Ayat
Terjemahan Per Kata
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
يَرَ
melihat
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُوٓاْ
kafir/ingkar
أَنَّ
bahwasanya
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضَ
dan bumi
كَانَتَا
adalah keduanya
رَتۡقٗا
berpadu
فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ
lalu Kami belah/pisahkan keduanya
وَجَعَلۡنَا
dan Kami jadikan
مِنَ
dari
ٱلۡمَآءِ
air
كُلَّ
tiap-tiap/segala
شَيۡءٍ
sesuatu
حَيٍّۚ
yang hidup
أَفَلَا
apakah maka tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
يَرَ
melihat
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُوٓاْ
kafir/ingkar
أَنَّ
bahwasanya
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضَ
dan bumi
كَانَتَا
adalah keduanya
رَتۡقٗا
berpadu
فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ
lalu Kami belah/pisahkan keduanya
وَجَعَلۡنَا
dan Kami jadikan
مِنَ
dari
ٱلۡمَآءِ
air
كُلَّ
tiap-tiap/segala
شَيۡءٍ
sesuatu
حَيٍّۚ
yang hidup
أَفَلَا
apakah maka tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
Terjemahan
Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah mereka beriman?
Tafsir
(Apakah tidak) dapat dibaca Awalam atau Alam (melihat) mengetahui (orang-orang yang kafir itu, bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu merupakan suatu yang padu) bersatu (kemudian Kami pisahkan) Kami jadikan langit tujuh lapis dan bumi tujuh lapis pula. Kemudian langit itu dibuka sehingga dapat menurunkan hujan yang sebelumnya tidak dapat menurunkan hujan. Kami buka pula bumi itu sehingga dapat menumbuhkan tetumbuhan, yang sebelumnya tidak dapat menumbuhkannya. (Dan daripada air Kami jadikan) air yang turun dari langit dan yang keluar dari mata air di bumi (segala sesuatu yang hidup) tumbuh-tumbuhan dan lain-lainnya, maksudnya airlah penyebab bagi kehidupannya. (Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?) kepada keesaan-Ku.
Tafsir Surat Al-Anbiya': 30-33
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) guncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.
Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. Allah ﷻ berfirman seraya mengingatkan (manusia) akan kekuasaanNya Yang Mahasempurna lagi Mahabesar dalam menciptakan segala sesuatu dan semua makhluk tunduk kepada Keperkasaan-Nya. Untuk itu disebutkan dalam ayat berikut: Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 30) Yakni orang-orang yang mengingkari ketuhanan-Nya lagi menyembah yang lain bersama Dia.
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah, Dialah Yang Maha Menyendiri dalam menciptakan makhluk-Nya, lagi Mahakuasa dalam mengatur makhluk-Nya. Maka apakah pantas bila Dia disembah bersama dengan yang selain-Nya, atau mempersekutukan-Nya dengan yang lain? Tidakkah mereka perhatikan bahwa langit dan bumi itu pada asalnya menyatu. Dengan kata lain, satu sama lainnya menyatu dan bertumpuk-tumpuk pada mulanya. Lalu keduanya dipisahkan dari yang lain, maka langit dijadikan-Nya tujuh lapis, bumi dijadikan-Nya tujuh lapis pula.
Dia memisahkan antara langit yang terdekat dan bumi dengan udara, sehingga langit dapat menurunkan hujannya dan dapat membuat tanah (bumi) menjadi subur karenanya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Al-Anbiya: 30) Padahal mereka menyaksikan semua makhluk tumbuh sedikit demi sedikit dengan jelas dan gamblang. Semuanya itu menunjukkan adanya Pencipta, Yang Membuat semuanya, Berkehendak Memilih, dan Mahakuasa atas segala sesuatu.
..... Pada segala sesuatu terdapat tanda (yang menunjukkan kekuasaan)-Nya, bahwa Dia adalah Maha Esa. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari ayahnya, dari Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya, "Apakah pada permulaannya penciptaan malam lebih dahulu, ataukah siang lebih dahulu?" Ibnu Abbas menjawab, "Bagaimanakah menurut kalian, langit dan bumi saat keduanya masih menjadi satu, tentu di antara keduanya tiada lain kecuali hanya kegelapan.
Demikian itu agar kalian mengetahui bahwa malam itu terjadi sebelum siang." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Hatim dari Hamzah ibnu Abu Muhammad, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar, bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepadanya menanyakan langit dan bumi yang dahulunya suatu yang padu, lalu Allah memisahkan keduanya.
Ibnu Umar berkata, Pergilah kepada syekh itu, lalu tanyakanlah kepadanya, kemudian datanglah kamu kemari dan ceritakanlah kepadaku apa yang telah dikatakannya." Lelaki itu pergi menemui Ibnu Abbas dan menanyakan masalah itu kepadanya. Ibnu Abbas menjawab, "Ya, memang dahulunya langit itu terpadu, tidak dapat menurunkan hujan; dan bumi terpadu (dengannya) sehingga tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan. Setelah Allah menciptakan bagi bumi orang yang menghuninya, maka Dia memisahkan langit dari bumi dengan menurunkan hujan, dan memisahkan bumi dari langit dengan menumbuhkan tetumbuhan." Lelaki itu kembali kepada Ibnu Umar dan menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas.
