Ayat
Terjemahan Per Kata
ثُمَّ
kemudian
قَسَتۡ
menjadi keras
قُلُوبُكُم
hatimu
مِّنۢ
dari
بَعۡدِ
setelah
ذَٰلِكَ
demikian
فَهِيَ
maka ia
كَٱلۡحِجَارَةِ
seperti batu
أَوۡ
atau
أَشَدُّ
lebih/sangat
قَسۡوَةٗۚ
keras
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
مِنَ
dari
ٱلۡحِجَارَةِ
batu-batu
لَمَا
sungguh ada
يَتَفَجَّرُ
mengalir
مِنۡهُ
daripadanya
ٱلۡأَنۡهَٰرُۚ
sungai-sungai
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
مِنۡهَا
daripadanya
لَمَا
sungguh ada
يَشَّقَّقُ
terbelah
فَيَخۡرُجُ
lalu keluar
مِنۡهُ
daripadanya
ٱلۡمَآءُۚ
air
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
مِنۡهَا
daripadanya
لَمَا
sungguh ada
يَهۡبِطُ
terjatuh (meluncur)
مِنۡ
dari
خَشۡيَةِ
takut
ٱللَّهِۗ
Allah
وَمَا
dan tidak
ٱللَّهُ
Allah
بِغَٰفِلٍ
dengan lengah
عَمَّا
dari apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
ثُمَّ
kemudian
قَسَتۡ
menjadi keras
قُلُوبُكُم
hatimu
مِّنۢ
dari
بَعۡدِ
setelah
ذَٰلِكَ
demikian
فَهِيَ
maka ia
كَٱلۡحِجَارَةِ
seperti batu
أَوۡ
atau
أَشَدُّ
lebih/sangat
قَسۡوَةٗۚ
keras
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
مِنَ
dari
ٱلۡحِجَارَةِ
batu-batu
لَمَا
sungguh ada
يَتَفَجَّرُ
mengalir
مِنۡهُ
daripadanya
ٱلۡأَنۡهَٰرُۚ
sungai-sungai
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
مِنۡهَا
daripadanya
لَمَا
sungguh ada
يَشَّقَّقُ
terbelah
فَيَخۡرُجُ
lalu keluar
مِنۡهُ
daripadanya
ٱلۡمَآءُۚ
air
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
مِنۡهَا
daripadanya
لَمَا
sungguh ada
يَهۡبِطُ
terjatuh (meluncur)
مِنۡ
dari
خَشۡيَةِ
takut
ٱللَّهِۗ
Allah
وَمَا
dan tidak
ٱللَّهُ
Allah
بِغَٰفِلٍ
dengan lengah
عَمَّا
dari apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
Terjemahan
Setelah itu, hatimu menjadi keras sehingga ia (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal, dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar. Ada pula yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya, dan ada lagi yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.
Tafsir
(Kemudian hatimu menjadi keras) ditujukan kepada orang-orang Yahudi hingga tak dapat dimasuki kebenaran (setelah itu) yakni setelah peristiwa dihidupkannya orang yang telah mati dan kejadian-kejadian sebelumnya, (maka ia adalah seperti batu) dalam kerasnya (atau lebih keras lagi) daripada batu. (Padahal di antara batu-batu itu sesungguhnya ada yang mengalir anak-anak sungai daripadanya dan di antaranya ada pula yang terbelah) asalnya 'yatasyaqqaqu' lalu ta diidgamkan pada syin hingga menjadi 'yasysyaqqaqu' (lalu keluarlah air daripadanya dan sesungguhnya di antaranya ada pula yang jatuh meluncur) dari atas ke bawah (karena takut kepada Allah) sebaliknya hatimu tidak terpengaruh karenanya serta tidak pula menjadi lunak atau tunduk. (Dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan) hanya ditangguhkan-Nya menjatuhkan hukuman hingga saatnya nanti. Menurut satu qiraat bukan 'ta`maluun' tetapi 'ya`maluun', artinya 'yang mereka kerjakan,' sehingga berarti mengalihkan arah pembicaraan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 74
Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.
Ayat 74
Allah ﷻ berfirman mencemoohkan Bani Israil dan memberikan peringatan kepada mereka melalui tanda-tanda kebesaran Allah ﷻ dan penghidupan orang-orang yang telah mati, semuanya itu mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Tetapi ternyata mereka tetap keras, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras.” (Al-Baqarah: 74) Artinya, setelah semuanya itu justru hati kalian menjadi keras seperti batu yang tidak pernah lunak selama-lamanya. Karena itulah Allah ﷻ melarang kaum mukmin berperilaku seperti mereka, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Ketika si terbunuh dipukul dengan salah satu anggota badan sapi betina tersebut, maka si terbunuh duduk, hidup kembali seperti semula. Lalu ditanyakan kepadanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia menjawab, "Anak-anak saudaraku yang telah membunuhku," kemudian ia mati lagi. Selanjutnya di saat si terbunuh dimatikan lagi oleh Allah anak-anak saudaranya mengatakan, "Demi Allah, kami tidak membunuhnya." Mereka mendustakan kebenaran sesudah melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri. Maka Allah berfirman: “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras.” (Al-Baqarah: 74) Konten ayat ditujukan kepada anak-anak saudara si terbunuh.
