Ayat
Terjemahan Per Kata
فَوَيۡلٞ
maka celakalah
لِّلَّذِينَ
bagi orang-orang yang
يَكۡتُبُونَ
(mereka) menulis
ٱلۡكِتَٰبَ
Al Kitab
بِأَيۡدِيهِمۡ
dengan tangan mereka
ثُمَّ
kemudian
يَقُولُونَ
mereka mengatakan
هَٰذَا
ini
مِنۡ
dari
عِندِ
sisi
ٱللَّهِ
Allah
لِيَشۡتَرُواْ
mereka hendak menukar
بِهِۦ
dengannya
ثَمَنٗا
harga
قَلِيلٗاۖ
sedikit
فَوَيۡلٞ
maka kecelakaan
لَّهُم
bagi mereka
مِّمَّا
dari apa yang
كَتَبَتۡ
menulis
أَيۡدِيهِمۡ
tangan mereka
وَوَيۡلٞ
dan celakalah
لَّهُم
bagi mereka
مِّمَّا
dari apa yang
يَكۡسِبُونَ
mereka kerjakan
فَوَيۡلٞ
maka celakalah
لِّلَّذِينَ
bagi orang-orang yang
يَكۡتُبُونَ
(mereka) menulis
ٱلۡكِتَٰبَ
Al Kitab
بِأَيۡدِيهِمۡ
dengan tangan mereka
ثُمَّ
kemudian
يَقُولُونَ
mereka mengatakan
هَٰذَا
ini
مِنۡ
dari
عِندِ
sisi
ٱللَّهِ
Allah
لِيَشۡتَرُواْ
mereka hendak menukar
بِهِۦ
dengannya
ثَمَنٗا
harga
قَلِيلٗاۖ
sedikit
فَوَيۡلٞ
maka kecelakaan
لَّهُم
bagi mereka
مِّمَّا
dari apa yang
كَتَبَتۡ
menulis
أَيۡدِيهِمۡ
tangan mereka
وَوَيۡلٞ
dan celakalah
لَّهُم
bagi mereka
مِّمَّا
dari apa yang
يَكۡسِبُونَ
mereka kerjakan
Terjemahan
Celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka, celakalah mereka karena tulisan tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.
Tafsir
(Maka kecelakaan besarlah) atau siksaan berat (bagi orang-orang yang menulis Alkitab dengan tangan mereka sendiri) artinya membuat-buatnya menurut kemauan mereka (lalu mereka katakan, "Ini dari Allah," dengan maksud untuk memperdagangkannya dengan harga murah) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sedikit berupa harta dunia. Mereka ini ialah orang-orang Yahudi yang mengubah-ubah sifat-sifat nabi yang tercantum dalam Taurat, begitu pun ayat rajam dan lain-lain yang mereka tulis lain daripada yang dimaksud. (Maka siksaan beratlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka) disebabkan mereka mengada-ada yang tidak ada (dan siksaan beratlah bagi mereka, disebabkan apa yang mereka kerjakan) yakni melakukan penyelewengan dan kecurangan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 78-79
Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, "Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan.
Ayat 78
Waminhum ummiyyuna, di antara ahli kitab itu ada yang buta huruf, menurut Mujahid. Al-ummiyyun adalah bentuk jamak dari lafal ummiy yang artinya orang yang buta huruf. Demikian pula yang dikatakan oleh Abul Aliyah, Ar-Rabi', Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i dan banyak ulama lainnya. Makna ini jelas terdapat di dalam firman-Nya, "La ya'lamunal kitaba," yakni mereka tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam kitab Taurat.
