Ayat
Terjemahan Per Kata
طه
Taahaa
طه
Taahaa
Terjemahan
Ṭā Hā.
Tafsir
Thaa Haa
(Tha Ha) hanya Allahlah yang mengetahui maksudnya.
Tafsir Surat Taha: 1-8
Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah,. Yang bersemayam di atas Arasy. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya, dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang lebih tersembunyi.
Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang barhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al-asma-ul husna (nama-nama yang baik). Pembahasan mengenai huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada permulaan surat-surat Al-Qur'an telah diterangkan di dalam permulaan tafsir surat Al-Baqarah. Jadi tidak perlu diulangi lagi dalam tafsir surat ini. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Syaibah Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Salim Al-Aftas, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Thaha artinya 'hai lelaki!'.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Muhammad ibnu Ka'b, Abu Malik, Atiyyah Al-Aufi, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, As-Saddi, dan Ibnu Abza. Mereka semua mengatakan bahwa Thaha artinya 'hai lelaki!'. Menurut riwayat yang lain dari Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Sauri, Thaha adalah suatu kalimat dengan bahasa Nabat yang artinya 'hai lelaki'!.
Abu Saleh mengatakan bahwa Thaha adalah kalimat yang telah diarahkan dari bahasa lain. Al-Qadi Iyad di dalam kitabnya Asy-Syifa telah meriwayatkan melalui jalur Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim. Dari Ibnu Ja'far, dari Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ apabila hendak salat beliau berdiri dengan satu kaki, sedangkan kaki lainnya diangkat. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Thaha. (Thaha: 1) Yakni hai Muhammad, jejakkanlah kedua kakimu ke bumi. Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. (Thaha: 2) Kemudian Al-Qadi Iyad mengatakan, "Tidak samar lagi bahwa sikap tersebut mengandung pengertian yang menunjukkan penghormatan dan etika yang baik." Firman Allah ﷻ: Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. (Thaha: 2) Juwaibir telah meriwayatkan dari Ad-Dahhak, bahwa ketika Allah ﷻ menurunkan Al-Qur'an kepada Rasul-Nya, dan Rasul beserta para sahabatnya mengamalkannya, maka orang-orang musyrik berkata bahwa tidak sekali-kali Allah menurunkan Al-Qur'an ini kepada Muhammad melainkan agar dia menjadi susah.
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut (kepada Allah). (Thaha: 1-3) Padahal duduk perkara yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang didugakan oleh orang-orang yang tidak percaya kepada Al-Qur'an, bahkan barang siapa yang di beri ilmu oleh Allah, maka sesungguhnya Allah menghendaki baginya kebaikan yang banyak, dan ilmu itu adalah wahyu Al-Qur'an. Seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Mu'awiyah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda. ". Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah menjadikannya pandai dalam agama.
Alangkah baiknya hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani sehubungan dengan hal ini. Ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Zuhair, telah menceritakan kepada kami Al-Ala ibnu Salim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim At-Taliqani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Sufyan, dari Sammak ibnu Harb, dari Sa'labah ibnul Hakam yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Allah ﷻ berfirman kepada para ulama kelak di hari kiamat, yaitu bilamana Dia telah duduk di atas Kursi-Nya untuk menjalankan peradilan terhadap hamba-hamba-Nya, "Sesungguhnya Aku tidak sekali-kali menganugerahkan ilmu dan hikmah-Ku kepada kalian, melainkan dengan maksud Aku hendak memberikan ampunan kepada kalian terhadap semua (dosa) yang kalian lakukan tanpa peduli.
Sanad hadis berpredikat jayyid (baik), dan Sa'labah ibnul Hakam yang disebutkan dalam sanad hadis adalah Al-Laisi, disebutkan dengan sebutan yang baik oleh Abu Amr di dalam kitab Isti'ab-nya. Ia mengatakan bahwa ia tinggal di Basrah, kemudian pindah ke Kufah; dan telah mengambil riwayat darinya Sammak ibnu Harb. Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. (Thaha: 2) Ayat ini semakna dengan firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an. (Al-Muzzammil: 20) Tersebutlah bahwa sebelumnya mereka menggantungkan tali pada dada mereka dalam salatnya (agar jangan mengantuk).
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. (Thaha: 2) Tidak, demi Allah, Allah tidak menjadikan Al-Qur'an baginya sebagai kesusahan. Tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat, cahaya, dan petunjuk ke surga. tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). (Thaha: 3) Sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an)-Nya dan mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat buat hamba-hamba-Nya, agar orang ingat kepada-Nya, dan mengambil manfaat dari apa yang ia dengar dari Kitabullah.
Al-Qur'an adalah peringatan yang diturunkan oleh Allah, di dalamnya disebutkan halal dan haram. Firman Allah ﷻ: yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Thaha: 4) Al-Qur'an yang diturunkan kepadamu, hai Muhammad, adalah dari Tuhanmu, Tuhan segala sesuatu dan Yang Memilikinya serta Yang Mahakuasa atas apa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang menciptakan bumi yang datar lagi padat (tebal), dan Dialah yang menciptakan langit yang tinggi lagi lembut (tidak kelihatan) Di dalam hadis yang dinilai sahih oleh Imam Turmuzi dan lain-lainnya disebutkan bahwa ketebalan setiap langit sama dengan jarak perjalanan lima ratus tahun.
Dan antara permukaan suatu langit ke langit yang lainnya sama dengan jarak perjalanan lima ratus tahun. Ibnu Abu Hatim dalam bab ini telah mengetengahkan Hadisul Aulai melalui riwayat Al-Abbas, paman Rasulullah. Firman Allah ﷻ: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah Yang istiwa di atas 'Arasy. (Thaha: 5) Mengenai pembahasan makna istiwa telah disebutkan di dalam surat Al-A'raf, sehingga tidak perlu diulangi lagi dalam surat ini. Dan pemahaman yang lebih aman dalam mengartikan makna lafaz ini (yang menurut makna asalnya ialah bersemayam) adalah menurut pemahaman ulama Salaf, yaitu memberlakukan makna hal yang seperti ini dari KitabulIah maupun sunnah Rasul ﷺ dengan pengertian yang tidak dibarengi dengan penggambaran, tidak diselewengkan, tidak diserupakan, tidak dikurangi, tidak pula dimisalkan.
