Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمِنَ
dan diantara
ٱلنَّاسِ
manusia
مَن
orang yang
يَقُولُ
berkata
ءَامَنَّا
kami beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَبِٱلۡيَوۡمِ
dan kepada hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَمَا
dan bukanlah
هُم
mereka
بِمُؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
وَمِنَ
dan diantara
ٱلنَّاسِ
manusia
مَن
orang yang
يَقُولُ
berkata
ءَامَنَّا
kami beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَبِٱلۡيَوۡمِ
dan kepada hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَمَا
dan bukanlah
هُم
mereka
بِمُؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
Terjemahan
Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang mukmin.
Tafsir
(Di antara manusia ada orang yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir.") yaitu hari kiamat, karena hari itu adalah hari terakhir. (Padahal mereka bukan orang-orang yang beriman). Di sini ditekankan arti kata 'orang', jika kata ganti yang disebutkan lafalnya, yakni 'mereka'.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 8-9
Dan di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian" padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak sadar.
Ayat 8
Nifaq atau kemunafikan ialah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan. Sifat munafik itu bermacam-macam, ada yang berkaitan dengan akidah; jenis ini menyebabkan pelakunya kelak di dalam neraka.
Ada yang berkaitan dengan perbuatan, jenis ini merupakan salah satu dari dosa besar, rinciannya akan disebutkan pada bagian tersendiri, insya Allah. Menurut Ibnu Juraij, orang munafik ialah orang yang ucapannya bertentangan dengan perbuatannya, keadaan batinnya bertentangan dengan sikap lahiriahnya, bagian dalamnya bertentangan dengan bagian luarnya, dan penampilannya bertentangan dengan kepribadiannya. Sesungguhnya sifat orang munafik diterangkan di dalam surat-surat Madaniyah, karena di Mekah tidak ada sifat munafik, bahkan kebalikannya.
Di antara orang-orang dalam periode Mekah ada yang menampakkan kekafiran karena terpaksa, padahal batinnya adalah orang mukmin tulen. Ketika Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, di sana telah ada kaum Anshar yang terdiri atas kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj. Dahulu di masa Jahiliah, mereka termasuk penyembah berhala sebagaimana kebiasaan kaum musyrik Arab. Di Madinah terdapat orang-orang Yahudi dari kalangan ahli kitab yang memeluk agama menurut nenek moyang mereka. Orang-orang Yahudi Madinah terdiri atas tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqa' (teman sepakta kabilah Khazraj), Bani Nadhir, dan Bani Quraizah (teman sepakta kabilah Aus).
Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah orang-orang Anshar dari kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj telah masuk Islam, tetapi sedikit sekali dari kalangan orang-orang Yahudi yang masuk Islam, bahkan hanya satu orang, yaitu Abdullah ibnu Salam. Pada saat itu (periode pertama Madinah) masih belum terdapat nifaq, mengingat kaum muslim masih belum mempunyai kekuatan yang berpengaruh, bahkan Nabi ﷺ hidup rukun bersama orang-orang Yahudi dan kabilah-kabilah Arab yang berada di sekitar kota Madinah, hingga terjadi Perang Badar Besar, dan-Allah memenangkan kalimat-Nya dan memberikan kejayaan kepada Islam serta para pemeluknya. Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul adalah seorang pemimpin di Madinah, berasal dari kabilah Khazraj. Dia adalah pemimpin kedua kabilah di masa Jahiliah, mereka bertekad akan menjadikannya sebagai raja mereka.
Kemudian datanglah kebaikan (agama Islam) kepada mereka, dan mereka semua masuk Islam, menyibukkan dirinya dengan urusan Islam, sedangkan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul tetap pada pendiriannya seraya memperhatikan perkembangan Islam dan para pemeluknya. Akan tetapi, ketika terjadi Perang Badar (dan kaum muslim beroleh kemenangan), dia berkata, "Ini merupakan suatu perkara yang benar-benar telah mengarah (kepada kekuasaan)." Akhirnya dia menampakkan lahiriahnya masuk Islam, dan sikapnya ini diikuti oleh orang-orang yang mendukungnya, juga oleh orang lain dari kalangan ahli kitab.
