapat di dalam sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: Islam dibangun di atas lima pilar. Maksudnya, lima buah pilar penyangga. Hal ini tiada lain menurut kebiasaan orang-orang Arab disebutkan untuk bangunan kemah.
Mahfuzan, artinya yang terpelihara; yakni tinggi dan terjaga agar tidak dapat dicapai. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah ditinggikan. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari Asy'as (yakni Ibnu Ishaq Al-Qummi), dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, bahwa pernah seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah langit ini?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Gelombang yang dicegah dari kalian (agar tidak runtuh menimpa kalian)." Sanad hadis berpredikat garib.
Firman Allah ﷻ: sedangkan mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. (Al-Anbiya: 32) Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam firman-Nya: Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedangkan mereka berpaling dari padanya. (Yusuf: 105) Yakni mereka tidak mau memikirkan tentang apa yang telah diciptakan oleh Allah padanya (langit), seperti luasnya yang sangat besar dan ketinggiannya yang tak terperikan, bintang-bintang yang menghiasinya baik yang tetap maupun yang beredar yang tampak di malam dan siang harinya dari matahari ini yang menempuh cakrawala langit seluruhnya dalam waktu sehari semalam, maka matahari beredar dengan kecepatan yang tiada seorang pun mengetahuinya selain dari Allah yang telah mengadakannya, menundukkannya dan memperjalankannya, begitu pula dengan matahari dan rembulannya.
Ibnu Abud Dunia telah menuturkan sebuah kisah di dalam kitabnya yang berjudul At-Tafakkur wal I'tibar, bahwa sejumlah ahli ibadah Bani Israil melakukan tana brata selama tiga puluh tahun. Seseorang dari mereka bila melakukan ibadah selama tiga puluh tahun, pasti ia dinaungi oleh awan. Tetapi ada seseorang dari mereka yang sudah menjalani ibadahnya selama tiga puluh tahun, namun masih juga tidak ada awan yang menaunginya, tidak seperti yang terjadi pada teman-temannya.
Lalu lelaki itu mengadu kepada ibunya tentang apa yang dialaminya. Maka ibunya menjawab, "Hai anakku, barangkali engkau berbuat dosa dalam masa ibadahmu itu?" Ia menjawab, "Tidak. Demi Allah, saya tidak pernah melakukan suatu dosa pun." Ibunya berkata lagi, "Barangkali kamu berniat akan melakukan dosa." Ia menjawab, "Tidak, saya tidak pernah berniat seperti itu." Ibunya berkata lagi, "Barangkali kamu sering mengangkat kepalamu ke arah langit, lalu menundukkannya tanpa merenungkannya?" Ia menjawab, "Ya, saya sering melakukan hal itu." Ibunya berkata, "Itulah kesalahan yang kamu lakukan." Kemudian Ibnu Abud Dunia membacakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang. (Al-Anbiya: 33) Yakni malam hari dengan kegelapan dan ketenangannya, dan siang hari dengan cahaya dan keramaiannya.
Terkadang waktu yang satu lebih panjang, dan yang lainnya lebih pendek. Begitu pula sebaliknya. matahari dan bulan. (Al-Anbiya: 33) Matahari mempunyai cahaya tersendiri begitu pula garis edarnya. Bulan kelihatan mempunyai cahaya yang berbeda serta garis edar yang berbeda pula. Masing-masing menunjukkan waktu yang berbeda. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (Al-Anbiya: 33) Yaitu beredar. Ibnu Abbas mengatakan bahwa matahari dan bulan masing-masing beredar pada garis edarnya, sebagaimana alat tenun dalam operasinya berputar pada falkah (bandul)nya.
Mujahid mengatakan bahwa alat tenun tidaklah berputar kecuali bila bandulnya berputar; begitu pula bandul alat tenun, ia tidak berputar kecuali bila alat tenunnya berputar. Demikian pula bintang-bintang, matahari dan bulan, semuanya beredar pada garis edarnya masing-masing dengan teratur dan rapi (sehingga tidak terjadi tabrakan). Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am:96)"
Allah lalu mengarahkan perhatian manusia agar memperhatikan kekuasaan-Nya dalam menciptakan waktu malam dan siang. Dan Dia-lah, yang telah menciptakan malam untuk istirahat, dan siang untuk mencari penghidupan; dan Allah telah menciptakan matahari yang bersinar di waktu siang dan bulan yang bercahaya di waktu malam. Masing-masing beredar pada garis edarnya dengan setia, patuh dan tunduk kepada hukum alam ciptaan Allah. 34. Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad sebagai manusia sama dengan manusia lainnya, tidak akan kekal hidup di dunia. Dan Kami tidak menjadikan hidup abadi sebagai suatu sunatullah bagi seorang manusia sebelum engkau Muhammad, siapa, dan bagaimana pun dia. Maka jika engkau wafat, apakah mereka, yang hidup sezaman dengan engkau atau yang hidup di zaman modern, akan kekal'.