Firman Allah ﷻ: Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit dan yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. (Thaha: 6) Yakni semua adalah milik Allah, berada dalam genggaman kekuasaanNya, dan berada dalam pengaturan-Nya, kehendak dan keinginan serta hukum-Nya. Dialah Yang Menciptakan semuanya, Yang Memilikinya, dan yang menjadi Tuhannya; tiada Tuhan selain Dia. Firman Allah ﷻ: dan semua yang di bawah tanah. (Thaha: 6) Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah semua yang ada di bawah bumi lapis ketujuh.
Al-Auza'i mengatakan, sesungguhnya Yahya ibnu Abu Kasir pernah menceritakan kepadanya bahwa Ka'b pernah ditanya, "Apakah yang ada di bawah bumi ini?" Ka'b menjawab, "Air." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah air?" Ka'b menjawab.Tanah." Ditanyakan lagi.Apakah yang ada di bawah tanah?" Ka'b menjawab, "Air." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah air?" Ka'b menjawab, "Tanah." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah tanah?" Ka'b menjawab, "Air." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah air?" Ka'b menjawab, "Tanah." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah tanah?" Ka'b menjawab, "Air." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah air?" Ka'b menjawab, "Tanah." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah tanah?" Ka'b menjawab, "Batu besar." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah batu besar?" Ka'b menjawab, "Malaikat".
Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah Malaikat?" Ka'b menjawab, "Ikan yang menggantungkan buntutnya ke Arasy." Ditanyakan lagi, "Apakah yang ada di bawah ikan itu?" Ka'b menjawab, "Udara dan kegelapan," lalu terputuslah pengetahuannya sampai di sini. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidillah keponakanku, telah menceritakan kepada kami pamanku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, dari Darij, dari Isa ibnu Hilal As-Sadfi, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Sesungguhnya bumi itu berlapis-lapis; jarak antara satu lapis dengan lapis lainnya sama dengan perjalanan lima ratus tahun.
Lapisan yang paling atas darinya berada di atas punggung ikan besar yang kedua sisinya (ekor dan kepalanya) bertemu di langit, sedangkan ikan itu berada di atas batu yang mahabesar, dan batu besar berada di tangan malaikat. Lapis yang kedua adalah tempat penahanan angin, lapis yang ketiga mengandung batu-batuan Jahanam, lapis yang keempat mengandung kibrit (fosfor) neraka Jahanam, lapis yang kelima dihuni oleh ular-ular Jahanam, lapis yang keenam dihuni oleh kalajengking Jahanam, dan lapis yang ketujuh terdapat saqar dan juga iblis yang dibelenggu dengan besi; salah satu dari tangannya dikedepankan, sedangkan yang satunya lagi dikebelakangkan; apabila Allah bermaksud melepaskannya untuk sesuatu yang dikehendaki-Nya, maka Dia melepaskannya." Hadis ini berpredikat garib sekali.
Mengenai predikat marfu'-nya masih diragukan. [] "". ". ". ". "". "". "" "". "". "". ". Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Musa Al-Harawi, dari Al-Abbas ibnul Fadl. Abu Ya'la bertanya, "Apakah dia adalah Ibnul Fadl Al-Ansari?" Abu Musa Al-Harawi menjawab, "Ya." Dia meriwayatkan dari Al-Qasim yang mengatakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam perang Tabuk. Ketika kaum muslim yang terlibat dalam perang tabuk itu pulang di hari yang panas sekali, dan kaum muslim berjalan secara berpencar.
Perawi saat itu berada di bagian paling depan dari pasukan kaum muslim. Tiba-tiba ada seorang lelaki berpapasan dengan kami, lalu lelaki itu bertanya, "Siapakah di antara kalian yang bernama Muhammad?" Teman-temanku meneruskan perjalanannya, sedangkan aku berhenti meladeni lelaki itu. Tiba-tiba Rasulullah ﷺ muncul di tengah pasukan kaum muslim dengan mengendarai unta merah seraya menutupi kepalanya dari sengatan panas matahari yang terik. Lalu saya berkata kepada lelaki itu, "Hai kamu yang bertanya, inilah Rasulullah ﷺ telah tiba menuju ke arahmu!" Lelaki itu bertanya, "Siapakah dia di antara mereka?" Aku menjawab, "orang yang mengendarai unta merah." Lelaki itu mendekatinya dan memegang tali kendali untanya.
Maka unta yang dikendarai oleh Nabi ﷺ berhenti, dan lelaki itu bertanya, "Engkaukah yang bernama Muhammad?" Nabi ﷺ menjawab, "Ya." Lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku hendak bertanya kepadamu tentang beberapa perkara yang tiada seorang pun dari kalangan penduduk bumi mengetahuinya kecuali hanya seorang atau dua orang saja." Rasulullah ﷺ bersabda, "Tanyakanlah apa yang kamu kehendaki!" Lelaki itu berkata, "Hai Muhammad, apakah seorang nabi tidur?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Kedua matanya tidur, tetapi hatinya tidak tidur." Si lelaki berkata, "Engkau benar." Kemudian lelaki itu bertanya, "Hai Muhammad, mengapa anak itu mirip ayahnya dan (adakalanya) mirip ibunya?" Rasulullah ﷺ menjawab: Air mani lelaki putih lagi kental, sedangkan air mani wanita kuning lagi encer. Maka mana saja di antara kedua air mani itu yang mengalahkan lainnya, anak tersebut akan lebih mirip kepadanya. Lelaki itu berkata, "Engkau benar." Lalu ia bertanya, "Apa sajakah yang diciptakan dari air mani lelaki dan air mani perempuan dalam tubuh anaknya?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Air mani laki-laki membentuk tulang dan urat-urat serta otot-otot, sedangkan air mani wanita membentuk daging, darah, dan rambut.