Sehubungan dengan pengertian lafal ini disebutkan dalam sifat-sifat Nabi ﷺ bahwa beliau adalah seorang yang ummiy. Dikatakan demikian karena beliau adalah orang yang tidak dapat menulis (yakni buta huruf), seperti yang disebutkan oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Dan kamu tidak pernah membaca suatu kitab pun sebelumnya (Al-Qur'an) dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab pun dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis) niscaya akan ragulah orang yang mengingkari(mu)” (Al-'Ankabut: 48). Nabi ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis, dan kami tidak bisa pula menghitung; satu bulan itu adalah segini, segini dan segini (yakni tiga puluh hari). Dengan kata lain dalam ibadah kami, kami tidak memerlukan tulisan dan hitungan untuk menentukan waktu-waktunya.”
Dan Allah telah berfirman: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka” (Al-Jumu'ah: 2). Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab menisbatkan orang yang tidak dapat menulis dan membaca kepada ibunya, karena disamakan dengan keadaan ibunya yang tidak dapat menulis, tetapi bukan dinisbatkan kepada ayahnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat ini, yaitu sebuah riwayat yang diceritakan oleh Abu Kuraib. Dia menceritakan, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id ibnu Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan di antara mereka ada yang buta huruf” (Al-Baqarah: 78). Bahwa orang-orang ummi adalah suatu kaum yang tidak percaya kepada rasul yang diutus oleh Allah, tidak pula kepada kitab yang telah diturunkan oleh Allah.
Kemudian mereka menulis suatu kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka katakan kepada orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka bahwa kitab tersebut dari sisi Allah. Ibnu Jarir memberikan komentarnya, telah diberitakan bahwa mereka (orang-orang Yahudi tersebut) menulis sebuah kitab dengan tangan mereka. Tetapi setelah itu mereka disebut sebagai orang-orang yang ummi karena keingkaran mereka kepada kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa takwil ini merupakan takwil yang berbeda dengan apa yang dikenal di dalam percakapan orang-orang Arab dan bahasanya yang telah baku di kalangan mereka.
Demikian itu karena istilah ummi artinya ditujukan kepada orang yang tidak dapat membaca dan menulis (yakni buta huruf). Menurut kami kesahihan sanad riwayat ini, dari Ibnu Abbas, masih perlu dipertanyakan.
Firman Allah, "Illa amaniyya," menurut Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah omongan-omongan belaka.
Menurut Adh-Dhahhak juga dari Ibnu Abbas illa amaniyya artinya hanya omongan yang keluar dari mulut mereka secara dusta.
Sedangkan menurut Mujahid, amaniyya artinya dusta.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka” (Al-Baqarah: 78). Segolongan orang dari kalangan orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat) barang sedikit pun dan mereka berbincang-bincang hanya dengan dugaan belaka tanpa dasar dari Kitabullah mengatakan bahwa omongan bohong tersebut adalah dari Al-Kitab. Padahal apa yang mereka katakan itu hanyalah omongan dusta belaka yang mereka duga-duga. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, “Illa amaniyya” , bahwa apa yang mereka katakan itu hanyalah angan-angan belaka yang mereka harapkan dari Allah, padahal mereka sama sekali tidak berhak untuk mendapatkannya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna illa amaniyya, bahwa mereka berangan-angan dan mengatakan, "Kami adalah ahli kitab," padahal kenyataannya mereka bukan termasuk ahli kitab.
Menurut Ibnu Jarir, pendapat yang lebih mirip kepada kebenaran ialah apa yang telah dikemukakan oleh Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas tadi.
Mujahid mengatakan, sesungguhnya orang-orang ummi itu ialah kaum yang disebutkan ciri-cirinya oleh Allah, bahwa mereka tidak sedikit pun memahami kitab yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa, tetapi mereka membuat-buat kedustaan dan kebatilan serta kedustaan dan kepalsuan.
Dengan demikian, berarti makna tamanni dalam ayat ini ialah membuat-buat kedustaan dan kepalsuan. Termasuk ke dalam pengertian ini, ada sebuah riwayat yang bersumber dari sahabat Usman ibnu Affan. Disebutkan bahwa ia pernah mengatakan, "Aku tidak pernah bersyair, tidak pernah pula membuat kebatilan, serta aku tidak pernah membuat kedustaan." Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan makna illa amaniyya dibaca dengan tasydid dan takhfif ialah illa tilawatan hanyalah bacaan belaka. Berdasarkan pengertian ini, berarti istisna (pengecualian) yang ada bersifat munqati (terputus).
Para pendukung pendapat ini memperkuat pendapatnya berdalil kepada firman Allah yang mengatakan, "Melainkan apabila ia hendak membaca, maka setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap bacaannya itu," hingga akhir ayat 52 surat Al-Hajj (menurut orang yang mengartikan lamanna dengan makna tala, yakni membaca). Seorang penyair bernama Ka'b ibnu Malik mengatakan: “Dia membaca Kitabullah di permulaan malam, dan pada penghujungnya dia menemui batasan takdirnya (batas umurnya).” Penyair lainnya mengatakan pula: “Dia membaca Kitabullah di akhir malam harinya dengan bacaan yang perlahan seperti bacaan Nabi Daud.”
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Mereka tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat) kecuali dongengan-dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga” (Al-Baqarah: 78). Artinya, mereka tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam Kitabullah (Taurat) dan mereka menemukan kenabianmu hanya dengan menduga-duga saja.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wa in hum illa yazunnuna dan mereka hanya berdusta belaka.
Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' mengatakan bahwa mereka menyangka terhadap Allah dengan sangkaan yang tidak benar.
Ayat 79
Firman Allah : “Maka kecelakaaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, "Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu” (Al-Baqarah: 79). Mereka yang disebut dalam ayat ini adalah segolongan lain dari kalangan orang-orang Yahudi. Mereka adalah orang-orang yang menyerukan kepada kesesatan dengan cara pemalsuan dan berdusta kepada Allah, serta memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Al-wail artinya kebinasaan dan kehancuran, kalimat ini sudah dikenal di dalam bahasa Arab. Menurut Sufyan Ats-Tsauri, dari Ziad ibnu Fayyad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Iyad mengatakan, "Al-wail adalah nanah yang berada di dasar neraka Jahannam." Menurut ‘Atha’ ibnu Yasar, al-wail artinya nama sebuah lembah di dalam neraka Jahannam; seandainya sebuah gunung besar dilemparkan ke dalamnya, niscaya akan meleleh.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri , dari Rasulullah ﷺyang bersabda: “Wail adalah sebuah lembah di dalam neraka Jahannam, orang kafir dicampakkan ke dalamnya selama empat puluh tahun sebelum mencapai dasarnya.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abdur Rahman ibnu Humaid, dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Luhai'ah, dari Darij dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib, kami tidak mengenalnya kecuali hanya melalui hadits Ibnu Luhai'ah. Menurut kami, hadits ini seperti yang Anda lihat tidak hanya diketengahkan oleh Ibnu Luhai'ah, dan ternyata musibahnya menimpa orang-orang sesudahnya, mengingat penilaian marfu' hadits ini merupakan hal yang munkar (diingkari).
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Qusyairi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Jarir, dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdul Himid ibnu Ja'far, dari Kinanah Al-Adawi, dari Usman ibnu Affan ra dari Rasulullah ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan” (Al-Baqarah: 79). Rasulullah ﷺbersabda: “Al-Wail adalah nama sebuah bukit di dalam neraka.” Ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku orang-orang Yahudi, karena mereka berani mengubah isi kitab Taurat dengan menambahkan ke dalamnya apa yang mereka sukai dan menghapus apa yang tidak mereka sukai, serta mereka menghapus nama Nabi Muhammad ﷺ dari kitab Taurat. Maka Allah murka terhadap mereka, mengingat merekalah penyebab dari terhapusnya sebagian kitab Taurat. Untuk itu Allah berfirman: “Maka kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan” (Al-Baqarah: 79). Hadits ini pun dinilai gharib, bahkan sangat gharib.
Disebutkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-wail artinya penderitaan azab.
Al-Khalil ibnu Ahmad mengatakan, al-wail adalah kejahatan yang sangat keras.
Menurut Imam Sibawaih, al-wail ditujukan kepada orang yang terjerumus ke dalam kebinasaan, sedangkan lafal wailun ditujukan kepada orang yang hampir terjerumus ke dalam kebinasaan.
Al-Asmu'i mengatakan, al-wail artinya ungkapan penderitaan, sedangkan al-waih ungkapan belas kasihan. Tetapi selain Al-Asmu'i mengatakan bahwa al-wail artinya kesedihan.
Imam Khalil mengatakan sehubungan dengan makna wail, waih, waisy, waih, waik, dan waib; bahwa di antara mereka ada orang yang membedakan makna masing-masing. Sebagian ahli nahwu mengatakan, sesungguhnya lafal al-wail boleh dijadikan mubtada, sedangkan ia sendiri adalah isim nakirah; hal ini tiada lain karena di dalamnya terkandung makna doa. Di antara ahli nahwu ada yang memperbolehkannya dibaca nasab dengan makna al-zimhum wailan, yakni semoga kecelakaan tetap atas diri mereka; tetapi menurut kami tidak ada seorang pun yang membacanya demikian (nasab).
Diriwayatkan oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Maka kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri.” (Al-Baqarah: 79) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah para rahib Yahudi. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id, dari Qatadah, bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Alqamah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna firman-Nya: “Maka kecelakaaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79) Ibnu Abbas mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik dan ahli kitab.
As-Suddi pernah mengatakan bahwa dahulu segolongan orang-orang Yahudi menulis sebuah kitab dari kalangan mereka sendiri, lalu mereka menjualnya kepada orang-orang Arab dan menceritakan kepada mereka bahwa kitab tersebut dari Allah; mereka mempertukarkannya dengan harga yang sedikit.
Az-Zuhri meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Ubaidullah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Wahai kaum muslimin, mengapa kalian bertanya kepada ahli kitab tentang sesuatu, sedangkan Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya mengandung kisah-kisah dari Allah. Kalian membacanya sebagai berita hangat yang tak kunjung pudar. Di dalamnya Allah menceritakan kepada kalian bahwa sesungguhnya kaum ahli kitab telah mengubah dan mengganti Kitabullah yang ada pada mereka, lalu mereka menulis sebuah kitab dengan tangan mereka sendiri, kemudian mereka katakan, "Ini dari sisi Allah," dengan tujuan untuk menukarnya dengan harga yang sedikit. Bukankah ilmu yang telah sampai kepada kalian mencegah kalian untuk bertanya-tanya kepada mereka? Tidak, demi Allah, kami belum pernah melihat seseorang dari kalangan mereka menanyakan kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian.” Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud dengan harga yang sedikit ialah dunia berikut segala isinya. Firman Allah: “Maka kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan” (Al-Baqarah: 79). Artinya, kecelakaan besar bagi mereka karena apa yang mereka tulis dengan tangan mereka sendiri berupa kedustaan, kebohongan, serta kepalsuan; dan kecelakaan besar bagi mereka karena apa yang biasa mereka makan, yaitu riba. Seperti yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Fawailul lahum" bahwa azab menimpa mereka yang menulis kedustaan tersebut dengan tangan mereka. Wawailul lahum mimma yaksibun, dan kecelakaan besar bagi mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan, yakni apa yang biasa dimakan oleh orang-orang yang rendah dan yang sama dengannya.
