Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالَ
dia berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
لِمَ
mengapa
حَشَرۡتَنِيٓ
Engkau mengumpulkan aku
أَعۡمَىٰ
buta
وَقَدۡ
dan/padahal sesungguhnya
كُنتُ
adalah aku
بَصِيرٗا
seorang yang melihat
قَالَ
dia berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
لِمَ
mengapa
حَشَرۡتَنِيٓ
Engkau mengumpulkan aku
أَعۡمَىٰ
buta
وَقَدۡ
dan/padahal sesungguhnya
كُنتُ
adalah aku
بَصِيرٗا
seorang yang melihat
Terjemahan
Dia berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal sungguh dahulu aku dapat melihat?”
Tafsir
(Berkatalah ia, "Ya Rabbku! Mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal dahulunya aku adalah orang yang melihat?") yakni di kala ia hidup di dunia melihat tetapi di kala ia dibangkitkan hidup kembali buta.
Tafsir Surat Taha: 123-126
Allah berfirman, "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain, maka jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari per ingatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Berkatalah ia, "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman, "Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan. Allah berfirman kepada Adam, Hawa, dan iblis, "Turunlah kalian semua dari surga!" Penjelasan mengenai hal ini telah kami kemukakan dalam tafsir surat Al-Baqarah.
sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain. (Thaha: 123) Yakni Adam dan keturunannya lawan iblis dan keturunannya. Firman Allah ﷻ: maka jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku. (Thaha: 123) Abul Aliyah mengatakan yang dimaksud dengan petunjuk ialah melalui para nabi dan para rasul serta keterangan yang disampaikan mereka. lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (Thaha: 123) Ibnu Abbas mengatakan, bahwa dia tidak akan sesat di dunia ini dan tidak akan celaka di akhiratnya nanti.
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku. (Thaha: 124) Yaitu menentang perintah-Ku dan menentang apa yang Kuturunkan kepada rasul-rasul-Ku, lalu ia berpaling darinya dan melupakannya serta mengambil petunjuk dari selainnya. maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thaha: 124) Yakni kehidupan yang sempit di dunia. Maka tiada ketenangan baginya dan dadanya tidak lapang, bahkan selalu sempit dan sesak karena kesesatannya; walaupun pada lahiriahnya ia hidup mewah dan memakai pakaian apa saja yang disukainya, memakan makanan apa saja yang disukainya, dan bertempat tinggal di rumah yang disukainya.
Sekalipun hidup dengan semua kemewahan itu, pada hakikatnya hatinya tidak mempunyai keyakinan yang mantap dan tidak mempunyai pegangan petunjuk, bahkan hatinya selalu khawatir, bingung, dan ragu. Dia terus-menerus tenggelam di dalam keragu-raguannya. Hal inilah yang dimaksudkan dengan penghidupan yang sempit. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thaha: 124) Yaitu kesengsaraan.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thaha: 124) Segala sesuatu yang Aku berikan kepada seorang hamba, sedikit atau banyak, ia tidak bertakwa kepada-Ku karenanya, maka tiada kebaikan pada sesuatu itu; inilah yang dimaksud dengan kehidupan yang sempit. Ibnu Abbas mengatakan pula bahwa sesungguhnya bila ada suatu kaum yang sesat, mereka berpaling dari kebenaran, padahal kehidupan mereka makmur dan mudah lagi bersikap sombong; maka itulah yang dinamakan kehidupan yang sempit.
Dikatakan demikian karena mereka memandang bahwa tidaklah Allah menentang prinsip kehidupan mereka yang berburuk sangka kepada Allah dan mendustakan-Nya. Apabila seorang hamba mendustakan Allah dan berburuk sangka terhadap-Nya serta tidak percaya kepada-Nya, maka kehidupannya menjadi keras, dan kehidupan yang keras inilah yang dimaksud dengan kehidupan yang sempit dalam ayat ini. Ad-Dahhak mengatakan, kehidupan yang sempit ialah pekerjaan yang buruk dan rezeki yang kotor.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan Malik ibnu Dinar. Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Abu Hazim, dari Abu Salamah, dari Abu Sa'id sehubungan dengan makna firman-Nya: kehidupan yang sempit. (Thaha: 124) Bahwa kuburannya menjepitnya (mengimpitnya) sehingga tulang-tulang iganya berantakan (bila ia telah mati nanti). Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa An-Nu'man ibnu Abu Iyasy nama julukannya adalah Abu Salamah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Safwan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Lahi'ah, dari Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thaha: 124) Bahwa makna yang dimaksud ialah kuburan mengimpitnya.
