Ayat
Terjemahan Per Kata
ءَامَنَ
telah beriman
ٱلرَّسُولُ
Rasul-Rasul
بِمَآ
kepada apa
أُنزِلَ
diturunkan
إِلَيۡهِ
kepadanya
مِن
dari
رَّبِّهِۦ
Tuhannya
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ
dan orang-orang mukmin
كُلٌّ
semuanya
ءَامَنَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ
dan Malaikat-MalaikatNya
وَكُتُبِهِۦ
dan Kitab-KitabNya
وَرُسُلِهِۦ
dan Rasul-RasulNya
لَا
tidak
نُفَرِّقُ
kami membeda-bedakan
بَيۡنَ
diantara
أَحَدٖ
seorang
مِّن
dari
رُّسُلِهِۦۚ
rasul-rasulNya
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
سَمِعۡنَا
kami dengar
وَأَطَعۡنَاۖ
dan kami taat
غُفۡرَانَكَ
ampunan-Mu
رَبَّنَا
ya Tuhan kami
وَإِلَيۡكَ
dan kepada Engkau
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
ءَامَنَ
telah beriman
ٱلرَّسُولُ
Rasul-Rasul
بِمَآ
kepada apa
أُنزِلَ
diturunkan
إِلَيۡهِ
kepadanya
مِن
dari
رَّبِّهِۦ
Tuhannya
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ
dan orang-orang mukmin
كُلٌّ
semuanya
ءَامَنَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ
dan Malaikat-MalaikatNya
وَكُتُبِهِۦ
dan Kitab-KitabNya
وَرُسُلِهِۦ
dan Rasul-RasulNya
لَا
tidak
نُفَرِّقُ
kami membeda-bedakan
بَيۡنَ
diantara
أَحَدٖ
seorang
مِّن
dari
رُّسُلِهِۦۚ
rasul-rasulNya
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
سَمِعۡنَا
kami dengar
وَأَطَعۡنَاۖ
dan kami taat
غُفۡرَانَكَ
ampunan-Mu
رَبَّنَا
ya Tuhan kami
وَإِلَيۡكَ
dan kepada Engkau
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
Terjemahan
Rasul (Muhammad) beriman pada apa (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Masing-masing beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata,) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Mereka juga berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, wahai Tuhan kami. Hanya kepada-Mu tempat (kami) kembali.”
Tafsir
(Telah beriman), artinya membenarkan (Rasul), yakni Muhammad (terhadap apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya), yakni Al-Qur'an, demikian pula (orang-orang yang beriman), ma`thuf atau dihubungkan kepada Rasul (semuanya), tanwinnya menjadi pengganti bagi mudhaf ilaih (beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya) ada yang membaca secara jamak dan ada pula secara mufrad atau tunggal (serta para Rasul-Nya) kata mereka, ("Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun di antara Rasul-Rasul-Nya") hingga kami beriman kepada sebagian dan kafir kepada lainnya, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen (Dan mereka mengatakan, "Kami dengar"), maksudnya apa yang diperintahkan kepada kami itu, disertai dengan penerimaan (dan kami taati) serta kami bermohon, ("Ampunilah kami, wahai Tuhan kami, dan kepada Engkaulah kami kembali"), yakni dengan adanya saat berbangkit. Tatkala turun ayat yang sebelumnya, orang-orang mukmin mengadukan waswas dan kekhawatiran mereka serta terasa berat bagi mereka saat perhitungan, maka turun pula ayat:.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 285-286
Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya," dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa), "Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali."
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari (kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat azab dari (kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.
Ayat 285
Hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan surat Al-Baqarah ayat 285 dan 286
Hadits pertama.
Telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari Abdur Rahman ibnu Yazid, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang membaca dua ayat ini dari akhir surat Al-Baqarah di suatu malam, maka kedua ayat ini sudah cukup baginya.”
Diketengahkan pula oleh jamaah lainnya melalui jalur Sulaiman ibnu Mihran Al-A'masy berikut sanadnya dengan lafal yang serupa. Kalau menurut Shahihain diriwayatkan melalui jalur Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Ibrahim, dari Abdur Rahman, dari Ibnu Mas'ud dengan lafal yang sama. Di dalam kitab Shahihain pula dari Abdur Rahman, dari Alqamah, dari Ibnu Mas'ud; Abdur Rahman mengatakan, "Kemudian aku berjumpa dengan Abu Mas'ud, lalu ia menceritakan hadits ini kepadaku."
Demikian pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal: Telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari ‘Ashim, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Alqamah, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Barang siapa yang membaca kedua ayat dari akhir surat Al-Baqarah di malam harinya, maka kedua ayat itu sudah cukup baginya.”
Hadits kedua.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Mansur, dari Rab'i, dari Kharsyah ibnul Hur, dari Ma'rur ibnu Suwaid, dari Abu Dzar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku dianugerahi ayat-ayat penutup surat Al-Baqarah dari perbendaharaan di bawah Arasy yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan hadits ini melalui hadits Al-Asyja'i, dari Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Rib'i, dari Zaid ibnu Zabyan, dari Abu Dzar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku dianugerahi ayat-ayat penutup surat Al-Baqarah dari perbendaharaan di bawah Arasy.”
Hadits ketiga.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Magul. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair serta Zuhair ibnu Harb, semuanya dari Abdullah ibnu Numair, lafal-lafal mereka hampir sama.
Ibnu Numair mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Magul, dari Az-Zubair ibnu Addi, dari Talhah, dari Murrah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ menjalani Isra, beliau sampai ke Sidratul Muntaha yang terletak di langit ketujuh. Hanya sampai batas Sidratul Muntaha, berhenti segala sesuatu yang naik dari bumi, lalu dihentikan sampai padanya. Hanya sampai kepadanya, segala sesuatu turun dari atasnya, lalu dihentikan sampai padanya. Abdullah (Ibnu Mas'ud) mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.” (An-Najm: 16) Yang dimaksud dengan 'sesuatu yang meliputinya' adalah kupu-kupu emas.
Abdullah Ibnu Mas'ud mengatakan pula bahwa Rasulullah ﷺ dianugerahi tiga perkara, yaitu beliau dianugerahi shalat lima waktu, dan dianugerahi ayat-ayat yang mengakhiri surat Al-Baqarah, serta diampuni bagi orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dari kalangan umatnya, dengan ampunan yang menyeluruh.
Hadits keempat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnul Fadl, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Marsad ibnu Abdullah Al-Yazni, dari Uqbah ibnu Amir Al-Juhanni yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Bacalah dua ayat dari akhir surat Al-Baqarah, karena sesungguhnya Aku memberikan keduanya dari perbendaharaan di bawah Arasy (untuk kamu).” Sanad hadits ini hasan, tetapi mereka tidak mengetengahkannya di dalam kitab mereka (Jamaah).
Hadits kelima.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq Al-Harbi, telah menceritakan kepada kami Marwan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Awwanah, dari Abu Malik, dari Rab'i, dari Huzaifah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Kami diberi keutamaan di atas semua orang karena tiga perkara, yaitu: Aku diberi ayat-ayat yang mengakhiri surat Al-Baqarah dari rumah perbendaharaan di bawah Arasy yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku dan tidak pula diberikan kepada seorang pun sesudahku.”
Kemudian Ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui hadits Na'im ibnu Abu Hindun, dari Rab'i, dari Huzaifah dengan lafal yang serupa.