Dalam firman selanjutnya disebutkan: “Keadaannya sama seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (Al-Baqarah: 74) Maka setelah berlalunya masa, hati kaum Bani Israil jadi keras dan tidak mempan lagi dengan nasihat dan pelajaran, sesudah mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri tanda-tanda kebesaran Allah dan berbagai mukjizat.
Kekerasan hati mereka sama dengan batu yang mustahil dapat menjadi lunak, bahkan lebih keras lagi dari batu. Karena sesungguhnya di antara bebatuan terdapat batu yang dapat rnengalirkan mata air darinya hingga membentuk sungai-sungai. Di antaranya lagi ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya, sekalipun tidak mengalir. Di antaranya ada yang meluncur jatuh dari atas bukit karena takut kepada Allah, hal ini menunjukkan bahwa benda mati pun mempunyai perasaan mengenai hal tersebut disesuaikan dengan keadaannya, seperti yang dijelaskan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Al-Isra: 44)
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid bahwa ia mengatakan, "Setiap batu yang memancar air darinya atau terbelah mengeluarkan air, atau meluncur jatuh dari atas bukit, sungguh hal ini terjadi karena takut kepada Allah. Demikian menurut keterangan yang diturunkan oleh Al-Qur'an."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah.” (Al-Baqarah: 74) Yakni sesungguhnya di antara batu-batu itu terdapat batu yang lebih lunak daripada hati kalian, keadaannya tidaklah seperti kebenaran yang kalian dakwakan itu. “Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 74)
Abu Ali Al-Jayyani di dalam kitab tafsirnya mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.” (Al-Baqarah: 74) Maksudnya, jatuh meluncur seperti jatuhnya salju dari awan.
Menurut Al-Qadi Al-Baqilani takwil ini jauh dari kebenaran, pendapatnya itu diikuti oleh Ar-Razi. Memang demikian kenyataannya, mengingat makna yang menyimpang dari lafal tanpa dalil tidaklah dibenarkan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Hisyam As-Saqafi, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abu Thalib (yakni Yahya ibnu Ya'qub) sehubungan dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang mengalir sungai-sungai darinya.” (Al-Baqarah: 74) Artinya yaitu banyak menangis. “Dan sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air.” (Al-Baqarah: 74) Makna yang dimaksud ialah sedikit menangis. “Dan sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.” (Al-Baqarah: 74) Yakni tangisan hati tanpa air mata.
Sebagian ulama menduga bahwa makna ayat ini termasuk ke dalam Bab "Majaz", yaitu menyandarkan khusyuk kepada batu-batuan, seperti halnya makna menyandarkan kehendak kepada tembok yang ada dalam firman-Nya: “hendak runtuh (roboh).” (Al-Kahfi: 77) Al-Razi dan Al-Qurthubi serta selain keduanya dari kalangan para imam ahli tafsir mengatakan bahwa takwil seperti ini tidak diperlukan, karena sesungguhnya Allah ﷻ menciptakan watak tersebut pada diri batu; seperti halnya yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya.” (Al-Ahzab: 72) “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.” (Al-Isra: 44) “Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.” (Ar-Rahman: 6) “Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik.” (An-Nahl: 48) "Keduanya (langit dan bumi) menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati’." (Fushshilat: 11) “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung.” (Al-Hasyr: 21) "Dan mereka berkata kepada kulit mereka, ‘Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?’ Kulit mereka menjawab: ‘Allah yang telah menjadikan kami dapat berbicara’." (Fushshilat: 21) Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Gunung ini (yakni Gunung Uhud) adalah gunung yang mencintai kami dan kami mencintainya.”
Hadits lainnya ialah seperti hadits yang menceritakan rintihan dan tangisan batang pohon kurma ketika ditinggalkan oleh Nabi ﷺ, seperti yang dijelaskan di dalam hadits yang mutawatir. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits: “Sungguh aku benar-benar mengetahui sebuah batu di Mekah yang pernah mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebelum aku diangkat menjadi utusan (rasul); sungguh aku sekarang benar-benar masih mengetahui tempatnya. Demikian pula hadits yang menceritakan tentang sifat hajar aswad. Di dalamnya disebutkan bahwa di hari kiamat kelak hajar aswad akan menjadi saksi yang membela orang yang pernah mengusapnya. Masih banyak hadits lainnya yang menceritakan hal yang semakna.
Imam Qurtubi mengetengahkan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa huruf 'ataf dalam ayat ini (Al-Baqarah: 74) mengandung makna takhyir, yakni misal untuk ini dan misal untuk itu. Contohnya dalam perkataan orang-orang Arab, "Jalisil hasana au Ibnu Sinn" (duduklah dengan Hasan atau Ibnu Sirin).
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya. Tetapi Ar-Razi menambahkan pendapat yang lain, yaitu yang mengatakan bahwa huruf 'ataf yang ada dalam ayat ini menunjukkan makna ibham bila dihubungkan dengan mukhatab (lawan bicara). Perihalnya sama dengan ucapan seseorang kepada lawan bicaranya, "Kamu telah makan roti atau kurma," padahal si pembicara mengetahui mana yang dimakan oleh si lawan bicara.
Pendapat lain mengatakan bahwa huruf 'ataf dalam ayat ini semakna dengan ucapan seseorang, "Makanlah manisan atau asam-asaman." Dengan kata lain, tidak dapat makan selain dari salah satu di antara keduanya. Yakni hati kalian telah menjadi keras seperti batu atau lebih keras lagi daripada itu. Dengan kata lain, keadaan hati mereka tidak keluar dari salah satu di antara kedua pengertian tersebut.