Dalam ayat ini Allah mengarahkan perhatian manusia kepada kekuasaan-Nya dalam menciptakan waktu malam dan siang, serta matahari yang bersinar di waktu siang, dan bulan bercahaya di waktu malam. Masing-masing beredar pada garis edarnya dalam ruang cakrawala yang amat luas yang hanya Allahlah yang mengetahui batas-batasnya.
Adanya waktu siang dan malam disebabkan karena perputaran bumi pada sumbunya, di samping peredarannya mengelilingi matahari. Bagian bumi yang mendapatkan sinar matahari mengalami waktu siang, sedang bagiannya yang tidak mendapatkan sinar matahari tersebut mengalami waktu malam. Sedang cahaya bulan adalah sinar matahari yang dipantulkan bulan ke bumi. Di samping itu, bulan juga beredar mengelilingi bumi.
Ayat ini menegaskan kembali apa yang telah Allah firmankan dalam Surah Ibrahim/14:33. Secara luas telah diketahui bahwa matahari dan bulan memiliki "garis edar". Akan tetapi untuk "masing-masing dari keduanya (siang dan malam) beredar pada garis edarnya", merupakan sesuatu yang baru dipahami. Mengapa siang dan malam harus beredar pada garis edar (orbit- manzilah), dan apa bentuk garis orbitnya ?
Setelah dipelajari, ternyata bahwa yang dimaksud dengan "garis edar" ialah tempat kedudukan dari tempat-tempat di bumi yang mengalami pergantian siang ke malam, atau mengalami terbenamnya matahari (gurub). Sepanjang garis khatulistiwa garis ini bergeser dari Timur ke Barat seiring dengan urutan tempat-tempat terbenamnya matahari atau pergantian siang ke malam.
Waktu terbenamnya matahari juga akan bergeser seiring dengan gerakan semu matahari terhadap bumi dari utara ke selatan dan sebaliknya. Pergeseran waktu magrib ini juga bergeser dan membentuk tempat kedudukannya sendiri yang dapat dikatakan sebagai garis edar tahunan dari pergantian siang ke malam. Pada hari-hari tertentu (pada awal bulan) saat terbenam matahari itu juga merupakan awal dari terlihatnya hilal (sabit awal bulan). Sabit ini sangat tipis dan suram sehingga sangat sulit diamati (ruyah). Waktu terbitnya hilal ini akan bergeser dari Timur ke Barat, dan sebagaimana halnya pergantian siang ke malam, garis edarnya juga berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya di permukaan bumi. Bila dipetakan maka tempat kedudukan tempat-tempat waktu terbitnya hilal itu sama dengan waktu terbenamnya matahari itu akan membentuk spiral yang memotong permukaan bumi dua bahkan sampai tiga
Keterangan yang terdapat dalam ayat-ayat di atas adalah untuk menjadi bukti-bukti alamiyah, di samping dalil-dalil yang rasional dan keterangan-keterangan yang terdapat dalam kitab-kitab suci terdahulu, tentang wujud dan kekuasaan Allah, untuk memperkuat apa yang telah disebutkan-Nya dalam firman-Nya yang terdahulu, bahwa "apabila" di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah niscaya rusak binasalah keduanya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Bukti Kekuasaan Tuhan
Ayat 31
“Dan Kami jadikan di bumi ini peneguh-peneguh."
