Ayat
Terjemahan Per Kata
لِّلَّهِ
milik Allah
مَا
apa
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَمَا
dan apa
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِۗ
bumi
وَإِن
dan jika
تُبۡدُواْ
kamu melahirkan
مَا
apa
فِيٓ
di dalam
أَنفُسِكُمۡ
diri kalian sendiri
أَوۡ
atau
تُخۡفُوهُ
kamu menyembunyikannya
يُحَاسِبۡكُم
akan membuat perhitungan padamu
بِهِ
dengannya
ٱللَّهُۖ
Allah
فَيَغۡفِرُ
maka Dia mengampuni
لِمَن
kepada siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
وَيُعَذِّبُ
dan Dia menyiksa
مَن
siapa/orang
يَشَآءُۗ
Dia kehendaki
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٌ
Maha Kuasa
لِّلَّهِ
milik Allah
مَا
apa
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَمَا
dan apa
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِۗ
bumi
وَإِن
dan jika
تُبۡدُواْ
kamu melahirkan
مَا
apa
فِيٓ
di dalam
أَنفُسِكُمۡ
diri kalian sendiri
أَوۡ
atau
تُخۡفُوهُ
kamu menyembunyikannya
يُحَاسِبۡكُم
akan membuat perhitungan padamu
بِهِ
dengannya
ٱللَّهُۖ
Allah
فَيَغۡفِرُ
maka Dia mengampuni
لِمَن
kepada siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
وَيُعَذِّبُ
dan Dia menyiksa
مَن
siapa/orang
يَشَآءُۗ
Dia kehendaki
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٌ
Maha Kuasa
Terjemahan
Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah memperhitungkannya bagimu. Dia mengampuni siapa saja yang Dia kehendaki dan mengazab siapa pun yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Tafsir
(Milik Allahlah apa yang terdapat di langit dan apa yang terdapat di bumi dan jika kamu menyatakan) atau melahirkan (apa yang ada di dalam hatimu) berupa kejahatan dan rencana untuk melakukannya (atau kamu menyembunyikan) maksudnya merahasiakannya (pastilah akan dihisab), yakni dibukakan (oleh Allah) pada hari kiamat. Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya) untuk diampuni, (dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya) untuk disiksa. Kedua kata kerja ini dapat dihubungkan pada jawab syarat dengan baris mati dan dapat pula dengan baris di depan dengan perkiraan, 'fahuwa...' (Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), di antaranya melakukan hisab atas perhitungan terhadapmu dan memberikan balasannya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 284
Milik Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kalian nyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat 284
Allah ﷻ memberitakan bahwa milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada padanya dan yang ada di antara keduanya. Dia mengetahui semua yang ada di dalamnya, tiada yang samar bagi-Nya, semua hal yang tampak dan yang tersembunyi serta yang tersimpan di dalam hati, sekalipun sangat kecil dan sangat samar. Allah ﷻ memberitahukan pula bahwa Dia kelak akan melakukan hisab (perhitungan) terhadap hamba-hamba-Nya atas semua yang telah mereka lakukan dan mereka sembunyikan di dalam hati mereka. Seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
Katakanlah, "Jika kalian menyembunyikan apa yang ada dalam hati kalian atau kalian menyatakannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran: 29)
“Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (Thaha: 7)
Ayat-ayat mengenai hal ini sangat banyak, dan dalam ayat ini disebutkan keterangan yang lebih, yaitu Allah ﷻ akan melakukan perhitungan terhadap hal tersebut. Karena itulah ketika ayat ini diturunkan, para sahabat merasa keberatan dan takut terhadap apa yang disebutkan oleh ayat ini serta takut terhadap hisab Allah yang akan dilakukan atas diri mereka menyangkut semua amal perbuatan mereka yang besar dan yang sekecil-kecilnya. Perasaan ini timbul dalam hati mereka karena iman dan keyakinan mereka sangat kuat.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepadaku Abu Abdur Rahman (yakni Al-Ala), dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan kepada Rasulullah ﷺ ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Milik Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kalian menyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan kalian itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 284) Maka hal ini terasa berat oleh sahabat-sahabat Rasul ﷺ. Lalu mereka datang menghadap Rasulullah ﷺ dan bersimpuh di atas lutut mereka seraya berkata, "Wahai Rasulullah, kami telah dibebani amal-amal yang sudah memberatkan kami, yaitu shalat, puasa, jihad, dan sedekah (zakat), sedangkan telah diturunkan kepadamu ayat ini dan kami tidak kuat menyanggahnya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Apakah kalian hendak mengatakan seperti apa yang pernah dikatakan oleh kaum ahli kitab sebelum kalian, yaitu: "Kami mendengarkan dan kami durhaka? "Tidak, melainkan kalian harus mengatakan, "Kami mendengar dan kami taat, kami mengharapkan ampunan-Mu, wahai Tuhan kami, dan hanya kepada-Mulah (kami) dikembalikan." Setelah mereka merasa tenang dengan ayat ini dan tidak mengajukan protes lagi, maka Allah menurunkan ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya: Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya," dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa), "Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali. (Al-Baqarah: 285) Ketika mereka melakukan hal tersebut, lalu Allah me-nasakh-nya (merevisinya) dengan firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat azab (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (Al-Baqarah: 286), hingga akhir ayat.