Hadits keenam.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi ibnu Nafi', telah menceritakan kepadaku Ismail ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, dari Malik ibnu Magul, dari Abi Ishaq, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan, "Aku tidak pernah melihat seseorang memahami Islam bilamana ia tidur melainkan ia membaca ayat Kursi dan ayat-ayat yang mengakhiri surat Al-Baqarah. Karena sesungguhnya ayat-ayat tersebut berasal dari perbendaharaan yang terletak di bawah Arasy yang diberikan kepada Nabi kalian."
Waki' meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Umair ibnu Amr Al-Mukhariqi, dari Ali yang mengatakan, "Aku belum pernah melihat seseorang yang sampai kepadanya Islam kecuali sebelum tidur ia membaca ayat Kursi dan ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah. Karena sesungguhnya ayat-ayat tersebut dari perbendaharaan di bawah Arasy."
Hadits ketujuh.
Abu Isa At-At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bandar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Asy'as ibnu Abdur Rahman Al-Harami, dari Abu Qilabah, dari Abul Asy'as As-San'ani, dari An-Nu'man ibnu Basyir, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menulis Kitab-Nya sebelum menciptakan langit dan bumi dalam jangka dua ribu tahun. Dia menurunkan dua ayat darinya untuk mengakhiri surat Al-Baqarah dengan keduanya. Tidaklah ayat-ayat itu dibaca di dalam sebuah rumah selama tiga malam, melainkan setan tidak ada yang berani mendekatinya.”
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama. Ia mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Muslim, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hadits kedelapan.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Madyan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnul Jahm, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Maryam, telah menceritakan kepadaku Yusuf ibnu Abul Hajjaj, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila membaca ayat terakhir dari surat Al-Baqarah dan ayat Kursi, maka beliau tersenyum, lalu bersabda: “Sesungguhnya kedua ayat ini berasal dari perbendaharaan Tuhan Yang Maha Pemurah di bawah Arasy.”
Apabila beliau ﷺ membacakan firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatannya itu.” (An-Nisa: 123) “Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (An-Najm: 39-41) Maka beliau membaca istirja' dan diam (tenang).
Hadits kesembilan.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Kufi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami Makki ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Humaid, dari Abu Malih, dari Ma'qal ibnu Yasar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku diberi Fatihatul Kitab dan ayat-ayat terakhir surat Al-Baqarah dari bawah Arasy, sedangkan Al-Mufassal adalah nafilah (tambahannya).”
Hadits kesepuluh.
Dalam pembahasan terdahulu mengenai keutamaan surat Al-Fatihah telah disebutkan sebuah hadits melalui riwayat Abdullah ibnu Isa ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang menghadapi Malaikat Jibril, tiba-tiba beliau mendengar suara gemerincing di atasnya. Maka Malaikat Jibril mengarahkan pandangannya ke langit, lalu berkata, "Ini adalah sebuah pintu langit dibuka, yang sebelumnya tidak pernah dibuka sama sekali." Kemudian turunlah darinya seorang malaikat, dan malaikat itu mendatangi Nabi ﷺ, lalu berkata kepadanya: “Bergembiralah kamu dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelummu, yaitu Fatihatul Kitab dan ayat-ayat terakhir surat Al-Baqarah. Tidak sekali-kali kamu membaca satu huruf dari keduanya melainkan engkau diberinya.” Hadits riwayat Imam Muslim dan Imam An-Nasai. Hadits ini menurut lafalnya.
Tafsir ayat Firman Allah ﷻ: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya.” (Al-Baqarah: 285)
Ayat ini memberitakan perihal Nabi ﷺ dalam hal tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang menceritakan, "Telah diceritakan kepada kami bahwa tatkala diturunkan kepada Rasulullah ﷺ ayat ini (Al-Baqarah: 285), maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Dan sudah seharusnya baginya beriman'."
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr Al-Faqih, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Najdah Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Khallad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Uqail, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa setelah diturunkan kepada Nabi ﷺ firman-Nya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya.” (Al-Baqarah: 285), Maka Nabi ﷺ bersabda: “Sudah merupakan keharusan baginya beriman.” Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sanadnya, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Firman Allah ﷻ: “Demikian pula orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 285) di-ataf-kan kepada lafal Ar-Rasul, kemudian Allah ﷻ memberitakan perihal semuanya (Rasul dan orang-orang mukmin). Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya." (Al-Baqarah: 285)
Orang-orang mukmin beriman bahwa Allah adalah Satu lagi Maha Esa, dan Tunggal lagi bergantung kepada-Nya segala sesuatu; tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada Rabb selain Dia. Mereka percaya kepada semua nabi dan semua rasul, serta semua kitab yang diturunkan dari langit kepada hamba-hamba Allah yang menjadi utusan dan nabi.
Mereka tidak membeda-bedakan seseorang pun di antara mereka dari yang lainnya. Mereka tidak beriman kepada sebagian dari mereka, lalu kafir (ingkar) kepada sebagian yang lain. Bahkan semuanya menurut mereka adalah orang-orang yang sadiq (jujur), berbakti, berakal, mendapat petunjuk, dan menunjukkan ke jalan kebaikan, sekalipun sebagian dari mereka me-nasakh (menghapus) syariat sebagian yang lain dengan seizin Allah, hingga semuanya di-mansukh (dihapus) oleh syariat Nabi Muhammad ﷺ yang merupakan pemungkas para nabi dan para rasul; hari kiamat terjadi dalam masa syariatnya, dan masih terus-menerus ada segolongan dari umatnya yang membela kebenaran hingga hari kiamat tiba.
Firman Allah ﷻ: Dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat." (Al-Baqarah: 285)
Yakni kami mendengar firman-Mu, ya Tuhan kami, dan kami memahaminya; dan kami menegakkan serta mengerjakan amal sesuai dengannya.
“Ampunilah kami, ya Tuhan kami.” (Al-Baqarah: 285)
Ayat ini mengandung makna permohonan ampun dan rahmat serta belas kasihan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fadl, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 285) sampai dengan firman-Nya: (Mereka berdoa), "Ampunilah kami, ya Tuhan kami. (Al-Baqarah: 285) Maka Allah ﷻ berfirman, "Aku telah mengampuni kalian."
“Dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al-Baqarah: 285)
Yang dimaksud dengan al-masir ialah tempat kembali dan merujuk kelak di hari perhitungan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Sinan, dari Hakim, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika diturunkan kepada Rasulullah ﷺ ayat ini, yaitu firman-Nya: Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya," dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa), "Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Al-Baqarah: 285) Lalu Malaikat Jibril berkata: “Sesungguhnya Allah telah memujimu dan juga umatmu dengan baik. Maka mintalah, niscaya kamu akan diberi apa yang kamu minta.” Maka Nabi ﷺ meminta, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286), hingga akhir ayat.
Firman Allah ﷻ: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dengan kata lain, seseorang tidak dibebani melainkan sebatas kesanggupannya. Hal ini merupakan salah satu dari sifat lemah-lembut Allah ﷻ kepada makhluk-Nya dan kasih sayang-Nya kepada mereka, serta kebaikan-Nya kepada mereka. Ayat inilah yang me-nasakh (menghapus) dan merevisi apa yang sangat dikhawatirkan oleh para sahabat dalam firman-Nya: “Dan jika kalian menyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284) Yakni sesungguhnya Allah ﷻ sekalipun melakukan perhitungan hisab dan menanyai, tetapi Dia tidak menyiksa kecuali terhadap hal-hal yang orang yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk menolaknya.