Yang dimaksud dengan peneguh-peneguh itu ialah gunung-gunung dan bukit-bukit. Karena gunung-gunung dan bukit-bukit benar-benar menjadi peneguh. Kalau kiranya gunung dan bukit-bukit tidak ada niscaya tidaklah ada yang akan dapat menahan angin yang senantiasa berhembus amat kerasnya. "Supaya mengokohkan mereka." Dengan adanya gunung dan bukit terhambatlah angin dan kokohlah tegak manusia, tenteram. Baik di waktu berjatan di atas bumiatau-sedang tidur nyenyak atau sedang duduk. Mereka tidak akan diterbangkan oleh angin. "Dan Kami jadikan padanya celah-celah untuk jalan jalan." Celah ialah tanah rendah di antara bukit-bukit yang tinggi.
Dari celah-celah yang terbuka sedikit itu orang dapat membuat jalan-jalan untuk dilalui menempuh jarak yang jauh dari satu negeri ke negeri lain yang diriiami manusia, jadilah dia berberituk jalan karena bekas kaki manusia yang lalu-lintas di sana. Di sana timbul pepatah yang terkenal: “Pusar jalan yang selalu ditempuh lancar kaji karena selalu diulang."
“Supaya mereka dapat petunjuk."
Dengan menempuh celah-celah gunung yang mudah dilalui manusia itu, dan dari sebab jalan itu telah pusar, tidak lagi karena senantiasa dilalui' manusia maka orang tidak akan tersesat lagi, orang akan sampai kepada tempat yang dituju. Menghubungkan dl antara negeri dengan negeri. Jalan-jalan moden yang ada di seluruh dunia sekarang ini, yang dilalui oieh kendaraan bermesin, baik keretapi atau motor dan mobil, asal mula dahulunya tetap dimulai dari jalan-jalan sederhana di celah-celah bukit dahulu kala itu juga. Pengalaman-pengalaman manusia di dalam perjalanan sejarahlah yang memperbaiki jalan-jalan sampai timbul ilmu-ilmu keinsinyuran membuat jembatan panjang, membuat lobang dalam tanah untuk dijadikan jalan. Maka ujung ayat: “Supaya mereka dapat petunjuk", bukan saja petunnjuk cara kemana yang akan dituju, bahkan juga petunjuk cara bagaimana membuat jalan, sampai mencapai kemajuan sebagai sekarang ini.
Ayat 32
“Dan Kami jadikan langit menjadi loteng yang terpelihara."
Langit menjadi loteng yang terbentang luas di atas kepala manusia. Dia selalu terpelihara, tidak jatuh menimpa. Siang hari indah disinari matahari. Malam indah pula oleh tebaran berjuta-juta bintang, atau cahaya bulan. Orang yang halus perasaannya dan cerdas akal budiriya niscaya akan tergetar dan ingat akan kekayaan dan keindahan Allah. Tetapi apalah hendak dikata. Ujung ayat membayangkan kelataian manusia: “Namun dari ayat-ayat Kami mereka berpaling jua,"
Begitu indahnya langit namun hatinya tidak tergetar. Dilihatnya keindahan alam, namun perasaannya tidak langit kepada yang mencipta alam. Itulah pancaindera yang tiada berkontak dengan jiwa, dengan rasa dan akal. Itulah kemanusiaan yang kurang. Yang telah dibayangkan Tuhan pada ayat 179 Surat 7 al-A'raf, bahwa orang-orang semacam itu akan dilemparkan ke dalam neraka jahannam, karena ada hati, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat. Ada telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Orang-orang semacam ini sama saja dengan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka-mereka ini adalah orang yang lalai.
Ayat 33
“Dan Dialah yang menciptakan malam dan siang dan matahari dan bulan."
Terjadi malam dan siang oleh karena bumi berputar pada sumbunya. Bila hari telah malam gelaplah permukaan bumi yang terlindung dari cahaya matahari. Bila hari telah slang timbullah terang kembali. Kejadian malam dan siang sangat sekali berhubungan dengan matahari. Diperingatkan pula bahwa matahari itu Allah juga yang menjadikan. Pergantian malam dan siang, peredaran matahari dan butan, semuanya menimbulkan perhitungan hari, sehari semalam adalah 24 jam, Edaran jalan bumi keliling matahari menimbulkan pula edaran musim yang tetap. Terdapat musim papas, malamnya pendek, siangnya panjang. Sebaliknya di musim dingin, siangnya pendek malamnya panjang. Di antara keduanya diriapat musim.kembang dan musim gugur. Perjalanan dan edaran matahari berulang kembali kepada keadaannya semula setelah 365 hari, sedang edaran bulan kurang dari itu 11 hari, yaitu 354 hari. Maka timbullah hitungan tahun syamsiah menurut edaran matahari dan tahun gamariyah menurut edaran bulan. Dengan demikian manusia pun dapat menghitung berapa umunya yang sudah terpakai dan tetap rahasia berapa lagi yang tinggal.