Imam Muslim meriwayatkannya sendirian melalui hadits Yazid ibnu Zurai', dari Rauh ibnul Qasim, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, lalu ia menyebutkan hadits yang serupa. Lafalnya adalah seperti berikut, bahwa setelah mereka melakukan hukum tersebut, maka Allah me-nasakh-nya (merevisinya) dan menurunkan firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah." (Al-Baqarah: 286) Maka Allah berfirman, "Ya." Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. (Al-Baqarah: 286) Allah berfirman, "Ya.” Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. (Al-Baqarah: 286) Allah berfirman, "Ya." Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami menghadapi kaum kafir. (Al-Baqarah: 286) Allah ﷻ berfirman, "Ya."
Hadits Ibnu Abbas mengenai masalah ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Adam ibnu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair menceritakan hadits berikut dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: “Dan jika kalian nyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284) Maka timbullah di dalam hati mereka sesuatu hal yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: Katakanlah oleh kalian, "Kami dengar, kami taat, dan kami berserah diri." Kemudian Allah memasukkan iman ke dalam kalbu mereka, dan menurunkan firman-Nya: Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya," dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa), "Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Al-Baqarah: 285) sampai dengan firman-Nya: “Maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 286)
Demikian pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, Abu Kuraib, Ishaq ibnu Ibrahim; ketiga-tiganya meriwayatkan hadits ini dari Waki'. Hanya di dalam riwayatnya ditambahkan seperti berikut: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (Al-Baqarah: 286) Maka Allah berfirman, "Telah Aku lakukan." “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami.” (Al-Baqarah: 286) Allah ﷻ berfirman, "Telah Aku lakukan." “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” (Al-Baqarah: 286) Allah ﷻ berfirman, "Telah Kami lakukan." “Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami menghadapi kaum kafir.” (Al-Baqarah: 286) Allah ﷻ berfirman, "Telah Aku lakukan."
Jalur lain dari Ibnu Abbas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang mengatakan bahwa ia pernah masuk menemui Ibnu Abbas, lalu ia berkata, "Wahai Abu Abbas, ketika aku berada di rumah Ibnu Umar, ia membacakan ayat ini, lalu ia menangis." Ibnu Abbas bertanya, "Ayat apakah itu?" Ia menjawab bahwa yang dimaksud adalah firman-Nya:”Dan jika kalian menyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya.” (Al-Baqarah: 284) Maka Ibnu Abbas mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, semua sahabat Rasulullah ﷺ tertimpa kesusahan yang sangat, dan hati mereka sangat gundah gulana, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, kami pasti binasa jika kami dihukum karena hal-hal yang kami ucapkan dan yang kami kerjakan. Hal itu sudah wajar, tetapi kami tidak dapat menguasai hati kami." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Katakanlah oleh kalian, "Kami dengar dan kami taat." Maka mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa ayat tersebut di-mansukh (direvisi) oleh ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,” (Al-Baqarah: 285) sampai dengan firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat azab (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”(Al-Baqarah: 286). Maka dimaafkan dari mereka apa yang tersimpan di dalam hati mereka, dan mereka hanya mendapat balasan dari amal perbuatan mereka saja.
Jalur lain dari Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Zaid, dari Ibnu Syihab, dari Sa'id ibnu Murjanah; bahwa Ibnu Syihab pernah mendengar Sa'id ibnu Murjanah menceritakan hadits berikut, ketika dia sedang duduk bersama Abdullah ibnu Umar, maka Ibnu Umar membacakan firman-Nya: “Milik Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kalian nyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 284), hingga akhir ayat. Lalu ia mengatakan, "Demi Allah, sekiranya kita dihukum oleh Allah disebabkan hal ini, niscaya kita akan binasa," kemudian ia menangis sehingga terdengar isakannya. Ibnu Murjanah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bangkit dan pergi menuju tempat Ibnu Abbas; ia menceritakan apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar kepadanya setelah membaca ayat tersebut. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Semoga Allah mengampuni Abu Abdur Rahman. Demi umurku, sesungguhnya kaum muslim pun merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh Ibnu Umar ketika ayat tersebut diturunkan." Sesudah itu Allah menurunkan firman-Nya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286), hingga akhir surat. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa bisikan tersebut merupakan hal yang tidak kuat disanggah oleh kaum muslim, dan pada akhirnya Allah memutuskan bahwa masing-masing diri memperoleh pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat azab dari kejahatan yang dikerjakannya, baik berupa ucapan ataupun perbuatan.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, dari Sufyan ibnu Husain, dari Az-Zuhri, dari Salim, bahwa ayah Salim pernah membaca firman-Nya: “Milik Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kalian nyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284) Maka berlinanglah air matanya, lalu perbuatannya itu disampaikan kepada Ibnu Abbas. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, "Semoga Allah merahmati Abu Abdur Rahman. Sesungguhnya dia telah melakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ ketika ayat ini diturunkan. Kemudian ayat ini di-mansukh (direvisi) oleh ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya’.” (Al-Baqarah: 286).
Jalur sanad ini berpredikat shahih dari Ibnu Abbas, dan telah ditetapkan pula yang bersumber dari Ibnu Umar sama dengan apa yang ditetapkan dari Ibnu Abbas.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Khalid Al-Hazza, dari Marwan Al-Asgar, dari seorang lelaki sahabat Nabi ﷺ yang menurut dugaanku (Imam Al-Bukhari) adalah Ibnu Umar, sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jika kalian menyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya.” (Al-Baqarah: 284) Ia mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ka'b Al-Ahbar, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, dan Qatadah, disebutkan bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya. Telah ditetapkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh jamaah di dalam kitab-kitab mereka yang enam melalui jalur Qatadah, dari Zurarah ibnu Abu Aufa, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan aku buat umatku semua hal yang dibisikkan oleh hati mereka selama hal itu tidak dikatakan atau dikerjakan.”