Sejak itulah muncul nifaq (kemunafikan) di kalangan sebagian penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang berada di sekitar kota Madinah. Adapun kaum Muhajirin, tidak ada seorang munafik pun di kalangan mereka karena tiada seorang pun yang berhijrah karena dipaksa, bahkan setiap Muhajirin berhijrah meninggalkan harta benda dan anak-anaknya karena mengharapkan pahala di sisi Allah kelak di hari kemudian. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian" padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8) Yang dimaksud adalah orang-orang munafik dari kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj serta orang-orang yang mengikuti mereka.
Hal yang sama ditafsirkan oleh Abul Aliyah, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Suddi, yaitu "mereka adalah orang-orang munafik dari kabilah Aus dan kabilah Khazraj Melalui ayat ini Allah memperingatkan kaum mukmin agar jangan terbujuk oleh lahiriah sikap mereka, yaitu dengan menerangkan sifat-sifat dan ciri khas orang-orang munafik, karena hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya kerusakan yang luas sebagai akibat tidak bersikap waspada terhadap mereka; dan sebagai akibat meyakini keimanan mereka, padahal kenyataannya mereka adalah orang-orang kafir.
Hal ini merupakan larangan besar, yaitu menduga baik pada orang-orang yang ahli dalam kemaksiatan. Untuk itulah Allah ﷻ berfirman: “Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman” (Al-Baqarah: 8). Dengan kata lain, mereka katakan hal tersebut hanya dengan lisannya saja, padahal di balik itu tiada sedikit pun iman yang terdapat di hati mereka, sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya” (Al-Munafiqun: 1). Dengan kata lain, sesungguhnya mereka mengatakan demikian bila datang kepadamu saja, padahal kenyataannya tidak demikian.
Karena itu, mereka mengukuhkan kesaksiannya dengan inna dan lam taukid pada khabar-nya. Mereka mengukuhkan perkataannya pula, seperti yang disitir oleh firman-Nya, "Mereka mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian'," padahal kenyataannya tidaklah demikian. Allah menolak kesaksian dan kalimat berita mereka, yang hal ini berkaitan dengan akidah mereka, yaitu melalui firman-Nya: “Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta” (Al-Munafiqun: 1). “Padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang beriman” (Al-Baqarah: 8).
Ayat 9
Firman Allah ﷻ mengatakan, "Yukhadi’unallaha walladzina amanu" mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman karena mereka hanya menampakkan keimanannya pada lahiriahnya saja, sedangkan batin mereka memendam kekufuran. Karena kebodohan mereka sendiri, mereka menduga bahwa mereka menipu Allah ﷻ dengan sikap tersebut, dan hal tersebut menghasilkan manfaat di sisi-Nya, dapat mengelabui Allah ﷻ sebagaimana mereka dapat mengecoh sebagian kalangan kaum mukmin, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “(Ingatlah) hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat). “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta. (Al-Mujadilah: 18). Karena itulah Allah membantah apa yang mereka yakini itu melalui firman-Nya: “Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari” (Al-Baqarah: 9). Dengan kata lain, melalui perbuatannya itu mereka tidak mengelabui; tidak pula menipu, melainkan hanya diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari hal itu, sebagaimana disebutkan dalam firman lain: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, namun Allah akan membalas tipuan mereka” (An-Nisa: 142). Di antara ahli qiraat ada yang membaca wama yakhda'una illa an-fusahum menjadi wama yukhadi'una illa anfusahum yang artinya "tiada lain penipuan yang mereka lakukan itu melainkan terhadap diri mereka sendiri."
Akan tetapi, kedua qiraat tersebut mempunyai makna yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, jika ada seseorang mengatakan mengapa orang yang munafik kepada Allah dan kepada kaum mukmin dapat dikatakan sebagai seorang penipu, sedangkan orang yang munafik itu tidak sekali-kali mengatakan apa yang bertentangan dengan batinnya hanyalah karena taqiyyah semata? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa orang-orang Arab menamakan ucapan yang bertentangan dengan hati sebagai sikap taqiyyah untuk menyelamatkan diri dari hal yang ditakutkan dengan nama mukhadi'.