“Semuanya itu di landasan masing-masing dalam keadaan beredar."
Yasbahun kita artikan beredar. Boleh juga diartikan berenang. Diibaratkan ruang angkasa itu adalah ruang yang kosong, lapang, terluang. Maka baik malaikat ataupun bulan, ataupun berjuta-juta bintang-bintang itu, termasuk bumi terdapat manusia hidup ini adalah beredar, laksana berenang di ruang angkasa yang luas terbentang ini. Tetapi meskipun ruang asa luas terbentang, namun semua itu, atau tiap-tiap itu adalah beredar di landasan masing-masing yang telah ditentukan Allah. Landasan kita pakai jadi makna dari falak semua beredar menuruti garis-garis yang telah ditentukan Allah, sampai-sampai kepada ukuran jarak masing-masing. Misalnya kalau edaran cepat bumi mengelilingi matahari, yang beredar laksana bola kena,sepak, datam beredar masa 365 dalam setahun dia pun berputar cepat, menimbulkan siang dan malam itu dalam 24 jam, maka ada bintang yang edarannya itu lebih lama dari itu, dan lebih jauh jaraknya. Kalau bumi mengelilingi matahari satu tahun 365 hari maka ada bintang yang mengelilingi matahari satu edaran dibanding dengan edaran bumi jadi 40 tahun.
Maka dapatlah kita umpamakan peredaran matahari, bulan dan .bintang itu di atas falak masing-masing laksana jalan raga yang dilalui lalulintas oleh kendaraan-kendaraan bermotor diberi garis putih di tengah-tengah agar pengemudi jangan melanggar garis dan mengambil jalan orang lain, Karena kalau demikian akan terjadi pelanggaran dan hancurlah alam ini seluruhnya, sebab tidak terdapat lagi -apa yang dinamai tawazun; yaitu perseimbangan.
Oleh sebab itu maka perjalanan falak yang teratur sangat teliti itu adalah satu bukti tentang pasti Ada Maha Pengatur.
Tiada Manusia yang Hidup Kekal
Ayat 34
“Dan tiadalah Kami jadikan bagi manusia dari sebelum engkau dalam keadaan kekal."
Tegasnya, bahwa sejak manusia ada di bumi ini, sampai kepada zaman engkau lahir ke dunia, wahai utusanKu, tidaklah pernah seorang juga yang Kami jadikan kekal, tetap hidup tidak mati-mati. Tegasnya semuanya lahir ke dunia, lalu hidup beberapa waktu lamanya, sesudah itu dia pun mati. Yang kekal tidak mati-mati tidak ada.
Apa sebab ada penjelasan seperti ini?
Konon adalah di kalangan kaum Musyrikin penentang ajaran Nabi s.a.w, itu yang berharap bahwa kalau Muhammad telah mati kelak, ajarannya itu akan turut mati. Mereka menunggu-nunggu datang masanya Muhammad itu mati dan mereka akan tinggal hidup. Maka datanglah haritahan di ujung ayat: “Sebab itu jika engkau mati, apakah mereka akan kekal?"
Nabi Muhammad akan mati, karena yang setiap yang bernyawa pasti mati. Dan mereka pun akan mati. Dan bila masanya kedatangan maut itu tidak pula seorang jua pun yang dapat menentukan. Bahkan musyrikin Quraisy yang mengharap ajaran Muhammad akan mati setelah Muhammad mati, sebagian besar di antara mereka mati lebih dahulu daripada Nabi Muhammad s.a.w.
Ayat ini adalah alasanya yang sangat kuat bagi menolak setengah kepercayaan orang tantang masih hidupnya Nabi Khidhir sampai kepada zaman Nabi kita Nabi Muhammad s.a.w. bahkan sampai kepada zaman kita sekarang ini. Ayat ini telah menegaskan bahwa tidak ada di kalangan manusia yang hidup sampai zaman Nabi Muhammad ditakdirkan Allah dalam keadaan Khuld, kekal, tidak mati-mati. Seorang Nabi Khidhir itu hidup di zaman Nabi Musa, yang jarak kirakira 15 abad (1500 tahun) dengan Nabi Muhammad.