Lelaki itu berkata, "Engkau benar." Kemudian lelaki itu bertanya, "Hai Muhammad, apakah yang ada di bawah tanah ini?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Makhluk." Lelaki itu bertanya, Di bawah mereka itu ada apa?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Bumi." Lelaki itu bertanya, "Apakah yang ada di bawah bumi itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Air." Ia bertanya, "Lalu apakah yang ada di bawah air itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Kegelapan." Ia bertanya, "Lalu apakah yang ada di bawah kegelapan itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Udara." Ia bertanya, "Apakah yang ada di bawah udara itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Bumi." Ia bertanya, "Lalu apakah yang ada di bawah bumi itu?" Rasulullah ﷺ menangis dan bersabda, "Hanya sampai di situlah pengetahuan makhluk bila dibandingkan dengan pengetahuan Pencipta. Hai orang yang bertanya, tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui daripada orang yang bertanya." Lelaki itu berkata, "Engkau benar, saya bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Hai manusia, tahukah kalian siapakah orang ini?" Mereka menjawab," Hanya Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih mengetahui." Rasulullah ﷺ bersabda,"Orang ini adalah Jibril a.s. Hadis berpredikat garib sekali, dan konteksnya sangat aneh, ia hanya diriwayatkan oleh Al-Qasim ibnu Abdur Rahman. Yahya ibnu Mu'in mengatakan tentangnya, bahwa ia adalah orang yang tidak pantas menjadi rawi hadis.
Abu Hatim Ar-Razi menilainya daif; sedangkan menurut Ibnu Addi, Al-Qasim ibnu Abdur Rahman adalah perawi yang tidak dikenal. Menurut kami hadis ini bercampur aduk, sesuatu dimasukkan ke dalam sesuatu yang lain, dan suatu hadis dimasukkan ke dalam hadis lainnya menjadi satu. Dapat dikatakan bahwa perawinya sengaja melakukan pencampuradukan itu atau memasukkan ke dalamnya sesuatu yang lain.
Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui kebenarannya. Firman Allah ﷻ: Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Thaha: 7) Yakni Al-Qur'an ini diturunkan oleh Tuhan yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, yang mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Katakanlah, "Al-Qur'an ini diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Furqan: 6) Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Thaha: 7) Yang dimaksud dengan rahasia ialah apa yang disembunyikan oleh anak Adam dalam hatinya, sedangkan yang lebih tersembunyi ialah apa yang tidak diketahui oleh anak Adam, padahal ia yang mengerjakannya. Maka Allah mengetahui kesemuanya itu.
Pengetahuan Allah tentang apa yang telah berlalu dari hal ini dan apa yang akan datang meliputi semuanya, dan semua makhluk bagi Allah dalam hal ini sama dengan salah satu dari mereka. Seperti yang disebutkan oleh Firman-Nya dalam ayatyang lain, yaitu: Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. (Luqman: 28) Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Thaha: 7) Arti sirr ialah sesuatu yang dibicarakan olehmu dalam dirimu, sedangkan akhfa ialah sesuatu yang belum kamu bicarakan dalam dirimu.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Anda mengetahui apa yang Anda rahasiakan hari ini, tetapi Anda tidak akan mengetahui apa yang bakal Anda rahasiakan keesokan harinya. Allah mengetahui apa yang Anda rahasiakan hari ini dan apa yang akan Anda rahasiakan keesokan harinya. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Akhfa" bahwa yang dimaksud dengannya ialah bisikan hati. Dan ia serta Sa'id ibnu Jubair mengatakan pula bahwa akhfa artinya sesuatu yang dilakukan oleh manusia tanpa diniatkannya dahulu dalam hatinya.
Firman Allah ﷻ: Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang baik). (Thaha: 8) Yakni Tuhan Yang menurunkan Al-Qur'an kepadamu. Dialah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia Yang mempunyai nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang tinggi. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan asma-ul husna ini berikut keterangannya, yaitu dalam tafsir ayat-ayat terakhir dari surat Al-A'raf."
Bila surah sebelumnya ditutup dengan berita kebinasaan umat terdahulu karena kedurhakaan mereka, surah ini diawali dengan penjelasan bahwa Al-Qur'an turun untuk kebaikan, bukan kesusahan, bagi umat. Taha. 2. Wahai Nabi Muhammad, Kami, yakni Allah melalui Jibril, tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar engkau menjadi susah akibat ditolak dan dimusuhi kaummu atau dituntut untuk melaksanakan kewajiban di luar batas kemampuanmu.
thaha termasuk huruf-huruf hijaiyyah yang terletak pada permulaan beberapa surah Al-Qur'an. Para Mufassirin berbeda pendapat tentang maksud huruf-huruf itu. Untuk jelasnya dipersilahkan menela`ah kembali uraian yang ada pada permulaan surah al-Baqarah jilid I "Al-Qur'an dan tafsirnya" dengan judul "Fawatihus Suwar".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH THAAHAA
(THAAHAA)
SURAH KE-20, 135 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-135)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
Ayat 1
“Thaahaa."
Apakah artinya Thaha itu?
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh ad-Darimi dalam Musnad-nya, diterima dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ pernah berkata, bahwa Allah telah membaca Thaaha adan Yaasiin sebelum menciptakan semua langit dan bumi, 2.000 tahun terlebih dahulu. Setelah malaikat mendengarkan bacaan itu, malaikat pun berkatalah, “Thuba! Berbahagialah yang turun kepadanya kalimat-kalimat ini. Bahagialah bagi rongga yang mengandung kalimat-kalimat ini dan bahagialah bagi lidah yang membacanya."
Ulama berlain-lain pendapat akan maknanya Thaahaa itu. Abu Bakar ash-Shiddiq me-nyatakan bahwa arti dari kata-kata ini adalah termasuk rahasia. Tetapi Ibnu Abbas mengatakan bahwa artinya ialah, “Hai laki-laki."
Al-Hasan, Mujahid, Said bin Jubair, Qatadah, Ikrimah dan al-Kalbi, semua beliau-beliau itu pun sama tafsirannya tentang kalimat ini dengan tafsiran Ibnu Abbas, yaitu “Hai laki-laki."
Al-Fakhrur Razi dalam Tafsirnya delapan pendapat tentang arti kalimat ini. Pendapat Pertama, dia adalah semata-mata rangkaian huruf-huruf hijaiyyah.
Kedua, dia adalah kalimat yang mengandung arti. Artinya itu diuraikan tujuh.
Pertama, menurut ats-Tsa'labi. Thaahaa ialah nama dari dua yang penting; pohon Thuba yang ada di surga, dan Hawiyah yang di neraka. Dengan menyebut Thaha tersimpullah surga dan neraka dalam satu kalimat sumpah Allah.