Para ulama bahasa Arab berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya; “maka hati mereka keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (Al-Baqarah: 74) sesudah adanya kesepakatan di antara mereka bahwa mustahil huruf 'ataf ini bermakna syak (ragu). Sebagian dari mereka mengatakan bahwa huruf au dalam ayat ini bermakna sama dengan huruf wawu (bermakna dan). Bentuk lengkapnya adalah seperti berikut: Fahiya kal hijarati wa asyaddu qaswah (maka hati mereka keras seperti batu dan lebih keras lagi). Keadaannya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (Al-Insan: 24) “Untuk menolak alasan-alasan dan memberi peringatan.” (Al-Mursalat: 6) Juga seperti apa yang dikatakan oleh An-Nabigah Az-Zibyani (seorang penyair Jahiliah), yaitu:
Mereka mengatakan, "Aduhai, seandainya burung merpati ini menjadi milik kami menyatu dengan burung merpati milik kami dan separuh darinya hilang." Menurut Ibnu Jarir, makna yang dimaksud ialah 'mereka menghendaki burung merpati itu, juga separuh dari merpati miliknya'. Penyair lainnya bernama Jarir ibnu Atiyyah mengatakan pula: Dia (orang yang dipuji oleh penyair) memperoleh tampuk khalifah dan kekhalifahan itu sudah merupakan takdir baginya, sama halnya dengan Musa yang datang kepada Tuhannya di waktu yang telah ditentukan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna yang dimaksud ialah bahwa si Mamduh memperoleh kekhalifahan yang sudah merupakan kepastian baginya.
Ulama lainnya mengatakan bahwa huruf au dalam ayat ini (Al-Baqarah: 74) bermakna bal (bahkan), hingga bentuk lengkapnya ialah seperti berikut: Fahiya kal hijarati bal asyaddu qaswah (maka hati mereka keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi). Keadaannya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: “Tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat takut dari itu.” (An-Nisa: 77) “Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang, bahkan lebih.” (Ash-Shaffat: 147) “Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah, bahkan lebih dekat (lagi).” (An-Najm: 9)
Ulama lainnya mengatakan bahwa makna au adalah menurut aslinya, yaitu: Maka hatinya keras seperti batu atau lebih keras lagi daripada batu yang biasa kalian lihat. Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ulama lainnya lagi mengatakan, makna yang dimaksud ialah ibham (menyamarkan pengertian) terhadap mukhatab (lawan bicara), seperti pengertian yang terdapat di dalam perkataan Abul Aswad, yaitu: “Aku cinta kepada Muhammad dengan kecintaan yang mendalam, juga (aku cinta kepada) Abbas, Hamzah, dan orang yang diwasiati (Ali). Maka apabila cinta kepada mereka dianggap sebagai jalan ke arah petunjuk, maka aku mencintainya dengan kecintaan yang mendalam. Dan tidaklah keliru bila cinta kepada mereka dianggap sebagai suatu kesesatan.”
Ibnu Jarir mengatakan, para ulama berpendapat bahwa Abul Aswad sama sekali tidak meragukan bahwa cinta kepada orang-orang yang telah dia sebut namanya itu dianggap sebagai jalan menuju ke arah petunjuk (hidayah), tetapi dia ungkapkan hal ini secara mubham (menyamarkan) terhadap lawan bicaranya. Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah disebutkan suatu riwayat dari Abul Aswad sendiri ketika dia mengatakan bait-bait syair ini ada orang yang bertanya kepadanya, "Apakah engkau merasa ragu?" Maka ia menjawab, "Sama sekali tidak, demi Allah." Kemudian ia membantahnya dengan membacakan firman-Nya: “Dan sesungguhnya kami atau kalian (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Saba': 24) Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orang yang diberitakan hal ini berada dalam keraguan, siapakah di antara mereka yang mendapat petunjuk dan siapa pula yang sesat?
Sebagian ulama mengatakan bahwa makna ayat ini ialah hati kalian tidak terlepas dari kedua misal ini; adakalanya keras seperti batu, dan adakalanya lebih keras lagi dari itu. Ibnu Jarir mengatakan, berdasarkan takwil ini berarti makna yang dimaksud ialah bahwa sebagian dari hati mereka ada yang keras seperti batu, dan sebagian yang lain ada yang lebih keras daripada batu. Pendapat inilah yang dinilai rajih (kuat) oleh Ibnu Jarir disertai pengarahan lainnya.
Menurut kami, pendapat terakhir ini mirip dengan beberapa pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya, yaitu: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api.” (Al-Baqarah: 17) “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit.” (Al-Baqarah: 19) “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana.” (An-Nur: 39) “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam.” (An-Nur: 40) Dengan kata lain, di antara mereka ada yang seperti ini dan ada yang seperti itu.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abus-Salj, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hafs, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Hatib, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian banyak bicara selain zikir kepada Allah, karena sesungguhnya banyak bicara selain zikir kepada Allah mengakibatkan hati menjadi keras. Sesungguhnya sejauh-jauhnya manusia dari Allah ialah orang yang berhati keras.” Imam At-Tirmidzi meriwayatkan pula hadits ini di dalam Kitabuz Zuhdi di dalam kitab Jami'-nya dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abus Salj (murid Imam Ahmad) dengan lafal yang sama. Ia meriwayatkannya pula dari jalur yang lain melalui Ibrahim ibnu Abdullah ibnul Haris ibnu Hatib dengan lafal yang sama. Selanjutnya ia mengatakan bahwa hadits ini berpredikat gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur Ibrahim.
