Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّنِيٓ
sesungguhnya Aku
أَنَا
Aku
ٱللَّهُ
Allah
لَآ
tidak ada
إِلَٰهَ
tuhan
إِلَّآ
melainkan
أَنَا۠
Aku
فَٱعۡبُدۡنِي
maka sembahlah Aku
وَأَقِمِ
dan dirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
لِذِكۡرِيٓ
untuk mengingat-Ku
إِنَّنِيٓ
sesungguhnya Aku
أَنَا
Aku
ٱللَّهُ
Allah
لَآ
tidak ada
إِلَٰهَ
tuhan
إِلَّآ
melainkan
أَنَا۠
Aku
فَٱعۡبُدۡنِي
maka sembahlah Aku
وَأَقِمِ
dan dirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
لِذِكۡرِيٓ
untuk mengingat-Ku
Terjemahan
Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku.
Tafsir
(Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku) di dalam salat itu.
Tafsir Surat Taha: 11-16
Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil, "Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Tuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.
Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa. Firman Allah ﷻ: Maka ketika ia datang ke tempat api itu. (Thaha: 11) Maksudnya, mendekati tempat api yang menyala itu. ia dipanggil, "Hai Musa. (Thaha: 11) Di dalam ayat lain disebutkan oleh firman-Nya: Diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah.(Al-Qashash: 30) Sedangkan dalam ayat ini disebutkan: Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu. (Thaha: 12) Yakni yang berbicara denganmu.
maka tanggalkanlah (lepaskanlah) kedua terompahmu. (Thaha: 12) Ali ibnu Abu Talib, Abu Zar, dan Abu Ayyub serta sahabat lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa kedua terompahnya itu terbuat dari kulit keledai yang tidak disembelih. Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya Musa diperintahkan untuk melepaskan kedua terompahnya hanyalah demi memuliakan tanah yang Musa berada padanya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa perintah ini sama dengan perintah yang ditujukan kepada seseorang yang hendak memasuki Ka'bah.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, dimaksudkan agar Musa menginjak tanah suci itu dengan kedua telapak kakinya tanpa memakai terompah. Dan pendapat yang lainnya lagi mengatakan selain itu. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya. Sehubungan dengan firman-Nya, "Tuwa, Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Tuwa adalah nama lembah. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh lainnya yang bukan hanya seorang.
Berdasarkan pengertian demikian, berarti 'ataf disini adalah 'ataf bayan (penjelasan). Menurut pendapat lain, Tuwa maksudnya adalah kata perintah untuk menginjak tanah dengan kedua telapak kaki (tanpa alas kaki). Menurut pendapat yang lainnya lagi, disebutkan demikian karena tempat itu disucikan sebanyak dua kali: Tuwa artinya tanah yang diberkati, penyebutannya merupakan sebutan ulangan (dengan ungkapan lain). Akan tetapi, pendapat yang paling sahih adalah pendapat pertama. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Tuwa. (An-Nazi'at: 16) Adapun firman Allah ﷻ: Dan Aku telah memilih kamu. (Thaha: 13) Ayat ini semakna dengan firman-Nya: Sesungguhnya aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku. (Al-A'raf: 144) Yaitu melebihkan kamu di atas semua manusia di masanya.
Dengan kata lain, dapat pula diartikan bahwa Allah ﷻ berfirman kepada Musa a.s., "Hai Musa, tahukah kamu mengapa Aku mengistimewakan kamu hingga kamu dapat berbicara langsung dengan-Ku, bukan orang lain?" Musa menjawab, "Tidak tahu." Allah berfirman, "Karena sesungguhnya Aku menghargai sikapmu yang rendah diri itu." Firman Allah ﷻ: Maka dengarkanlah apa yang diwahyukan kepadamu (Thaha: 13) Artinya sekarang dengarkanlah olehmu apa yang Aku firmankan melalui wahyu-Ku kepadamu ini: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku. (Thaha: 14) Ini merupakan kewajiban pertama bagi orang-orang mukalaf, yaitu hendaknya ia mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Firman Allah ﷻ: maka sembahlah Aku. (Thaha: 14) Maksudnya, Esakanlah Aku dan sembahlah Aku tanpa mempersekutukan Aku. dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (Thaha: 14) Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah salatlah kamu untuk mengingat-Ku. Menurut pendapat lain, maksudnya ialah dirikanlah salat bilamana kamu ingat kepada-Ku. Makna yang kedua ini diperkuat oleh hadis yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnu Sa'id, dari Qatadah, dari Anas, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian tertidur hingga meninggalkan salatnya atau lupa kepada salatnya, hendaklah ia mengerjakannya saat mengingatnya.
Karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman, "Dirikanlah salat untuk mengingat-Ku. (Thaha: 14) Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis melalui sahabat Anas r.a., bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa tidur meninggalkan salat (nya) atau lupa kepadanya, maka kifaratnya ialah mengerjakannya (dengan segera) manakala ingat kepadanya, tiada kifarat lain kecuali hanya itu. Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. (Thaha: 15) Yakni pasti akan datang dan pasti terjadi. Firman Allah ﷻ: Aku merahasiakan (waktu)nya. (Thaha: 15) Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan maknanya, bahwa Ibnu Abbas membacanya dengan bacaan berikut: "Aku hampir saja merahasiakan waktunya terhadap diri-Ku sendiri." Makna yang dimaksud ialah bahwa waktu hari kiamat itu dirahasiakan oleh Allah ﷻ terhadap semua makhluk. Dikatakan demikian karena tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah ﷻ selamanya. Sa'id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa bacaannya adalah: Min nafsihi (terhadap diri-Nya sendiri). Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Abu Saleh, dan Yahya ibnu Rafi'.
Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Aku merahasiakan (waktu(Thaha: 15) Artinya, Aku tidak akan memperlihatkan tentang waktunya kepada seorang pun selain diri-Ku sendiri. Menurut As-Saddi, tiada seorang pun dari kalangan penduduk langit dan bumi, melainkan Allah merahasiakan terhadapnya tentang waktu hari kiamat. Ayat ini menurut bacaan Ibnu Mas'ud disebutkan seperti berikut: "Aku hampir menyembunyikan waktunya terhadap diri-Ku sendiri." Dengan kata lain, Aku merahasiakan waktu hari kiamat terhadap semua makhluk; sehingga andaikan Aku dapat menyembunyikannya terhadap diri-Ku sendiri, tentulah Aku akan melakukannya.
Menurut pendapat yang lain bersumber dari Qatadah, disebutkan bahwa firman-Nya: Aku merahasiakan (waktu)nya. (Thaha: 15) Menurut suatu qiraat (bacaan) disebutkan, "Aku menyembunyikan waktunya dengan sengaja." Demi usiaku, sesungguhnya Allah menyembunyikan waktunya terhadap para malaikat yang terdekat, para nabi, dan para rasulNya. Menurut kami, ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat lain melalui firman-Nya: Katakanlah, "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. (An-Naml: 65) Dan firman Allah ﷻ: Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepada kalian melainkan dengan tiba-tiba. (Al-A'raf: 187) Yakni amatlah berat pengetahuan mengenainya bagi makhluk yang ada di langit dan di bumi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Minjab, telah menceritakan kepada kami Abu Namilah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sahl Al-Asadi, dari warga yang mengatakan bahwa Sa'id ibnu Jubair telah membacakan kepadanya ayat berikut: Aku merahasiakan (waktu)nya. (Thaha: 15) dengan bacaan akhfiha yang artinya menampakkannya yakni hampir-hampir Allah ﷻ menampakkan pengetahuan mengenai waktu hari kiamat. Kemudian ia mengatakan bahwa tidakkah engkau pernah mendengar perkataan seorang penyair yang mengatakan dalam salah satu bait syairnya: ...