Kedua, menurut Ja'far ash-Shadiq Imam Syekh yang keempat; Thaha itu artinya ialah Tha -Thaharah (kesucian) ahlul-bait keturunan Nabi ﷺ dan Ha -Hidayat mereka. Tegasnya ahlul bait nubuwwah adalah suci lagi mendapat hidayah Ilahi.
Ketiga, potongan dari kalimat “Ya Mathma'asy Syafa'ati lil-ummati, wa ya Ha-dil khalqi Hal millati" (Wahai yang diharapkan memberi syafa'at bagi umat dan wahai yang memberi petunjuk kepada agama). Yang dimaksud dengan seruan itu ialah Nabi Muhammad ﷺ.
Keempat, Thaahaa ialah potongan huruf pertama dari kalimat ath-Thayyib dan ath-Thahir (Yang Baik dan Yang Bersih) dan al-Hadi (Yang memberikan petunjuk). Ini menurut daw Said bin Jubair.
Kelima, “Ya Tha-hiran minadz-zunubi, wa ya Ha-diyan ilaa ‘Allamii ghuyubi". (Wahai orang yang bersih dari dosa, dan wahai orang yang memberi petunjuk mengetahui Allah Yang Mahatahu akan yang gaib-gaib).
Keenam, “Tha = Thaul qurraa-i, dan Ha = Haibatuhum fi qulubil kuffari". (Orang-orang yang selalu membaca Al-Qur'an dan hai-bat di hati orang-orang yang kafir. Menurut ayat Allah:
“Akan Kami jatuhkan ke dalam hati orang-orang yang kafir itu perasaan takut."
Ketujuh, menurut ilmu hisab; Tha = sembilan. Ha = lima. Jumlah empat belas. Artinya ialah “Hai bulan purnama", sebagai panggilan kehormatan kepada Nabi ﷺ.
Tetapi ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya bahwa penafsiran semacam ini tidaklah dapat untuk dipegang kuat.
Yang umum ialah bahwa Thaha itu telah dianggap sebagai salah satu nama pula dari Nabi Muhammad ﷺ, seperti juga kalimat “Yaasin".
Ayat 2
“Tidaklah Kami turunkan kepada engkau Al-Qur'an ini supaya engkau jadi sengsara."
Menurut satu penafsiran dari Juaibir, yang diterimanya dari adh-Dhahhak: “Setelah Al-Qur'an turun, mulailah Nabi kita ﷺ berjuang menyampaikan seruannya. Beliau pun diimani dan dituruti oleh sahabat-sahabat yang setia “assabiqunal awwaluna", orang-orang yang terdahulu dan yang mula-mula sekali. Maka banyaklah rintangan yang mereka terima dari kaumnya. Baik rintangan terhadap Nabi atau pun rintangan terhadap yang percaya kepadanya. Sehingga oleh karena keras tantangan itu kelihatanlah mereka selalu dalam kesusahan karena perjuangan. Melihat kesusahan dan merupakan kesengsaraan itu, sampai ada sahabatnya yang dianiaya, dipukuli dan dihinakan, adalah dalam kalangan kaum musyrikin itu yang berkata, bahwa turunnya Al-Qur'an ini hanyalah membuat sengsara saja bagi Muhammad dan bagi pengikutnya. Maka datanglah ayat ini menegaskan; Al-Qur'an diturunkan bukanlah untuk membuat orang jadi sengsara. Kalau orang yang setia memegang suatu pendirian yang hak dibenci dan dibuat sengsara oleh musuh-musuh yang merintanginya, hal itu adalah lumrah dalam dunia ini.
Ayat 3
“Melainkan peringatan bagi orang-orang yang takut."
Yaitu orang-orang yang mulai ada rasa takut, karena timbul keinsafan atas kesalahan selama ini. Yang diberi peringatan oleh Al-Qur'an. Orang yang menyembah kepada yang selain Allah, kelak akan disiksa. Orang yang beriman kepada Allah dan mengikut perintahnya akan bahagia hidupnya dunia dan akhirat. Di samping rasa takut akan adzab, timbul harapan akan kebahagiaan di hari akhirat. Inilah yang ditanamkan oleh Al-Qur'an. Dan Al-Qur'an itu kalau sudah menjadi kepercayaan, menjadi pandangan hidup dan iman, orang pun rela menghadapi sengsara sementara karena itu. Karena sengsara yang sejati ialah bila menolak kebenaran Al-Qur'an itu. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ:
“Dari Mu'awiyah r.a. berkata dia, Berkata Rasulullah ﷺ, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah dia akan jadi orang baik, diben dia kepahaman yang mendalam tentang agama." (HR Bukhari dan Muslim)
Bukan sengsara tetapi nikmat.
Di dalam ayat ketiga ini ada tersebut tentang orang yang takut, (yakhsyaa). Lalu musuh-musuh Islam, kaum penyebar Kristen yang hendak mendesakkan agamanya dan memurtadkan kaum Muslimin lalu mencela ajaran Islam. Kata mereka, Al-Qur'an cuma menyuruh orang takut saja kepada Allah.
Seakan-akan Allah itu kejam sangat sehingga harus ditakuti. Berbeda dengan Agama Kristen kata mereka yang mengajarkan cinta.
Inilah satu propaganda murah dan dangkal dan orang yang tidak berniat tulus hendak mencari kebenaran. Padahal menurut ajaran Islam takut itu hanya sebagian saja dari perasaan hamba terhadap kepada Allah. Takut akan kena siksaannya, selalu diimbang dengan rajja, yaitu keinginan dan kerinduan akan pahala yang diberikan-Nya. Tegasnya takut kepada adzab, neraka, mengharapkan nikmat surga. Dan segala perbuatan orang Islam selalu dianjurkan agar dimulai dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim (Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, lagi Penyayang).
Ucapan yang menyebut rasa cinta kasih Ilahi itu hanya ada dalam agama Islam. Tidak ada dalam agama Kristen, yang mengatakan bahwa agama mereka agama “cinta" itu.
Selanjutnya tersebut di dalam surah Faathir, ujung ayat 28,
“Tidaklah ada yang takut kepada Allah daripada hamba-hamba-Nya, melainkan orang-orang yang berilmu." (Faathir: 28)
Rapat hubungan di antara berilmu (ulama) dengan ketakutan kepada Ilahi (khasyyah), karena pada tiap-tiap sudut dan bagian, pada tiap-tiap dalil dan bukti, nyata jelas dalam ilmu itu Maha Kekuasaan Allah, Undang-undang Allah yang tidak pernah berubah, maka dengan sendirinya tumbuhlah takut akan siksaannya. Timbullah keinsafan bahwa manusia tidaklah ada artinya di dalam alam ini.