Al-Bazzar meriwayatkan sebuah hadits melalui Anas secara marfu yaitu: "Ada empat pekerti yang menyebabkan celaka, yaitu kerasnya mata (tidak pernah menangis karena Allah), hati yang keras, panjang angan-angan dan rakus terhadap keduniawian."
Ayat-ayat berikut menerangkan respons kaum Yahudi pada masa Nabi Muhammad tentang kisah kakek moyangnya. Kemudian setelah kamu, kaum Yahudi, mendengar kisah dan mengetahui sikap mereka itu, hatimu menjadi keras, sehingga menjadi seperti batu, atau bahkan lebih keras dari batu. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa mereka tetap tidak mau beriman walaupun telah mengetahui bukti-bukti kekuasaan Allah, seperti yang disebutkan pada ayat sebelumnya, bahkan mereka justru bertambah ingkar kepada Tuhan. Padahal, dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang airnya memancar daripadanya, sementara dari celah hatimu tidak ada setitik cahaya ketakwaan yang memancar. Di antara batu itu ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya, tetapi hatimu tertutup rapat sehingga tidak ada cahaya Ilahi yang terserap. Dan ada pula di antara batu itu yang meluncur jatuh karena tunduk dan takut kepada azab Allah, sedangkan hatimu semakin menunjukkan kesombongan yang tampak dari sikap dan tingkah lakumu. Bila kamu tidak mengubah sikap dan terus dalam keangkuhan, ketahuilah bahwa Allah tidaklah lengah atau lalai terhadap apa yang kamu kerjakan. Allah pasti mengetahui semua yang kamu perbuat, karena Dia selalu mengawasimu setiap saat. Sesudah menjelaskan sikap orang Yahudi, maka kemudian mengingatkan Nabi Muhammad dan umat Islam dengan mengajukan pertanyaan, yaitu apakah kamu, kaum muslim, sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, meyakini kerasulan Nabi Muhammad, dan beriman pada petunjuk Al-Qur'an' Hal seperti ini mustahil dapat terwujud, sedangkan segolongan dari mereka sudah mendengar dan mengetahui firman Allah yang terdapat pada kitab Taurat lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya dan menafsirkannya sekehendak hati, padahal mereka, yaitu kaum Yahudi Madinah, mengetahuinya bahwa Taurat itu berisi petunjuk bagi mereka.
Dalam ayat ini diungkapkan watak orang-orang Yahudi. Sesudah mereka diberi petunjuk ke jalan yang benar dan sudah pula memahami kebenaran, hati mereka keras membatu bahkan lebih keras lagi. Allah mengumpamakan hati orang Yahudi itu dengan batu yang dalam istilah geologi digunakan untuk menyebut segala macam benda yang merupakan spesies dari karang, atau materi seperti karang yang bersifat keras, untuk menunjukkan kekerasan hati mereka untuk menerima petunjuk Allah. Bahkan mungkin lebih keras lagi. Walaupun batu itu keras, tetapi pada suatu saat dan oleh suatu sebab dapat terbelah atau retak. Dari batu yang retak itu memancarlah air, dan kemudian berkumpul menjadi anak-anak sungai. Kadang-kadang batu-batu itu jatuh dari gunung karena patuh kepada kekuasaan Allah. Demikianlah halnya hati orang Yahudi lebih keras dari batu bagaikan tak mengenal retak sedikit pun. Hati mereka tidak terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama ataupun nasihat-nasihat yang biasanya dapat menembus hati manusia. Namun demikian, di antara hati yang keras membatu itu terdapat hati yang disinari iman, sehingga hati itu berubah dari keras menjadi lembut karena takut kepada Allah.
Yang demikian itu banyak disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Hati yang tadinya biasa membangkang menentang agama akhirnya menjadi lembut, orang yang biasanya berbuat maksiat menjadi orang yang taat berkat petunjuk Allah.
Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Ali 'Imran/3:199)
Demikian pula pada ayat lain, Allah berfirman:
Dan di antara orang-orang Arab Badui itu, ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai jalan untuk (memperoleh) doa Rasul. (at-Taubah/9:99)
Menurut saintis, kata "hati" tidak menunjuk pada organ hati (liver), melainkan umumnya mengacu kepada jantung. Jantung adalah suatu organ bagian dalam, terletak di bagian dada dan berukuran sebesar kepalan tangan. Jantung terbagi dalam dua sisi, yaitu sisi kanan dan sisi kiri. Setiap sisi terbagi lagi menjadi dua ruang, yaitu ruang atas (atrium) dan ruang bawah (Ventrikel). Ruang-ruang itu berdenyut sebanyak 70 kali per menit untuk menjaga aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila dihitung, maka jantung akan berdenyut sebanyak lebih dari 30 juta kali dalam setahunnya. Perjalanan darah, apabila diukur dan dimulai dari paru-paru dan jantung, akan mengalir melalui urat darah di seluruh tubuh sepanjang 96.000 km. Jarak tersebut ditempuh dalam 23 detik setiap kali putaran. Terlihat bagaimana pentingnya peran jantung dalam kehidupan manusia.