Ayat ini mengajar orang berfikir memakai manthik: “Kalau engkau mati hai utusanKu, apakah mereka akan kekal?" Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi dan Rasul yang paling mulia mesti mati. Dahulu dari dia tidak ada seorang. yang kekal. Tentu tidak mungkin akan ada orang yang kekal tidak akan mati-mati sesudah Muhammad mati.
Ayat 35
“Tiap-tiap diri pastilah merasakan mati."
Ini adatah lebih menjelaskan ayat yang sebelumnya. Tiap-tiap diri, yang disebut nafs. Diri di sebut nafs itu pasti berhenti. Berhenti bernafs, niscaya yang diberi nama nafs itu tidak ada lagi. Jelaslah bahwa nafs itu ialah hidup. Berhenti nafs berhenti hidup, artinya mati. Jalan lain tidak ada. Walaupun dia Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Khidhir atau Nabi Muhammad. Luar daripada itu hanya dangeng, bukan kenyataan. "Dan sesungguhnya akan Komi berikan percobaan kepada kamu dengan kesusahan dan kebaikan." Maka dijelaskanlah pada-lanjutan ayat bahwa tatkala masih bemafs sebelum mati percobaan pasti ada. Susah dan senang keduanya cobaan. Kaya atau miakin keduanya cobaan. Naik dan jatuh keduanya cobaan: “Sebagai ujian", kuatkah iman atau tidak. Cobaan-cobaan itu sebagai ujian keteguhan iman mesti ditempuh sebelum mati. Ada yang lulus dari cobaan dan ada yang gagal: “Dan kepada Kamilah kamu semua akan kembali."
Ada yang kembali dengan rasa bahagia karena lulus dalam berbagai ujian hidup dan ada yang pulang dengan hampa dan kegagalan dan jatuh dalam berbagai ujian.
Tentang percobaan dengan yang buruk dan dengan yang sebagai ujian ini. All bin Abu Thalhah meriwayatkan suatu tafsir dari Ibnu Abbas, beliau berkata: “Kadang-kadang kesusahan datang menimpa, kadang-kadang dapat kelapangan hidup;.kadang-kadang sihal, kadang-kadang sakit. Kadang-kadang ada kekayaan, kadang-kadang serba kekurangan. Kadang-kadang bertemu yang halal, kadang-kadang yang baram. Kadang-kadang terasa enak berbuat mat, kadang-kadang terlanjur berbuat maksiat. Kadang-kadang tertempuh jalan yang ditunjukkan Tuhan, kadang-kadang tersesat, Semuanya itu percobaan selama nyawa dikandung badan, sampai nanti datang masanya kembali semua kepada Allah."
Sekian salah satu uraian dari Ibnu Abbas.
Maka adalah orang seorang ganti berganti hujan dan panas menimpa dirinya. Mula-mula dia dicobai dengan penderitaan yang pahit. Di waktu itu dia tahan menderita. Kemudian nasibnya berubah, bintangnya mulai terang, langitnya mula' cerah. Hidupnya mulai senang. Pada waktu itu dia mulai tidak tahan kena cobaan.
Tuhan menjelaskan bahwa kekayaan dan kesempatan yang banyak terbuka kerapkali menyebabkan orang berbuat semau0maunya di muka bumi; sebagai tersebut di Surat 42, asy-Syura, ayat 27.
“Kalau dihamparkan Allah rezeki kepada mereka -hampa-hambanya- niscaya akan berbuat pelanggaran mereka di muka bumi."
Sebaliknya maka kemiskinan dan kesempitan hidup mudah pula membuat orang jadi durhaka kepada Tuhan. Hal ini pernah disebutkan Nabi:
“Nyarislah kemelaratan itu membawa orang jadi kafir."
Inilah yang diperingatkan oleh Tuhan dan selalu pula kita saksikan dalam kehidupan manusia. Mana-mana di antara manusia yang jiwanya tidak mendapat bimbingan agama, hidup yang tidak ada pegangan, itulah yang tidak tahan kena cobaan. Itulah yang banyak jatuh terjerembab ke dalam lobang yang penuh kemurkaan Ilahi, baik karena rezeki yang berlimpah-limpah atau karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi.