Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَنقُضُونَ
melanggar
عَهۡدَ
perjanjian
ٱللَّهِ
Allah
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
مِيثَٰقِهِۦ
meneguhkannya
وَيَقۡطَعُونَ
dan mereka memutuskan
مَآ
apa
أَمَرَ
yang diperintahkan
ٱللَّهُ
Allah
بِهِۦٓ
dengannya
أَن
bahwa/untuk
يُوصَلَ
menghubungkan
وَيُفۡسِدُونَ
dan mereka membuat kerusakan
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِۚ
bumi
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡخَٰسِرُونَ
orang-orang yang rugi
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَنقُضُونَ
melanggar
عَهۡدَ
perjanjian
ٱللَّهِ
Allah
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
مِيثَٰقِهِۦ
meneguhkannya
وَيَقۡطَعُونَ
dan mereka memutuskan
مَآ
apa
أَمَرَ
yang diperintahkan
ٱللَّهُ
Allah
بِهِۦٓ
dengannya
أَن
bahwa/untuk
يُوصَلَ
menghubungkan
وَيُفۡسِدُونَ
dan mereka membuat kerusakan
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِۚ
bumi
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡخَٰسِرُونَ
orang-orang yang rugi
Terjemahan
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan (silaturahmi), dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.
Tafsir
(Orang-orang yang) merupakan 'na`at' atau sifat (melanggar janji Allah) melanggar kewajiban yang ditugaskan Allah kepada mereka dalam Kitab-Kitab Suci berupa keimanan kepada Nabi Muhammad ﷺ (setelah teguhnya) setelah kukuhnya perjanjian itu, (dan memutus apa yang diperintahkan Allah dengannya untuk dihubungkan), yakni beriman dan menghubungkan silaturahmi dengan Nabi ﷺ serta lain-lainnya. Anak kalimat 'untuk dihubungkan' menjadi kata ganti dari 'dengannya', (dan membuat kerusakan di muka bumi) dengan melakukan maksiat serta menyimpang dari keimanan (merekalah) orang-orang yang mempunyai sifat seperti yang dilukiskan itu (orang-orang yang rugi) karena mereka dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 26-27
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.
Ayat 26
As-Suddi di dalam kitab Tafsirnya meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat, bahwa ketika Allah membuat kedua perumpamaan ini bagi orang-orang munafik, yakni firman-Nya: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api” (Al-Baqarah: 17). “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit” (Al-Baqarah: 19). Yakni semuanya terdiri atas tiga ayat. Maka orang-orang munafik berkata bahwa Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung untuk membuat perumpamaan-perumpamaan ini. Maka Allah menurunkan ayat ini yakni (Al-Baqarah ayat 26-27). sampai dengan firman-Nya: “Mereka itulah orang-orang yang rugi” (Al-Baqarah: 27).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah; ketika Allah menyebutkan laba-laba dan lalat dalam perumpamaan yang dibuat-Nya, maka orang-orang musyrik berkata, "Apa hubungannya laba-laba dan lalat disebutkan?" Lalu Allah menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu” (Al-Baqarah: 26). Sa'id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa sesungguhnya Allah tiada segan demi kebenaran untuk menyebutkan sesuatu hal, baik yang kecil maupun yang besar.
Sesungguhnya ketika Allah menyebutkan di dalam Kitab-Nya mengenai lalat dan laba-laba, lalu orang-orang yang sesat mengatakan, "Apa yang dimaksud oleh Allah dengan menyebut hal ini?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu” (Al-Baqarah: 26). Menurut kami, dalam riwayat pertama dari Qatadah mengandung isyarat bahwa ayat ini termasuk ayat Makkiyyah, tetapi sebenarnya tidaklah demikian (yakni Madaniyyah). Bahkan riwayat Sa'id yang dari Qatadah lebih mendekati kepada kebenaran. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid serupa dengan riwayat kedua yang dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ismail ibnu Abu Khalid hal yang serupa dengan perkataan As-Suddi dan Qatadah.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa hal ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan dunia, yaitu nyamuk tetap hidup selagi dalam keadaan lapar; tetapi bila telah gemuk (kekenyangan), maka ia mati. Demikian pula perumpamaan kaum yang dibuatkan perumpamaannya oleh Allah di dalam Al-Qur'an dengan perumpamaan ini. Dengan kata lain, bila mereka kekenyangan karena berlimpah ruah dengan harta duniawi, maka pada saat itulah Allah mengazab mereka. Kemudian Ar-Rabi' ibnu Anas membacakan firman-Nya: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, hingga akhir ayat” (Al-An'am: 44). Demikian riwayat Ibnu Jarir.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadits Abu Ja'far, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah. Demikian perbedaan pendapat di kalangan mereka mengenai Asbabun Nuzul ayat ini, sedangkan Ibnu Jarir sendiri memilih riwayat yang dikemukakan oleh As-Suddi; mengingat riwayatnya lebih menyentuh surat, maka lebih cocok. Makna ayat, Allah memberitakan bahwa Dia tidak merasa malu yakni tidak segan atau tidak takut untuk membuat perumpamaan apa pun, baik perumpamaan yang kecil maupun yang besar.
Huruf ma pada lafal matsalan ma menunjukkan makna taqlil (sedikit atau terkecil), dan lafal ba'udah dinasabkan sebagai badal. Perihal makna “ma” di sini sama dengan ucapan seseorang “la-adriban-na darban ma,” artinya aku benar-benar akan memukul dengan suatu pukulan. Pengertiannya dapat diartikan dengan pukulan yang paling ringan. Atau huruf ma di sini dianggap sebagai ma nakirah maushufah, yakni huruf ma diartikan dengan penjelasan lafal ba'udah (nyamuk).
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa huruf ma di sini adalah ma maushulah (kata penghubung), sedangkan lafal ba'udhah di-i'rab-kan sesuai dengan kedudukannya. Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal seperti ini terjadi dalam percakapan orang-orang Arab, yakni mereka biasa meng-i'rab-kan silah dari huruf ma dan man sesuai dengan kedudukan i'rab keduanya. Mengingat keduanya adakalanya berupa ma'rifat, adakalanya pula berupa nakirah. Sebagai contoh adalah apa yang dikatakan oleh Hasan ibnu Tsabit dalam salah satu bait syairnya, yaitu: “Cukuplah keutamaan bagi kami yang berada di atas selain kami hanya berkat Nabi Muhammad yang keturunannya tergabung kepada kami.” Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafal ba'udah dapat dinasabkan karena membuang harakat jar-nya. Bentuk kalimat secara utuh menjadi seperti berikut: Innallaha la yastahyi ay-yadriba matsalam ma baina ba'udatin ila mafauqaha, yakni sesungguhnya Allah tiada segan untuk membuat perumpamaan apa pun mulai dari seekor nyamuk hingga yang lebih kecil dari itu ukurannya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Kisai dan Al-Farra. Adh-Dhahhak dan Ibrahim ibnu Ablah membaca lafal ba'udah dengan bacaan rafa' (ba'udhatun). Ibnu Jinni memberikan komentarnya bahwa dengan demikian berarti lafal ba'udatun berkedudukan sebagai shilah-nya ma, sedangkan damir yang kembali kepada ma dibuang. Keadannya sama dengan i'rab yang terdapat di dalam firman-Nya: “Untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan” (Al-An'am: 154). Bentuk lengkapnya adalah 'alal ladzi huwa ahsanu. Imam Sibawaih telah meriwayatkan kalimat yang mengatakan ma anal ladzi qailun laka syai-an (Aku bukanlah orang yang pernah mengatakan sesuatu mengenai dirimu). Bentuk lengkapnya adalah bil ladzi huwa qailun laka syaian.
Firman Allah ﷻ: “Atau yang lebih rendah dari itu” (Al-Baqarah: 26). Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, yang dimaksud adalah lebih kecil dan lebih rendah darinya. Keadaannya sama dengan seorang lelaki jika disifati dengan karakter yang tercela, yakni kikir. Lalu ada pendengar yang menjawabnya, "Memang benar, dia lebih rendah dari apa yang digambarkannya." Demikian pendapat Al-Kisai dan Abu Ubaid. Ar-Razi dan kebanyakan ulama ahli tahqiq mengatakan bahwa di dalam hadits disebutkan: “Seandainya dunia ini berbobot di sisi Allah sama dengan sayap nyamuk, niscaya dia tidak akan memberi minum seteguk air pun darinya kepada orang kafir.”
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna fama fauqaha adalah yang lebih besar dari (nyamuk) itu, atas dasar kriteria bahwa tiada sesuatu pun yang lebih rendah dan lebih kecil daripada nyamuk. Ini adalah pendapat Qatadah ibnu Di'amah dan dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadits riwayat Imam Muslim melalui Siti Aisyah , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiada seorang muslim pun yang tertusuk oleh sebuah duri hingga yang lebih darinya melainkan dicatatkan baginya karena musibah tersebut suatu derajat (pahala), dan dihapuskan darinya karena musibah itu suatu dosa.”
Melalui ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh sesuatu pun untuk dijadikan sebagai misal (perumpamaan), sekalipun sesuatu itu hina lagi kecil seperti nyamuk; sebagaimana Dia tidak segan-segan menciptakan makhluk yang kecil itu, Dia tidak segan-segan pula membuat perumpamaan dengan makhluk kecil itu, sebagaimana membuat perumpamaan memakai lalat dan laba-laba, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: “Wahai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah” (Al-Hajj': 73). “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui” (Al-Ankabut: 41).
Allah ﷻ berfirman: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke langit; pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.” Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. “Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang zalim dan melakukan apa yang Dia kehendaki” (Ibrahim: 24-27). “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun” (An-Nahl: 75). Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan?” (An-Nahl: 76).
Sama halnya dengan firman-Nya: “Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah ada di antara budak yang kalian miliki menjadi sekutu bagi kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian” (Ar-Rum: 28). Allah ﷻ telah berfirman: “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan” (Az-Zumar: 29). “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al-Ankabut 43). Di dalam Al-Qur'an terdapat banyak perumpamaan. Sebagian ulama Salaf mengatakan, "Apabila aku mendengar perumpamaan di dalam Al-Qur'an, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku sendiri, karena Allah ﷻ telah berfirman: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al-Ankabut: 43).
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu” (Al-Baqarah: 26). Maksudnya, semua perumpamaan baik yang kecil maupun yang besar orang-orang mukmin beriman kepadanya dan mereka mengetahui bahwa hal itu merupakan kebenaran dari Tuhan mereka, dan melaluinya Allah memberi petunjuk kepada mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka tahu bahwa perumpamaan itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka” (Al-Baqarah: 26). Menurutnya, mereka mengetahui dengan yakin bahwa perumpamaan tersebut adalah Kalamullah Yang Maha Pemurah dan datang dari sisi-Nya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas. Abul Aliyah mengatakan, makna firman-Nya, "Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka tahu bahwa perumpamaan itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka." Yang dimaksud adalah perumpamaan ini.
Tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” (Al-Baqarah: 26). Keadaannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lain, yaitu: “Dan tidaklah Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi ujian bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan menjadikan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri” (Al-Muddatstsir: 31).
Demikian pula dalam ayat ini yakni (Al-Baqarah: 26). “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik” (Al-Baqarah: 26). As-Suddi mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat, yang dimaksud dengan pengertian “yudhillu bihi katsiran” adalah orang-orang munafik, sedangkan pengertian yahdi bihi katsiran adalah orang-orang mukmin.
Dengan demikian, berarti semakin bertambahlah kesesatan orang-orang munafik tersebut di samping kesesatan mereka yang telah ada; karena mereka mendustakan apa yang mereka ketahui sebagai kebenaran dan yakin, yaitu mendustakan perumpamaan yang telah dibuat oleh Allah untuk menggambarkan keadaan mereka sendiri. Ketika perumpamaan itu ternyata sesuai dengan keadaan mereka, sedangkan mereka tidak mau percaya, maka hal itulah yang dimaksud dengan penyesatan Allah terhadap mereka melalui perumpamaan ini.
Melalui perumpamaan ini Allah memberi petunjuk kepada banyak orang dari kalangan ahli iman dan mereka yang mempercayainya. Maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka di samping petunjuk yang telah ada pada diri mereka sendiri, dan bertambah pula iman mereka karena mereka percaya kepada apa yang mereka ketahui sebagai kebenaran dan yakin. Mengingat apa yang dibuat oleh Allah sebagai perumpamaan ternyata sesuai dengan kenyataan dan mereka mengakui kebenarannya, maka hal inilah yang dimaksud sebagai hidayah dari Allah buat mereka melalui perumpamaan tersebut.
Firman Allah ﷻ, "Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik" (Al-Baqarah: 26). Menurut As-Suddi, mereka adalah orang-orang munafik. Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wama yudhillu bihi illal fasiqin" bahwa mereka adalah ahli kemunafikan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, “Wama yudhillu bihi illal fasiqin.” Ibnu Abbas mengatakan, "Orang-orang kafir mengetahui adanya Allah, tetapi mereka mengingkari-Nya." Qatadah mengatakan sehubungan makna firman-Nya, "Wama yudhillu bihi illal fasiqin," bahwa mereka pada mulanya fasik, kemudian Allah menyesatkan mereka di samping kefasikannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari Sa'd, yang dimaksud dengan kebanyakan orang dalam firman-Nya, "Yudhillu bihi katsiran," adalah orang-orang Khawarij.
Ayat 27
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang makna firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh” (Al-Baqarah: 27). Sampai akhir ayat. Ayahnya menjawab bahwa mereka adalah golongan Haruriyyah (Khawarij). Sanad riwayat ini sekalipun shahih dari Sa'd ibnu Abu Waqqas , tetapi merupakan tafsir dari makna, bukan berarti makna yang dimaksud oleh ayat me-nas-kan orang-orang Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali di Nahrawan; karena sesungguhnya mereka masih belum ada pada saat ayat diturunkan, melainkan mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sifat-sifatnya digambarkan oleh Al-Qur'an. Mereka dinamakan Khawarij karena membangkang, tidak mau taat kepada imam dan tidak mau menegakkan syariat Islam. Sedangkan pengertian fasik menurut istilah bahasa adalah sama dengannya, yaitu membangkang dan tidak mau taat. Orang-orang Arab mengatakan, "Fasaqatir ratbah" bila buah kurma terkelupas dari kulitnya. Karena itu, tikus dinamakan fuwaisiqah karena ia keluar dari liangnya untuk mengadakan pengrusakan.
Di dalam hadits Shahihain dari Siti Aisyah dijelaskan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Lima jenis binatang perusak yang boleh dibunuh baik di tanah halal maupun di tanah haram yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila. Makna fasik mencakup orang kafir dan orang durhaka, tetapi kefasikan orang kafir lebih kuat dan lebih parah. Makna yang dimaksud dengan istilah 'fasik' dalam ayat ini adalah orang kafir. Sebagai dalilnya adalah karena mereka disifati dalam ayat berikutnya dengan sifat berikut, yaitu: “Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi” (Al-Baqarah: 27). Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas orang-orang kafir yang berbeda dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat lainnya: “Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, yaitu orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk” (Ar-Ra'd: 19-21). Seterusnya hingga sampai pada firman-Nya: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)” (Ar-Ra'd: 25).
Ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna perjanjian yang digambarkan, bahwa orang-orang fasik tersebut telah merusaknya. Sebagian dari kalangan ahli tafsir mengatakan, perjanjian tersebut adalah wasiat Allah kepada makhluk-Nya, perintah-Nya kepada mereka agar taat kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka agar jangan berbuat durhaka dengan mengerjakan hal-hal yang telah dilarang-Nya. Semua itu disebutkan di dalam kitab-kitab-Nya, juga disampaikan kepada mereka melalui lisan Rasul-Rasul-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan adalah karena tidak mengamalkan hal tersebut.