Kata jantung dalam bahasa Arab adalah 'qalb. Kata tersebut juga digunakan untuk maksud lain, yaitu untuk mengartikan perasaan atau kalbu. Kalbu, sebagaimana jantung, dalam kehidupan juga sangat penting. Nabi Muhammad saw, setelah mencontohkan banyak hal mengenai kebaikan dan keburukan, mengatakan mengenai kalbu dalam artian pusat rasa atau pusat kepekaan, demikian:
" ..... Sesungguhnya dalam diri manusia ada segumpal daging sebesar kunyahan, apabila baik, baiklah seluruh jasad dan apabila rusak, rusaklah seluruh jasad. Ia adalah kalbu." (Riwayat al-Bukhari melalui Nu'man bin Basyir)
Jantung atau kalbu sering juga disandingkan dengan "hati". Seringkali disatukan dan menjadi jantung-hati. Ada beberapa ayat terkait mengenai hati dan kepekaan, dua di antaranya adalah Surah al-Isra'/17: dan Qaf/50: 37 yang artinya sebagai berikut:
"Dan Kami jadikan hati mereka terutup dan telinga mereka tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila engkau menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur'an, mereka berpaling ke belakang melarikan diri (karena benci)." (al-Isra'/17: 46)
"Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengaran, sedang dia menyangsikannya." (Qaf/50: 37)
Dalam bahasa Al-Qur'an, disebutkan bahwa hati yang ditutup akan menjadikan pemiliknya tidak dapat menerima kebenaran apalagi mengikutinya. Ia hanya dapat mengikuti hal-hal yang tidak sejalan dengan yang hak, yakni hawa nafsu. Penutupan hati yang dilakukan Allah adalah sebagai dampak dari perbuatan mereka sendiri. Mereka enggan menggunakan pendengaran, penglihatan dan hatinya, sehingga pada akhirnya hati berkarat dan tertutup.
Secara tradisional, orang menganggap bahwa komunikasi antara kepala/otak (akal) dan jantung/hati (perasaan) berlangsung satu arah, yaitu bagaimana hati bereaksi terhadap apa yang diperintahkan otak. Akan tetapi, sekarang terungkap bahwa komunikasi antara hati dan otak berlangsung sangat dinamis, terus menerus, dua arah, dan setiap organ tersebut saling mempengaruhi fungsi mereka satu sama lain.
Suatu penelitian mengungkap bahwa hati melakukan komunikasi ke otak dalam empat jalan, yaitu (1) transmisi melalui syaraf, (2) secara biokimia melalui hormon dan transmiter syaraf, (3) secara biofisik melalui gelombang tekanan, dan (4) secara energi melalui interaksi gelombang elektromagnetik. Semua bentuk komunikasi tersebut mengakibatkan terjadinya aktivitas di otak. Penelitian mengungkapkan bahwa pesan yang disampaikan hati kepada otak akan mempengaruhi perilaku.
Selama ini para ahli mempercayai bahwa medan elektromagnetik hati adalah medan yang paling kuat yang dimiliki manusia. Medan ini tidak hanya mempengaruhi setiap sel yang ada dalam tubuhnya, akan tetapi juga mencakup ke segala arah ruang di sekitarnya. Diduga bahwa medan elektromagnetik adalah pembawa informasi yang sangat penting. Bahkan dapat dibuktikan pula bahwa medan elektromagnetik seseorang dapat mempengaruhi cara kerja otak orang lain.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 67-74
MENYEMBELIH LEMBU BETINA
Setelah menerangkan beberapa nikmat yang telah dikaruniakan kepada Bani Israil itu dan beberapa pula pelanggaran mereka akan janji dengan Tuhan, sesudah itu beberapa kali pula mereka telah dihukum karena pelanggaran janji dan berapa kali pula Allah telah memberi kesempatan bagi mereka buat hidup untuk memperbaiki diri dan menempuh jalan yang benar, sekarang Tuhan mengemukakan lagi suatu kisah yang kejadian pada mereka, yaitu urusan menyembelih lembu betina.
Asal-usul timbulnya perintah menyembelih lembu betina ialah karena terjadi suatu pembunuhan gelap, tidak terang siapa pembunuhnya. Maka, untuk menghabiskan perselisihan yang bisa menimbulkan huru-hara di antara satu suku dan suku yang lain atau satu kampung dan kampung yang lain, Nabi Musa memerintahkan menyembelih seekor lembu betina.
Ayat 67
“Dan (Ingatlah) seketika berkata Musa kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu menyembelih seekor lembu betina.'"
Perintah itu sudah jelas menyembelih lembu betina. Dan, kalau mereka tidak keras kepala, niscaya perintah itu dapat dilaksanakan sebentar itu juga sebab lembu betina itu banyak berkeliaran di padang rumput mereka. Akan tetapi, mereka ingin bertukar pikiran atau memandang enteng juga kepada pemimpin dan rasul mereka."Mereka berkata, ‘Apakah akan engkau ambil kami ini jadi permainan?'" Perintah itu telah mereka pandang untuk mempermainkan mereka saja. Mungkin hati mereka yang kesat itu berkata, kita sekarang ini tengah mencari penyelesaian pembunuhan, tahu-tahu lembu betina yang disuruh sembelih. Mendengar sambutan mereka yang demikian,
“Dia berkata, ‘Berlindung aku kepada Allah dari jadi seorang di antara orang-orang yang bodoh.'"