... Telah berlalu masa dua bulan, kemudian ditambah lagi satu bulan penuh tinggal di Arbakin dan tanam-tanaman mulai menguning. As-Saddi mengatakan bahwa al-gamir ialah tanaman basah yang tumbuh di pematang yang kering, yakni tanamannya sudah mulai masak. Arbakin nama sebuah tempat. Ad-damik satu bulan penuh. Syair ini dikatakan oleh Ka'b ibnu Zuhair. Firman Allah ﷻ: agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (Thaha: 15) Yakni Aku pasti mengadakan hari kiamat agar Aku melakukan pembalasan kepada setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (Az-Zalzalah: 7-8) Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: sesungguhnya kalian hanya diberi balasan terhadap apa yang telah kalian kerjakan. (Ath-Thur: 16) Adapun firman Allah ﷻ: Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya. (Thaha: 16), hingga akhir ayat. Makna yang dimaksud ialah bahwa khitab dalam ayat ini ditujukan kepada setiap individu orang-orang mukallaf, sekalipun lahiriahnya khitab ditujukan kepada Nabi ﷺ Dengan kata lain, janganlah kalian mengikuti jalan orang-orang yang tidak percaya dengan adanya hari kiamat, mereka hanya mengejar kesenangan dan kenikmatan duniawi lagi durhaka kepada Tuhannya serta mengikuti hawa nafsunya.
Maka barang siapa yang mengikuti jejak mereka, sesungguhnya dia telah merugi dan kecewa. yang menyebabkan kamu binasa. (Thaha: 16) Yakni kamu akan binasa dan hancur bila mengikuti jejak mereka, Allah ﷻ telah berfirman dalam ayat lain: Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (Al-Lail: 11)"
Wahai Musa, ketahuilah sesungguhnya Aku ini adalah Allah, Tuhanmu, dan sungguh tidak ada tuhan pencipta alam raya yang layak disembah selain Aku, maka berimanlah kepada-Ku, sembahlah Aku, dan laksanakanlah salat untuk mengingat-Ku dan bersyukur kepada-Ku. ' Inilah prinsip pertama akidah, yaitu keesaan Tuhan.
15. Allah lalu menyusuli dengan prinsip berikutnya, yaitu keniscayaan kiamat. "Sungguh, hari kiamat itu akan datang tanpa ada keraguan sedikit pun tentangnya, namun Aku merahasiakan waktu kedatangannya. Karena itu, siapkanlah dirimu untuk menghadapinya. Hari kiamat itu merupakan suatu keniscayaan agar setiap orang yang mukalaf dibalas sesuai
dengan apa yang telah dia usahakan dalam kehidupannya di dunia ini. '
.
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa wahyu yang utama dan yang disampaikan ialah bahwa tiada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah dan tiada sekutu bagi-Nya, untuk menanamkan rasa tauhid, mengesakan Allah, memantapkan pengakuan yang disertai dengan keyakinan dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Oleh karena itu hanya Dialah satu-satunya yang wajib disembah, ditaati peraturan-peraturan-Nya. Tauhid ini, adalah pokok dari segala yang pokok, dan tauhid ini juga merupakan kewajiban pertama dan harus diajarkan lebih dahulu kepada manusia, sebelum pelajaran-pelajaran agama yang lain.
Pada akhir ayat ini Allah menekankan supaya salat didirikan. Tentunya salat yang sesuai dengan perintah-Nya, lengkap dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, untuk mengingat Allah dan berdoa memohon kepada-Nya dengan penuh ikhlas. Salat disebut di sini secara khusus, untuk menunjukkan keutamaan ibadat salat itu dibanding dengan ibadat-ibadat wajib yang lain, seperti puasa, zakat, haji dan lain-lain. Keutamaan ibadat salat itu antara lain ialah apabila dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan tata tertib yang telah digariskan untuknya, ia akan mencegah seseorang dari perbuatan yang keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah:
Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-'Ankabut/29: 45)
Sebagian ahli Tafsir berpendapat bahwa penutup ayat ini, ditujukan kepada orang yang tidak menunaikan salat pada waktunya, apakah karena lupa atau yang lainnya, supaya melaksanakannya apabila ia sudah sadar dan mengingat perintah Allah yang ditinggalkan itu sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ
Barang siapa yang tertidur dari salat atau lupa, maka imbangannya (kafaratnya) adalah salat ketika ia ingat. Tidak ada imbangan lain selain itu. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)
Dan sabdanya pula:
Apabila salah seorang kamu tidur sehingga tidak salat atau lupa salat hendaklah ia menunaikannya apabila ia telah mengingatnya, karena sesungguhnya Allah berfirman, "Dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas)
Salah satu fungsi salat adalah untuk mengingat Allah, namun bukan berarti boleh tidak menunaikan salat hanya cukup ingat kepada Allah, karena zikir itu dengan hati, lisan dan anggota badan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PANGGILAN ALLAH KEPADA MUSA
Di ayat ini sampailah Allah kepada kisah Nabi Musa a.s.