Demikian pula halnya dengan orang munafik, dia dinamakan mukhadi' (orang yang menipu) Allah dan orang-orang mukmin dengan mengucapkan kata-kata yang dapat menyelamatkan dirinya dari pembunuhan, penahanan, dan siksa yang segera, padahal di balik penampilan luarnya itu dia memendam kebencian. Itu adalah salah satu dari sikap orang munafik; sekalipun dia menipu orang-orang mukmin dalam kehidupan di dunia ini, tetapi dia dengan perbuatannya itu sama saja menipu dirinya sendiri. Dikatakan demikian karena perbuatan yang ditampakkannya itu menurutnya dapat memberikan apa yang dicita-citakannya dan kebahagiaan, padahal kenyataannya justru merupakan sumber kejatuhannya dan berakibat siksa di hari kemudian serta murka Allah dan azab-Nya yang amat pedih tiada bandingannya. Tipuan yang ia lancarkan tersebut diduganya sebagai perbuatan yang baik buat dirinya, padahal sesungguhnya dia berbuat jahat terhadap dirinya sendiri bagi kehidupannya di akhirat nanti, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya, "Tiadalah yang mereka tipu melainkan diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak menyadarinya." Ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa orang-orang munafik telah mencelakakan dirinya sendiri karena perbuatan mereka membuat Tuhan murka, yaitu kekufuran, keraguan, dan kedustaan yang mereka lakukan tanpa mereka rasakan dan tanpa mereka ketahui hingga membuat mereka buta dan menetapi perbuatannya itu.
Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak dalam suratnya yang ditujukan kepadaku, bahwa telah menceritakan kepadanya Zaid ibnul Mubarak, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Tsaur, dari Ibnu Juraij, sehubungan dengan firman-Nya: “Mereka hendak menipu Allah” (Al-Baqarah: 9). Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka menampakkan kalimat tauhid dengan tujuan agar darah dan harta benda selamat, padahal di dalam hati mereka terdapat hal yang bertentangan dengan kalimat tauhid itu.
Sa'id mengatakan dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: “Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadarinya” (Al-Baqarah: 8-9). Bahwa ciri khas orang munafik pada umumnya ialah berakhlak rendah, percaya dengan lisan tetapi ingkar dengan hati, dan berbeda dengan perbuatan serta sepak terjangnya; di pagi hari berada dalam satu keadaan, sedangkan di petang harinya dalam keadaan lain; begitu pula sebaliknya, di petang hari dalam satu sikap, sedangkan di pagi harinya bersikap lain; ia terombang-ambing bagaikan perahu yang ditiup angin kencang dan hanya bersikap mengikuti arah angin."
Dan selanjutnya disebutkan kelompok manusia yang ketiga dalam menyikapi kebenaran petunjuk Al-Qur'an, yaitu di antara manusia yang ingkar seperti disebut sebelumnya ada sekelompok orang yang mengatakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lahir dari dalam hati nurani. Mereka berkata, Kami hanya beriman kepada Allah dengan segala keagungan-Nya dan kami juga beriman kepada hari akhir yang diingkari oleh orang-orang kafir, padahal sesungguhnya mereka itu tidak jujur dalam mengatakan itu sehingga mereka bukanlah termasuk golongan orang-orang yang beriman. Kelompok ketiga ini jauh lebih berbahaya daripada yang secara terang-terangan menolak (kafir), sebab mereka menampakkan diri seperti kawan padahal sesungguhnya mereka adalah lawanMereka menduga, dengan mengatakan seperti itu, telah berhasil menipu Allah dengan menganggap Allah tidak mengetahui rahasia yang mereka sembunyikan, padahal Allah Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan yang tampak; dan mereka juga merasa telah berhasil menipu orang-orang yang beriman, dengan berpura-pura beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Sebab akibat buruk perbuatan mereka itu, cepat atau lambat, akan kembali kepada mereka sendiri.
Pada ayat ini diterangkan golongan yang ketiga yaitu golongan munafik, golongan yang mengaku bahwa mereka beriman, tetapi sebenarnya tidak beriman. Pengakuan mereka tidaklah benar. Mereka mengakui demikian itu untuk mengelabui mata dan mempermainkan orang Islam.
Sewaktu Rasul ﷺ hijrah dari Mekah ke Medinah, banyak penduduk Medinah masuk Islam dari kabilah 'Aus dan Khazraj dan beberapa orang Yahudi. Pada mulanya masih belum tampak golongan ini. Tetapi sesudah perang Badar tahun kedua Hijri, yang membawa kemenangan bagi kaum Muslimin, mulailah timbul golongan munafik ini.