Dengan jawaban demikian, Musa telah menjelaskan bahwa dia tidak memberikan perintah main-main. Sebab menjatuhkan perintah hanya untuk bersenda gurau itu bukanlah perbuatan orang yang berakal budi, melain-kan perbuatan orang yang bodoh. Apatah lagi dia adalah seorang rasul Allah. Aku berlindung kepada Tuhan daripada perangai demikian.
Ayat 68
“Mereka berkata, ‘Serukanlah untuk kami kepada Tuhan engkau, supaya diterangkan-Nya, bagaimana lembu itu?'"
Lembu betina banyak berkeliaran di padang rumput. Kami mau dijelaskan yang bagaimana macamnya lembu itu. Menjatuhkan perintah hendaklah yang terang! Cobalah tanyakan kembali kepada Tuhanmu itu, lembu betina yang macam mana dikehendaki,
“Berkata dia, ‘Sesungguhnya, Dia berfirman bahwa dia hendaklah lembu betina yang belum tua benar dan tidak sangat muda, pertengahanlah di antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu itu.'"
Kesombongan dan cara mereka bertanya sebenarnya telah mempersulit mereka sendiri. Dengan jawaban Nabi Musa yang demikian, menyuruh mencari lembu betina yang belum tua, tetapi tidak pula muda lagi, supaya dicari yang pertengahan di antara tua dan muda, mereka telah mempersulit diri.
Tadinya jika mereka tangkap saja sembarang lembu betina, entah muda entah tua, perintah itu telah terlaksana dengan baik. Akan tetapi, dengan perintah yang sekarang ini, mereka sudah mesti menyaring benar terlebih dahulu dan menaksir umur lembu-lembu betina yang hendak disembelih itu. Nabi Musa memerintahkan untuk segera melaksanakan perintah itu, dengan maksud supaya mereka jangan bertanya lagi, tetapi mereka tidak mau mengerti. Mereka masih bertanya juga,
Ayat 69
“Mereka berkata, ‘Serulah untuk kami kepada Tuhan engkau.'"
Cobalah tanyakan kembali kepada Tuhanmu itu, “Supaya Dia jelaskan kepada kami, bagaimana warnanya?" Sekarang warnanya pula yang mereka tanyakan kepada beliau. Padahal kalau tidak mereka tanyakan warna, sembarang warna pun jadi.
“Berkata dia, ‘Sesungguhnya, Dia berfirman bahwa dianya ialah seekor lembu betina yang kuning, … warnanya, menyenangkan Mereka yang melihat.'"
Jawaban Nabi Musa ini mempergandakan kesulitan mereka. Tadi sudah diperintahkan agar segera perintah itu laksanakan. Namun, karena ingin hendak menunjukkan bahwa mereka orang ahli bertanya semua, sekarang mereka minta penjelasan warnanya. Dan, telah dijawab oleh Nabi Musa, hendaklah kuningnya bukan sembarang kuning, hendaklah kuning kilau kemilau, senang mata memandangnya. Belum juga mereka insaf rupanya bahwa mencari lembu betina yang demikian warnanya, demikian pula umurnya, bukanlah perkara yang mudah lagi; sedangkan urusan pembunuhan belum lagi diselesaikan. Dan itu pun belum juga memuaskan mereka; mereka masih juga bertanya,
Ayat 70
“Mereka berkata, ‘Serulah untuk kami kepada Tuhan engkau, supaya Dia jelaskan (lagi) kepada kami, kaRena sesungguhnya lembu-lembu itu serupa-serupa atas kami.'"
Lembu itu banyak. Lantaran banyaknya, kami jadi ragu.
“Dan sesungguhnya kami, insyaa Allah, akan dapat petunjuk."
Mudah-mudahan kami kelak diberi petunjuk Allah mencarinya sehingga dapat yang kita cari itu.
Ayat 71
“Dia berkata, ‘Sesungguhnya, Dia mengatakan bahwa dia itu hendaklah lembu betina yang tidak (pernah) digunakan pembajak tanah, dan tidak perancah sawah, tidak bercacat, dan tidak ada belang padanya.'"
Dengan jawaban Nabi Musa seperti ini bertambah kesukaran mencari lembu betina yang tidak muda lagi, belum tua benar, kuning warnanya, berkilau-kilau, dan belum pernah diambil penarik bajak membuka tanah atau membajak sawah, dan tidak ada cacat, tidak ada luka atau parut, dan tidak ada belangnya. Benar-benar seekor sapi pingitan.
Akan tetapi, bagaimana mereka atas jawaban yang terakhir itu.
Mereka bangga dan, “Mereka berkata, ‘Sekarang engkau telah datang membawa kebenaran1.'" Kalau begitu, barulah kami percaya bahwa engkau sungguh-sungguh seorang nabi yang diutus Allah membawa kebenaran."Maka, mereka sembelih dia," yaitu sesudah bekerja keras berhari-hari lamanya mencari lembu betina dengan syarat-syarat yang demikian. Alangkah susahnya; bertemu lembu betina berkilau-kilau warnanya, sayang bukan kuning. Bertemu kuning berkilau-kilau, tetapi ada cacat bekas luka. Bertemu yang tidak luka, sayang ada belangnya. Ada lembu betina yang bagus, sayang masih terlalu muda. Ada yang belum diambil menenggala atau membuka sawah, sayang sudah agak tua. Dan bermacam-macam kesukaran yang lain, sehingga,
“Dan nyarislah Mereka itu tidak sanggup mengerjakan."
Sekarang barulah dijelaskan sebab-sebab perintah menyembelih lembu betina itu.