Predikat mauquf hadis ini lebih dibenarkan (daripada predikat marfu -nya). Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Diraj Abus Samah, dari Ibnu Hujairah yang nama aslinya Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda, "Orang mukmin di dalam kuburnya seakan-akan berada di dalam suatu taman yang hijau, dan diluaskan baginya kuburnya seluas tujuh puluh hasta, lalu diberi cahaya di dalam kuburnya sehingga terang seperti malam di bulan purnama.
Tahukah kalian sehubungan dengan apakah ayat berikut diturunkan: 'maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit' (Thaha: 124) Tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan penghidupan yang sempit?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah ﷺ bersabda: Azabnya orang kafir di dalam kuburnya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya dia dikuasai oleh sembilan puluh sembilan ular naga. Tahukah kalian apakah ular naga itu? Yaitu sembilan puluh sembilan ular besar, tiap ekor ular mempunyai tujuh kepala; semuanya menyembur tubuh si kafir itu, mematuki, dan mencakarinya sampai hari berbangkit nanti.
Predikat marfu' hadis ini munkar sekali (ditolak sama sekali). Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Ibnu Hujairah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thaha: 124) Nabi ﷺ bersabda: Penghidupan yang sempit yang disebutkan oleh Allah ialah Dia menguasakan si orang kafir kepada sembilan puluh sembilan ular, yang semuanya menggerogoti dagingnya sampai hari kiamat terjadi. ". Al-Bazzar mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thaha: 124) Bahwa yang dimaksud ialah azab kubur.
Sanad hadis berpredikat jayyid. Firman Allah ﷻ: dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Thaha: 124) Menurut Mujahid, Abu Saleh, dan As-Saddi, makna yang dimaksud ialah bahwa orang yang bersangkutan tidak mempunyai alasan kelak di hari kiamat untuk membela dirinya. Ikrimah mengatakan bahwa orang kafir dibutakan matanya dari segala sesuatu, kecuali neraka Jahanam. Dapat pula ditakwilkan bahwa makna yang dimaksud ialah orang kafir dibangkitkan atau digiring ke neraka dalam keadaan buta penglihatan, juga buta hatinya.
Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahanam. (Al-Isra: 97), hingga akhir ayat. Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? (Thaha: 125) Yakni ketika di dunia ia melihat. Maka Allah menjawab melalui firman-Nya: Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan. (Thaha: 126) Maksudnya, karena engkau berpaling dari ayat-ayat Allah dan kamu memperlakukannya seakan-akan kamu tidak mengingatnya, padahal sudah disampaikan kepadamu.
Kamu pura-pura melupakannya, berpaling darinya, serta melalaikannya. Maka begitu pula pada hari ini, Kami memperlakukan kamu sebagaimana perlakuan orang yang melupakanmu. Hal yang sama telah disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya yang mengatakan: Maka pada hari (kiamat) ini Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini. (Al-A'raf: 51) Maka sesungguhnya pembalasan itu disesuaikan dengan jenis perbuatannya sebagai tindakan yang adil. Adapun mengenai masalah lupa terhadap lafaz Al-Qur'an, padahal maknanya telah dipahami dan makna yang diisyaratkannya telah dikerjakan, maka hal ini tidak termasuk ke dalam apa yang diancamkan oleh ayat ini.
Sekalipun orang yang berbuat demikian terkena ancaman pula hanya dari sisi lain, yaitu dari sunnah yang telah menyebutkan larangan yang kuat dan ancaman yang keras terhadap orang yang berlaku demikian. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Isa ibnu Fa-id, dari seorang lelaki, dari Sa'd ibnu Ubadah r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seseorang hafal Al-Qur'an, lalu ia melupakannya, melainkan ia akan datang kepada Allah di hari bersua dengan-Nya, sedangkan ia dalam keadaan berpenyakit lepra.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Isa ibnu Fa-id, dari Ubadah ibnus Samit, dari Nabi ﷺ dengan lafaz yang semisal."
125. Ketika orang yang ingkar itu merasakan balasan Allah, dia berkata, 'Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta sehingga tidak dapat melihat, padahal di dunia dahulu aku dapat melihat''126. Menjawab aduan itu Allah berfirman, 'Demikianlah yang terjadi. Dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami untuk mengajakmu mengikuti petunjuk Kami, maka kamu melupakannya dan enggan menaati perintah Kami, dan sebagai balasannya, begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan. '.