Akibat perbuatan itu, maka celakalah dan binasalah orang-orang Yahudi dan yang selain mere ka yang menulis kitab Taurat atau lainnya dengan tangan mereka sendiri, kemudian berkata dengan penuh kebohongan, Ini adalah kitab suci yang datang dari Allah. Mereka melakukan itu dengan maksud untuk menjualnya dengan harga murah, yaitu kesenangan dunia yang murah dengan cara menukar yang murah itu dengan sesuatu yang mahal, yaitu kebenaran. Maka celakalah mereka akibat perkataan dusta mereka tentang Allah, karena tulisan tangan mereka itu penuh kebohongan, penyelewengan, dan penyim pangan, dan celakalah mereka karena apa, yakni kebohongan, yang mereka perbuat dengan memalsukan dan mengubah ayat untuk kepentingan dan keuntungan sesaat, dan celakalah mereka karena harta yang mereka peroleh dari perbuatan mereka ituDan di antara bentuk kebohongan dan penyimpangan yang mereka lakukan, mereka berkata, Neraka tidak akan menyentuh kami di akhirat kelak kecuali beberapa hari atau sesaat saja. Itu pun sekadar sentuhan api, bukan siksaan yang bersifat abadi. Untuk menjelaskan itu Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, 'Sudahkah kamu menerima janji dari Allah, Zat yang mengatur segala urusan, sehingga kamu merasa tenang karena Allah tidak akan mengingkari janji-Nya, ataukah kamu mengatakan tentang Allah yang kekuasaan dan ilmu-Nya mencakup segala hal, sesuatu yang tidak kamu ketahui' Keduanya tidak pernah terjadi: tidak ada perjanjian antara mereka dengan Tuhan soal itu, dan tidak pula mereka mengatakan itu karena tidak tahu. Mereka tahu, tetapi mengatakan yang sebaliknya.
Pada ayat ini dijelaskan siapa orang-orang yang terlibat dalam pemalsuan kitab suci, yaitu mereka yang menyesatkan dengan mengada-adakan dusta terhadap Allah dan memakan harta orang lain dengan tidak sah. Orang-orang yang bersifat seperti itu akan celaka terutama pendeta mereka yang menulis kitab Taurat dengan menuruti kemauan sendiri, kemudian mengatakan kepada orang awam, bahwa inilah Taurat yang sebenarnya. Mereka berbuat begitu untuk mendapatkan keuntungan duniawi seperti pangkat, kedudukan, dan harta benda.
Diterangkan bahwa keuntungan yang mereka ambil itu amat sedikit dibanding dengan kebenaran yang dijualnya yang sebenarnya sangat mahal dan tinggi nilainya. Kemudian Allah mengulangi ancaman-Nya terhadap perbuatan pendeta Yahudi itu, bahwa kepada mereka akan ditimpakan siksaan yang pedih.
Pendeta-pendeta Yahudi yang menulis Taurat itu melakukan tiga kejahatan, yaitu:
1. Menyembunyikan sifat-sifat Nabi ﷺ yang disebut dalam Taurat.
2. Berdusta kepada Allah.
3. Mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
Para pendeta itu berkata, "Kitab ini dari Allah." Padahal Kitab itu sama sekali bukan dari Allah. Kitab tersebut justru menghambat manusia untuk memperhatikan Kitab Allah dan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya. Perbuatan itu hanya dilakukan oleh:
1. Orang yang memang keluar dari agama, yang sengaja merusak agama dan menyesatkan pengikut-pengikutnya. Ia memakai pakaian agama dan menampakkan diri sebagai orang yang mengadakan perbaikan untuk menipu manusia agar orang-orang tersebut menerima apa yang dia tulis dan apa yang dia katakan.
2. Orang yang sengaja menakwilkan dan sengaja membuat tipu muslihat agar mudah bagi manusia menyalahi agama. Orang ini berbuat demikian untuk mencari harta dan kemegahan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 78-79
Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, "Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan.
Waminhum ummiyyuna, di antara ahli kitab itu ada yang buta huruf, menurut Mujahid. Al-ummiyyun adalah bentuk jamak dari lafal ummiy yang artinya orang yang buta huruf. Demikian pula yang dikatakan oleh Abul Aliyah, Ar-Rabi', Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, serta banyak ulama lainnya. Makna ini jelas terdapat di dalam firman-Nya, "La ya'lamunal kitaba," yakni mereka tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam kitab Taurat.