Ayat 9
“Dan apakah telah sampai kepada engkau pembicaraan tentang Musa?"
Bunyi ayat bersifat pertanyaan, tetapi maksudnya adalah tanya untuk menguatkan berita. Menurut Ibnu Abbas artinya ialah “Bukankah sudah datang kepada engkau berita tentang Musa?"
Menurut Tafsir dari Ibnu Katsir, setelah habis perjanjian Nabi Musa dengan mertuanya di negeri Madyan mengembalakan kambing mertuanya itu selama 8 tahun, atau 10 tahun kalau Musa sudi menambah, sebagai mahar kawin dengan anak perempuannya, maka berangkatlah Nabi Musa bersama anak istrinya, meninggalkan Madyan menuju Mesir. Karena sudah lebih dari sepuluh tahun negeri Mesir itu beliau tinggalkan. (Lihat surah al-Qashash, 23, Juz 20).
Di tengah perjalanan jauh bersama anak-anak dan istrinya itu, tersesat jalanlah beliau, padahal waktu itu musim dingin. Dicobanya membuat api dengan menggosokkan di antara dua kayu kering, namun api tidak juga timbul. Lalu berhentilah beliau di salah satu pinggiran gunung dalam kedinginan, kegelapan dan awan-awan tebal. Hari dingin, anak-anak telah lapar dan haus, api pun tidak ada. Sedang beliau duduk termenung menjaga anak-anak itu, tiba-tiba kelihatanlah oleh beliau api di lereng gunung.
Ayat 10
“Seketika dia melihat api, lalu berkatalah dia kepada keluanganya: “Sesungguhnya aku ada melihat api."
Terlihatnya api, di waktu sangat memerlukan api adalah sangat menimbulkan harapan dan kebesaran hati. Di dalam ayatini Nabi Musa melihat api itu memakai bahasa aanastu naran. Kalimat aanastu itu bukan saja berarti melihat, melainkan melihat dengan timbul pengharapan dan kegembiraan, laksana senangnya hati seseorang bertemu kembali dengan teman lama yang telah lama dirindukan."Moga-moga aku datang (membawakan) untuk kamu dari api itu agak sejemput." Membawakan sekadar untuk memanaskan air ataupun memasakkan makanan, sehingga anak-anakyang kedinginan dan kelaparan dalam perjalanan jauh itu segar kembali.
“Atau aku akan mendapat di tempat api itu suatu petunjuk."
Tafsir dari ujung ayat ini mengandung dua makna. Mungkin yang beliau maksudkan dengan api itu beliau mengharap akan mendapat petunjuk, ialah karena beliau telah tersesat jalan, tak tahu pedoman jalan lagi sebab gelap. Moga-moga bila dapat api itu, dapatlah dijadikan suluh melanjutkan perjalanan. Dan arti yang kedua ialah bahwa mungkin telah dirasa dalam jiwa Nabi Musa bahwa api itu bukan sembarang api. Mungkin ada sesuatu yang akan beliau temui di tempat yang sunyi sepi di lereng gunung itu. Maka kalau itu api sebenarnya, dia akan pulang segera membawanya agak sepotong kecil, dan kalau itu adalah petunjuk dari Allah tentang hal sesuatu yang gaib, beliau pun ingin tahu juga. Sebab api di lereng gunung adalah suatu hal yang menakjubkan. Apakah yang ada di sana? Adakah manusia di situ?