Adapun terhadap hal-hal orang yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya, seperti bisikan hati; maka manusia tidak dibebani karenanya. Dan benci terhadap bisikan yang jahat adalah termasuk iman.
Firman Allah ﷻ: “Ia mendapat pahala dari apa yang diusahakannya.” (Al-Baqarah: 286)
Yakni dari kebaikan yang diusahakannya.
“Dan ia mendapat azab dari apa yang dikerjakannya.” (Al-Baqarah: 286)
Yaitu dari kejahatan yang dikerjakannya. Yang demikian itu berlaku atas semua amal perbuatan yang termasuk ke dalam taklif.
Kemudian Allah ﷻ memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, bagaimana cara memohon kepada-Nya dan Dia menjamin akan mengabulkannya, seperti yang diajarkan kepada mereka melalui firman-Nya:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah,” (Al-Baqarah: 286)
Maksudnya, jika kami meninggalkan suatu hal yang difardukan karena lupa, atau kami mengerjakan sesuatu yang haram karena lupa, atau kami keliru dari hal yang dibenarkan dalam beramal, karena kami tidak mengetahui cara yang dianjurkan oleh syariat. Allah ﷻ mengabulkan permohonan ini seperti disebutkan dalam hadits shahih Muslim yang lalu dimana telah disebutkan melalui hadits Abu Hurairah hal seperti berikut: Allah berfirman, "Ya." Demikian pula dalam hadits Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah ﷻ berfirman: “Aku telah melakukan(nya).”
Ibnu Majah meriwayatkan di dalam kitab sunnahnya dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui hadits Umar dan Al-Auza'i, dari ‘Atha’; menurut Ibnu Majah di dalam riwayatnya menyebutkan dari Ibnu Abbas, dan Imam Ath-Thabarani serta Ibnu Hibban mengatakan dari ‘Atha’, dari Ubaid ibnu Umair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku bila keliru, lupa, dan apa yang dipaksakan kepada mereka untuk melakukannya.”
Hadits ini diriwayatkan pula melalui jalur yang lain. Imam Ahmad Ibnu Abu Hatim menilai hadits ini ada celanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Huzali, dari Syahr, dari Ummu Darda, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dalam tiga perkara, yaitu keliru, lupa, dan dipaksa.” Abu Bakar mengatakan bahwa lalu ia menuturkan hadits ini kepada Al-Hasan. Maka Al-Hasan menjawab, "Memang benar, apakah engkau tidak membaca hal tersebut di dalam Al-Qur'an?", yaitu firman-Nya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (Al-Baqarah: 286)
Adapun firman Allah ﷻ: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami.” (Al-Baqarah: 286)
Artinya, janganlah Engkau membebani kami dengan amal-amal yang berat, sekalipun kami sanggup mengerjakannya; seperti yang telah Engkau syariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum kami, berupa belenggu-belenggu dan beban-beban yang dipikulkan di pundak mereka. Engkau telah mengutus Nabi-Mu yaitu Nabi Muhammad ﷺ sebagai nabi pembawa rahmat yang di dalam syariatnya Engkau telah memerintahkannya untuk menghapus semua beban tersebut, sebagai agama yang hanif, mudah, lagi penuh dengan toleransi.
Telah disebutkan di dalam hadits shahih Muslim, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda bahwa setelah ayat itu diturunkan, Allah berfirman, "Ya." Disebutkan dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda, "Setelah ayat ini diturunkan, Allah berfirman, 'Aku telah melakukannya'."
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan melalui berbagai jalur disebutkan dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau ﷺ bersabda: “Aku diutus dengan membawa agama yang hanif (cenderung kepada kebenaran) lagi samhah (penuh dengan toleransi/keringanan).”
Firman Allah ﷻ: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” (Al-Baqarah: 286)
Yakni dari beban, musibah, dan cobaan; atau janganlah Engkau menguji (mencoba) kami dengan cobaan yang tidak kuat kami hadapi.
Makhul mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” (Al-Baqarah: 286) Yaitu hidup melajang dan memperturutkan hawa nafsu; riwayat Ibnu Abu Hatim. Allah menjawab, "Ya." Di dalam hadits lain Allah menjawab, "Aku telah melakukan(nya)."
“Maafkanlah kami.” (Al-Baqarah: 286)
Artinya, maafkanlah semua kelalaian dan kekeliruan kami menurut pengetahuan-Mu menyangkut semua hal yang terjadi antara kami dan Engkau.
“Ampunilah kami.” (Al-Baqarah: 286)
Yaitu atas semua kelalaian dan kekeliruan antara kami dan hamba-hamba-Mu, maka janganlah Engkau menampakkan kepada mereka keburukan-keburukan kami dan amal perbuatan kami yang tidak baik.
“Dan rahmatilah kami.” (Al-Baqarah: 286)
Yakni untuk masa datang kami. Karena itu, janganlah Engkau jerumuskan kami ke dalam dosa lain berkat taufik dan bimbingan-Mu. Berangkat dari pengertian inilah maka mereka mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang berdosa itu memerlukan tiga perkara, yaitu pemaafan dari Allah atas dosanya yang terjadi antara dia dengan Allah, dosanya ditutupi oleh Allah dari mata hamba-hamba-Nya hingga ia tidak dipermalukan di antara mereka, dan dipelihara oleh Allah hingga tidak lagi terjerumus ke dalam dosa yang serupa.
Dalam hadits yang lalu telah disebutkan bahwa Allah ﷻ berfirman, "Ya," dan dalam hadits yang lainnya disebutkan bahwa Allah berfirman, "Telah Aku lakukan," sesudah ayat ini diturunkan.
Firman Allah ﷻ: “Engkaulah Penolong kami.” (Al-Baqarah: 286)
Artinya, Engkau adalah Pelindung dan Penolong kami; hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan Engkaulah yang dimintai pertolongan, dan hanya kepada Engkaulah kami berserah diri; tiada daya dan tiada kekuatan bagi kami kecuali dengan pertolongan-Mu.
“Maka tolonglah kami menghadapi kaum kafir.” (Al-Baqarah: 286)
Yakni orang-orang yang ingkar kepada agama-Mu, ingkar kepada keesaan-Mu dan risalah Nabi-Mu, dan mereka menyembah selain-Mu serta mempersekutukan Engkau dengan seseorang di antara hamba-hamba-Mu.
Tolonglah kami menghadapi mereka, dan jadikanlah akibat yang terpuji bagi kami atas mereka di dunia dan akhirat. Lalu Allah ﷻ berfirman, "Ya." Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Ibnu Abbas, Allah ﷻ berfirman, "Telah Aku lakukan."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musanna Ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, bahwa Mu'az apabila selesai dari bacaan surat ini yang diakhiri dengan fimnan-Nya: “Maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 286), maka ia selalu mengucapkan, "Amin."
Atsar ini diriwayatkan pula oleh Waki', dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari seorang lelaki, dari Mu'az ibnu Jabal. Disebutkan bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal apabila mengkhatamkan surat Al-Baqarah selalu mengucapkan, "Amiin."