Sehubungan dengan pengertian lafal ini disebutkan dalam sifat-sifat Nabi ﷺ bahwa beliau adalah seorang yang ummiy. Dikatakan demikian karena beliau adalah orang yang tidak dapat menulis (yakni buta huruf), seperti yang disebutkan oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya: Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur'an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), niscaya akan ragulah orang yang mengingkari(mu). (Al-'Ankabut: 48) Nabi ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak dapat menulis, dan kami tidak dapat menghitung; satu bulan itu adalah segini, segini, dan segini (yakni tiga puluh hari) Dengan kata lain dalam ibadah kami, kami tidak memerlukan tulisan dan hitungan untuk menentukan waktu-waktunya.
Dan Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman: Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka. (Al-Jumu'ah: 2) Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab menisbatkan orang yang tidak dapat menulis dan membaca kepada ibunya, karena disamakan dengan keadaan ibunya yang tidak dapat menulis, tetapi bukan dinisbatkan kepada ayahnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat ini, yaitu sebuah riwayat yang diceritakan oleh Abu Kuraib. Dia menceritakan, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id ibnu Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan di antara mereka ada yang buta huruf. (Al-Baqarah: 78) Bahwa orang-orang ummi adalah suatu kaum yang tidak percaya kepada rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa ta'ala, tidak pula kepada kitab yang telah diturunkan oleh Allah.
Kemudian mereka menulis suatu kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka katakan kepada orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka bahwa kitab tersebut dari sisi Allah. Ibnu Jarir memberikan komentarnya, telah diberitakan bahwa mereka (orang-orang Yahudi tersebut) menulis sebuah kitab dengan tangan mereka. Tetapi setelah itu mereka disebut sebagai orang-orang yang ummi karena keingkaran mereka kepada kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa takwil ini merupakan takwil yang berbeda dengan apa yang dikenal di dalam percakapan orang-orang Arab dan bahasanya yang telah baku di kalangan mereka.
Demikian itu karena istilah ummi artinya ditujukan kepada orang yang tidak dapat membaca dan menulis (yakni buta huruf). Menurut kami kesahihan sanad riwayat ini, dari Ibnu Abbas, masih perlu dipertimbangkan. Firman Allah Subhanahu wa ta'ala, "Illa amaniyya," menurut Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah omongan-omongan belaka. Menurut Adh-Dhahhak juga dari Ibnu Abbas illa amaniyya artinya hanya omongan yang keluar dari mulut mereka secara dusta.
Sedangkan menurut Mujahid, amaniyya artinya dusta. Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka. (Al-Baqarah: 78) Segolongan orang dari kalangan orang-orang Yahudi yang tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat) barang sedikit pun dan mereka berbincang-bincang hanya dengan dugaan belaka tanpa dasar dari Kitabullah mengatakan bahwa omongan bohong tersebut adalah dari Al-Kitab. Padahal apa yang mereka katakan itu hanyalah omongan dusta belaka yang mereka duga-duga.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri. Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Illa amaniyya,'" bahwa apa yang mereka katakan itu hanyalah angan-angan belaka yang mereka harapkan dari Allah, padahal mereka sama sekali tidak berhak untuk mendapatkannya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna illa amaniyya, bahwa mereka berangan-angan dan mengatakan, "Kami adalah ahli kitab," padahal kenyataannya mereka bukan termasuk ahli kitab.
Menurut Ibnu Jarir, pendapat yang lebih mirip kepada kebenaran ialah apa yang telah dikemukakan oleh Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas tadi. Mujahid mengatakan, sesungguhnya orang-orang ummi itu ialah kaum yang disebutkan ciri-cirinya oleh Allah Subhanahu wa ta'ala, bahwa mereka tidak sedikit pun memahami kitab yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa, tetapi mereka membuat-buat kedustaan dan kebatilan serta kedustaan dan kepalsuan.