Abdullah bin Ubay, seorang pemimpin di Medinah dari kabilah Khazraj, anak dari seorang yang pernah menjadi pemimpin suku Aus dan Khazraj, oleh pengikut-pengikutnya dijadikan calon raja di Medinah. Dia berkata kepada pengikut-pengikutnya, "Situasi sekarang jelas menunjukkan kemenangan bagi Muhammad". Kemudian Abdullah bin Ubay dan pengikut-pengikutnya menyatakan masuk Islam tetapi hati mereka tetap membenci. Tujuan mereka hendak menghancurkan kaum Muslimin dari dalam, dengan berbagai macam usaha dan tipu daya. Di antara mereka banyak pula orang Yahudi.
Sabda Nabi saw:
Perumpamaan orang munafik seperti seekor anak kambing (yang bingung dan ragu) di antara dua kambing, bolak-balik, kadang-kadang mengikuti yang satu ini, kadang-kadang mengikuti yang lainnya. (Riwayat Muslim dari Ibnu Umar)
Mereka bukan termasuk orang-orang yang beriman yang benar dan yang merasakan keagungan Allah swt, mereka tidak pula menyadari bahwa Allah sebenarnya mengetahui perbuatan mereka lahir dan batin. Sekiranya mereka beriman dengan iman yang benar, tentulah mereka tidak melakukan perbuatan yang menyakitkan hati Nabi ﷺ dan kaum Muslimin. Mereka melakukan ibadah salat dan puasa, hanya untuk mengelabui mata umum, sedang hati dan jiwa mereka sesungguhnya tidak menghayati ibadah-ibadah tersebut.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 8-13
NIFAK (I)
Ayat 8
“Dan sebagian dari manusia ada yang berkata, Kami percaya kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal tidaklah mereka itu orang-orang yang beriman."
Sudah dibicarakan pada ayat yang lalu tentang orang yang kafir. Orang yang dengan tegas telah menyatakan bahwa dia tidak percaya. Betapa pun mereka diajak, diberi peringatan ancaman adzab kehancuran di dunia dan siksa neraka di akhirat, mereka tidak akan mau karena hati mereka sudah dicap. Dengan hanya dua ayat saja, hal itu sudah selesai. Namun, mulai ayat 8 ini sampai ayat 20 akan dibicarakan yang lebih sulit daripada kufur, yaitu orang yang berlain apa yang diucapkannya dengan mulutnya dengan pendirian hatinya yang sebenarnya. Sifat ini bernama nifak dan pelakunya bernama munafik. Mereka berkata dengan mulut bahwa mereka percaya; mereka percaya kepada Allah, percaya akan Hari Kemudian, tetapi yang sebenarnya adalah mereka itu orang-orang yang tidak percaya.
Inilah macam manusia yang ketiga; yang pertama tadi percaya hatinya, percaya mulutnya, dan percaya perbuatannya, tegasnya dibuktikan kepercayaan hatinya itu oleh perbuatannya. Itulah orang Mukmin.
Yang kedua, tidak mau percaya; hatinya tidak percaya, mulutnya menentang, dan perbuatannya melawan. Itulah orang yang disebut kafir.
Namun, yang ketiga ini menjadi golongan yang pecah di antara hati dan mulutnya.
Mulutnya mengakui percaya, tetapi hatinya tidak, dan pada perbuatannya lebih terbukti lagi bahwa pengakuan mulutnya tidak sesuai dengan apa yang tersimpan di hati.
Kalimat munafik atau nifak itu asal artinya ialah lubang tempat bersembunyi di bawah tanah. Lubang perlindungan dari bahaya udara disebut nafaq. Dari sinilah diambil arti dari orang yang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, sebagai suatu pengicuhan atau penipuan,
Ayat 9
“Hendak mereka coba memperdayakan Allah dan orang-orang yang beriman."
Dengan mulut yang manis, kecindan yang murah, berlagak sebagai orang yang jujur, pura-pura sebagai orang yang beriman, fasih lidah berkata-kata, dihias dengan firman Tuhan, sabda Rasul, supaya orang percaya bahwa dia bersungguh-sungguh.