Seorang muslim harus menaati firman Allah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Sikap beliau dan para pengikutnya yang beriman menyangkut kitab suci Al-Qur'an dan kitab-kitab terdahulu serta para nabi dan rasul adalah bahwa Rasul, yakni Nabi Muhammad, beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya, yakni Al-Qur'an, dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman meski dengan kualitas keimanan yang berbeda dengan Nabi. Semua, yakni Nabi Muhammad dan orang mukmin, beriman kepada Allah bahwa Dia wujud dan Maha Esa, Mahakuasa, tiada sekutu bagi-Nya, dan Mahasuci dari segala kekurangan. Mereka juga percaya kepada malaikat-malaikat-Nya sebagai hamba-hamba Allah yang taat melaksanakan segala apa yang diperintahkan kepada mereka dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Demikian juga dengan kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para rasul, seperti Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur'an, dan juga percaya kepada rasul-rasul-Nya sebagai hamba-hamba Allah yang diutus membimbing manusia ke jalan yang lurus dan diridai-Nya. Mereka berkata, Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dengan yang lain dari rasul-rasulNya dalam hal kepercayaan terhadap mereka sebagai utusan Allah. Dan mereka berkata, Kami dengar apa yang Engkau perintahkan, baik yang melalui wahyu dalam Al-Qur'an maupun melalui ucapan NabiMu, dan kami taat melaksanakan perintah-perintah-Mu dan menjauhi larangan-larangan-Mu. Dengan rendah hati mereka juga berucap, Ampunilah kami, Ya Tuhan kam Tidak ada yang berat dalam beragama, dan tidak perlu ada kekhawatiran tentang tanggung jawab atas bisikan-bisikan hati, sebab Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia, yakni setiap manusia, mendapat pahala dari kebajikan yang dikerjakannya walaupun baru dalam bentuk niat dan belum wujud dalam kenyataan, dan dia mendapat siksa dari kejahatan yang diperbuatnya dan wujud dalam bentuk nyata. Mereka berdoa, Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa dalam melaksanakan apa yang Engkau perintahkan atau kami melakukan kesalahan karena suatu dan lain sebab. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami seperti orang-orang Yahudi yang mendapat tugas yang cukup sulit karena ulah mereka sendiri, misalnya untuk bertobat harus membunuh diri sendiri. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya, baik berupa ketentuan dalam beragama maupun musibah dalam hidup dan lainnya. Maafkanlah kami, yakni hapuslah dosa-dosa kami, ampunilah kami dengan menutupi aib kami dan tidak menghukum kami akibat pelanggaran, dan rahmatilah kami dengan sifat kasih dan rahmat-Mu yang luas, melebihi penghapusan dosa dan penutupan aib. Engkaulah pelindung kami, karena itu maka tolonglah kami dengan argumentasi dan kekuatan fisik dalam menghadapi orang-orang kafir.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata, "Tatkala Allah menurunkan ayat 284 kepada Rasulullah saw, maka sahabat merasa bebannya bertambah berat, lalu mereka datang menghadap Rasulullah ﷺ dan berkata, "Kami telah dibebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang sanggup kami kerjakan, yaitu salat, puasa, jihad, sedekah, dan kini telah turun pula ayat ini, yang kami tidak sanggup melaksanakannya". Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Apakah kamu hendak mengatakan seperti perkataan Ahli Kitab sebelum kamu, mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami durhaka". Katakanlah, "Kami dengar dan kami taat, kami memohon ampunan-Mu Ya, Tuhan kami, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.
Tatkala Rasulullah membacakan ayat ini kepada mereka, lidah mereka mengikutinya. Lalu turun ayat berikutnya, ayat 285 al-Baqarah. Abu Hurairah berkata, "Tatkala para sahabat telah mengerjakan yang demikian Allah menghilangkan kekhawatiran mereka terhadap ayat itu dan Dia menurunkan ayat berikutnya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 286)
Hadis di atas melukiskan kekhawatiran para sahabat yang sangat takut kepada azab Allah. Para sahabat dahulunya adalah orang-orang yang hidup, dididik dan dibesarkan di dalam lingkungan kehidupan Arab jahiliah. Pikiran, hati, kepercayaan dan adat istiadat jahiliah telah sangat berpengaruh di dalam diri mereka. Bahkan di antara mereka ada pemuka dan pemimpin orang-orang Arab jahiliah. Setelah Nabi Muhammad ﷺ diutus, mereka mengikuti seruan Nabi dan masuk agama Islam dengan sepenuh hati. Walaupun demikian bekas-bekas pengaruh kepercayaan dan kebudayaan Arab jahiliah masih ada di dalam jiwa mereka. Kepercayaan dan kebudayaan tersebut hilang dan hapus secara berangsur-angsur, setiap turun ayat-ayat Al-Qur'an dan setiap menjelaskan risalah yang dibawanya kepada mereka.
Mereka sendiri selalu berusaha agar bekas dari pengaruh yang tidak baik itu segera hilang dari diri mereka. Tatkala turun ayat ini mereka merasa khawatir, kalau Allah ﷻ tidak mengampuni dosa-dosa mereka, sebagai akibat dari bekas-bekas kepercayaan dan kebudayaan Arab jahiliah yang masih ada pada hati dan jiwa mereka, walaupun mereka telah berusaha sekuat tenaga menghilangkannya. Karena kecemasan dan kekhawatiran itulah mereka segera bertanya kepada Rasulullah ﷺ
Rasa kekhawatiran akan diazab Allah ﷻ tergambar pada pertanyaan 'Umar bin al-Khaththab kepada Huzaifah. Beliau pernah bertanya kepada Huzaifah, "Adakah engkau (Huzaifah) dapati pada diriku salah satu dari tanda-tanda munafik?" Maka untuk menghilangkan kekhawatiran itu dan menenteramkan hati mereka, turunlah ayat seperti yang dikutip di atas (al-Baqarah/2:286).
Dengan turunnya ayat ini, hati para sahabat merasa tenang dan tenteram, karena mereka telah yakin bahwa segala larangan dan perintah Allah itu sesuai dengan batas kemampuan manusia. Tidak ada perintah dan larangan yang tidak sanggup dilakukan manusia atau dihentikannya. Hanya orang yang ingkar kepada Allah sajalah yang merasa berat menghentikan larangan-Nya. Mereka telah yakin pula bahwa pekerjaan buruk yang terlintas di dalam pikiran mereka dan mereka benci kepada pekerjaan itu, telah mereka usahakan untuk menghilangkannya, karena itu mereka tidak akan dihukum. Allah berfirman:
Allah tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. (al-Baqarah/2: 225)
Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dia menghisab (memperhitungkan) apa yang ada di dalam hati manusia, baik yang disembunyikan atau yang dinyatakan, dan dengan perhitungan-Nya itu, Dia membalas perbuatan manusia dengan adil, karena perhitungan dan pembalasan itu dilandasi dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya.
Kemudian Allah menegaskan bahwa dengan karunia-Nya Dia mengampuni hamba-Nya dan mengazabnya dengan adil serta memberi pahala yang berlipat ganda kepada orang yang mengerjakan amal saleh.
Akhirnya Allah menyatakan bahwa "Dia Mahakuasa atas segala sesuatu". Dari ayat ini dipahami bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, maka mintalah pertolongan kepada-Nya, agar dapat melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-Nya, mohonlah taufik dan hidayah-Nya.