Maka tersebutlah di dalam sabda Rasulullah ﷺ,
“Dan Tsa'labah bin al-Hakam r.a. berkata dia: Berkata Rasulullah ﷺ: “Akan berfirmanlah Allah kepada orang-orang yang berilmu (ulama) di hari Kiamat apabila Dia telah duduk di atas kursi-Nya untuk memutuskan hukum bagi tiap-tiap hamba-Nya: “Sesungguhnya tidaklah Aku jadikan ilmu-Ku dan hikmat-Ku pada kamu semua melainkan karena Aku ingin hendak memberi ampun kamu atas kesalahan-kesalahan yang ada padamu, dan tidaklah Aku keberatan." (HR ath-Thabrani, dengan isnad yang jayyid — bagus sekali)
Ditafsirkan pula oleh Mujahid bahwa salah satu sebab pula akan turunnya ayat menyatakan bahwa Al-Qur'an ini diturunkan bukanlah hendak membuat kamu jadi sengsara; ialah karena ada di antara sahabat-sahabat Rasulullah itu yang sangat sekali taatnya, sehingga ada yang mengikatkan tali tempat bergantung untuk berdiri dari duduk akan shalat lagi.
Qatadah menafsirkan pula, “Tidak, demi Allah! Al-Qur'an bukanlah untuk membuatmu jadi sengsara, tetapi membawa rahmat dan cahaya dan petunjuk dalam perjalanan menuju surga. Tentang ayat 3, “Melainkan peringatan bagi orang-orang yang takut," kata Qatadah, “Sesungguhnya Allah menurunkan Kitab-Nya dan mengutus Rasul-Nya adalah sebagai rahmat yang diturunkan kepada seluruh hamba-Nya, supaya ingatlah mana yang ingat, dan mengambil manfaatlah seorang dari apa yang dia dengar dalam Kitab Allah apa yang halal dan apa yang haram."
Ayat 4
“Diturunkan dari (Tuhan) yang telah menciptakan langit-langit yang tinggi."
Artinya, bahwasanya Al-Qur'an yang diturunkan -kepada engkau ini, ya Rasul-Ku, bukanlah sembarang turun. Dia diturunkan, dia diwahyukan oleh Allah; Tuhan Yang Mengatur segala sesuatu, Tuhan Yang Men-jangka dan Menghinggakan, Yang mencipta-kan bumi dan membentangkannya buat kamu hidup dan menciptakan sekalian langit itu. As-Samawati: Banyak langit dan tinggi-tinggi tempatnya.
Kata Fakhruddin ar-Razi dalam tafsir-nya;,"Disebut Tuhan sebagai Pencipta dari langit yang banyak bertingkat-tingkat dan tinggi tempatnya itu ialah agar mengingat akan kemuliaan dan ketinggian Allah sendiri, sebagai Pencipta dari tempat yang amat tinggi."
Ayat 5
“Tuhan Yang Pengasih; di atas Aisy, Dia betsemayam."
Bagaimana bersemayamnya Allah Maha Pengasih, atau ar-Rahman di atas Arsy ini, kita ikuti sajalah Madzhab Salaf. Ketika ditanyakan orang kepada Imam Malik, apakah tafsirnya lebih dalam tentang Allah bersemayam di Arsy itu, beliau telah menjawab: “Arti Arsy kita semua tahu, arti semayam pun kita tahu. Bagaimana Arsy-Nya dan bagaimana sema-yam-Nya, tidaklah kita tahu. Bertanya tentang ini pun adalah haram."
Menurut pendirian dari Abui Hasan al-Asy'ari dan para pengikutnya, Turuti sajalah sebagaimana yang tersebut; Allah Yang Rahman bersemayam di atas Arsy-Nya, dengan tidak ada pembatasan dan tidak ada pertanyaan; “Betapa semayam-Nya."
Tetapi patut juga kita ketahui penafsiran dari penafsir dari kalangan Mu'tazilah. Yaitu Jarullah az-Zamakhsyari dalam al-Kasy-syaf Dia menulis, “Oleh karena bersemayam di atas Arsy, dan arti Arsy itu ialah singgasana raja, yang kedudukan itu tidak akan tercapai kalau tidak mempunyai kekuasaan, maka dijadikanlah dia sebagai kinayah (perumpamaan) dari kekuasaan yang mutlak. Orang selalu mengatakan, “Si anu bersemayam di negeri Anu" yang dimaksud ialah bahwa si anu itu berkuasa di sana, meskipun dia tidak selalu duduk di atas singgasana itu. Mereka membuat susunan kata atas hasilnya kekuasaan ialah dengan cara begitu. Karena begitulah yang lebih jelas dan lebih kuat untuk menunjukkan apa yang dimaksud Si Anu, “Raja".
Demikian juga perumpamaan perkataan tuan, “Tangan si Fulan lepas, dan tangan si Anu terbelenggu." Yang tuan maksud dengan mengatakan tangan si anu lepas, niscaya ialah hendak mengatakan bahwa dia itu dermawan. Dan tangan terbelenggu, yang tuan maksud tentu bahwa dia bakhil. Tidaklah terdapat perbedaan di antara kedua yang dikatakan itu melainkan karena kata-kata yang tuan pilih; lepas dan terbelenggu! Sehingga walaupun tidak pernah terlihat tangannya dilepaskannya, atau mungkin tangannya kudung. Namun karena dermawannya dia dikatakan juga “tangan terbuka". Karena di antara “terbuka" dengan “dermawan" tidak berpisah lagi dalam memahamkannya. Dan itu dapatlah kita lihat pada firman Allah sendiri:
“Dan berkata orang-orang Yahudi: “Tangan Allah terbelenggu"; biarlah tangan mereka sendiri yang diikat"
Maksud ayat ialah bahwa orang Yahudi mengatakan Allah itu bakhil.
Kemudian datang sambungan ayat,
“Bahkan kedua belah tangan-Nya terbuka."