Di dalam hadits Shahihain melalui Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Allah berfirman, "Apabila hamba-Ku berniat untuk melakukan suatu perbuatan yang buruk, maka janganlah kalian (para malaikat) mencatat hal itu untuknya; dan jika dia mengerjakannya, maka catatkanlah hal itu sebagai satu keburukan. Apabila dia berniat hendak mengerjakan suatu kebaikan dan ia tidak mengerjakannya, maka catatkanlah hal itu sebagai satu kebaikan; dan jika dia mengerjakannya, maka catatkanlah hal itu pahala sepuluh kebaikan.”
Lafal hadits ini menurut Imam Muslim. Dan dia meriwayatkannya sendiri melalui jalur Ismail ibnu Jafar, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ, yaitu: Allah berfirman, "Apabila hamba-Ku berniat untuk melakukan suatu kebaikan dan ia tidak mengerjakannya, maka Aku catatkan hal itu untuknya sebagai satu kebaikan; dan jika dia mengerjakannya, maka aku catatkan untuknya pahala sepuluh kebaikan, sampai tujuh ratus kali lipat. Dan jika dia berniat hendak mengerjakan suatu keburukan, dan ternyata dia tidak mengerjakannya, maka Aku tidak mencatatkan apa pun untuknya. Dan jika dia mengerjakan, maka Aku catatkan sebagai satu keburukan."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa Abu Hurairah pernah menceritakan kepada kami hadits berikut dari Muhammad Rasulullah ﷺ, yaitu: Allah berfirman, "Apabila hamba-Ku berniat hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka Aku mencataikan baginya satu kebaikan selama dia belum mengerjakannya; dan jika dia mengerjakannya, maka Aku catatkan baginya sepuluh pahala yang sesuail dengan amal baiknya. Dan apabila dia berniat hendak mengerjakan suatu keburukan, maka Aku mengampuni hal itu baginya selama dia tidak mengerjakannya. Dan jika dia mengerjakannya, maka Aku mencatatkan hal itu baginya hal yang sesuai dengan keburukannya." Rasulullah ﷺ bersabda: Para malaikat berkata, "Wahai Tuhan, hamba-Mu itu hendak melakukan satu amal keburukan?" Sedangkan Dia lebih mengetahui tentang itu. Maka Dia berfirman, "Awasilah dia, jika dia mengerjakan keburukan itu, maka catatkanlah baginya hal yang sesuai dengan keburukannya. Dan jika dia meninggalkannya, maka catatkanlah baginya pahala satu kebaikan, karena sesungguhnya dia meninggalkan keburukan itu (tidak mengerjakannya) karena demi Aku." Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Apabila seseorang berbuat baik dalam Islamnya, maka sesungguhnya setiap amal kebaikan yang dikerjakannya dicatatkan baginya pahala sepuluh kebaikan yang serupa hingga tujuh ratus kali lipat, sedangkan setiap keburukan dicatatkan hal yang sesuai dengan keburukannya, hingga ia bertemu dengan Allah ﷻ (di hari kiamat).”
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Muhammad ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq dengan konteks dan lafal yang sama, tetapi sebagian darinya terdapat pula di dalam Shahih Al-Bukhari.
Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Ahmar, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang berniat melakukan satu kebaikan, lalu ia tidak melakukannya, maka dicatatkan baginya pahala satu kebaikan. Dan barang siapa yang berniat melakukan satu kebaikan, lalu ia mengerjakannya, maka dicatatkan baginya pahala sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus (kali lipat). Dan barang siapa yang berniat akan melakukan satu kejahatan, lalu ia tidak mengerjakannya, maka tidak dicatatkan (apa pun) untuknya; tetapi jika dia mengerjakannya, maka kejahatan itu dicatatkan tuntuknya.”
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri di antara para pemilik kitab sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.
Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Farukh, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, dari Al-Ja'd Abu Usman, telah menceritakan kepada kami Abu Raja Al-Utaridi, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ dalam sabdanya yang menceritakan dari Tuhannya hal berikut, yaitu: “Sesungguhnya Allah mencatat semua amal baik dan amal buruk, kemudian Dia menjelaskan hal tersebut, bahwa barang siapa yang berniat akan melakukan satu amal baik, lalu ia tidak mengerjakannya, maka Allah mencatatkan di sisi-Nya pahala satu kebaikan penuh. Dan jika ia berniat akan mengerjakannya, lalu ia mengerjakannya, maka Allah mencatatkan di sisi-Nya (pahala) sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai penggandaan yang banyak (buat pelakunya). Dan jika dia berniat akan mengerjakan satu keburukan, lalu dia tidak mengerjakannya, maka Allah mencatatkan hal itu di sisi-Nya pahala satu kebaikan. Dan jika dia berniat akan melakukannya, lalu ia mengerjakannya, maka Allah mencatatkan hal itu di sisi-Nya satu amal keburukan.”
Imam Muslim meriwayatkan pula dari Yahya ibnu Yahya, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Al-Ja'd (yaitu Abu Usman) dalam sanad ini, yang isinya semakna dengan hadits Abdur Razzaq, hanya di dalam riwayat ini ditambahkan: “Lalu Allah menghapuskan catatan amal buruk itu, dan tiada yang dibinasakan oleh Allah kecuali orang yang ditakdirkan binasa.”
Di dalam hadits Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah disebutkan seperti berikut: Sejumlah orang dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ datang, lalu mereka bertanya kepadanya, untuk itu mereka berkata, "Sesungguhnya kami merasakan di dalam hati kami sesuatu yang sangat berat dikatakan oleh seseorang dari kami." Nabi ﷺ bersabda, "Apakah kalian benar-benar telah merasakannya?" Mereka menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda, "Itulah tandanya iman yang jelas."
Lafal hadits ini menurut Imam Muslim. Menurut Imam Muslim pula melalui jalur Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ disebutkan hal yang sama.
Imam Muslim meriwayatkan pula melalui hadits Mugirah, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai waswas. Maka beliau bersabda: “Hal itu merupakan pertanda iman yang jelas.”
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jika kalian menyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan itu.” (Al-Baqarah: 284) Sesungguhnya ayat ini tidak di-mansukh, tetapi bila Allah menghimpun semua makhluk di hari kiamat, maka Dia berfirman, "Sesungguhnya Aku akan memberitahukan kepada kalian apa yang kalian sembunyikan di dalam hati kalian hingga para malaikat-Ku tidak mengetahuinya." Adapun terhadap orang-orang mukmin, maka Allah memberitahukan kepada para malaikat apa yang dibisikkan di dalam hati mereka, tetapi Allah memberikan ampunan-Nya bagi mereka. Hal ini disebutkan di dalam firman-Nya: “Niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan kalian itu.” (Al-Baqarah: 284) Adapun terhadap orang-orang yang bimbang dan ragu, maka Allah memberitahukan kepada para malaikat apa yang disembunyikan oleh mereka di dalam hatinya, yaitu berupa kedustaan. Hal ini diungkapkan oleh firman-Nya: “Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 284) Juga disebutkan oleh firman-Nya: “Tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) di dalam hati kalian.” (Al-Baqarah: 225) Yakni berupa keraguan dan kemunafikan.
Al-Aufi dan Adh-Dhahhak meriwayatkan pula hal yang hampir semakna dengan atsar ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid dan Adh-Dhahhak hal yang serupa. Disebutkan dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mengatakan ayat ini muhkam (masih berlaku hukumnya) dan tidak di-mansukh. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Ibnu Jarir dalam alasannya yang mengatakan bahwa adanya hisab bukan berarti pasti adanya hukuman; dan Allah ﷻ adakalanya melakukan hisab, kemudian memberikan ampunan; dan adakalanya melakukan hisab, lalu mengazab, berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkannya dalam tafsir ayat ini, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ubay, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Abdi, dari Sa'id ibnu Hisyam. Telah menceritakan kepadaku (kata Ibnu Jarir) Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Hisyam. Keduanya mengatakan dalam hadisnya masing-masing bahwa mereka meriwayatkannya dari Qatadah, dari Safwan ibnu Muharriz yang menceritakan bahwa ketika kami sedang melakukan tawaf di Baitullah bersama Abdullah ibnu Umar yang juga sedang melakukan tawaf, tiba-tiba muncullah seorang lelaki menghadangnya, lalu bertanya, "Wahai Ibnu Umar, apakah yang telah engkau dengar dari Rasulullah ﷺ mengenai masalah najwa (bisikan)?" Maka ia menjawab, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Orang mukmin mendekat kepada Tuhannya, lalu Allah ﷻ meletakkan hijab-Nya pada dia, kemudian membuatnya mengakui semua dosa-dosanya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman kepadanya, "Tahukah kamu dosa anu?" Ia menjawab, "Wahai Tuhanku, aku mengakuinya" (sebanyak dua kali), hingga sampailah pertanyaan Allah kepadanya ke tahap apa yang dikehendaki-Nya. Setelah itu Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya Aku sekarang telah menutupi (mengampuni)nya darimu ketika di dunia, dan sesungguhnya pada hari ini pun Aku mengampuninya bagimu." Rasulullah ﷺ bersabda, "Maka Allah memberikan lembaran atau catatan amal-amal baiknya dengan tangan kanan (kekuasaan)-Nya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, maka diserukan kepada mereka di hadapan para saksi (semua makhluk), 'Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka.' Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim" (Hud: 18).
Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain dan selain keduanya, melalui berbagai jalur dari Abu Qatadah dengan lafal yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah tentang ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan jika kalian menyatakan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan kalian itu.” (Al-Baqarah: 284) Maka Siti Aisyah menjawab, "Tidak ada seorang pun yang menanyakannya semenjak aku telah menanyakannya kepada Rasulullah ﷺ." Rasulullah ﷺ bersabda: “Hal ini merupakan mubaya'ah (tawar-menawar) antara Allah dengan hamba-Nya, sedangkan si hamba terkena demam dan penyakit; dan ternyata si hamba kehilangan barang dagangannya, padahal ia meletakkannya pada kantong baju jubahnya. Kemudian si hamba menemukan kembali barang dagangannya berada di kantongnya. Sesungguhnya orang mukmin itu benar-benar keluar dari dosanya sebagaimana emas yang merah dikeluarkan.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Jarir melalui jalur Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib (aneh), kami tidak mengenalnya kecuali melalui hadits Hammad ibnu Salamah.