Maka Ibnu Umar berkata, "Sekarang aku mengetahui bahwa Ibnu Abbas telah dianugerahi ilmu tentang Al-Qur'an. Dia benar, memang demikianlah pada asal mulanya." Ibnu Umar mengatakan, "Sebelumnya aku sering mengatakan bahwa betapa beraninya Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Qur'an, sekarang aku mengetahui bahwa dia benar-benar telah dianugerahi ilmu takwil Al-Our'an." Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa langit ini dahulunya merupakan sesuatu yang terpadu, tidak dapat menurunkan hujan, lalu menurunkan hujan.
Bumi ini juga dahulunya merupakan sesuatu yang terpadu tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan, lalu dijadikan dapat menumbuhkan tetumbuhan. Ismail ibnu Abu Khalid mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Saleh Al-Hanafi tentang makna firman-Nya: bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang terpadu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. (Al-Anbiya: 30) Bahwa langit dahulunya menyatu, lalu dipisahkan menjadi tujuh lapis langit; dan bumi dahulunya menyatu, lalu dipisah-pisahkan menjadi tujuh lapis.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, hanya ditambahkan dalam riwayatnya bahwa langit dan bumi menjadi tidak saling berkaitan. Sa'id ibnu Jubair mengatakan, bahkan langit dan bumi pada mulanya saling melekat; setelah langit ditinggikan dan ditampakkan darinya bumi ini, maka kejadian inilah yang disebutkan 'pemisahan' dalam Al-Qur'an. Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa langit dan bumi merupakan suatu yang terpadu, lalu dipisahkan di antara keduanya oleh udara ini.
Firman Allah ﷻ: Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. (Al-Anbiya: 30) Yakni air merupakan asal mula dari semua makhluk hidup. ". Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, bahwa ia pernah berkata kepada Nabi ﷺ, "Wahai Nabiyullah, apabila aku melihatmu pandanganku menjadi tenang dan hatiku senang.
Maka ceritakanlah kepadaku tentang segala sesuatu." Rasulullah ﷺ bersabda: Segala sesuatu diciptakan dari air. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mengatakan kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, apabila aku melihatmu, jiwaku merasa senang dan pandangan mataku merasa tenang. Maka ceritakanlah kepadaku tentang segala sesuatu." Rasulullah ﷺ bersabda: Segala sesuatu diciptakan dari air. Aku berkata lagi, "Ceritakanlah kepadaku tentang suatu amalan yang bila kukerjakan dapat mengantarkan diriku untuk masuk surga." Rasulullah ﷺ bersabda: Sebarkanlah salam, berilah makan, bersilaturahmilah, dan salatlah di malam hari di saat manusia sedang tidur, maka kamu dapat masuk surga dengan selamat.
Abdus Samad dan Affan serta Bahz telah meriwayatkan hadis ini dari Hammam. Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid, sanadnya sesuai dengan syarat Sahihain, hanya Abu Maimunah adalah salah seorang perawi kitab sunan, nama aslinya Sulaim. Imam Turmuzi menilainya sahih. Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan hadis ini secara mursal dari Qatadah. Firman Allah ﷻ: Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung. (Al-Anbiya: 31) Yaitu gunung-gunung yang dipancangkan di bumi agar bumi stabil dan tetap, supaya tidak guncang bersama manusia.
Yakni agar bumi tidak bergoyang dan terjadi gempa yang akan membuat manusia hidup tidak tenang di permukaannya. Bumi itu tenggelam di dalam air kecuali hanya seperempatnya saja yang menonjol di atas permukaan air untuk mendapat udara dan sinar matahari, agar penduduknya dapat melihat langit dan segala sesuatu yang ada padanya berupa tanda-tanda yang memukaukan dan hikmah-hikmah serta dalil-dalil yang menunjukkan akan kekuasaanNya.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: supaya bumi itu (tidak) guncang bersama mereka. (Al-Anbiya: 31) Maksudnya, agar bumi tidak mengguncangkan mereka. dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas. (Al-Anbiya: 31) Yakni celah-celah di gunung-gunung itu yang dapat mereka jadikan sebagai jalan-jalan dari suatu daerah ke daerah yang lain dan dari suatu kawasan ke kawasan yang lain. Seperti halnya yang kita saksikan, bahwa gunung itu menjadi pembatas alam antara satu negeri dengan negeri yang lain.
Maka Allah menjadikan padanya celah-celah dan lereng-lereng agar manusia dapat menempuhnya dari suatu negeri ke negeri lainnya dengan melaluinya. Karena itulah disebutkan oleh firman selanjutnya: agar mereka mendapat petunjuk. (Al-Anbiya: 31) Adapun firman Allah ﷻ: Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara. (Al-Anbiya: 32) Yakni di atas bumi, langit bagaikan kubah (atap)nya. Seperti halnya yang disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. (Adz-Dzariyat: 47) Dan Allah ﷻ berfirman: dan langit serta pembinaannya. (Asy-Syams: 5) Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? (Qaf: 6) Al-bina artinya pilar kubah, seperti pengertian yang terdapat di dalam sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: Islam dibangun di atas lima pilar. Maksudnya, lima buah pilar penyangga. Hal ini tiada lain menurut kebiasaan orang-orang Arab disebutkan untuk bangunan kemah.
Mahfuzan, artinya yang terpelihara; yakni tinggi dan terjaga agar tidak dapat dicapai. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah ditinggikan. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari Asy'as (yakni Ibnu Ishaq Al-Qummi), dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, bahwa pernah seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah langit ini?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Gelombang yang dicegah dari kalian (agar tidak runtuh menimpa kalian)." Sanad hadis berpredikat garib.