Awal surah Al-Baqarah dimulai dengan menerangkan bahwa Al-Qur'an tidak ada keraguan padanya dan juga menerangkan sikap manusia terhadapnya, yaitu ada yang beriman, ada yang kafir, dan ada yang munafik. Selanjutnya disebutkan hukum-hukum salat, zakat, puasa, haji, pernikahan, jihad, riba, hukum perjanjian dan sebagainya. Ayat ini merupakan ayat penutup surah Al-Baqarah yang menegaskan sifat Nabi Muhammad saw, dan para pengikutnya terhadap Al-Qur'an itu. Mereka mempercayainya menjadikannya sebagai pegangan hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ayat ini juga menegaskan akan kebesaran dan kebenaran Nabi Muhammad, dan orang-orang yang beriman, dan menegaskan bahwa hukum-hukum yang tersebut itu adalah hukum-hukum yang benar.
Dengan ayat ini Allah ﷻ menyatakan dan menetapkan bahwa Rasulullah ﷺ dan orang-orang yang beriman, benar-benar telah mempercayai Al-Qur'an, mereka tidak ragu sedikit pun dan mereka meyakini kebenaran Al-Qur'an itu. Pernyataan Allah ini terlihat pada diri Rasulullah ﷺ dan pribadi-pribadi orang mukmin, terlihat pada kesucian dan kebersihan hati mereka, ketinggian cita-cita mereka, ketahanan dan ketabahan hati mereka menerima cobaan dalam menyampaikan agama Allah, sikap mereka di waktu mencapai kemenangan dan menghadapi kekalahan, sikap mereka terhadap musuh-musuh yang telah dikuasai, sikap mereka di waktu ditawan dan sikap mereka di waktu memasuki daerah-daerah luar Jazirah Arab.
Sikap dan watak yang demikian adalah sikap dan watak yang ditimbulkan oleh ajaran Al-Qur'an, dan ketaatan melaksanakan hukum Allah. Inilah yang dimaksud dengan jawaban 'Aisyah r.a. ketika ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad saw, beliau menjawab:
"Bukankah engkau selalu membaca Al-Qur'an? Jawabnya, "Ya". 'Aisyah berkata, "Maka sesungguhnya akhlak Nabi itu sesuai dengan Al-Qur'an." (Riwayat Muslim)
Seandainya Nabi Muhammad ﷺ tidak meyakini benar ajaran-ajaran yang dibawanya, dan tidak berpegang kepada kebenaran dalam melaksanakan tugas-tugasnya, tentulah dia dan pengikutnya tidak akan berwatak demikian. Dia akan ragu-ragu dalam melaksanakan cita-citanya, ragu-ragu menceritakan kejadian-kejadian umat yang dahulu yang tersebut di dalam Al-Qur'an, terutama dalam menghadapi reaksi orang Yahudi dan Nasrani. Apalagi mengingat orang Yahudi dan Nasrani adalah orang yang banyak pengetahuan mereka tentang sejarah purbakala di masa itu, karena itu Nabi Muhammad selalu memikirkan dan tetap meyakini kebenaran setiap ajaran agama yang akan beliau kemukakan kepada mereka.
Orang-orang yang hidup di zaman Nabi, baik pengikut beliau maupun orang-orang yang mengingkari, semuanya mengatakan bahwa Muhammad adalah orang yang dapat dipercaya, bukan seorang pendusta.
Setiap orang yang beriman yakin adanya Allah Yang Maha Esa. Hanya Dia yang menciptakan makhluk, tidak berserikat dengan sesuatu pun. Mereka percaya kepada kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para nabi-Nya, percaya kepada malaikat-malaikat Allah, dan malaikat yang menjadi penghubung antara Allah dengan rasul-rasul-Nya, pembawa wahyu Allah. Mengenai keadaan zat, sifat-sifat dan pekerjan-pekerjaan malaikat itu termasuk ilmu Allah, hanya Allah yang Mahatahu. Percaya kepada malaikat merupakan bukti percaya kepada Allah.
Dinyatakan pula pendirian kaum Muslimin terhadap para rasul, tidak membeda-bedakan antara rasul-rasul Allah; mereka berkeyakinan bahwa semua rasul itu sama dalam mengimaninya.
Allah ﷻ berfirman:
Katakanlah, "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya." (al-Baqarah/2: 136)
Di ayat lain diterangkan bahwa masing-masing rasul itu mempunyai keutamaan dibandingkan dengan rasul-rasul yang lain. Suatu keutamaan yang dipunyai seorang rasul mungkin tidak dipunyai oleh rasul yang lain, dan rasul yang lain itu mempunyai keutamaan pula.
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain??
(al-Baqarah/2: 253)
Ayat ini mengisyaratkan keutamaan umat Islam atas umat-umat lainnya yang membedakan rasul-rasul Allah. Ada yang mereka percayai dan ada yang tidak mereka percayai. Bahkan sebagian dari para rasul itu semasa hidupnya ada yang mereka perolok-olokkan. Sementara umat Islam tidak memperlakukan mereka seperti itu.
Allah menerangkan lagi sifat-sifat lain yang dimiliki orang Islam. Yaitu apabila mereka mendengar suatu perintah atau larangan Allah, mereka mendengar dengan penuh perhatian, melaksanakan perintah itu, dan menjauhi larangan-Nya. Mereka merasakan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan yakin bahwa hanya Allah sajalah yang wajib disembah dan ditaati.
Oleh karena orang mukmin mempunyai sifat-sifat yang demikian, maka mereka selalu memanjatkan doa kepada Allah, yaitu: "Ampunilah kami wahai Tuhan kami, dan kepada Engkaulah kami kembali".
Sesungguhnya doa orang yang beriman bukanlah sekadar untuk meminta ampun kepada Allah ﷻ atas kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat, bahkan juga memohon ke hadirat Allah agar selalu diberi taufik dan hidayah, agar dapat melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Dari doa ini dapat dipahami bahwa orang yang beriman selalu berusaha melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya setelah mereka mendengar, memahami perintah dan larangan itu. Mereka sadar bahwa mereka seorang manusia yang tidak sempurna, tidak luput dari kekurangan. Sekalipun hati dan jiwa mereka telah berjanji akan menaati perintah dan larangan Allah setelah mendengar dan memahaminya, tetapi tanpa mereka sadari mereka sering lupa dan lalai, sehingga mereka mengabaikan perintah dan larangan itu. Sekalipun mereka telah mengetahui bahwa Allah tidak akan menghukum manusia karena lupa dan lalai, tetapi orang-orang yang beriman merasa dirinya wajib memohon ampun dan bertobat kepada Allah, agar Allah tidak menghukumnya karena perbuatan yang demikian itu.
Pengaruh iman yang demikian tampak pada tingkah laku, sifat, tindakan dan perbuatan mereka. Semuanya itu dijuruskan dan diarahkan ke jalan yang diridai Allah. Hal ini dipahami dari pernyataan mereka, "Hanya kepada Engkaulah kami kembali".
Pernyataan ini mengungkapkan hakikat hidup manusia yang sebenarnya, menggariskan pedoman hidup dan tujuan akhir yang harus dicapai oleh manusia.
(286) Dalam mencapai tujuan hidup itu, manusia diberi beban oleh Allah sesuai kesanggupannya, mereka diberi pahala lebih dari yang telah diusahakannya dan mendapat siksa seimbang dengan kejahatan yang telah dilakukannya.
Amal yang dibebankan kepada seseorang hanyalah yang sesuai dengan kesanggupannya. Agama Islam adalah agama yang tidak membebani manusia dengan beban yang berat dan sukar. Mudah, ringan dan tidak sempit adalah asas pokok dari agama Islam. Allah berfirman:
?. dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. ? (al-¦ajj/22: 78).