Menurut kami, guru Hammad ibnu Salamah adalah Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an; orangnya dha’if dan gharib dalam periwayatannya. Dia meriwayatkan hadits ini dari ibu tirinya yang bernama Ummu Muhammad (yaitu Umayyah binti Abdullah), dari Siti Aisyah. Di dalam kitab-kitab hadits tidak terdapat hadits lainnya dari Umayyah binti Abdullah dari Siti Aisyah kecuali hanya hadits ini.
Allah mengetahui itu semua dan akan meminta pertanggungjawaban manusia, sebab kekuasaan-Nya meliputi seluruh jagat raya. Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Dialah yang mengatur dan mengelola semua itu. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya tentang perbuatan itu bagimu, dan akan memberikan balasan yang setimpal. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki sesuai dengan sikap dan kehendak hamba-Nya, yaitu yang menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulangi dan memohon ampunan, atau Dia akan mengampuni walau tanpa permohonan ampunan dan mengazab siapa yang Dia kehendaki sesuai sikap hamba-Nya yang selalu melakukan dosa dan maksiat. Pilihan berada di tangan manusia. Siapa yang mau diampuni, maka lakukanlah apa yang ditetapkan Allah guna meraih ampun-an-Nya, dan siapa yang hendak berada dalam siksa, maka silakan langgar ketentuan-Nya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu Seorang muslim harus menaati firman Allah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Sikap beliau dan para pengikutnya yang beriman menyangkut kitab suci Al-Qur'an dan kitab-kitab terdahulu serta para nabi dan rasul adalah bahwa Rasul, yakni Nabi Muhammad, beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya, yakni Al-Qur'an, dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman meski dengan kualitas keimanan yang berbeda dengan Nabi. Semua, yakni Nabi Muhammad dan orang mukmin, beriman kepada Allah bahwa Dia wujud dan Maha Esa, Mahakuasa, tiada sekutu bagi-Nya, dan Mahasuci dari segala kekurangan. Mereka juga percaya kepada malaikat-malaikat-Nya sebagai hamba-hamba Allah yang taat melaksanakan segala apa yang diperintahkan kepada mereka dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Demikian juga dengan kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para rasul, seperti Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur'an, dan juga percaya kepada rasul-rasul-Nya sebagai hamba-hamba Allah yang diutus membimbing manusia ke jalan yang lurus dan diridai-Nya. Mereka berkata, Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dengan yang lain dari rasul-rasulNya dalam hal kepercayaan terhadap mereka sebagai utusan Allah. Dan mereka berkata, Kami dengar apa yang Engkau perintahkan, baik yang melalui wahyu dalam Al-Qur'an maupun melalui ucapan NabiMu, dan kami taat melaksanakan perintah-perintah-Mu dan menjauhi larangan-larangan-Mu. Dengan rendah hati mereka juga berucap, Ampunilah kami, Ya Tuhan kam.
Dari ayat ini dapat diambil pengertian tentang kesempurnaan keesaan Allah dalam hal:
1. Esa dalam kekuasaannya.
2. Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam ini.
Allah Esa dalam memiliki seluruh makhluk. Allah saja yang menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan memiliki seluruh alam ini, tidak ada sesuatu pun yang bersekutu dengan Dia.
Allah Esa dalam mengetahui segala sesuatu di alam ini. Allah mengetahui yang besar dan yang kecil, yang tampak dan yang tidak tampak oleh manusia. Segala yang terjadi, yang wujud di alam ini, tidak lepas dari pengetahuan Allah, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.
Allah Esa dalam kekuasaan-Nya. Apa yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengubah kehendak-Nya. Apabila Dia menghendaki adanya sesuatu, pasti sesuatu itu terwujud. Sebaliknya apabila Dia menghendaki lenyapnya sesuatu, lenyaplah ia. Hanya Dialah yang dapat mengetahui perbuatan hamba-Nya, serta mengampuni atau mengazabnya, dan keputusan yang adil hanya di tangan-Nya saja.
Yang ada di dalam hati manusia itu ada dua macam, Pertama: Sesuatu yang ada di dalam hati, yang datang dengan sendirinya, tergerak tanpa ada yang menggerakkannya, terlintas di dalam hati dengan sendirinya. Gerak yang demikian tidak berdasarkan iradah (kehendak) dan ikhtiyar (pilihan) manusia, hanya timbul saja dalam hatinya. Hal yang seperti ini tidak dihukum dan dihisab Allah swt, kecuali bila diikuti dengan iradah, niat dan ikhtiar.
Kedua: Sesuatu yang ada di dalam hati yang timbul dengan usaha, pikiran, hasil renungan dan sebagainya. Gerak yang seperti ini berubah menjadi cita-cita dan keinginan yang kuat, sehingga timbullah iradah, niat dan ikhtiar untuk melaksanakannya. Gerak hati yang seperti inilah yang dihisab dan dijadikan dasar dalam menentukan balasan pekerjaan manusia.
Oleh sebab itu Allah memerintahkan agar manusia selalu mengawasi, meneliti dan merasakan apa yang ada di dalam hatinya. Bila yang ada dalam hatinya itu sesuai dengan perintah Allah dan tidak berlawanan dengan larangan-larangan-Nya, maka peliharalah dan hidup suburkanlah, sehingga ia bisa mewujudkan amal yang baik. Sebaliknya, bila yang ada di dalam hati itu bertentangan dengan perintah-perintah Allah atau mendorong seseorang mengerjakan larangan-Nya, hapus segera dan enyahkanlah, sehingga ia tidak sampai mewujudkan perbuatan dosa. Hendaklah manusia waspada terhadap kemungkinan adanya niat atau perasaan yang tidak baik di dalam hati, sehingga bisa menyebabkan perbuatan dosa.