Firman Allah ﷻ: sedangkan mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. (Al-Anbiya: 32) Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam firman-Nya: Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedangkan mereka berpaling dari padanya. (Yusuf: 105) Yakni mereka tidak mau memikirkan tentang apa yang telah diciptakan oleh Allah padanya (langit), seperti luasnya yang sangat besar dan ketinggiannya yang tak terperikan, bintang-bintang yang menghiasinya baik yang tetap maupun yang beredar yang tampak di malam dan siang harinya dari matahari ini yang menempuh cakrawala langit seluruhnya dalam waktu sehari semalam, maka matahari beredar dengan kecepatan yang tiada seorang pun mengetahuinya selain dari Allah yang telah mengadakannya, menundukkannya dan memperjalankannya, begitu pula dengan matahari dan rembulannya.
Ibnu Abud Dunia telah menuturkan sebuah kisah di dalam kitabnya yang berjudul At-Tafakkur wal I'tibar, bahwa sejumlah ahli ibadah Bani Israil melakukan tana brata selama tiga puluh tahun. Seseorang dari mereka bila melakukan ibadah selama tiga puluh tahun, pasti ia dinaungi oleh awan. Tetapi ada seseorang dari mereka yang sudah menjalani ibadahnya selama tiga puluh tahun, namun masih juga tidak ada awan yang menaunginya, tidak seperti yang terjadi pada teman-temannya.
Lalu lelaki itu mengadu kepada ibunya tentang apa yang dialaminya. Maka ibunya menjawab, "Hai anakku, barangkali engkau berbuat dosa dalam masa ibadahmu itu?" Ia menjawab, "Tidak. Demi Allah, saya tidak pernah melakukan suatu dosa pun." Ibunya berkata lagi, "Barangkali kamu berniat akan melakukan dosa." Ia menjawab, "Tidak, saya tidak pernah berniat seperti itu." Ibunya berkata lagi, "Barangkali kamu sering mengangkat kepalamu ke arah langit, lalu menundukkannya tanpa merenungkannya?" Ia menjawab, "Ya, saya sering melakukan hal itu." Ibunya berkata, "Itulah kesalahan yang kamu lakukan." Kemudian Ibnu Abud Dunia membacakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang. (Al-Anbiya: 33) Yakni malam hari dengan kegelapan dan ketenangannya, dan siang hari dengan cahaya dan keramaiannya.
Terkadang waktu yang satu lebih panjang, dan yang lainnya lebih pendek. Begitu pula sebaliknya. matahari dan bulan. (Al-Anbiya: 33) Matahari mempunyai cahaya tersendiri begitu pula garis edarnya. Bulan kelihatan mempunyai cahaya yang berbeda serta garis edar yang berbeda pula. Masing-masing menunjukkan waktu yang berbeda. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (Al-Anbiya: 33) Yaitu beredar. Ibnu Abbas mengatakan bahwa matahari dan bulan masing-masing beredar pada garis edarnya, sebagaimana alat tenun dalam operasinya berputar pada falkah (bandul)nya.
Mujahid mengatakan bahwa alat tenun tidaklah berputar kecuali bila bandulnya berputar; begitu pula bandul alat tenun, ia tidak berputar kecuali bila alat tenunnya berputar. Demikian pula bintang-bintang, matahari dan bulan, semuanya beredar pada garis edarnya masing-masing dengan teratur dan rapi (sehingga tidak terjadi tabrakan). Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am:96)"
Orang-orang kafir tidak berpikir jernih dalam mengamati fenomena alam, padahal peristiwa yang ada di alam ini merupakan bukti adanya Allah dan kekuasaan-Nya yang mutlak. Allah bertanya, "Dan apakah orang-orang kafir, kapan dan di mana saja mereka hidup, tidak memperhatikan secara mendalam bahwa langit dan bumi sebelum terjadi ledakan besar, keduanya dahulu menyatu, kemudian Kami pisahkan antara kedua-nya dengan mengangkat langit ke atas dan membiarkan bumi seperti apa adanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; 'kehidupan dimulai dari air (laut), makhluk hidup berasal dari cairan sperma dan air bagian yang penting bagi makhluk hidup' maka mengapa mereka, orang-orang kafir itu tidak tergerak hatinya untuk beriman kepada Allah'"31. Pada ayat ini Allah mengarahkan pandangan manusia kepada gunung-gunung dan jalan-jalan, serta daratan yang luas di bumi. Dan Kami telah menjadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh dengan maksud agar ia, bumi dengan putarannya yang cepat sekali itu, tetap mantap, tidak terjadi guncangan bersama mereka, manusia dan makhluk hidup lainnya. Dan Kami jadikan pula di bumi jalan-jalan yang luas supaya semua makhluk dapat dengan tenang menjalani kehidupan, dan pada akhirnya agar mereka mendapat petunjuk Allah, baik yang diberikan melalui wahyu maupun petunjuk Allah berupa fenomena alam yang membentang luas ini.
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa kaum musyrikin dan kafir Mekah tidak memperhatikan keadaan alam ini, dan tidak memperhatikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam yang luas ini, padahal dari berbagai peristiwa yang ada di alam ini dapat diperoleh bukti-bukti tentang adanya Allah serta kekuasaan-Nya yang mutlak. Langit dan bumi yang dulunya merupakan suatu kesatuan yang padu, kemudian Allah pisahkan keduanya. Bumi sebelum menjadi tempat hidupnya berbagai makhluk hidup adalah sebuah satelit yaitu benda angkasa yang mengitari matahari. Satelit bumi yang semula panas sekali ini karena berputar terus menerus maka lama kelamaan menjadi dingin dan berembun. Embun yang lama menjadi gumpalan air. Inilah yang menjadi sumber kehidupan makhluk.