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. (an-Nisa'/4: 28).
?. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. ?. (al-Baqarah/2: 185)
Kemudian Allah menerangkan hasil amalan yang telah dibebankan dan dilaksanakan oleh manusia, yaitu amal saleh yang dikerjakan mereka. Maka balasannya akan diterima dan dirasakan oleh mereka berupa pahala dan surga. Sebaliknya perbuatan dosa yang dikerjakan oleh manusia, maka hukuman mengerjakan perbuatan dosa itu, akan dirasakan dan ditanggung pula oleh mereka, yaitu siksa dan azab di neraka.
Ayat ini mendorong manusia agar mengerjakan perbuatan yang baik serta menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan agama. Ayat ini memberi pengertian bahwa perbuatan baik itu adalah perbuatan yang mudah dikerjakan manusia karena sesuai dengan watak dan tabiatnya, sedang perbuatan yang jahat adalah perbuatan yang sukar dikerjakan manusia karena tidak sesuai dengan watak dan tabiatnya.
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci dan telah tertanam dalam hatinya jiwa ketauhidan. Sekalipun manusia oleh Allah diberi potensi untuk menjadi baik dan menjadi buruk, tetapi dengan adanya jiwa tauhid yang telah tertanam dalam hatinya sejak dia masih dalam rahim ibunya, maka tabiat ingin mengerjakan kebajikan itu lebih nyata dalam hati manusia dibanding dengan tabiat ingin melakukan kejahatan.
Adanya keinginan yang tertanam pada diri seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, akan memberikan kemungkinan baginya untuk mendapat jalan yang mudah dalam mengerjakan pekerjaan itu. Apalagi bila dia berhasil dan dapat menikmati usahanya, maka dorongan dan semangat untuk melakukan pekerjaan baik yang lain semakin bertambah pada dirinya.
Segala macam pekerjaan jahat adalah pekerjaan yang bertentangan dan tidak sesuai dengan tabiat manusia. Mereka melakukan perbuatan jahat pada mulanya adalah karena terpaksa. Bila dia mengerjakan perbuatan jahat, maka timbullah pada dirinya rasa takut, selalu khawatir akan diketahui oleh orang lain. Perasaan ini akan bertambah setiap melakukan kejahatan. Akhirnya timbullah rasa malas, rasa berdosa pada dirinya dan merasa dirinya dibenci oleh orang lain. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa itu adalah segala yang tergores di dalam hatimu, sedang engkau tidak suka orang lain mengetahuinya". (Riwayat Muslim)
Kesukaran yang timbul akibat perbuatan jahat akan bertambah terasa oleh manusia bila dia telah mulai menerima hukuman, langsung atau tidak langsung dari perbuatannya itu.
Dari ayat ini juga dipahami pula bahwa seseorang tidak akan menerima keuntungan atau kerugian disebabkan perbuatan orang lain; mereka tidak akan diazab karena dosa orang lain. Mereka diazab hanyalah karena kejahatan yang mereka lakukan sendiri.
(Yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, (an-Najm/53:38 dan 39)
Di sisi lain, manusia bisa menerima keuntungan berupa pahala, apabila sudah mati kelak, dari hasil usahanya semasa hidupnya. Termasuk usaha manusia ialah anaknya yang saleh yang mendoakannya, sedekah jariah yang dikeluarkannya dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang diajarkannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
Apabila seseorang telah meninggal dunia, putuslah (pahala) amalnya kecuali tiga hal, yaitu: anak saleh yang mendoakannya, sedekah jariah, dan ilmu yang bermanfaat. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Setelah disebutkan sifat-sifat orang yang beriman dan menyebutkan karunia yang telah dilimpahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu tidak membebani hamba dengan yang tidak sanggup mereka kerjakan, maka Allah mengajarkan doa untuk selalu dimohonkan kepada-Nya agar diampuni dari segala dosa karena mengerjakan perbuatan terlarang disebabkan lupa, salah atau tidak disengaja.
Doa yang diajarkan kepada kita bukanlah sekadar untuk dibaca dan diulang-ulang lafaznya saja, melainkan maksudnya ialah agar doa itu dibaca dengan tulus ikhlas dengan sepenuh hati dan jiwa, di samping melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sesuai dengan kesanggupan hamba itu sendiri.
Doa erat hubungannya dengan tindakan dan perbuatan. Tindakan dan perbuatan erat pula hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Sebab itu orang yang berdoa belumlah dapat dikatakan berdoa, bila ia tidak mengerjakan perbuatan yang harus dikerjakan serta menjauhi larangan yang harus ditinggalkan. Berbuat dan beramal haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan. Ada amal yang sanggup dikerjakan dan ada amal yang tidak sanggup dikerjakan, ada amal yang dikerjakan dengan sempurna dan ada pula amal yang tidak dapat dikerjakan dengan sempurna. Untuk menyempurnakan kekurangan ini, Allah mengajarkan doa kepada hamba-Nya. Dengan perkataan lain; doa itu menyempurnakan amal yang tidak sanggup dikerjakan dengan sempurna.
Dari doa itu dipahami bahwa pada hakikatnya perbuatan terlarang yang dikerjakan karena lupa atau salah dan tidak disengaja, ada juga hukumannya. Hukuman itu ditimpakan kepada pelakunya. Karena itu Allah mengajarkan doa tersebut kepada hamba-Nya agar dia terhindar dari hukuman itu.
Setelah diajarkan doa untuk meminta ampun kepada Allah dari segala perbuatan yang dilakukannya karena lupa dan tidak sengaja, maka diajarkan juga doa yang lain untuk memohon agar dia tidak dibebani dengan beban yang berat sebagaimana yang telah dibebankan kepada orang-orang dahulu. Kemudian diajarkan lagi doa untuk memohon agar dia tidak dibebani dengan beban yang tidak sanggup dipikulnya.
Di antara doa orang-orang yang beriman ini sebagai berikut: "Ya Allah, hapuskanlah dosa dan kesalahan kami, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, dan janganlah kami diazab karena dosa perbuatan yang telah kami kerjakan. Janganlah kami disiksa karenanya, berilah kami taufik dan hidayah dalam segala perbuatan kami, sehingga kami dapat melaksanakan perintah-perintah Engkau dengan mudah".
Kita sudah diberi pedoman dalam berdoa kepada Allah, memohon pertolongan-Nya dalam menghadapi orang kafir.
Pertolongan yang dimohonkan di sini ialah pertolongan agar mencapai kemenangan. Yang dimaksud kemenangan ialah kemenangan dunia dan akhirat, bukan semata-mata kemenangan dalam peperangan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 284
“Kepunyaan Allah apa yang di semua langit dan apa yang di bumi."
Bukan saja kepunyaan Allah bintang-bintang yang menghiasi halaman langit dan awan yang berarak akan menjatuhkan hujan, bahkan seluruh isi bumi pun kepunyaan Dia, termasuklah manusia sendiri."Dan jika kamu tampakkan apa yang di hati kamu ataupun kamu sembunyikan, tetapi Allah akan memperhitungkannya jua." Perkataan ini pada awal mulanya ialah peringatan kepada orang yang akan diminta menjadi saksi supaya janganlah mereka menyembunyikan hal-hal yang diketahuinya berkenaan dengan perkara di antara dua orang yang mengikat janji yang tersebut dalam dua ayat sebelumnya tadi. Akan tetapi, maksudnya telah mengandung peringatan kepada kita sekalian manusia.