Orang-orang yang kafir itu akan bertanya kepada Allah mengapa Engkau jadikan aku buta sedang mataku dahulu terang dapat melihat. Allah menjawab, bahwa hal itu memang demikian! Karena di dunia ketika datang kepadanya rasul-rasul membawa petunjuk-petunjuk-Nya dia berpaling darinya seakan-akan matanya telah buta dan seakan-akan ia telah melupakannya karena tidak mengindahkan dan memperhatikannya. Oleh sebab itu Allah jadikan mata hatinya buta pada hari Kiamat sehingga engkau tidak dapat mengemukakan suatu alasan untuk membela dirimu dari azab yang telah disediakan baginya sebagai balasan atas kebutaan mereka selama di dunia.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEHIDUPAN YANG SEMPIT
Meskipun susunan ayat 124 sampai 127 ini masih bersambung dengan kisah Nabi Adam dan percaturan beliau dengan Iblis, namun ayat-ayat ini telah boleh juga dipisahkankan darinya untuk dijadikan pedoman oleh turunan Adam yang datang di belakang. Maka berfirmanlah Allah,
Ayat 124
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatkan-Ku, maka adalah baginya penghidupan yang sempit"
Yang berpaling dari peringatan Allah itu ialah sikap hidupnya atau hawa nafsunya. Oleh sebab itu maka yang merasakan kesempitan hidup itu pun adalah jiwanya sendiri. Maka kesempitan hidup akan dirasakan orang dari sebab berpalingnya dari peringatan Allah, baik dalam keadaan hartanya sedikit, dia miskin, atau dalam keadaan harta bendanya banyak, kaya melimpah-limpah. Dalam keadaan miskin dia kesempitan. Dalam keadaan kaya raya dia pun lebih dalam kesempitan. Yang satu susah dan sempit dalam kesukaran. Yang satu lagi susah dan sempit dalam harta yang ber-limpah-ruah. Karena jiwanyalah yang kosong hidupnyalah yang kehilangan tujuan.
Al-Aufi meriwayatkan dari lbnu Abbas. Beliau ini menafsirkan, “Tiap apa saja yang Aku berikan kepada hamba-hamba-Ku, sedikitkah atau banyakkah, tetapi dia tidak bertakwa kepada-Ku, maka tidaklah dia akan merasakan senang dan bahagia. Dia selalu akan hidup dalam kesempitan."
Dan tafsir lbnu Abbas pula, “Kamu yang telah sesat, yang berpaling dari kebenaran. Dia hidup dengan harta benda yang berlimpah-ruah, yang kelihatan seakan-akan dalam kelapangan. Lantaran itu dia jadi sombong. Maka menjadi sempitlah hidupnya, karena sangkanya selalu buruk kepada Allah dan kepercayaannya kurang. Sebab itu dia susah selalu, sempit selalu.
Adh-Dhahhak menafsirkan, “Adh-dhank (selalu dalam kesempitan) ialah karena amalan tidak ada yang baik dan sumber rezeki jarang yang halal."
Ikrimah dan Malik bin Dinar pun menafsirkan demikian.
“Dan akan Kami kumpulkan dia di hari Kiamat dalam keadaan buta."
Suku ayat yang pertama ialah menerangkan hidupnya yang sempit di atas dunia ini, walaupun bergelimang di atas harta banyak. Suku kedua menerangkan nasibnya di akhirat, yaitu akan dibuat matanya jadi buta.
Apa arti buta kalau sudah mengenai Hari Akhirat?
Mujahid dan Abu Saleh dan as-Suddi menafsirkan bahwa arti buta di sini ialah orang yang tidak dapat menjawab segala pertanyaan, karena di dunia hidupnya itu pun tidak terarah dengan petunjuk dan hidayah Allah. Datangnya ke dunia hanya untuk makan dan minum, untuk tidur dan bersetubuh. Untuk mengumpul-ngumpul harta, untuk menjadi budak dari harta dan benda.
Ayat 125
“Dia berkata, “Ya Tuhanku, Genangan apakah sebabnya Engkau kumpulkan daku dalam keadaan buta, padahal (dahulu) aku orang yang bermata nyalang?"
Apalah artinya aku ini? Masa di dunia aku ini seorang yang nyalang mata. Seorang yang terpandang karena kaya! Seorang yang disegani karena pangkat.
Seorang yang ditakuti karena jadi raja atau pemegang kekuasaan. Mengapa sesampai di sini aku menjadi tidak berarti apa-apa? Aku menjadi orang kecil yang tiada berarti. Orang yang bodoh tidak dapat menjawab pertanyaan.
Ayat 126
“Berfirman Allah, “Memang, demikian itulah! Telah datang kepada engkau ayat-ayat Kami, lalu engkau lupakan dia."