“Padahal tidaklah yang mereka percayakan, kecuali diri mereka sendiri, dan tidaklah mereka rasakan."
Sikap pura-pura itu sudah nyata tidak dapat memperdayakan Allah; niscaya Allah tidak dapat dikicuh. Mungkin sesama manusia dapat tertipu sementara, tetapi akan berapa lamanya?
Ayat 10
“Di dalam hati mereka ada penyakit."
Pokok penyakit yang terutama di dalam hati mereka pada mulanya ialah karena pantang kelintasan, merasa diri lebih pintar. Akhirnya “maka menambahlah Allah akan penyakit mereka!' penyakit dengki, penyakit hati busuk, dan penyakit penyalah terima. Tiap orang bercakap terasa diri sendiri juga yang kena, karena walaupun telah mengambil muka kian kemari, tetapi dalam hati sendiri ada juga keinsafan bahwa orang tidak percaya.
“Dan untuk mereka adzab yang pedih, dari sebeda mereka telah berdusta."
Kaum munafik itu mengatakan percaya kepada Allah dan Hari Akhirat; bahwa Allah ada dan Hari Akhirat pasti terjadi, adalah benar. Akan tetapi, karena sikap hidup selalu menyatakan bahwa mereka bukan orang yang beriman kepada Allah dan tidak ada bukti perbuatan yang menunjukkan bahwa kedua hal itu benar-benar keyakinannya, kian lama tampak jugalah dustanya. Orang pun akhirnya tahu dan dapat pula mengatur sikap menghadapi orang yang seperti ini. Mereka telah disiksa oleh dusta mereka sendiri. Apa saja yang mereka kerjakan menjadi serba salah.
Beginilah digambarkan jiwa orang munafik di Madinah seketika Islam mulai berkembang di sana. Kaum munafik itu dua corak. Pertama, munafik dari kalangan orang Yahudi, yang kian lama kian merasa bahwa mereka telah terdesak, padahal selama ini merekalah yang jadi tuan di Madinah, karena kehidupan mereka lebih makmur dari penduduk Arab asli dan merasa lebih pintar. Kian lama kian mereka rasakan bahwa kekuasaan Nabi Muhammad dan kebebasan Islam kian naik, sedangkan mereka kian terdesak ke tepi. Mereka inilah yang mengatakan kami percaya kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi sudah disengaja buat tidak menyebut bahwa mereka pun percaya kepada kerasulan Muhammad dan wahyu Al-Qur'an.
Munafik kedua ialah orang Arab Madinah sendiri, yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Sebelum Nabi datang, dialah yang dipandang sebagai pemuka masyarakat Arab Madinah yang terdiri atas persukuan Aus dan Khazraj. Akan tetapi, sedatang Nabi ﷺ dia kian lama ditinggalkan orang sebab kian nyata bahwa dia tidak jujur. Kerjanya hanya duduk mence-mooh-mencemooh dan memperenteng kepribadian Nabi ﷺ
Akan tetapi, berhadapan dengan orang tidak pula dia berani karena takut akan disisihkan. Beginilah gambaran umum dari golongan munafik pada masa itu.
Ayat 11
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu berbuat kemuakan di bumi,' Mereka menjawab, ‘Tidak lain kerja kami, hanyalah berbuat kebaikan.'"
Dengan lempar batu sembunyi tangan mereka berusaha menghalang-halangi perbaikan, pembangunan ruhani dan jasmani yang sedang dijalankan oleh Rasul dan orang-orang yang beriman. Hati mereka sakit melihatnya, lalu mereka buat sikap lain secara sembunyi untuk menentang perbaikan itu. Kalau ditegur secara baik, jangan begitu, mereka menjawab bahwa maksud mereka adalah baik. Mereka mencari jalan perbaikan atau jalan yang damai. Lidah yang tidak bertulang pandai saja menyusun kata yang elok-elok bunyinya, padahal kosong isinya.
Ayat 12
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu perusak-perusak, akan tetapi mereka tidak sadar."