Kita mempunyai rahasia-rahasia perasaan yang tersembunyi dan juga mempunyai sikap yang nyata. Macam-macam yang terasa dalam ingatan kita, yang baik dan yang buruk. Kadang-kadang kita merasa marah, benci, dendam, takabbur, sombong, dengki, ingin kejatuhan orang lain. Kadang-kadang karena semangat muda dan nafsu yang sedang berkembang, tergiur hati seorang pemuda melihat seorang gadis cantik atau perempuan lain yang bukan istrinya. Kadang-kadang kelihatan orang lain sedang megah dengan kekayaannya, mempunyai rumah gedung indah, kendaraan mahal dan mewah maka timbul pula keinginan supaya mencapai yang demikian. Akan tetapi, di lain waktu, kelihatan pula orang baik-baik, budiman, orang yang berkorban untuk kepentingan bersama, lalu timbul pula kerinduan hati kecil hendak meniru hidup yang demikian.
Seumpama seorang pemuda yang baru meningkat dewasa tadi, baru meningkat menjadi seorang laki-laki sejati, sudah semestinya perasaan kelaki-lakiannya tergetar melihat seorang perempuan cantik. Seorang yang miskin yang berjalan di pinggir jalan raya, tidaklah dapat dihilangkan perasaan sangat rindunya mempunyai kendaraan yang mewah apabila dilihatnya orang naik kendaraan mewah. Apakah perasaan-perasaan ini dosa? Tentu tidak! Tetapi meskipun perasaan, betapa pun jahatnya, kalau semata-mata perasaan bukanlah dosa, tetapi Allah tetap memperhitungkannya. Artinya, Allah menilik ke mana gerak-gerik kita, pandaikah kita mengendalikan perasaan itu ataukah sampai tampak kepada sikap hidup kita?
Barulah dia menjadi dosa dan berbahaya kalau perasaan itu sudah dijadikan azam, dijadikan kehendak, sehingga telah mulai mengatur “siasat" buat mencapai niat yang buruk itu. Apatah lagi kalau kelak sudah menjadi kenyataan. Oleh sebab itu, ada hadits yang shahih melarang mengikuti pandang dengan pandang. Pandang yang pertama belum berdosa, tetapi supaya terpelihara dari dosa, hendaklah ditahan diri jangan diikuti dengan pandang yang kedua. Demikian juga sebaliknya jika tiba perasaan yang baik, melihatorangber-derma,hati pun ingin berderma. Kalau sehingga perasaan saja, belumlah apa-apa. Akan tetapi, kalau dia telah menjelma menjadi tekad atau azam, meskipun belum berhasil, sudahlah dia akan berpahala. Sebab, perasaan yang baik mulai dipupuk. Semua orang Islam ingin hendak mengerjakan haji. Syukur! Setengah orang dijadikannyalah keinginan itu menjadi cita-cita dan berusahalah dia mengumpulkan belanja. Sudah diusahakannya berbagai usaha, tetapi belum juga hasil. Meskipun dia mati dalam berbaiat, tetapi dia diberi pahala juga. Selanjutnya Allah berfirman,
“Maka akan diberi ampun-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki dan akan disiksa-Nya barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Di dalam ayat ini Allah menyebut bahwa Dia akan memberi ampun atau maghfirah kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Kata maghfirah yang kita artikan ampunan itu berasal dari kata ghufran. Dia mengandung juga akan arti menutup dan memperlindungi. Sebab itu, perisai pelindung diri dari tikaman panah dan tombak musuh kadang-kadang disebut juga mighfar. Maka, perasaan-perasaan buruk yang tidak sampai dijadikan rencana atau niat, yang kadang-kadang menggejala saja sebagai gejala yang mesti ada pada manusia, ditutup saja oleh Allah. Artinya, Dia dan kita saja yang tahu!
Setengah dari kasih Allah lagi ialah bahwa berniat baik saja, walaupun belum terlaksana, mendapat pahala juga. Kalau suatu perbuatan baik terlaksana, ia mendapat pahala sepuluh kali ganda. Sebaliknya, rasa jahat yang tidak jadi niat, tidak ada tuntutan apa-apa, sedangkan niat jahat yang menjelma menjadi kenyataan mendapat satu dosa.
Ayat 285
“Rasul itu percaya kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya."
Artinya, dia sendiri terlebih dahulu memang yakin bahwa dia memang utusan Allah. Dia tidak ragu sedikitpun akan hal itu. Misalnya, dalam satu peperangan timbul firasat beliau bahwa seorang di antara orang-orang yang ikut berperang itu akan tewas kelak di medan perang, tetapi sayangnya mati orang itu tidak syahid. Setelah perang terjadi, orang yang beliau terka itu telah ikut berperang. Tiba-tiba dia luka karena tikaman musuh. Karena, tidak tahan menderita luka, ditegakkannya pedangnya lalu dijatuhkannya dirinya kepada pedang itu sehingga tembus badannya dan mati. Maka, datanglah salah seorang sahabat menyampaikannya kepada beliau bahwa si Fulan itu mati terbunuh dirinya karena tiada tahan menderita luka. Maka, berkatalah beliau menunjukkan keyakinannya yang sungguh-sungguh,
“Aku naik saksi bahwa aku ini memang rasul Allah."
Kalau bukan dari sangat yakinnya bahwa dia memang utusan Allah, tidaklah dia akan sudi menderita, berkorban, terusir dari Thaif, berhijrah ke Madinah, berkali-kali memimpin sendiri peperangan melawan musuh, nyaris dibunuh di Mekah, nyaris dibunuh Yahudi Bani Nadhir di Madinah, nyaris termakan racun perempuan di Khaibar. Sampai wafatnya sesaat pun tidak pernah kendur perasaannya bahwa memangdia Rasulullah. Sebab itu, dengan penuh kepercayaanlah dia menerima segala apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya, yaitu Al-Qur'an dengan 114 surahnya dan mengandung 6.236 ayat, berisi berbagai peraturan mengenai ibadah, muamalah, mengenai peraturan peperangan dan perdamaian, mengenai hukum pidana dan perdata, kabar gembira dan kabar ancaman.
"Dan (demikian juga) orang-orang yang beriman!' yaitu sekalian sahabat beliau sejak dari Muhajirin sampai kepada Ansharnya, sejak dari yang besar-besar dan ternama sampai yang kecil-kecil, sejak dari yang laki-laki sampai kepada yang perempuan. Semuanya pun percaya sebagai rasul telah percaya. Mereka menjadi percaya dan yakin, mereka lihat bahwa Rasul yang mereka ikuti itu pun percaya dan yakin."Tiap-tiap mereka percaya kepada Allah!' yang telah menjelmakan alam ini dari tidak ada kepada ada, Yang Hidup dan Yang Berdiri Sendiri-Nya, tiada bersekutu yang lain dengan Dia. Maka, oleh karena mereka itu telah percaya sebulat-bulatnya kepada Allah, mereka pun percaya pula bahwa Allah itu mengutus Malaikat-Nya untuk menyampaikan wahyu Allah bagi keselamatan manusia. Sebab itu, “dan Malaikat-Nya" pun mereka yang percayai pula dalam rangka percaya kepada Allah, “dan Kitab-kitab-Nya!' yang telah disampaikan sebagai wahyu Ilahi oleh Malaikat itu. Bukan saja mereka memercayai satu kitab, yaitu Al-Qur'an, melainkan mereka memercayai kitab-kitab."Dan rasul-rasul-Nya" pun mereka percayai pula, sebab kitab-kitab itu disampaikan Malaikat dari Allah ialah kepada rasul-rasul itu.