Ayat 11
“Maka tatkala dia datang ke tempat itu."
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa setelah Musa sampai ke tempat api itu kelihatanlah olehnya sepohon kayu yang berwarna api yang kehijauan, sejak dari uratnya sampai kepada pucuknya. Sangat tercengang beliau melihat dari sangat sinarnya api itu dan sangat hijaunya pohon itu. Api tidak dapat merubah kehijauan pohon, dan pohon yang sangat subur penuh air tidak pula dapat mengubah warna api: Di tengahnya kelihatan cahaya yang besar.
“Dipanggillah dia: Hai Musa!"
Didengarnya namanya dipanggil, “Musa!" Tentu saja terkejutlah Musa mendengar nama-nya dipanggil. Entah dari mana datangnya suara, tidaklah ada perlunya kita katakan sekarang. Jangan sampai kita terlibat pula ke dalam perdebatan apakah Kalam Allah itu berhuruf bersuara. Kalau berhuruf dan bersuara, niscaya serupalah suara Allah dengan yang baru. Di dalam surah an-Nisaa', ayat 164 Allah sendiri yang telah menjelaskan
“Dan Allah telah bercakap dengan Musa, sebenar bercakap." (an-Nisaa': 164)
Bagaimana cara percakapan itu adalah pengalaman dari nabi-nabi dan rasul-rasul Allah. Apa yang mereka ceritakan kita terima dengan sepenuh hati.
Lalu didengarnya pulalah sambungan dari perkataan itu.
Ayat 12
“Sesungguhnya Aku ini adalah Tuhanmu."
Mendengarkan sambungan kata itu mengertilah Musa bahwa dia adalah berhadapan dengan Allah sendiri. Tetapi Tuhannya sendiri tidak kelihatan. Inilah pada pertemuannya yang kedua kali kelak yang menyebabkan
Musa lebih berani. Dia memohon agar Allah memperlihatkan diri kepadanya. Tetapi per-mohonannya itu tidak dikabulkan Allah. Disinari saja oleh Allah puncak gunung dengan kudrat iradatnya, lalu runtuhlah puncak gunung yang terjadi dari batu-batu granit itu, berderai ke bawah. Dan pingsanlah Musa. (Sebagaimana tersebut di dalam surah al-A'raaf ayat 143, Juz 9).
Ini adalah pengalaman pertama. Musa telah diliputi oleh suatu perasaan yang hebat. Lalu Allah menyambung firman-Nya
“Maka tanggalkanlah kedua belah terompahmu, sesungguhnya engkau sedang berada di lembah yang suci; Thuwa."
Ada dua macam tafsir mengapa Musa disuruh menanggalkan terompah sesampai di lereng bukit itu. Setengah tafsir mengatakan karena pada terompah yang dipakainya itu terdapat najis atau kotoran. Sebab itu disuruh membuka. Tetapi Said bin jubair menafsirkan, bahwasanya menanggalkan terompah karena akan menginjak bumi yang dimuliakan itu adalah menambah rasa hormat dan merendahkan diri. Sebagaimana masuk Ka'bah pun orang seharusnya jangan beralas kaki. Dan ada pula di antara raja-raja zaman dulu ditanggalkan orang-orang alas kaki jika akan datang menghadap. Inilah rupanya yang terkesan dalam jiwa Imam Malik bin Anas. Imam yang besar ini merasa kuranglah hormatnya kepada Nabi ﷺ jika dia mengendarai kendaraannya dekat-dekat kuburan Rasulullah di Madinah. Dan ini pula yang menjadi sebab agaknya maka Rasulullah ﷺ pernah mengatakan kepada sahabatnya Basyir bin al-Khashashiyah bila dia berjalan dekat kuburan agar terompahnya ditanggalkan.