Menurut para Ilmuan sains dan teknologi, ada tiga pendapat yang terkait dengan kehidupan yang dimulai dari air, yaitu: Pertama, Kehidupan dimulai dari air, dalam hal ini laut. Teori modern tentang asal mula kehidupan belum secara mantap disetujui sampai sekitar dua atau tiga abad yang lalu. Sebelum itu, teori yang mengemuka mengenai asal mula kehidupan adalah suatu konsep yang diberi nama "generasi spontan". Dalam konsep ini disetujui bahwa mahluk hidup ada dengan spontan ada dari ketidakadaan. Teori ini kemudian ditentang oleh beberapa ahli di sekitar tahun 1850-an, antara lain oleh Louis Pasteur. Dimulai dengan penelitian yang dilakukan oleh Huxley dan sampai penelitian masa kini, teori lain ditawarkan sebagai alternatif.
Teori ini percaya bahwa kehidupan muncul dari rantai reaksi kimia yang panjang dan komplek. Rantai kimia ini dipercaya dimulai dari dalam air laut, karena kondisi atmosfer saat itu belum berkembang menjadi kawasan yang dapat dihuni mahluk hidup karena radiasi ultraviolet yang terlalu kuat. Diperkirakan, kehidupan bergerak menuju daratan pada 425 juta tahun yang lalu saat lapisan ozon mulai ada untuk melindungi permukaan bumi dari radiasi ultraviolet.
Kedua, Peran air bagi kehidupan dapat juga diekspresikan dalam bentuk bahwa semua benda hidup, terutama kelompok hewan, berasal dari cairan sperma. Diindikasikan bahwa keanekaragaman binatang "datangnya" dari air tertentu (sperma) yang khusus dan menghasilkan yang sesuai dengan ciri masing-masing binatang yang dicontohkan
Ketiga, Pengertian ketiga adalah bahwa air merupakan bagian yang penting agar makhluk dapat hidup. Pada kenyataannya, memang sebagian besar bagian tubuh makhluk hidup terdiri dari air. Misalnya saja pada manusia, 70% bagian berat tubuhnya tubuhnya terdiri dari air. Manusia tidak dapat bertahan lama apabila 20% saja dari sediaan air yang ada di tubuhnya hilang. Manusia dapat bertahan hidup selama 60 hari tanpa makan, akan tetapi mereka akan segera mati dalam waktu 3-10 hari tanpa minum. Juga diketahui bahwa air merupakan bahan pokok dalam pembentukan darah, cairan limpa, kencing, air mata, cairan susu dan semua organ lain yang ada di dalam tubuh manusia.
Dari uraian di atas, sangat jelas peran air bagi kehidupan, dari mulai adanya makhluk hidup di bumi (berasal dari kedalaman laut), bagi ke-langsungan hidupnya (air diperlukan untuk pembentukan organ dan menjalankan fungsi organ) dan memulai kehidupan (terutama bagi kelompok hewan ? air tertentu yang khusus ? sperma).
Akan tetapi, perlu diberikan catatan di sini, bahwa Al-Qur'an bukanlah memberikan peluang khusus untuk mendukung teori evolusi. Walaupun semua ayat di atas memberikan indikasi yang tidak meragukan bahwa Allah menciptakan semua mahluk hidup dari air. Ayat terkait an-Nur/24:25, al-Furqan/25: 54.
Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa Al-Qur'an benar-benar merupakan mukjizat yang besar. Kemukjizatannya tidak hanya terletak pada gaya bahasa dan rangkuman yang indah, melainkan juga pada isi yang terkandung dalam ayat-ayatnya, yang mengungkapkan bermacam-macam ilmu pengetahuan yang tinggi nilainya, terutama mengenai alam, dengan berbagai jenis dan sifat serta kemanfaatannya masing-masing. Apalagi jika diingat bahwa Al-Qur'an telah mengemukakan semuanya itu pada abad yang keenam sesudah wafatnya Nabi Isa, di saat manusia di dunia ini masih diliputi suasana ketidaktahuan dan kesesatan. Lalu dari manakah Nabi Muhammad dapat mengetahui semuanya itu, kalau bukan dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya?
Perkembangan ilmu pengetahuan modern dalam berbagai bidang membenarkan dan memperkokoh apa yang telah diungkapkan oleh Al-Qur'an sejak lima belas abad yang lalu. Dengan demikian, kemajuan ilmu pengetahuan itu seharusnya mengantarkan manusia kepada keimanan terhadap apa yang diajarkan oleh Al-Qur'an, terutama keimanan tentang adanya Allah serta semua sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
Setelah menghidangkan ilmu pengetahuan tentang kejadian alam ini, yaitu langit dan bumi, selanjutnya dalam ayat ini Allah mengajarkan pula suatu prinsip ilmu pengetahuan yang lain, yaitu mengenai kepentingan fungsi air bagi kehidupan semua mahluk yang hidup di alam ini, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Maka Allah berfirman, "... dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup."