Artinya dermawan! Dengan tidak tergambar di pikiran bahwa Allah itu bertangan, atau ada belenggu atau ada lepas." Sekian az-Zamakhsyari.
Tetapi ar-Razi dalam tafsirnya tidak setuju sama sekali cara ta'wil yang dipakai kaum Mu'tazilah itu. Kata ar-Razi, “Kalau kita buka
pintu itu terus-menerus, tentu dapat pula masuk ta'wil-ta'wil yang dipakai oleh kaum Bathiniyah. Karena mereka itu pun pernah mengatakan tentang firman Allah kepada Nabi Musa seketika Musa dipanggil menghadap ke Lembah Thuwa.
“Tinggalkanlah terompahmu."
Bahwa yang dimaksud di situ bukanlah benar-benar terompah, melainkan agar Musa melepaskan segala sangkut-paut dengan yang lain, lalu menenggelamkan dirinya ke dalam khidmat semata-mata kepada Allah.
Demikian juga ta'wil mereka tentang ayat yang berkenaan dengan Nabi Ibrahim dibakar. Dalam ayat tersebut
“Hai api! jadilah engkau dingin dan selamat untuk Ibrahim."
Yang dimaksud — kata kaum Bathiniyah bukanlah benar-benar Ibrahim tidak hangus dimakan api. Melainkan menyatakan bahwa Ibrahim selamat dari api kezaliman musuhnya. Dan di sana tidak ada api sama sekali. Demikian juga perkataan berkenaan dengan kata-kata dan firman-firman Allah yang lain. Akan tetapi yang menjadi undang-undang (qanun) pegangan kita ialah membawakan arti lapal yang ada dalam Al-Qur'an itu menurut hakikatnya yang sebenarnya, kecuali kalau berdiri dalil-dalil yang masuk akal dan pasti yang mewajibkan kita berpaling kepadanya. Alangkah baiknya orang yang tidak mengetahui duduknya suatu perkara agar jangan turut membicarakannya." Sekian ar-Razi.
Ayat 6
“Kepunyaan-Nyalah apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi."
Kepunyaan-Nyalah, artinya ialah bahwa semua yang ada di atas sekalian langit yang berlapis itu adalah dalam kekuasaan Allah. Yang ada di semua langit itu tidaklah kita ketahui apakah dia; apakah itu bintang-bintang atau matahari dan bulan? Yang ada di atas permukaan bumi ini pun, meskipun dia tempat diamnya manusia tidaklah kita ketahui semuanya."Dan apa yang ada di antara keduanya." Yaitu apa yang ada di antara langit dan bumi itu. Apakah itu awan-gumawan? Apakah itu ruang angkasa yang luas ini? Apakah matahari dan bulan dan bintang-bintang itu terletak dalam lingkungan langit atau di antara bumi dan langit? Wallahu a'lam,
“Dan apa yang ada di bawah tanah."
Kian lama kian tahulah manusia berapa banyaknya kekayaan yang tersimpan di bawah tanah itu. Baik minyak dengan berbagai ragamnya, atau logam dalam berbagai jenisnya; besi, emas, perak, timah, mangan, tembaga, loyang dan seng. Dan banyak lagi kekayaan yang lain, yang dapat digali dan diambil faedahnya oleh manusia.
Sekarang telah mulai diselidiki orang pula kekayaan yang disediakan Allah buat manusia di dalam dasar laut. Sekarang telah diadakan penggalian minyak dan bensin dari laut, yang biasa dinamakan lepas pantai. Ke dasar laut yang sangat dalam, sehingga cahaya matahari tidak sampai lagi ke sana telah pula diadakan orang penyelaman dengan kapal selam modern. Masih banyaklah kekayaan itu yang belum diketahui.
Apabila kita lihat kitab-kitab tafsir yang lama, sebelum pengetahuan berkembang sebagai sekarang, banyaklah bertemu riwayat yang tidak-tidak menceritakan apa yang ada di balik bumi itu. Kadang-kadang berita itu dikatakan hadits. Misalnya menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterimanya dari Abdullah bin Ukhay bin Wahab, diterimanya dari ‘ammi-rrya (pamannya), diterimanya dari Abdullah bin Ayyasy, diterimanya pula dari Abdullah bin Salman, diterimanya dari Darraj bin Isa bin Hilal ash-Shadafi. Katanya dia menerima dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengatakan, “Bahwa bumi itu berlapis-lapis (sebagai langit juga), di antara selapis bumi ke bumi yang lain perjalanan 500 tahun. Yang paling atas terletak di alas punggung seekor ikan raya, yang gelungan kepala ke ekornya sampai ke langit; ikan itu berada di alas sebuah batu, dan batu itu di tangan seorang malaikat; dan langit tingkat kedua penjara bagi angin, lapis ketiga tempat batu jahannam, lapis keempat tempat simpanan belerang jahannam, lapis kelima sarang ular-ular Jahannam, lapis keenam sarang kala-kala berbisa Jahannam, lapis ketujuh adalah tempat neraka Saqarr. Dalam Saqarr itulah iblis dibelenggu dengan besi di hadapannya dan tangan dialihkan ke belakang. Kalau Allah hendak melepaskannya, dilepaskannyalah dia untuk memperdayakan siapa yang dikehendakinya."
Ibnu Katsir menyatakan bahwa hadits ini gharib jiddan, sangat ganjil bunyinya. Sehingga itu menyatakan bahwa dia marfu'. (Diterima langsung dari Rasulullah meminta pertimbangan yang mendalam).
Maka bertemulah pula riwayat lain mengatakan bahwa bumi ini terletak di atas tanduk lembu, lalu dituliskan di dalam kitab-kitab. Kitab itu bahasa Arab. Maka banyaklah orang yang belajar agama di pondok-pondok zaman lampau, terbaca pula buku-buku “bumi di atas tanduk lembu" itu sambil mengaji kitab nahu, saraf dan lain-lain, sedang Ilmu umum yang lain tidak dipelajari dan pengajian untuk meneliti Ilmu hadits, mana hadits yang shahih, mana yang dhaif dan mana Israiliyat yang diselundupkan ke dalam penafsiran Al-Qur'an sama sekali tidak diketahui, sehingga tinggallah takhayul yang bukan ilmu itu dalam otak dan sukar menyingkirkannya.