Artinya, bahwa cukuplah ayat Allah datang. Cukuplah petunjuk diberikan. Cukup rasul-rasul diutus membawakan petunjuk kepada jalan yang benar, untuk keselamatan engkau dunia dan akhirat. Kepada rasul-rasul itu diturunkan wahyu, dan isi wahyu itu tidak ada yang mereka sembunyikan. Semuanya disampaikan kepada kamu. Tetapi semuanya itu kamu lupakan. Artinya bahwa tidaklah ada alasan buat kamu mengatakan bahwa petunjuk itu tidak sampai kepada kamu. Semuanya sampai. Semua kamu lupakan. Atau kamu acuh tak acuh. Bilamana telah terceceh piala air yang memabukkan itu ke dalam mulutmu, kamu pun lupa segala-galanya. Seketika engkau berbuat maksiat itu, misalnya terdengar olehmu suara azan dalam radio, niscaya radio itu akan segera engkau matikan, karena engkau pandang mengganggu kesenanganmu. Jika ada orang menyampaikan pengajaran kepadamu, niscaya orang itu engkau usir. Sebab itu maka tidaklah masuk pengajaran ke dalam hatimu. Dan itu menjadi butalah hatimu. Walaupun mata melihat, kalau hati yang buta, apalah artinya mata?
“Dan demikian pulalah di hati ini, engkau pun dilupakan."
Kalau semasa di dunia engkau menjadi pusat perhatian orang karena kedudukanmu yang tinggi di mata orang yang jahil, di sini engkau termasuk orang yang dilupakan. Orang yang tidak ada harganya sepeser pun.
Sebenarnya di kala di dunia sudah patut hal itu engkau insafi. Karena alammu yang menjadi sempit karena kosongnya jiwamu dari cahaya Ilahi, dari iman dan takwa, sehingga pikiranmu hanya berkisar hanya sekitar makan dan minum, tidur dan bersetubuh.
Lalu Allah berfirman sebagai suatu ketentuan yang telah pasti, yang benar dan adil, yang patut dan tidak ada jalan lain.
Ayat 127
“Dan begitulah Kami batasi banangslapa yang melewati batas."
Artinya, jika dalam ayat-ayat ini diberikan ancaman yang tegas oleh Allah kepada barangsiapa yang berpaling dari peringatan-peringatan Allah, sehingga akan dibuat dia menjadi buta dan dilupakan di hari Kiamat, maka pelanggar-pelanggar ketentuan yang lain pun pasti akan mendapat hukumannya yang setimpal. Karena segala sesuatu diatur oleh Allah dengan batas-batasnya yang tertentu. Siapa yang melampaui batas itu, dia mesti kena. Kadang-kadang panjar (persekot) dan ganjaran itu diterima kontan di dunia ini juga, dan kadang-kadang diundurkan agak lama sebagai istidraj, yaitu diberi kesempatan, untuk jatuh itu lebih tinggi dan sakit itu lebih terasa."Dan dia tidak beriman kepada ayat-ayat Tuhannya." Siksaan itu lebih parah lagi kalau peringatan Allah telah datang, namun dia tidak mau percaya. Akibat sangat buruk, kadang-kadang menimpalah kehancuran total. Datang waktunya timbul sesal yang besar, tetapi sesal tidak berguna lagi, karena waktunya telah lewat.
“Dan sesungguhnya adzab akhirat itu lebih pedih dan lebih kekal."
Adzab akhirat lebih pedih jika dibandingkan dengan siksaan dunia dengan siksaan hidup yang sempit seperti diterangkan pada ayat 124 di atas tadi.
Kesempitan hidup di dunia karena kehilangan pedoman dan petunjuk hidup dapat dicari tafsirnya kepada kehidupan manusia di zaman modern ini. Nilai-nilai moral sebagai tali pergantungan dengan Allah telah putus. Orang hidup tidak memedulikan halal haram. Pergaulan laki-laki dengan perempuan bebas seperti bebasnya kucing dan anjing saja. Satu waktu timbullah kacau dalam jiwa, dunia menjadi sempit. Lari kepada dokter ahli penyakit jiwa (psikolog). Diminum obat penenang. Yang kusut bertambah kusut juga. Akhirnya diambil keputusan langkah pendek: orang membunuh diri.
Adzab akhirat lebih pedih dari itu.
Adzab siksaan jiwa di dunia ini tidaklah lama. Berapa banyaknya siksaan batin dapat selesai dengan mati. Malahan mati itu kadang-kadang bukanlah siksaan, melainkan jalan kelepasan dari siksaan. Oleh sebab itu maka siksaan dunia tidak lama. Terlalu sakit; mati! Terlalu berat: mati! Terlalu pusing; mati! Dengan mati semua sudah selesai.
Tetapi setelah lepas dari mati, sebagai pintu keluar terakhir dari alam dunia dan pintu pertama dari alam akhirat. Waktu itulah baru mulai adzab akhirat yang tidak ada penutupnya lagi.
Itu sebabnya maka adzab akhirat lebih kekal.
Itulah sebabnya maka ajaran tauhid menyuruh kita membebaskan diri dari pengaruh dan perbudakan benda, lalu mewujudkan satu tujuan saja, yaitu kepada Allah Yang Mahakuasa atas tiap-tiap benda dan Maha Pencipta dari benda itu dan Maha Pencipta dari diri kita sendiri.