Pada masa sekarang ini, tidak ada orang yang akan mengingkari pentingnya air bagi manusia, baik untuk bermacam-macam keperluan hidup manusia sendiri, maupun untuk keperluan binatang ternaknya, atau pun untuk kepentingan tanam-tanaman dan sawah ladangnya, sehingga orang melakukan bermacam-macam usaha irigasi, untuk mencari sumber air dan penyimpanan serta penyalurannya. Banyak bendungan-bendungan dibuat untuk mengumpulkan dan menyimpan air, yang kemudian disalurkan ke berbagai tempat untuk berbagai macam keperluan. Bahkan di negeri-negeri yang tidak banyak mempunyai sumber air, mereka berusaha untuk mengolah air laut menjadi air tawar, untuk mengairi sawah ladang dan memberi minum binatang ternak mereka. Ringkasnya manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat hidup tanpa air.
Manusia dan hewan sanggup bertahan hidup berhari-hari tanpa makan, asalkan ia mendapat minum. Akan tetapi ia tidak akan dapat hidup tanpa mendapatkan minum beberapa hari saja. Demikian pula halnya tumbuh-tumbuhan. Apabila ia tidak mendapat air, maka akar dan daunnya akan menjadi kering, dan akhirnya mati sama sekali. Di samping itu, manusia dan hewan, selain memerlukan air untuk hidupnya, ia juga berasal dari air, yang disebut "nuthfah".
Dengan demikian air adalah merupakan suatu unsur yang sangat vital bagi kejadian dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, apabila manusia sudah meyakini pentingnya air bagi kehidupannya, dan meyakini pula bahwa air tersebut adalah salah satu dari nikmat Allah, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak beriman kepada Allah serta untuk mengingkari nikmat-Nya yang tidak ternilai harganya.
Pada akhir ayat ini Allah mengingatkan kita semua, apakah dengan kemahakuasaan Allah ini manusia masih tidak mau beriman? Manusia yang memiliki akal dan mau mempergunakan akalnya seharusnya dapat memahami isi alam ini dan kemudian menjadi orang yang beriman.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Kekuasaan Allah Meliputi Alam Raya
Ayat 30
“Dan apakah tidak melihat orang-orang yang kafir itu bahwasanya langit yang banyak dan bumi itu dahulunya adalah sekepal, lalu Kami pisahkan di antara keduanya."
Apakah tidak melihat orang-orang yang kafir? Artinya apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Kudrat dan Iradat yang sempuma dan Allah, dan kekuasaan yang mutlak tidak ada batasnya? Atas segala yang ujud ini? Tidakkah mereka tahu bahwa Allah itu bebas berbuat sekehendakNya? Mengatur bagaimana mauNya, tidak dicampuri oleh siapa jua pun? Kalau mereka mengetahui ini, tidaklah mereka akan menyia-nyiakan diri dengan memuja dan menyembah yang lain.
Maka pada zaman purbakala langit yang banyak itu, dengan bumi ini adalah sekepal, berpadu satu, lekat, tidak cerai tidak tanggal. Maka lama kelamaan tarpisah-pisahlah di antara yang satu dengan yang lain.
Ahli-ahli tafsir telah menafsirkan ayat ini menurut perkembangan pengetahuan yang ada pada zamannya Ibnu Katsir menafsirkan bahwa langit yang banyak itu, yaitu tujuh petala langit dengan bumi kita ini asal mulanya adalah terpadu satu berhubung-hubungan, berpilin-berpalun, maka lama kelamaan keduanya dipisahkan Tuhan, tujuh petala langit naik ke atas, tujuh petala bumi turun ke bawah. Di antara langit yang terdekat, yaitu langit dunia dengan bumi kita ini dipisahkan dengan udara (hawa). Maka langit pun menurunkan hujan, bumi menumbuhkan tumbuhan.
Kemudian it Ibnu Katsir menyalinkan juga tafsiran dari Ibnu Abbas. Menurut nwayat Ibnu Abi Hatim, diterimanya dari ayahnya, dari Ibrahim bin Abu Hamzan, menyampaikan Kepaaa Kami nanm dan Hamzah bin Abu Muhammad, dari Abdillah bin Dinar dari Ibnu Umar; bahwa datang seorang kepada beliau bertanya dari hal langit uang banyak itu dan bumi, yang mulanya sekepal lalu Tuhan memisahkannya. Lalu Ibnu. Umar berkata: “Pergilah kepada tuan Syaikh dan tanyakan kepada beliau, setelah itu nanti kembali kepadaku, katakan kepadaku apa jawabnya." Maka orang itu pun pergilah kepada Ibnu Abbas menanyakannya. Lalu, berkatalah Ibnu Abbas: “Benar! Mulanya langit sekepal tidak menurunkan hujan, bumi pun sekepal tidak ada yang tumbuh. Tatkala Allah menciptakan penghuni bagi bumi, langit pun ditakdirkan Tuhan menurunkan hujan dan bumi ditakdirkan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Setelah menerima jawaban tersebut orang itu pun kembah kepada Ibnu Umar, mencentakan jawaban itu. Maka berkatalah Ibnu Umar": “Sekarang tahulah-aku bahwa memang Ibnu Abbas telah diberi ilmu al-Qur'an. Dia memang benar. Keadaannya memang begitu." Kata Ibnu Umar selanjutnya: “Telah pernah aku katakan bahwa aku kagum atas keberanian Ibnu Abbas menafsirkan al-Qur'an! Sekarang tahulah aku bagaimana mendalamnya ilmu yang telah_ diberikan kepadanya."
Berkata Ismail bin Abu Khatid: “Aku bertanya kepada Abu Saleh al-Hanafi tentang ‘langit yang banyak dan bumi dahulunya sekepal, lalu Kami pisahkan keduanya', apakah maksudnya. Beliau menjawab: “Tadinya langit itu sat lalu dipisahkan Tuhan jadi tujuh, dan bumi pun satu, lalu dipisahkan Tuhan jadi tujuh." Mujahid menafsirkan begitu, dan ditambahkannya: “Dan tidaklah langit dan bumi itu bersinggungan."