Dengan demikian, berarti makna tamanni dalam ayat ini ialah membuat-buat kedustaan dan kepalsuan. Termasuk ke dalam pengertian ini, ada sebuah riwayat yang bersumber dari sahabat Usman ibnu Affan Disebutkan bahwa ia pernah mengatakan, "Aku tidak pernah bersyair, tidak pernah pula membuat kebatilan, serta aku tidak pernah membuat kedustaan." Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan makna illa amaniyya dibaca dengan tasydid dan takhfif ialah illa tilawatan hanyalah bacaan belaka. Berdasarkan pengertian ini, berarti istisna yang ada bersifat munqati.
Para pendukung pendapat ini memperkuat pen-apatnya berdalil kepada firman Allah Subhanahu wa ta'ala yang mengatakan, "Melainkan apabila ia hendak membaca, maka setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap bacaannya itu," hingga akhir ayat 52 surat Al-Hajj (menurut orang yang mengartikan lamanna dengan makna tala, yakni membaca). Seorang penyair bernama Ka'b ibnu Malik mengatakan: Dia membaca Kitabullah di permulaan malam, dan pada penghujungnya dia menemui batasan takdirnya (batas umurnya). Penyair lainnya mengatakan pula: Dia membaca Kitabullah di akhir malam harinya dengan bacaan yang perlahan seperti bacaan Nabi Daud.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: mereka tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat) kecuali dongengan-dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga. (Al-Baqarah: 78) Artinya, mereka tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam Kitabullah (Taurat) dan mereka menemukan kenabianmu hanya dengan menduga-duga saja. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wa in hum illa yazunnuna dan mereka hanya berdusta belaka.
Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' mengatakan bahwa mereka menyangka terhadap Allah dengan sangkaan yang tidak benar. Firman Allah Subhanahu wa ta'ala: Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, "Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. (Al-Baqarah: 79) Mereka yang disebut dalam ayat ini adalah segolongan lain dari kalangan orang-orang Yahudi. Mereka adalah orang-orang yang menyerukan kepada kesesatan dengan cara pemalsuan dan berdusta kepada Allah, serta memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Al-wail artinya kebinasaan dan kehancuran, kalimat ini sudah dikenal di dalam bahasa Arab. Menurut Sufyan Ats-Tsauri, dari Ziad ibnu Fayyad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Iyad mengatakan, "Al-wail adalah nanah yang berada di dasar neraka Jahannam." Menurut ‘Atha' ibnu Yasar, al-wail artinya nama sebuah lembah di dalam neraka Jahannam; seandainya sebuah gunung besar dilemparkan ke dalamnya, niscaya akan meleleh.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri , dari Rasulullah ﷺ yang pernah bersabda: Wail adalah sebuah lembah di dalam neraka Jahannam, orang kafir dicampakkan ke dalamnya selama empat puluh tahun sebelum mencapai dasarnya. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abdur Rahman ibnu Humaid, dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Luhai'ah, dari Darij dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib, kami tidak mengenalnya kecuali hanya melalui hadits Ibnu Luhai'ah. Menurut kami, hadits ini seperti yang Anda lihat tidak hanya diketengahkan oleh Ibnu Luhai'ah, dan ternyata musibahnya menimpa orang-orang sesudahnya, mengingat penilaian marfu' hadits ini merupakan hal yang munkar (diingkari). Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Qusyairi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Jarir, dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdul Himid ibnu Ja'far, dari Kinanah Al-Adawi, dari Usman ibnu Affan ra dari Rasulullah ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79); Rasulullah ﷺ bersabda: Al-Wail adalah nama sebuah bukit di dalam neraka.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku orang-orang Yahudi, karena mereka berani mengubah isi kitab Taurat dengan menambahkan ke dalamnya apa yang mereka sukai dan menghapus apa yang tidak mereka sukai, serta mereka menghapus nama Nabi Muhammad ﷺ dari kitab Taurat. Maka Allah murka terhadap mereka, mengingat merekalah penyebab dari terhapusnya sebagian kitab Taurat. Untuk itu Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79) Hadits ini pun dinilai gharib, bahkan sangat gharib.
Disebutkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-wail artinya penderitaan azab. Al-Khalil ibnu Ahmad mengatakan, al-wail adalah kejahatan yang sangat keras. Menurut Imam Sibawaih, al-wail ditujukan kepada orang yang terjerumus ke dalam kebinasaan, sedangkan lafal waihun ditujukan kepada orang yang hampir terjerumus ke dalam kebinasaan. Al-Asmu'i mengatakan, al-wail artinya ungkapan penderitaan, sedangkan al-waih ungkapan belas kasihan. Tetapi selain Al-Asmu'i mengatakan bahwa al-wail artinya kesedihan.
Imam Khalil mengatakan sehubungan dengan makna wail, waih, waisy, waih, waik, dan waib; bahwa di antara mereka ada orang yang membedakan makna masing-masing. Sebagian ahli nahwu mengatakan, sesungguhnya lafal al-wail boleh dijadikan mubtada, sedangkan ia sendiri adalah isim nakirah; hal ini tiada lain karena di dalamnya terkandung makna doa. Di antara ahli nahwu ada yang memperbolehkannya dibaca nasab dengan makna al-zimhum wailan, yakni semoga kecelakaan tetap atas diri mereka; tetapi menurut kami tidak ada seorang pun yang membacanya demikian (nasab).
Diriwayatkan oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas , sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah para rahib Yahudi. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id, dari Qatadah, bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Alqamah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna firman-Nya: Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79) Ibnu Abbas mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik dan ahli kitab.
As-Suddi pernah mengatakan bahwa dahulu segolongan orang-orang Yahudi menulis sebuah kitab dari kalangan mereka sendiri, lalu mereka menjualnya kepada orang-orang Arab dan menceritakan kepada mereka bahwa kitab tersebut dari Allah; mereka mempertukarkannya dengan harga yang sedikit. Az-Zuhri meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Ubaidullah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Wahai kaum muslim, mengapa kalian bertanya kepada ahli kitab tentang sesuatu, sedangkan Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya mengandung kisah-kisah dari Allah.
Kalian membacanya sebagai berita hangat yang tak kunjung pudar. Di dalamnya Allah menceritakan kepada kalian bahwa sesungguhnya kaum ahli kitab telah mengubah dan mengganti Kitabullah yang ada pada mereka, lalu mereka menulis sebuah kitab dengan tangan mereka sendiri, kemudian mereka katakan, "Ini dari sisi Allah," dengan tujuan untuk menukarnya dengan harga yang sedikit. Bukankah ilmu yang telah sampai kepada kalian mencegah kalian untuk bertanya-tanya kepada mereka? Tidak, demi Allah, kami belum pernah melihat seseorang dari kalangan mereka menanyakan kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian.
Asar ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud dengan harga yang sedikit ialah dunia berikut segala isinya. Firman Allah Subhanahu wa ta'ala: Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79) Artinya, kecelakaan bagi mereka karena apa yang mereka tulis dengan tangan mereka sendiri berupa kedustaan, kebohongan, serta kepalsuan; dan kecelakaan bagi mereka karena apa yang biasa mereka makan, yaitu riba.
Seperti yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas , sehubungan dengan firman-Nya, "Fawailul lahum" bahwa azab menimpa mereka yang menulis kedustaan tersebut dengan tangan mereka. Wawailul lahum mimma yaksibun, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka disebabkan apa yang mereka upayakan, yakni apa yang biasa dimakan oleh orang-orang yang rendah dan yang sama dengannya.