Maka diterangkan Allah-lah sebabnya maka terompah harus ditanggalkan. Yaitu karena Musa telah sampai di lembah yang disucikan, namanya Thuwa.
Arti Thuwa itu sendiri pun telah suci. Lalu dikatakan disucikan pula. Jadilah dia dua kali suci. Ke sanalah Musa dipanggil.
Lalu datanglah firman Allah selanjutnya,
Ayat 13
“Dan Aku telah memilih engkau!"
Dengan ucapan Allah yang demikian, maka mulai saat itu Musa telah menerima tugasnya dari Allah langsung, menjadi Nabi dan menjadi Rasul. Pilihan Allah telah jatuh kepada dirinya.
“Sebab itu dengarkanlah apa yang akan Aku wahyukan."
Dengan demikian disuruhlah Musa mendengarkan firman Allah baik-baik dan supaya dipahamkan. Sebagaimana diterangkan oleh Wahab bin Munabbih, “Setengah dari adab mendengar ialah seluruh anggota tenang, mata menekur, telinga dipasang baik-baik, akal ber-sedia, dan bertekad hendak melaksanakan." Sufyan bin Uyainah pun mengatakan, “Pangkal ilmu ialah mendengarkan baik-baik, kemudian memahamkannya, sesudah itu meletakkannya dalam ingatan kemudian itu diamalkan sesudah itu disebarkan."
Dan kata Sufyan selanjutnya, “Dan apabila seorang hamba Allah telah mendengar bunyi Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, ‘alaihish-shalatu wassalamu dengan niat yang tulus, menurut yang dicintai oleh Allah, niscaya akan melekatlah ilmu itu dalam dirinya dan diberilah dalam kalbunya suatu cahaya."
Kemudian itu maka Allah melanjutkan lagi menjelaskan dasar yang akan jadi pegangan sebagai seorang Rasul. Allah berfirman,
Ayat 14
“Sesungguhnya Aku inilah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku."
Inilah pangkal pokok segala Risalah dan Nubuwwah. Dan sini dimulai segala pengajian, yang wajib tiap-tiap orang mukallaf mengingat dan memegangnya teguh.
“Sebab itu sembablah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku."
Di sinilah kita mendapat paham bahwasanya yang terlebih dahulu diwahyukan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul ialah tentang Allah. Bahwa Allah itu hanya satu, berdiri sendirinya. Tiada Dia bersekutu dengan yang lain. Setelah mantap keyakinan yang demikian, yang dinamai juga aqidah, maka datanglah perintah agar Allah itu disembah, Allah itu dikhidmati dan dipuja. Karena di sanalah permulaan untuk menguatkan jiwa bagi Musa sebagai seorang rasul Allah. Kemudian itu hendaklah dirikan shalat, untuk menjadikan diri selalu ingat kepada Allah. Adanya perintah mengerjakan shalat ialah supaya ingat kepada Allah itu tetap ada.
Selanjutnya berfirmanlah Allah.
Ayat 15
“Sesungguhnya Hari Kiamat itu pastilah akan datang."
Ini pun pokok kepercayaan yang mesti jadi pegangan. Terutama terlebih dahulu jadi pegangan erat bagi seorang nabi atau rasul. Sesudah yakin percaya akan adanya Allah, percayatah pula bahwa di belakang hidup yang sekarang ini akan datang hari Kiamat, yang disebut juga saat. Saat yang ditunggu-tunggu selamanya dan pasti datang."Sengaja Aku rahasiakan waktunya/' kata Allah selanjutnya. Tak ada seorang pun yang tahu, walau malaikat sekalipun, bila Kiamat itu akan datang. Kepada nabi-nabi pun Kiamat itu dirahasiakan, termasuk kepada Musa sebagai tersebut di dalam ayat ini, atau kepada Nabi Muhammad, sebagai ditegaskan di dalam ayat terakhir (38) dari surah Luqmaan. Dan ketika Jibril datang menziarahi Rasulullah ﷺ yang sedang dikelilingi oleh sahabat-sahabat, bila akan terjadi Hari Kiamat itu, Nabi pun menjawab,
“Tidaklah yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya."