Ayat 72
“Dan (Ingatlah) seketika kamu membunuh satu diri, maka bersitolak-tolakkan kamu padanya, dan Allah mengeluarkan apa yang kamu sembunyikan."
Kedapatan orang mati terbunuh, tetapi tidak terang siapa pembunuhnya. Kemudian, timbul tolak-menolak, tuduh-menuduh. Maka, disembeiihlah lembu betina itu, yang akan digunakan pencari siapa pembunuhnya,
Ayat 73
“Dan Kami katakan, ‘Pukullah olehmu dengan sebagian daripadanya.
Apakah bangkai orang yang telah mati itu dipukul dari sebagian tubuh lembu betina yang telah dipotong itu? Atau apakah kuburnya? Atau dengan bagian dalam sapi yang mana dipukul? Kata setengah ahli tafsir dengan ekor lembu betina itu. Kata yang lain dengan tunjang kakinya, dan kata yang setengah dengan lidahnya. Yang mana yang benar, tidaklah penting, Sebab, kalau Al-Qur'an sudah menyatakan sebagian daripada tubuhnya, sampailah dia kepada puncak kecukupan. Yang penting diperhatikan ialah lanjutan firman Tuhan,
“Demikianlah Allah menghidupkan yang telah mati, dan memperlihatkan ayat-ayat-Nya supaya kamu berpikir."
Sekarang, kita nukilkan lagi penafsiran Syekh Muhammad Abduh untuk kita perbandingkan penafsiran yang lebih disandarkan pada pengumpulan riwayat, dengan penafsiran yang lebih mempergunakan dirayat yaitu analisis.
Syekh Muhammad Abduh menurut yang diriwayatkan oleh muridnya Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar berkata, “Telah aku katakan kepada tuan-tuan bukan sekali dua bahwa wajiblah kita awas benar dengan kisah-kisah Bani Israil ini dan kisah-kisah nabi-nabi yang lain, dan jangan lekas percaya dari apa yang ditambah-tambahkan atas Al-Qur'an dari kata-kata ahli-ahli tarikh dan ahli-ahli tafsir. Orang-orang yang berminat besar kepada penyelidikan sejarah dan ilmu pengetahuan di zaman kini sependapat dengan kita bahwa tidak boleh dipercaya saja barang sesuatu dari tarikh zaman-zaman lampau itu yang mereka namai Zaman Gelap, melainkan sesudah penyelidikan yang mendalam dan membongkar bekas-bekas kuno yang terpendam.
Akan tetapi, kita dapat memberi maaf kepada ahli-ahli tafsir yang membumbui kitab-kitab tafsir dengan kisah-kisah yang tidak dapat dipercayai itu karena maksud mereka pun baik juga. Namun, kita tidak boleh berpegang saja kepadanya, bahkan kita larang keras. Cukup jika kita berpegang saja dengan nash-nash yang seterang itu dalam Al-Qur'an dan tidak pula kita lampaui lebih dari itu.
Kita hanya suka mengambil untuk penjelasan, jika penjelasan itu sesuai dengan bunyi Al-Qur'an, apabila shahih riwayatnya.
Demikian keterangan Syekh Muhammad Abduh.
Dengan jalan pikiran yang seperti ini niscaya kita hendak tahu bagaimana cara mereka menafsirkan ayat ini, yaitu bahwa orang yang mati dihidupkan kembali dan Allah memperlihatkan ayat-ayat-Nya, artinya tanda ke-kuasaan-Nya.
Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya menilik kembali hubungan kisah lembu betina ini dari kitab Taurat yang ada sekarang, karena Islam pun mengakui bahwa tidak seluruhnya kitab Taurat yang ada sekarang ini sudah bikinan tangan manusia semua. Masih banyak terselip yang harus jadi perhatian kita. Kita cari sekadar untuk menjadi dasar belaka daripada kisah lembu-betina itu.
Maka, bertemulah dalam Kitab Ulangan, Pasal 21 tentang peraturan Bani Israil kalau terjadi pembunuhan gelap dengan menyembelih lembu betina. Kitab Ulangan, Pasal 21 berisi sebagai berikut.
• Sebermula, apabila didapati akan seorang yang kena tikam dalam negeri, yang akan dikaruniakan Tuhan Allahmu kepadamu akan milikmu pusaka maka orang mati itu terhantar di padang tiada ketahuan siapa yang membunuh dia.
• Maka, hendaklah segala tua-tua dan hakim kamu keluar pergi mengukur jarak negeri-negeri, yang keliling tempat orang yang dibunuh itu.
• Maka, jikalau telah tentu mana negeri yang terdekat dengan tempat orang dibunuh itu, maka hendaklah diambil oleh segala tua-tua negeri itu akan seekor lembu betina daripada kawan lembu, yang belum tahu dipakai kepada pekerjaan dan yang belum tahu dikenakan kok. Pasangan yang dikenakan pada leher sapi atau kerbau untuk menarik gerobak atau membajak.
• Dan, hendaklah segala tua-tua negeri itu menghantar akan lembu muda itu kepada anak sungai yang selain mengalir airnya dan yang tanahnya belum tahu ditanami atau ditaburi, maka di sana hendaklah mereka itu menyembelihkan anak lembu itu dalam anak sungai.