Dengan cara diam-diam, munafik Yahudi telah mencari daya upaya bagaimana supaya segala rencana Nabi kandas. Orang-orang Arab dusun yang belum ada kepercayaan, kalau datang ke Madinah, kalau ada kesempatan, mereka bisiki, mencemoohkan Islam. Padahal, sejak Nabi datang ke Madinah, telah diikat janji akan hidup berdampingan secara damai. Mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka itu merusak dan berbahaya, terutama pada kedudukan mereka sendiri, sebab Islam tidak akan lemah, tetapi akan bertambah kuat. Kalau ditanyakan, mereka menyatakan bahwa maksud mereka baik, mencari jalan damai. Jelaslah bahwa perbuatan mereka yang amat berbahaya itu tidak mereka sadari karena hawa nafsu belaka.
Nafsu yang pantang kerendahan. Kalau mereka berpegang benar-benar dengan agama mereka, agama Yahudi, tidaklah mungkin mereka akan berbuat demikian. Namun, setelah agama menjadi satu macam ta'ashshub, membela golongan, walaupun dengan jalan yang salah, tidaklah mereka sadari lagi apa akibat dari pekerjaan mereka itu. Dalam hal ini, kadang-kadang mereka berkumpul menjadi satu dengan munafik golongan Abdullah bin Ubay. Ayat ini sudah menegaskan: Alal Ketahuilah! Sesungguhnya, mereka itu perusak-perusak semua. Akan tetapi, mereka tidak sadar. Ayat ini telah membayangkan apa yang akan kejadian di belakang, yang akan membawa celaka bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari akibat di belakang.
Ayat 13
“Dan apabila dikatakan orang kepada Mereka, ‘Senimanlah sebagaimana telah beriman manusia (lain).' Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman sebagaimana berimannya orang-orang yang bodoh-bodoh itu?' Ketahuilah, sesungguhnya Mereka itulah yang bodoh-bodoh, tetapi Mereka tidak tahu."
Inilah rahasia pokok. Merasa diri lebih pintar. Merasa diri turun derajat kalau mengakui percaya kepada Rasul, sebab awak orang berkedudukan tinggi selama ini, baik pemuka-pemuka Yahudi maupun Abdullah bin Ubay dan pengikutnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang telah menyatakan iman kepada Rasulullah itu bukanlah dari golongan orang-orang yang terpandang dalam masyarakat selama ini: Apa mereka tahu! Anak-anak kemarin! Belum ada kedudukan mereka dalam masyarakat!
Mereka tidak hendak menilai apa artinya beriman. Yang mereka nilai hanya kedudukan dari orang-orang yang telah menyatakan iman. Mereka pandang bahwa orang-orang yang menjadi pengikut Muhammad itu hanyalah orang bodoh-bodoh, sedangkan mereka orang pintar-pintar, lebih banyak mengerti soal agama sebab mereka mempunyai kitab Taurat.
Kesombongan inilah di zaman dahulu kala yang menyebabkan umat Nabi Nuh menentang Nabi Nuh. Mereka merasa pakaian mereka kotor kalau duduk bersama-sama dengan orang-orang yang telah percaya lebih dahulu kepada Nabi Nuh. Maka, bagi kaum munafik Yahudi ini, kepintaran mereka dalam soal agama tidak lagi untuk diamalkan, tetapi untuk dimegahkan. Namun, mereka sendiri tidak dapat bertindak apa-apa. Mereka terpecah-belah sebab masing-masing hendak mengatasi kepintaran. Lantaran sikap jiwa yang demikian, apakah yang dapat mereka perbuat selain dari mencemooh? Segala yang dikerjakan orang salah semua menurut mereka. Akan tetapi, mereka sendiri tidak dapat berbuat apa-apa.
Kadang-kadang, tentu keluar perkataan mereka mencela pribadi orang. Misalnya, mereka mengatakan bahwa ajaran Muhammad itu ada baiknya juga. Sayangnya, pengikutnya banyak si anu dan si fulan. Padahal, misalnya, orang-orang yang mereka cela dan hinakan itu keluar dan mereka masuk, mereka pun tidak akan dapat berbuat apa-apa selain dari mengemukakan rencana-rencana dan rancangan, tetapi orang lain yang disuruh mengerjakan karena mereka sendiri tidak mempunyai kesanggupan. Mereka mencap semua orang bodoh, tetapi mereka tidak mengerti akan kebodohan mereka sendiri.