ALLAH MENGETAHUI YANG PALING RAHASIA SEKALIPUN
Ayat 7
“Dan jika orang nyaringkan pun perkataan, namun sesungguhnya Dia mengetahui yang rahasia dan yang lebih tersembunyi."
Artinya, tidak usah kita bercakap keras untuk menyatakan sesuatu perasaan di hadapan Allah. Karena meskipun kita bercakap keras, (jahar), namun Allah mengetahui juga apa yang masih jadi rahasia dalam hati kita. Atau rahasia di antara kita berdua dengan seorang teman. Di hadapan Allah tidaklah ada yang rahasia. Bukan saja rahasia yang telah jadi; bahkan satu rencana yang masih tersembunyi dalam hati, belum sempat dikeluarkan, Allah pun sudah mengetahuinya lebih dahulu.
Said bin Jubair menafsirkan demikian, “Engkau mungkin bisa tahu apa yang engkau rahasiakan hari ini. Tetapi engkau tidak akan tahu apa yang masih rahasia besok. Namun Allah mengetahui rahasia yang kini dan yang masih rahasia untuk esok."
Manusia telah mendapat alat untuk mengetahui apa yang tersembunyi di dalam diri manusia, dengan cahaya rontgen. Karena cahaya itu bisa menembusi dinding-dinding yang tebal sekalipun. Semua dapat ditangkapnya, tetapi cahaya itu akan terbentur bila bertemu dengan logam. Maka dapatlah diketahui di bagian badan yang mana misalnya sebuah jarum kecil yang sedang menjalar dalam tubuh manusia, yang karena ringannya bisa dibawa mengalir oleh darah. Maka cahaya pengetahuan Ilahi itu menembuslah akan segala dinding. Bagi Allah tak ada dinding. Pikiran yang baru tumbuh, yang masih tersembunyi dalam gelungan pikiran, meskipun belum dinyatakan kepada orang banyak, Allah sudah tahu lebih dahulu.
Ayat 8
“Dialah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Kepunyaan-Nyalah nama-nama yang sangat baik."
Setelah kita diiringkan oleh ayat-ayat yang sebelumnya, sejak ayat kedua sampai ketujuh, kita dibawa sampai kepada ujung yang pasti; yaitu Kebesaran dan Maha Kekuasaan Allah. Semuanya itu Dia Yang menjadikan, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dia mempunyai nama-nama yang baik “Asmaul-husna" yang telah tersebut juga di dalam surah al-A'raaf.
Maka banyaklah nama-nama Allah itu, lebih dari 99 buah. Malahan di dalam hadits Nabi ﷺ dimaklumi juga bahwa banyak lagi nama Allah yang tersembunyi di dalam ilmu-Nya. Tetapi betapapun banyaknya, namun himpunannya ialah pada “Laa Uaha Illallah" juga; tidak ada Tuhan yang lain, melainkan Allah, Inilah yang jadi pokok ajaran tauhid.
Ar-Razi menyatakan di dalam tafsirnya bahwa ajaran tauhid itu terbagi kepada empat martabat.
1. Diikrarkan (diakui) dengan lidah.
2. Dii'tiqadkan dalam hati.
3. Sanggup mempertahankan i'tiqad itu dengan alasan, (hujjah).
4. Seorang hamba tenggelam ke dalam lautan tauhid, sehingga tidak ada yang beredar di dalam ingatannya selain dan ingat kepada Yang Maha Esa tempat berlindung.
Ikrar dengan lidah yang tidak disertai i'tiqad dalam hati, adalah perbuatan orang munafik.
I'tiqad dengan hati apabila tidak diikrarkan dengan lidah, mengandunglah dia akan beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, dia telah mengenal siapa Allah sebagai Tuhannya, atau sebagai yang diajarkan kepadanya. Tetapi dia telah meninggal sebelum sempat mengucapkan kalimah syahadat.
Satu kaum mengatakan bahwa iman orang itu belum sempurna.
Yang benar ialah bahwa imannya sudah ada, cuma mengikrarkan dengan lidah dia belum sempat.
Kata ar-Razi, “Di dalam beberapa kitab ada aku lihat, bahwa di kening Malaikat Maut itu ada tertulis kalimat La Ilaha lllallah, supaya dia dapat dilihat oleh orang yang beriman, dan dapat diingatnya seketika dilihatnya itu."
Kemungkinan kedua, dia telah mengenal siapa Allah sebagai Tuhannya. Dan telah berlalu beberapa waktu, sedang dia masih sanggup mengucapkan syahadat itu, tetapi tidak juga diucapkannya sampai matinya.
Tentang orang yang seperti ini Imam Ghazali berkata, “Bisa saja dikatakan bahwa lidah adalah wakil dari hati. Maka kalau telah hasil maksud dalam hati, kalau dia belum juga mengucapkannya dengan lidah, sama jugalah dengan belum juga dia shalat dan berzakat. Bagaimana akan dikatakan bahwa orang itu menjadi penduduk neraka, padahal Nabi ﷺ pernah bersabda,
“Akan dikeluarkan dari dalam neraka orang yang masih ada dalam hatinya, walaupun sebesar zarrah dari iman."
Sedang hati orang ini penuh dengan iman?" Yang lain mengatakan, “Iman dan kufur adalah soal yang berkenaan dengan syari'at. Kita sudah maklum bahwa barangsiapa yang enggan mengucapkan kalimat ini adalah kafir." Kemungkinan ketiga: Diikrarkan dengan lidahnya, dii'tiqadkannya dalam hatinya, tetapi dia tidak mempunyai dalil-dalil untuk mempertahankan. Maka orang yang seperti ini terhitung jadi muqallid; menurut-nurut saja. Masyhurlah pertikaian di ataran ulama tentang sah tidaknya iman orang ini.
Maqam yang ketiga, yaitu ikrar dan i'itiqad hendaklah dengan dalil atau hujjah untuk mempertahankannya. Di dalam tafsir firman Allah, “Kalau di keduanya itu ada lagi tuhan-tuhan selain Allah, niscaya akan rusaklah keduanya' (al-Anbiyaa' ayat 22). Dalam tafsir itu kita jelaskan bahwa i'tiqad tentang ketuhanan itu bisa dipertahankan dengan dalil dan dari apa yang kita dengar.