Said bin Jubair menafsirkan pula: “Bahkan langit dan bumi it berdempetdempetan. Maka tatkala langit telah diangkat naik, tersembullah bumi. Dengan demikian Allah memisahkan di antara keduanya."
Ahli tafsir Abu Muslim al-Ashbahani menafsirkan al-fataq dengan ijad: yang berarti menaadakan, dan beliau tafsirkan rataq, dengan arti sebelum terjadi, yang lebih menarik lagi adalah tafsiran yang disalinkan oleh al-Qurthubi dalam Tafsirnya “Al-Jami'u li-ahkamil-Al-Qur'an" sebuah cerita yang ditulis oleh al-Quthi di dalam kitabnya “Uyunul-Akhbar", dari Ismail bin Abu Khatid, tentang tafsir ayat ini, demikian:
“Langit dijadikan Tuhan sendiri, bumi pun dijadikan sendiri. Lalu dipecahkan langit jadi tujuh petala, dan bumi jadi tujuh petala pula. Dijadikan bumi tingkat atas; lalu dijadikan penduduknya jin dan manusia, di sanalah digarisgariskan untuk menaasirkan sungai dan ditumbuhkan di atasnya tumbuhtmbuhan. Dijadikan di sana lautan lalu dinamai dia ru'aa. Luasnya sepanjang 50 tahun perjalanan. Kemudian itu dijadikan pula bumi petala kedua yang panjangnya serupa yang pertama itu pula dan sama luasnya. Di sana diadakan pula makhluk penghuninya mulutnya seperti mulut anjing, tangannya seperti tangan manusia, telinganya seperti telinga sapi dan bulunya seperti bulu kambing. Kalau sudah dekat kiamat penghuni itu akan dilemparkan bumi kepada Ya'juj dan Ma'juj. Nama petala kedua itu ialah Dakmaa.
Kemudian diciptakan pula petala bumi ketiga, tebalnya 500 tahun perjalanan; setengah daripadanya ialah hawa dan udara kepada bumi.
Keempat dijadikan padanya kegelapan dan kala berbisa untuk menyengat penghuni neraka kelak, yang besanya sebesar bagal hitam, ekornya panjang sepanjang ekor kuda, yang setengah memakan yang setengah, sehingga mereka dapat menguasai Anak Adam.
Kemudian Allah menciptakan petala bumi yang kelima sama tebalnya, sama panjangnya dan sama luasnya. Di sana terdapat rantai-rantai dan belenggu-belenggu dan tali-tali untuk mengikat penghuni neraka.
Kemudian itu Allah menciptakan petala bumi keenam. Namanya Mao. Di sana terdapat batu hitam kersang. Dari itu diciptakan tanah untuk lembaga tubuh Adam a.s. Batu itu akan dikirim di hari kiamat. Tiap-tiap satu dari batu itu adalah laksana gunung yang besar. Dia adalah dan belerang yang akan digantungkan di leher si kafir, yang akan membakar mereka sampai hangus muka mereka dan tangan mereka. Itulah yang dimaksud dengan ayat:
“Penyalakannya ialah manusia dan batu."
Kemudian diciptakan Allah petala bumi ketujuh. Namanya ialah ‘Aribah. Di situlah terletak jahannam. Di sana terdapat dua pintu. Pintu yang satu bernama Sijjin dan yang satu lagi bernama Al-Falaq. Adapun Sijjin selalu terbuka, dan sana kafir-kafir akan dimasukkan. Karena akan dilalukan yang punya makanan dan kaum Fir'aun: tetapi yang bernama Al-Falaq tetap tertutup. Tidak akan dibuka sampai hari kiamat. Di tafsir al-Baqarah sudah disebutkan juga tentang tujuh petala bumi, yang jarak dari satu petala ke petala yang lain 500 tahun perjalanan.
Tadi telah kita jelaskan, begInilah ragamnya, tafsir orang zaman lampau yang tidak lerlepas daripada perkembangan ilmu pada masa itu. Dan kita pun tahu pula bahwa perkembangan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi kepada cara penafsiran.
Penulis Syaikh Thanthawi Jauhari dalam Tafsir beliau yang terkenal “Al Jawahir":
“Inilah telah engkau lihat sendiri apa yang dijelaskan oleh al-Qur'an sejak ratusan tahun terlebih dahulu bahwa langit yang banyak dan bumi ini, artinya matahari dan bintang-bintang dan alam-alam yang ada di dalamnya, adalah semuanya sedaging lalu semuanya itu dipisah-pisahkan oleh Allah Ta'ala. Dan kita tegaskan bahwa ini adalah mu`jizat_ Karena ilmu ini belum pernah diketahui, barulah pada zaman sekarang. Tidakkah engkau perhatikan bahwa kebanyakan penafsir berkata bahwa orang-orang kafir di waktu itu tidak ada pada mereka ilmu. Maka jawaban mereka atas yang demikian ialah karena di dalam ayat ini diberitahu kepada mereka, seakan-akan ayat ini menjadi dalil atas mereka untuk menjelaskan apa yang diturunkan bahwa hal ini tidak diciptakan. Ulama-ulama pun menta'wilkan dan mengartikan dengan macam-macam, dan sangat pintar dan awas mereka. Moga-moga Allah merahmati mereka. Sekarang kita saksikan sendiri ilmu yang tersembunyi ini telah dilahirkan oleh Allah di tangan bangsa Eropa, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur'an. Seakan-akan dia berkata: “Orang-orang kafir itu akan melihat bahwa langit yang banyak dan bumi itu adalah sekepal, lalu Kami pisah-pisahkan." Meskipun lafaznya f'il matihi, meceritakan yang telah terjadi, namun yang dimaksud ialah yang akan terjadi, sama juga dengan lafaz: …. Yang artinya “telah datang ketentuan Allah," yaitu kiamat. Yang dimaksud ialah akan datang!