“Tidaklah kami membeda-bedakan di antara seorang (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya!' Artinya, sejak dari Adam sampai Nuh, Ibrahim dan Musa, Isa sampai kepada Muhammad ﷺ kami hargai tinggi semuanya dan kami pandang sama semua tugas kewajiban mereka walaupun berlain masa datang mereka dan berlain pula umat yang mereka datangi. Namun, tujuan maksud kedatangan mereka sama semuanya, yaitu menyampaikan risalah perintah Allah kepada manusia, bagi keselamatan manusia.
"Dan mereka pun berkata, ‘Kami dengar dan kami taati!" Maka segala perintah Allah yang disampaikan oleh rasul itu telah sampai kepada mereka dan telah mereka dengarkan baik-baik serta telah mereka pahami. Akan tetapi, bukanlah semata-mata didengar saja, melainkan mereka turuti dengan perbuatan. Karena, semata-mata mendengar, padahal tidak dituruti dengan ketaatan, itu tidaklah ada artinya. Dan, sebagaimana manusia, mereka yang beriman itu pun insaf akan kelemahan diri mereka, insaf pula akan serba kekurangan yang ada pada mereka. Mana tahu entah perintah yang telah didengar dan ditaati itu tidak menurut yang semestinya, sebab itu mereka pun menyambung doa,
“Ampunan-Mu, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali."
Bilamana martabat iman telah bertambah tinggi, manusia yang beriman itu bertambah banyak memohonkan ampun dan karunia dari Ilahi. Karena, dari sebab bertambah besarnya rasa ketaatan kepada Ilahi, bertambah merasa kecillah si Mukmin tadi. Sebab itu, tidaklah sunyi-sunyi lidahnya dari memohonkan ampun. Kalau bolehlah diambil perumpamaan dari seorang pejabat tinggi dari satu negara yang telah dipercayai oleh kepala negaranya maka bertambah tinggi jabatan pegawai itu, bertambah dia menjaga tugasnya jangan sampai mengecewakan kepala negaranya. Maka, orang yang beriman lebihlah daripada itu.
Ayat terakhir dari surah al-Baqarah ialah lanjutan dari gambaran orang yang beriman bersama rasul itu dan mengandung pula sambutan Allahatas permohonan ampun mereka jika terdapat kekurangan pada amal mereka. Allah berfirman,
Ayat 286
“Tidaklah Allah memberati suatu diri, melainkan sekadar terpikul olehnya."
Memang tidaklah ada suatu perintah didatangkan oleh Allah yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri. Tidak ada perintah yang berat, apatah lagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah shalat. Tidak sanggup berdiri, bolehlah duduk. Tidak sanggup duduk, bolehlah berbaring. Tidak ada air, bolehlah tayamum. Puasa di dalam musafir atau sakit boleh diganti di hari yang lain. Zakat hanya diwajibkan kepada yang telah sampai nishab dan haul (tahunnya). Yang tidak mempunyai kemampuan, tidaklah wajib berzakat. Naik haji diperintahkan kalau belanja telah cukup dan perjalanan aman serta diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup. Kalau dapat ditambah, bernamalah tathawwu'. Akan tetapi, betapa pun ringannya yang diperintahkan, kalau hati tidak beriman, semuanya akan berat juga, “Shalat itu amat berat kecuali bagi orang yang khusyu."
Selanjutnya, firman Allah, “Dia akan mendapat pahala dari apa yang dia usahakan dan akan mendapat siksa atas apa yang dia usahakan pula."
Apabila derajat iman manusia bertambah naik, bertambahlah dia cermat, bertambah dia ingat bahwa dirinya ini adalah tempat berjuang di antara cita yang baik, cita ketaatan kepada Allah, dan hawa nafsu, dan hal ini tetap dirasakan oleh semua orang. Sebab itu, orang yang beriman menyambung doanya kepada Allah, “Ya, Tuhan kami! Janganlah Engkau tuntut kami di atas kealpaan kami dan kekeliruan kami!" Dengan doa yang begini, orang yang beriman mengaku dari hati sanubarinya bahwa kealpaan akan terdapat juga pada dirinya, demikian juga kekeliruan: salah pilih, salah masuk, salah jalan! Tertinggalkan barang yang mesti dikerjakan, terkerjakan barang yang mesti ditinggalkan, atau terlupa di tempat yang mestinya patut diingat. Orang yang beriman berdoa begini bukanlah karena dia ingin alpa dan ingat keliru. Sebab, kalau orang telah beriman, dia sendiri pun merasa bahwa ada suatu kelupaan yang juga mesti disalahkan! Misalnya seorang pejabat tinggi akan hadir di dalam suatu pertemuan penting, tiba-tiba setelah sampai di tempat pertemuan ternyata dia lupa kepada map tempat surat-surat pentingnya yang akan dibawa dalam pertemuan itu. Dia memang lupa! Tetapi pandangan umum tetap menyalahkan kelupaan itu, tandanya dia kurang hati-hati. Itu sebabnya, orang yang beriman memohonkan kepada Allah agar dia jangan kiranya dituntut karena kealpaan. Misalnya, shalat Zhuhur empat rakaat, tiba-tiba telah dikerjakan sampai lima rakaat atau kurang.
Orang beriman itu pun kemudian berdoa, “Ya, Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan ke atas kami siksa, sebagaimana yang pernah Engkau pikulkan kepada orang-orang yang sebelum kami" Seumpama beban perintah kepada Bani lsrail, disuruh berhenti sama sekali berusaha pada hari Sabtu, dilarang memakan makanan-makanan tertentu, sampai tidak boleh memakan binatang yang berbelah kukunya. Dan, sampai untuk tobat dari menyembah berhala anak sapi (ijel) disuruh membunuh diri.
Doa orang Mukmin itu kemudian diteruskan lagi, “Ya, Tuhan kami! Janganlah Engkau timpakan ke atas kami perintah yang tidak bertenaga kami dengan dia." Misalnya, shalat sampai lima puluh waktu atau naik haji tiap tahun, puasa terus-menerus. Atau dilarang kawin atau dilarang makan daging. Mungkin orang-seorang ada yang sanggup, tetapi “kami" bersama, janganlah mendapat perintah demikian."Dan maafkan (dosa-dosa) kami dan ampunilah kami dan kasihanilah kamiKarena kami ini tidaklah mempunyai kekuatan apa-apa kecuali apa yang Engkau berikan dan tidak mengetahui apa-apa kecuali apa yang Engkau ajarkan."Engkaulah penolong kamil" Kepada Engkau sajalah kami memperlindungkan nasib kami dan keselamatan kami.
“Maka, tolonglah kami atas mengalahkan katun yang tidak mau percaya."
Ini karena kami yakin, selama kebenaran yang Engkau turunkan dan ajaran yang disampaikan oleh Rasul-Mu ini kami tegakkan, tidaklah akan sunyi-sunyinya kami dari gangguan manusia-manusia yang ingkar kepada Engkau dan benci kepada kami. Maka, tidak lain hanyalah perlindungan dari Engkau jualah yang akan menyelamatkan kami, Amin.