Adapun maqam yang keempat, yaitu tenggelam dalam lautan tauhid. Maka ahli-ahli bijaksana telah berkata, “Pengenalan kepada Allah dimulai dari kesanggupan memisah-misahkan mana yang Tuhan mana yang alam. Menolak mana yang tak masuk akal. Meninggalkan yang tak berguna, demikian juga membantah yang tidak sesuai. Semuanya itu mungkin bagi sekalian sifat Allah Al-Haqq, yang kita cari dan selidiki, dengan jujur dan sadar, sehingga kita sampai kepada Yang Maha Esa, Mahaperkasa.
Sekian kita salinkan penafsiran ar-Razi secara ringkas.
Tentang nama-nama yang baik, “Asmaul-husna'': Dikatakan nama Allah itu baik semuanya. Maka kebaikan atau keindahan nama itu bukanlah karena nama itu sendiri, karena dia semua hanya huruf dan suara belaka. Dia dikatakan baik ialah karena baik pengertian yang terkandung di dalam tiap-tiap nama itu. Dan baiknya nama itu bukanlah berkenaan dengan rupa dan bentuk kebendaan. Karena yang demikian itu adalah hal yang mustahil terhadap Allah yang tidak bertubuh bentuk. Melainkan dia menjadi baik dan indah karena makna yang terkandung. Misalnya satu di antara nama Allah itu ialah as-Sattaar, yang berarti Maha Penutup, yaitu menutupi kekurangan dan kejanggalan yang terdapat pada hamba-Nya yang ikhlas. al-Ghaffar, Yang Sangat Memberi Ampun. Demikian juga ar-Rahim: Yang Amat Penyayang. Al-Karinr, Yang Amat Muliawan. Dan lain-lain.
Di dalam surah al-Faatihaah terdapat lima nama Allah; (1) Allah, (2) Ar-Rabb, (3) Ar-Rahman, (4) Ar-Rahim dan (5) Al-Malik.
Yang mula disebut ialah Allah sebagai nama-Nya yang pertama. Di dalam nama yang demikian terkandunglah Keagungan dan Kegagahperkasaan. Dengan satu nama itu saja tidaklah akan tertanggungkan oleh Ruh makhluk Kegagahperkasaan dan Keagungan itu. Lantaran itu diikutilah nama pertama itu dengan Rabbu, dan Rahman dan Rahim dan Malik.
Dengan sifat Allah sebagai ar-Rabbu terkandunglah makna mendidik dan mengasuh. Dirasakan di dalamnya bahwa dalam sifat sebagai pendidik dan pengasuh rasa kasih sayanglah yang tersimpan. Diiringi pula dengan nama Allah Rahman, Maha Pengasih, yang menjadi sifat Allah selalu, diiringi oleh Rahiim yang cepat membuktikan rasa kasih sayangnya itu. Maka terkandunglah di dalam kedua nama itu kasih sayang yang amat halus dan lemah lembut. Akhirnya ditutup dengan nama Allah sebagai Malik, yang berarti Raja atau Maharaja di Raja yang sangat tinggi. Raja dari segala raja, penguasa tertinggi yang mengatasi segala penguasa corak apa pun dalam dunia ini. Maka terkandunglah makna di dalamnya bahwasanya seorang Raja Yang Mahaagung, Pemberi Kuasa Tertinggi kepada sekalian penguasa di dunia ini, tidaklah akan berdendam kepada yang lemah, dan tidaklah akan menyia-nyiakan nasib si melarat.
Tersebutlah di dalam satu riwayat yang disampaikan oleh Muhammad bin Ka'ab ai-Qurazhi, bahwa pada suatu hari bermunajatlah Nabi Musa a.s. kepada Allah, “Ya Tuhanku! Hamba Engkau yang macam manakah yang lebih mulia pada sisi-Mu?"
Allah menjawab, “Hamba-Ku yang lidahnya tidak pernah kering daripada menyebut nama-Ku."
Lalu Musa bertanya lagi, “Manakah makhluk Engkau yang lebih alim?" Allah menjawab, “Orang yang sanggup memperhubungkan ilmunya dengan ilmu orang lain."
Lalu Musa bertanya lagi, “Manakah makhluk Engkau yang lebih adil?" Allah menjawab, “Orang yang sanggup meng hukumkan atas dirinya sendiri apa yang dihukumkannya kepada orang lain."
Musa pun meneruskan pertanyaannya, “Manakah hamba-Mu yang paling besar ke-salahannya?"
Allah menjawab pula, “Ialah yang hatinya cemburu dan menuduh-Ku. Selalu dia me-mohon kepada-Ku, tetapi dia tidak ridha menerima keputusan-Ku." Setelah mendengar jawab Allah demikian, bermunajatlah Musa: “Wahai Tuhan kami! Kami tidaklah cemburu menuduh Engkau. Sesungguhnya kami tahu, apa saja yang Engkau berikan kepada Kami adalah anugerah yang mulia. Apa saja yang Engkau perbuat, adalah adil. Maka memohonlah kami, ya Tuhan kami, agar janganlah Engkau mengambil berat atas perbuatan kami yang tersesat."
Menurut keterangan al-Hasan al-Bishri pula, “Bahwasanya apabila Hari Kiamat datang kelak, akan menyerulah Penyeru, “Semua yang bila berkumpul akan mengetahui sendiri siapa yang lebih utama untuk dimuliakan."
Semua yang berbuat demikian langsung berdiri dan maju ke muka, melalui kuduk-kuduk manusia.
Kemudian datang seruan lagi, “Siapa-siapakah yang tidak diperdaya dan dibimbangkan oleh perniagaan atau jual-beli dari mengingat Allah?"
Berdiri serombongan lagi dan maju ke muka.
Kemudian terdengar lagi seruan, “Siapa-siapakah yang di dalam segala hal selalu meng-ucapkan pujian kepada Allah?"
Mereka pun berdiri dan tampil ke muka.
Kemudian barulah dilanjutkan hisab (perhitungan) kepada yang selebihnya. Maka ter-dengarlah puji-pujian kepada Allah dari segala jurusan.
“Ya Tuhan kami! Kami telah memuji Engkau, kami telah menyanjung Engkau sekadar tenaga yang ada pada kami, dan sejangka kekuatan yang Engkau karuniakan pada kami. Sebab itu ampunilah kami dengan keutamaan Engkau dan dengan rahmat Engkau yang berkekalan."