• Lalu, hendaklah datang hampir segala imam, yaitu anak-anak Levi, karena dipilih Tuhan Allahmu akan mereka ikut, supaya mereka itu berbuat bakti kepada-Nya dan memberi berkat dengan nama Tuhan, dan atas hukum mereka itu pun putuslah segala perkara perbantahan dan perdakwaan.
• Maka, segala tua-tua negeri yang terdekat dengan tempat orang yang dibunuh itu hendaklah membasuhkan tangannya di atas lembu muda yang disembelih dalam anak sungai itu.
• Sambil kata mereka itu demikian, “Bukannya tangan kami menumpahkan darah ini dan mata kami pun tiada melihatnya."
• Adakan apakah ghafirat atas umatmu Israel, yang telah kau tebus, ya Tuhan! Jangan apalah kau tanggungkan darah orangyang tiada bersalah di tengah-tengah umatmu Israel. Maka, demikianlah diadakan ghafirat atas mereka itu daripada darah itu.
• Dan, kamu pun akan menghapuskan darah orang yang tiada bersalah itu dari tanganmu, jikalau kamu telah berbuat barang yang benar kepada pemandangan Tuhan.
Dengan salinan Taurat bahasa Indonesia ini sudah terang duduk perkara. Jika terdapat orang mati terbunuh, tidak terang siapa pembunuhnya, menurut peraturan hendaklah ukur jarak tempat bangkai orang itu dengan kampung terdekat. Sembelih lembu betina di sungai. Orang tua-tua negeri yang terdekat hendaklah membasuh tangannya di atas lembu itu sambil membaca bacaan semacam sumpah. Mana yang berani membasuh tangan di sana, selamAllah dan mana yang tidak mau, tandanya dia bersalah. Hukum pun dilakukan, utang nyawa bayar nyawa. Dengan berjalannya aturan kisah ini, artinya telah dihidupkan orang yang mati. Itulah ayat-ayat Allah; artinya supaya kamu pergunakan pikiranmu menyelidik rahasia hukum Ilahi dan menerimanya dengan segala kepatuhan.
Dengan penafsiran secara ini dijelaskan bahwa menghidupkan orang yang mati bukanlah artinya bahwa orang itu bangun dari kubur memberi keterangan bahwa dia dibunuh anak saudaranya, tetapi dengan berlakunya hukum qishash, artinya orangyang telah mati dihidupkan kembali, menurut ayat 179 dari surah ini yang akan ditafsirkan kelak, in syaa Allah.
Celaan keras pada ayat-ayat tersebut ini, terutama tentang cerita penyembelihan lembu betina itu, meninggalkan kesan mendalam di hati kita kaum Muslimin bahwa Tuhan Allah menurunkan suatu perintah dengan perantaraan Rasul-Nya adalah dengan terang, jitu, dan ringkas. Agama tidaklah untuk mempersukar manusia. Sebab itu, dilarang keraslah bersibanyak tanya, yang kelak akan menyebabkan itu menjadi berat. Bukanlah perintah agama yang tidak cukup, sebab itu jalankanlah sebagaimana yang diperintahkan. Agama mudah dijalankan, yang menukarkannya ialah apabila banyak “kalau begini, kalau begitu".
Ayat 74
“Kemudian telah kesal hari kamu sesudah itu, maka adalah dia laksana batu atau lebih keras."
Lebih keras daripada batu, sebab tidak ada pengajaran yang bisa masuk ke dalam."Dan sesungguhnya daripada batu kadang-kadang terpancarlah daripadanya sungai-sungai." Artinya daripada batu yang dikatakan keras itu masih juga ada faedah yang diharap; dia dapat memancarkan sungai. Namun, hati yang keras tak dapat memancarkan faedah apa-apa.
“Dan, sesungguhnya setengah darinya ada yang belah maka keluarlah air dari dalamnya!"
Dapatlah menjadi minuman orang; berfaedah juga."Dan sesungguhnya dari setengahnya pula ada yang runtuh dari takutnya kepada Allah" Maka, kalau hatimu dimisalkan sekeras batu, padahal daripada batu masih banyak faedah yang diharapkan dan dari batu yang runtuh karena takutnya kepada Allah dan tunduk sujudnya kepada Tuhan, apakah lagi misal yang layak bagi hatimu yang kesat lagi keras itu? Sungguh pun demikian,
“Dan tidaklah Allah lengah dari apa yang kamu perbuat."
Tidaklah Allah akan lengah.Tidaklah kamu lepas dari titikan Tuhan. Pasti datang masanya kamu akan membayar sendiri dengan mahal segala kejahatan hatimu itu. Jika pengajaran yang lunak tidak berbekas kepada hatimu, karena lebjh keras dari batu, maka palu godam adzablah yang akan menimpa dirimu kelak. Waktunya akan datang.
Sayangnya hal yang dimisalkan kepada orang Yahudi ini lama-kelamaan telah bertemu pula pada orang Islam sendiri. Masalahnya tidak ada lalu diadakan. Hal ini terdapat dalam kitab-kitab fiqih mutaakhirin (zaman terkemu-dian). Panjang lebar membicarakan hukum istinja' rukun bersuci, dan panjang lebar mem-perkatakan niat shalat. Sehingga kadang timbul yang lucu-lucu.
Padahal Sayyidina Umar bin Khaththab, kalau orang datang bertanya suatu masalah, selalu beliau bertanya pula, “Yang engkau tanyakan itu pernah kejadian atau tidak?" Kalau tidak, disuruhnya orang itu berhenti bertanya karena tidak ada gunanya.