Ini adalah mu'jizat, yang sempuma dari al-Qur'an, dan satu di antara berita ajaib yang diriengar manusia dalam hidup di dunia ini. Oleh sebab itu kita dapat perkataan ini telah menjadi kepercayaan dan pegangan teguh di sekolah-sekolah di Timur dan di Barat. Guru-guru telah rata-rata mengajarkan kepada murid-murid bahwa bumi ini adalah sebagian dari matahari, yang terpisah daripadanya dan sekarang dia berputar kelilingnya.
Sekarang ilmu-itmu ini telah menjadi pegangan, baik oleh orang-orang kafir ataupun orang-orang beriman. Tuhan kita telah berkata kepada kita: “Telah faham orang-orang yang kafir akan berbagai ilmu, bilatah lagi mereka akan beriman kepadaKu! Karena ilmu itu adalah bukti yang menunjukkan kebesaranKu dan hikmatKu, dan kesempumaan buatanKu dan keindahanKu dan keteguhanKu pada perbuatanKu. Sebab Akulah yang menciptakan sekalian yang ada ini. Aku pelihara setingkat demi setingkat dengan pengakuan. Dan Aku jadikan air jadi pangkal hidup yang bernyawa. Gunung-gunung untuk memelihara bumi dari bergeser dan mengalir terus di dataran yang tidak berkesudahan."
Sekian Syaikh Thanthawi Jauhari.
Syaikh Thanthawi Jauhari menyusun tafsirnya di sekitar tahun 1920 sampai 1930. Pada saat itu beliau sedang kagum dan terpesona dengan kemajuan ilmu pengetahuan di Barat. Bagi beliau sendiri yang semata-mata mendapat diriikan Al-Azhar, ilmu-ilmu Barat itu mendapat penghargaan tertinggi, patut menjadi teladan bagi kita orang Timur, terutama orang Islam. Lantaran itu, di dalam Tafsir beliau “Al-Jawahir" tiap-tiap bertemu sesuatu ayat berhu, walaupun sedikit, dengan ilmu falak, ilmu tumbuh--tumbuhan dan lain-lain, maka beliau perpanjanglah keterangan tentang itu, walaunun sudah jauh menyi mpang dari ayat yang tengah ditafsirkan.
Kita lihatlah beliau menafsirkan ayat ini dengan kemajuan ilmu alam yang telah diriapat oleh orang Eropa. Beliau coba, sebagai kebiasaan beliau di ayat-ayat yang lain menyesuaikan ayat dengan ilmu falak dalam perkembangannya di zaman beliau.
Tetapi Sayid Quthub di dalam tafsirnya tidak menerima cara yang ditempuh oleh Syaikh Tanthawi itu, Sayid Quthub menulis:
Jelasnya lalah bahwa langit yang banyak itu dan bumi mulanya sekepal, kemudian terpisah-pisah. Hal ini supaya direnungkan. Tiap-tiap tercapai kemajuan dalam teori-teori ilmu falak dalam percobaan menafsirkan apa yang nampak di alam keliling, tiap timbul pula perkiraan tentang hakikat yang terkandung dalam ayat al-Qur'an yang turun lebih dari 1300 tahun yang telah lampau itu,
Teori ilmu falak yang jadi pegangan zaman sekarang ialah bahwa kelompok bintang-bintang, di antaranya kumpulan sekeliling matahari dan satulitsatulitnya, yang bumi dan bulan termasuk di antaranya, adalah terdiri sejak asal mulanya daripada kabut (sadim: bahasa Arab). Mulanya semuanya itu satu kelompok rapat, yang selalu berputar. Dari putaran itu lama-kelamaan dia mengambil bentuknya masing-masing. Dan bumi adalah sepotong daripada matahari, yang dari perputaran itu dia pun terpisah. Lama-kelamaan dia pun menjadi dingin.
Ini adalah teori ilmu falak ampai di situlah teorintya hari ini, besok mungkin berubah pula. Karena datang teori baru memperbaiki teori dan tafsir yang lama.
Dan kita sebagai penganut akidah ini tidaklah akan mencoba memaksakan ayat al-Qur'an yang jadi pokok keyakinan supaya sesuai hendaknya dengan teori-teori yang hanya kemungkinan, bukan keyakinan. Teori yang hari ini diterima, beresok ditolak. Sebab itu maka tafsir kita “Fi Zhilalil Al-Qur'an" ini tidaklah hendak menyesuai-nyesuaikan nash al-Qur'an dengan teori-teori yang dinamai ilmiah itu. Dan dia bukanlah hakikat ilmiah yang tetap dan tahan diuji sebagai logam berkembang karena panas, air jadi menguap bila panas dan bisa beku jika sangat dingin, dan perumpamaan-perumpamaan lain sebagai hasil dari ujian percobaan (empricisme).