Sebagai contoh ialah: rasa dengki, pada mulanya tumbuh karena rasa tidak senang kepada seseorang. Perasaan itu bertambah ketika melihat kesuksesan orang itu, kesuksesan ini menyuburkan rasa tidak senang. Kemudian timbullah marah, dendam, ingin membalas dan sebagainya. Jika demikian perasaannya, sukar untuk menghilangkannya dengan segera. Bahkan dikhawatirkan dapat melahirkan perbuatan dosa. Tetapi bila dipadamkan perasaan itu pada saat ia mulai tumbuh, maka rasa dengki itu tidak akan timbul, dan kalaupun timbul dapat dihilangkan dengan mudah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 284
“Kepunyaan Allah apa yang di semua langit dan apa yang di bumi."
Bukan saja kepunyaan Allah bintang-bintang yang menghiasi halaman langit dan awan yang berarak akan menjatuhkan hujan, bahkan seluruh isi bumi pun kepunyaan Dia, termasuklah manusia sendiri."Dan jika kamu tampakkan apa yang di hati kamu ataupun kamu sembunyikan, tetapi Allah akan memperhitungkannya jua." Perkataan ini pada awal mulanya ialah peringatan kepada orang yang akan diminta menjadi saksi supaya janganlah mereka menyembunyikan hal-hal yang diketahuinya berkenaan dengan perkara di antara dua orang yang mengikat janji yang tersebut dalam dua ayat sebelumnya tadi. Akan tetapi, maksudnya telah mengandung peringatan kepada kita sekalian manusia.
Kita mempunyai rahasia-rahasia perasaan yang tersembunyi dan juga mempunyai sikap yang nyata. Macam-macam yang terasa dalam ingatan kita, yang baik dan yang buruk. Kadang-kadang kita merasa marah, benci, dendam, takabbur, sombong, dengki, ingin kejatuhan orang lain. Kadang-kadang karena semangat muda dan nafsu yang sedang berkembang, tergiur hati seorang pemuda melihat seorang gadis cantik atau perempuan lain yang bukan istrinya. Kadang-kadang kelihatan orang lain sedang megah dengan kekayaannya, mempunyai rumah gedung indah, kendaraan mahal dan mewah maka timbul pula keinginan supaya mencapai yang demikian. Akan tetapi, di lain waktu, kelihatan pula orang baik-baik, budiman, orang yang berkorban untuk kepentingan bersama, lalu timbul pula kerinduan hati kecil hendak meniru hidup yang demikian.
Seumpama seorang pemuda yang baru meningkat dewasa tadi, baru meningkat menjadi seorang laki-laki sejati, sudah semestinya perasaan kelaki-lakiannya tergetar melihat seorang perempuan cantik. Seorang yang miskin yang berjalan di pinggir jalan raya, tidaklah dapat dihilangkan perasaan sangat rindunya mempunyai kendaraan yang mewah apabila dilihatnya orang naik kendaraan mewah. Apakah perasaan-perasaan ini dosa? Tentu tidak! Tetapi meskipun perasaan, betapa pun jahatnya, kalau semata-mata perasaan bukanlah dosa, tetapi Allah tetap memperhitungkannya. Artinya, Allah menilik ke mana gerak-gerik kita, pandaikah kita mengendalikan perasaan itu ataukah sampai tampak kepada sikap hidup kita?
Barulah dia menjadi dosa dan berbahaya kalau perasaan itu sudah dijadikan azam, dijadikan kehendak, sehingga telah mulai mengatur “siasat" buat mencapai niat yang buruk itu. Apatah lagi kalau kelak sudah menjadi kenyataan. Oleh sebab itu, ada hadits yang shahih melarang mengikuti pandang dengan pandang. Pandang yang pertama belum berdosa, tetapi supaya terpelihara dari dosa, hendaklah ditahan diri jangan diikuti dengan pandang yang kedua. Demikian juga sebaliknya jika tiba perasaan yang baik, melihatorangber-derma,hati pun ingin berderma. Kalau sehingga perasaan saja, belumlah apa-apa. Akan tetapi, kalau dia telah menjelma menjadi tekad atau azam, meskipun belum berhasil, sudahlah dia akan berpahala. Sebab, perasaan yang baik mulai dipupuk. Semua orang Islam ingin hendak mengerjakan haji. Syukur! Setengah orang dijadikannyalah keinginan itu menjadi cita-cita dan berusahalah dia mengumpulkan belanja. Sudah diusahakannya berbagai usaha, tetapi belum juga hasil. Meskipun dia mati dalam berbaiat, tetapi dia diberi pahala juga. Selanjutnya Allah berfirman,
“Maka akan diberi ampun-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki dan akan disiksa-Nya barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Di dalam ayat ini Allah menyebut bahwa Dia akan memberi ampun atau maghfirah kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Kata maghfirah yang kita artikan ampunan itu berasal dari kata ghufran. Dia mengandung juga akan arti menutup dan memperlindungi. Sebab itu, perisai pelindung diri dari tikaman panah dan tombak musuh kadang-kadang disebut juga mighfar. Maka, perasaan-perasaan buruk yang tidak sampai dijadikan rencana atau niat, yang kadang-kadang menggejala saja sebagai gejala yang mesti ada pada manusia, ditutup saja oleh Allah. Artinya, Dia dan kita saja yang tahu!