Sebabnya maka tidak diberitahukan itu telah dijelaskan pada sambungan ayat,
“Supaya tiap-tiap diri dibalas dengan apa yang dia usahakan."
Tidak diberitahukan bila akan datang Kiamat itu. Supaya manusia hidup bekerja sebagai biasa. Beramal dan berusaha menurut sewajarnya, jangan sampai mengejutkan atau menimbulkan bermalas-malas.
Hikmah ini telah kita dapati di zaman kita sekarang ini. Sehabis Perang Dunia Kedua, bertahun-tahun lamanya orang cemas akan datang lagi Perang Dunia Ketiga. Seakan-akan perang itu akan terjadi cepat sekali. Maka macam-macamlah perangai manusia. Pada kota-kota besar di Amerika dan Eropa tiap malam orang menyalakan lampu besar bersinar jauh, untuk mengetahui kalau-kalau ada kapal udara musuh akan menyerang kota itu. Gereja-gereja jadi sesak dengan orang yang shalat, karena takut akan mati ditimpa bom. Tetapi ada pula orang yang melepaskan segala nafsu syahwatnya; minum-minuman keras sampai mabuk. Katanya hendak menghindarkan himpitan pikiran karena takut akan peperangan. Dan ada pula pemuda-pemudi karena putus harapannya akan ketenteraman hidup, atau karena menyangka akan lekas mati, lalu dilepaskannyalah segala nafsu dan syahwat, bergaul di luar nikah, dengan dasar pikiran, mengapa kita bermenung-menung. Sedang masih ada hidup, puaskanlah diri sepuas-puasnya.
Dengan sebab Allah merahasiakan bila Kiamat akan datang, dan menjanjikan bahwa segala perbuatan dan amal dan usaha akan mendapat ganjaran yang setimpal, manusia pun tenanglah hidup. Karena di samping Kiamat Kubra, Kiamat besar, tiap-tiap manusia pun menempuh Kiamatnya sendiri dengan tibanya maut.
Selanjutnya firman Allah kepada Musa,
Ayat 16
“Maka sekali-kali janganlah engkau (dapat) dipalingkan darinya."
Jangan sampai dapat dipalingkan, dipe-sonakan, dikisarkan dari tujuan yang pertama, yaitu mendidik dan mempertebal iman sendiri dengan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa, Yang tidak bersekutu dengan yang lain, dan mengabdikan diri kepada Allah itu dan shalat agar selalu dapat ingat kepadanya. Janganlah sampai engkau, hai Musa, dapat dipalingkan daripada tujuan risalahmu itu."Oleh orang-orang yang tidak percaya dengan dia." Yaitu orang-orang yang tidak percaya kepada Allah.
“Dan hanya menuruti hawanya, menyebabkan dia binasa."
Inilah amanah pertama dan Allah kepada Musa.
Pertama, teguhkan aqidah kepada adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia.
Kedua, sediakan hidup buat selalu berbakti kepadanya.
Ketiga, dirikan shalat agar Allah tiada lepas buat selama-lamanya dari ingatan.
Keempat, selalu ingat bahwa perialanan hidup ini pasti berakhir dengan sa'at, yaitu waktu yang ditentukan. Bagi alam ialah Kiamat yang besar. Bagi diri masing-masing yang bernyawa ialah maut.
Kelima, hendaklah teguhkan hati, tetapkan langkah, jangan peduli bujuk rayu, halangan dan rintangan, dan tipuan dari manusia yang tidak memegang kepercayaan yang demikian.
Amanat Allah yang seperti ini adalah amat perlu. Karena tugas yang terpikul ke atas pundak Musa adalah amat berat dan lawan yang akan beliau hadapi, baik keluar, yaitu Fir'aun, atau ke dalam, yaitu kaumnya sendiri Bani Israil adalah sangat-sangat meminta keteguhan jiwa, ketabahan hati yang tidak mengenal mundur, dan tidak dapat ditipu atau dirayu dengan apa saja.