Ingatlah, al-Qur'an bukanlah kitab teori-teori ilmu pengetahuan, dan dia diriatangkan Tuhan bukan pula untuk riset atau analisa ilmiah. Dia adalah tuntunan untuk menempuh hidup. Tuntunan untuk meluruskan jalan akal dan berkembang di dalam batasnya. Untuk meluruskan masyarakat supaya lapang akal bekerja dan berkembang. Dengan tidak memasuki yang ranting-ranting dan sudut-sudut. Atau yang semata-mata ilmiah. Yang itu terserahlah kepada akal sesudah dia diluruskan dan diperkembangkan.
Kadang-kadang memang ada iayarat al-Qur'an tentang hakikat alam sebagai dalam ayat ini: “Langit yang banyak dan bumi adalah mulanya sekepal, lalu Kami pisahkan keduanya." Kita pun menjadi yakin akan kebenarannya karena sudah begitu tersebut di dalam al-Qur'an, meskipun kita tidak tahu bagaimana cara sekepalnya dan bagaimana cara pisahnya langit dengan bumi, atau pisahnya langit dari bumi. Dan kita pun dapat menerima teori-teori ilmu falak selama tidak bertentangan dengan kgsimpulan yang telah diikrarkan oleh al-Qur'an. Tetapi kita tidak akan mengangkut-angkut nash al-Qur'an di belakang teori falakiyah. Dan sekali-kali kita pun tidak hendak meminta supaya sabda ayat suci al-Qur'an, mendapat pengakuan hendaknya dari teori manusia, sebab nash al-Qur'an adalah hakikat yang mesti diyakini, sedang teori manusia bisa berubah.
Sekian kita salinkan tafsiran Sayid Quthub di dalam Tafsir beliau “Di Bawah Lindungan Al-Qur'an".
Dan dengan kita salinkan dari tafsir yang lama-lama, sampai kepada Syaikh Thanthawi Jauhari di pangkal abad ke-20, ulama-ulama mencoba menyesuaikan ayat-ayat al-Qur'an dengan ilmu-ilmu moden maka sampai kepada penafsiran Sayid Quthub, bertemulah kita kembali dengan keperi-badian kita.
Sebab selepas perang dunia kedua, ahli-ahli fikir Islam tidak lagi mencari persesuaian-persesuaian dengan ilmiah-ilmiah sebagai “Islam dan Wetenschap" atau mengartikan Buraq kendaraan Nabi s.a.w. dengan Barq yang berarti kilat, dan lain-lain sebagainya, bukan lagi dipandang cara “moden" melainkan telah ketinggalan zaman.
“Dan Kami jadikan dari air tiap-tiap sesuatu yang hidup."
Ia pun adalah suatu penjelasan yang amat penting dari Tuhan tentang sebab-sebab adanya hidup. Hasil penyelidikan bahwa air adalah penyebab pertama dari timbulnya hidup adalah riset (selidik) yang amat penting, bahkan puncak dari ilmu hayat.
Seluruh dunia pencinta ilmu pengetahuan menganggap bahwa teori Darwin tentang timbulnya permuaan hidup, bahwa bumi ini dahulunya adalah semacam gas, lama-kelamaan berubah menjadi zat yang mengalir, kian lama kian membeku. Mulanya bumi diliputi oleh air belaka, ombak menghempas dan kian lama bumi kian timbul. Buih-buih air membeku menjadi kulit bumi. Dari sInilah timbul lumut, dalam lumut itulah timbul permulaan hidup yang diberi nama protoplasma.
Kemajuan penyelidikan itu menemui puncak kebenarannya, yaitu hidup pertama itu dimulai dengan adanya air. Tidak ada air, tidak mungkin ada hidup. Alat-alat penyelidikan ruang angkasa telah diperbuat untuk menyelidiki adakah agaknya air di bintang lain. Di bulan sudah terang tidak ada air, sebab di sana tak ada hidup.
Segala hasit penyelidikan Darwin atau yang lain itu memang menarik hati. Tetapi sebelum hasil penyelidikan itu dinyatakan orang, namun orang yang beriman kepada al-Qur'an telah menyakini hal itu sebagai akidah, sebagai kepercayaan yang tidak dapat diungkit. Maka segala hasil penyelidikan Darwin dan yang selain Darwin itu nyata tidak dapat menentang al-Qur'an.
Sejak 14 abad yang telah lalu al-Qur'an telah membuka kenyataan-kenyataan seperti ini. Orang boleh menafsirkan dan telah menafsirkan menurut perkembangan ilmu pengetahuan di zamannya. Tafsiran bisa berubah-ubah karena perubahan tempat, karena perubahan masa, karena perubahan hasil penyelidikan.
Meskipun tidak berhenti menyelidik, mengadakan survey, mengadakan riset. Telah diriapat bahwa langit dan bumi tadinya sekepai, kemudian dipisahkan. Telah diriapat bahwa hidup dimulai dari air. Maka datanglah pertanyaan di akhir ayat: “Apakah mereka tidak juga hendak beriman?"
Bukankah sudah patutnya kenyataan itu semuanya menyebabkan mereka beriman, percaya bahwa semuanya itu terjadi karena ADA yang mengaturnya?
Sekarang telah amat maju penyelidikan orang tentang rahasia alam. Sepatutnya berimanlah mereka dan bertambahlah iman jika bertambah penyelidikan. Namun dalam kenyataan mereka bertambah kafir, bertambah sombong
Oleh sebab itu bags seorang Muslim dan Mu'min sejah isyarat-isyarat di dalam kitab sucinya itu, jika dipertemukan dengan hasil selidik manusia adalah menambah dalam imannya kepada Tuhan.