Setengah dari kasih Allah lagi ialah bahwa berniat baik saja, walaupun belum terlaksana, mendapat pahala juga. Kalau suatu perbuatan baik terlaksana, ia mendapat pahala sepuluh kali ganda. Sebaliknya, rasa jahat yang tidak jadi niat, tidak ada tuntutan apa-apa, sedangkan niat jahat yang menjelma menjadi kenyataan mendapat satu dosa.
Ayat 285
“Rasul itu percaya kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya."
Artinya, dia sendiri terlebih dahulu memang yakin bahwa dia memang utusan Allah. Dia tidak ragu sedikitpun akan hal itu. Misalnya, dalam satu peperangan timbul firasat beliau bahwa seorang di antara orang-orang yang ikut berperang itu akan tewas kelak di medan perang, tetapi sayangnya mati orang itu tidak syahid. Setelah perang terjadi, orang yang beliau terka itu telah ikut berperang. Tiba-tiba dia luka karena tikaman musuh. Karena, tidak tahan menderita luka, ditegakkannya pedangnya lalu dijatuhkannya dirinya kepada pedang itu sehingga tembus badannya dan mati. Maka, datanglah salah seorang sahabat menyampaikannya kepada beliau bahwa si Fulan itu mati terbunuh dirinya karena tiada tahan menderita luka. Maka, berkatalah beliau menunjukkan keyakinannya yang sungguh-sungguh,
“Aku naik saksi bahwa aku ini memang rasul Allah."
Kalau bukan dari sangat yakinnya bahwa dia memang utusan Allah, tidaklah dia akan sudi menderita, berkorban, terusir dari Thaif, berhijrah ke Madinah, berkali-kali memimpin sendiri peperangan melawan musuh, nyaris dibunuh di Mekah, nyaris dibunuh Yahudi Bani Nadhir di Madinah, nyaris termakan racun perempuan di Khaibar. Sampai wafatnya sesaat pun tidak pernah kendur perasaannya bahwa memangdia Rasulullah. Sebab itu, dengan penuh kepercayaanlah dia menerima segala apa yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya, yaitu Al-Qur'an dengan 114 surahnya dan mengandung 6.236 ayat, berisi berbagai peraturan mengenai ibadah, muamalah, mengenai peraturan peperangan dan perdamaian, mengenai hukum pidana dan perdata, kabar gembira dan kabar ancaman.
"Dan (demikian juga) orang-orang yang beriman!' yaitu sekalian sahabat beliau sejak dari Muhajirin sampai kepada Ansharnya, sejak dari yang besar-besar dan ternama sampai yang kecil-kecil, sejak dari yang laki-laki sampai kepada yang perempuan. Semuanya pun percaya sebagai rasul telah percaya. Mereka menjadi percaya dan yakin, mereka lihat bahwa Rasul yang mereka ikuti itu pun percaya dan yakin."Tiap-tiap mereka percaya kepada Allah!' yang telah menjelmakan alam ini dari tidak ada kepada ada, Yang Hidup dan Yang Berdiri Sendiri-Nya, tiada bersekutu yang lain dengan Dia. Maka, oleh karena mereka itu telah percaya sebulat-bulatnya kepada Allah, mereka pun percaya pula bahwa Allah itu mengutus Malaikat-Nya untuk menyampaikan wahyu Allah bagi keselamatan manusia. Sebab itu, “dan Malaikat-Nya" pun mereka yang percayai pula dalam rangka percaya kepada Allah, “dan Kitab-kitab-Nya!' yang telah disampaikan sebagai wahyu Ilahi oleh Malaikat itu. Bukan saja mereka memercayai satu kitab, yaitu Al-Qur'an, melainkan mereka memercayai kitab-kitab."Dan rasul-rasul-Nya" pun mereka percayai pula, sebab kitab-kitab itu disampaikan Malaikat dari Allah ialah kepada rasul-rasul itu.
“Tidaklah kami membeda-bedakan di antara seorang (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya!' Artinya, sejak dari Adam sampai Nuh, Ibrahim dan Musa, Isa sampai kepada Muhammad ﷺ kami hargai tinggi semuanya dan kami pandang sama semua tugas kewajiban mereka walaupun berlain masa datang mereka dan berlain pula umat yang mereka datangi. Namun, tujuan maksud kedatangan mereka sama semuanya, yaitu menyampaikan risalah perintah Allah kepada manusia, bagi keselamatan manusia.
"Dan mereka pun berkata, ‘Kami dengar dan kami taati!" Maka segala perintah Allah yang disampaikan oleh rasul itu telah sampai kepada mereka dan telah mereka dengarkan baik-baik serta telah mereka pahami. Akan tetapi, bukanlah semata-mata didengar saja, melainkan mereka turuti dengan perbuatan. Karena, semata-mata mendengar, padahal tidak dituruti dengan ketaatan, itu tidaklah ada artinya. Dan, sebagaimana manusia, mereka yang beriman itu pun insaf akan kelemahan diri mereka, insaf pula akan serba kekurangan yang ada pada mereka. Mana tahu entah perintah yang telah didengar dan ditaati itu tidak menurut yang semestinya, sebab itu mereka pun menyambung doa,
“Ampunan-Mu, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali."
Bilamana martabat iman telah bertambah tinggi, manusia yang beriman itu bertambah banyak memohonkan ampun dan karunia dari Ilahi. Karena, dari sebab bertambah besarnya rasa ketaatan kepada Ilahi, bertambah merasa kecillah si Mukmin tadi. Sebab itu, tidaklah sunyi-sunyi lidahnya dari memohonkan ampun. Kalau bolehlah diambil perumpamaan dari seorang pejabat tinggi dari satu negara yang telah dipercayai oleh kepala negaranya maka bertambah tinggi jabatan pegawai itu, bertambah dia menjaga tugasnya jangan sampai mengecewakan kepala negaranya. Maka, orang yang beriman lebihlah daripada itu.
Ayat terakhir dari surah al-Baqarah ialah lanjutan dari gambaran orang yang beriman bersama rasul itu dan mengandung pula sambutan Allahatas permohonan ampun mereka jika terdapat kekurangan pada amal mereka. Allah berfirman,
Ayat 286
“Tidaklah Allah memberati suatu diri, melainkan sekadar terpikul olehnya."
Memang tidaklah ada suatu perintah didatangkan oleh Allah yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri. Tidak ada perintah yang berat, apatah lagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah shalat. Tidak sanggup berdiri, bolehlah duduk. Tidak sanggup duduk, bolehlah berbaring. Tidak ada air, bolehlah tayamum. Puasa di dalam musafir atau sakit boleh diganti di hari yang lain. Zakat hanya diwajibkan kepada yang telah sampai nishab dan haul (tahunnya). Yang tidak mempunyai kemampuan, tidaklah wajib berzakat. Naik haji diperintahkan kalau belanja telah cukup dan perjalanan aman serta diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup. Kalau dapat ditambah, bernamalah tathawwu'. Akan tetapi, betapa pun ringannya yang diperintahkan, kalau hati tidak beriman, semuanya akan berat juga, “Shalat itu amat berat kecuali bagi orang yang khusyu."
Selanjutnya, firman Allah, “Dia akan mendapat pahala dari apa yang dia usahakan dan akan mendapat siksa atas apa yang dia usahakan pula."
Apabila derajat iman manusia bertambah naik, bertambahlah dia cermat, bertambah dia ingat bahwa dirinya ini adalah tempat berjuang di antara cita yang baik, cita ketaatan kepada Allah, dan hawa nafsu, dan hal ini tetap dirasakan oleh semua orang. Sebab itu, orang yang beriman menyambung doanya kepada Allah, “Ya, Tuhan kami! Janganlah Engkau tuntut kami di atas kealpaan kami dan kekeliruan kami!" Dengan doa yang begini, orang yang beriman mengaku dari hati sanubarinya bahwa kealpaan akan terdapat juga pada dirinya, demikian juga kekeliruan: salah pilih, salah masuk, salah jalan! Tertinggalkan barang yang mesti dikerjakan, terkerjakan barang yang mesti ditinggalkan, atau terlupa di tempat yang mestinya patut diingat. Orang yang beriman berdoa begini bukanlah karena dia ingin alpa dan ingat keliru. Sebab, kalau orang telah beriman, dia sendiri pun merasa bahwa ada suatu kelupaan yang juga mesti disalahkan! Misalnya seorang pejabat tinggi akan hadir di dalam suatu pertemuan penting, tiba-tiba setelah sampai di tempat pertemuan ternyata dia lupa kepada map tempat surat-surat pentingnya yang akan dibawa dalam pertemuan itu. Dia memang lupa! Tetapi pandangan umum tetap menyalahkan kelupaan itu, tandanya dia kurang hati-hati. Itu sebabnya, orang yang beriman memohonkan kepada Allah agar dia jangan kiranya dituntut karena kealpaan. Misalnya, shalat Zhuhur empat rakaat, tiba-tiba telah dikerjakan sampai lima rakaat atau kurang.
Orang beriman itu pun kemudian berdoa, “Ya, Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan ke atas kami siksa, sebagaimana yang pernah Engkau pikulkan kepada orang-orang yang sebelum kami" Seumpama beban perintah kepada Bani lsrail, disuruh berhenti sama sekali berusaha pada hari Sabtu, dilarang memakan makanan-makanan tertentu, sampai tidak boleh memakan binatang yang berbelah kukunya. Dan, sampai untuk tobat dari menyembah berhala anak sapi (ijel) disuruh membunuh diri.
Doa orang Mukmin itu kemudian diteruskan lagi, “Ya, Tuhan kami! Janganlah Engkau timpakan ke atas kami perintah yang tidak bertenaga kami dengan dia." Misalnya, shalat sampai lima puluh waktu atau naik haji tiap tahun, puasa terus-menerus. Atau dilarang kawin atau dilarang makan daging. Mungkin orang-seorang ada yang sanggup, tetapi “kami" bersama, janganlah mendapat perintah demikian."Dan maafkan (dosa-dosa) kami dan ampunilah kami dan kasihanilah kamiKarena kami ini tidaklah mempunyai kekuatan apa-apa kecuali apa yang Engkau berikan dan tidak mengetahui apa-apa kecuali apa yang Engkau ajarkan."Engkaulah penolong kamil" Kepada Engkau sajalah kami memperlindungkan nasib kami dan keselamatan kami.
“Maka, tolonglah kami atas mengalahkan katun yang tidak mau percaya."
Ini karena kami yakin, selama kebenaran yang Engkau turunkan dan ajaran yang disampaikan oleh Rasul-Mu ini kami tegakkan, tidaklah akan sunyi-sunyinya kami dari gangguan manusia-manusia yang ingkar kepada Engkau dan benci kepada kami. Maka, tidak lain hanyalah perlindungan dari Engkau jualah yang akan menyelamatkan kami, Amin.