Ahli tafsir lain mengatakan bahkan ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian Allah yang dirusak oleh mereka adalah perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, yaitu harus mengamalkan kandungan Taurat dan mengikuti Nabi Muhammad bila telah diutus dan percaya kepada kitab yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Mereka merusak hal tersebut dengan menentangnya sesudah mereka mengetahui hakikatnya, mengingkari serta menyembunyikan pengetahuan mengenai hal tersebut dari orang-orang, padahal Allah telah memberikan janji kepada mereka bahwa mereka harus menjelaskan kepada orang-orang dan tidak boleh menyembunyikannya. Selanjutnya Allah memberitakan bahwa ternyata mereka menyembunyikan hal tersebut di belakang punggungnya dan menukarnya dengan harga yang murah. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, hal ini merupakan pendapat Muqatil ibnu Hayyan.
Ahli tafsir lain mengatakan, yang dimaksud oleh ayat ini adalah semua orang kafir, orang musyrik, dan orang munafik. Sedangkan janji Allah kepada mereka yang berkaitan dengan masalah mentauhidkan (mengesakan)-Nya adalah segala sesuatu yang telah diciptakan bagi mereka berupa dalil-dalil (tanda-tanda) yang semuanya menunjukkan kepada sifat Rububiyyah Allah ﷻ. Janji Allah kepada mereka yang menyangkut masalah perintah dan larangan-Nya adalah semua hal yang dijadikan hujjah oleh para rasul, yaitu berupa mukjizat-mukjizat yang tiada seorang manusia pun selain mereka dapat membuat hal yang serupa dengannya. Mukjizat-mukjizat tersebut menegaskan kebenaran kerasulan mereka. Mereka mengatakan bahwa pengrusakan janji yang dilakukan oleh mereka adalah karena mereka tidak mau mengakui hal-hal yang telah jelas kebenarannya di mata mereka melalui dalil-dalilnya, dan mereka mendustakan para rasul serta kitab-kitab, padahal mereka mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada para rasul itu adalah kebenaran.
Hal yang serupa diriwayatkan pula dari Muqatil ibnu Hayyan, pendapat ini cukup baik; dan Az-Zamakhsyari memihak kepada pendapat tersebut. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa jika ada yang mengatakan, "Apakah yang dimaksud dengan janji Allah?" Jawabannya, "Hal itu merupakan sesuatu yang telah dipancangkan di dalam akal mereka berupa hujah yang menunjukkan ajaran tauhid. Jadi, seakan-akan Allah telah memerintahkan dan mewasiatkan kepada mereka dan mengikatkan hal itu kepada mereka sebagai janji." Pengertian inilah yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian!" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)" (Al-A'raf: 172). Yaitu ketika Allah mengambil janji terhadap diri mereka dari kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.
Keadaannya sama dengan makna yang ada di dalam firman-Nya: “Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian.” (Al-Baqarah: 40) Ahli tafsir lain mengatakan bahwa janji yang disebutkan oleh Allah ﷻ adalah janji yang diambil oleh Allah terhadap mereka di saat Allah mengeluarkan mereka dari sulbi Adam. Hal ini digambarkan melalui firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (Al-A'raf: 172). Sedangkan yang dimaksud dengan pengrusakan mereka terhadap janji tersebut adalah karena mereka tidak memenuhinya.
Demikian pula menurut riwayat dari Muqatil ibnu Hayyan; semua pendapat di atas diketengahkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi” (Al-Baqarah: 27). Menurutnya ada enam pekerti orang-orang munafik. Apabila mereka mengalami kemenangan atas semua orang, maka mereka menampakkan keenam pekerti tersebut, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar akan janjinya; apabila dipercaya, khianat; mereka melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah agar dihubungkan, dan suka menimbulkan kerusakan di muka bumi. Tetapi jika mereka dalam keadaan kalah, mereka hanya menampakkan ketiga pekerti saja, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, khianat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. As-Suddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh” (Al-Baqarah: 27). Disebutkan bahwa hal yang dimaksud ialah perjanjian yang diberikan kepada mereka di dalam Al-Qur'an, lalu mereka mengakuinya, kemudian kafir dan merusaknya. Firman Allah ﷻ: “dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya” (Al-Baqarah: 27). Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud adalah silaturahmi dan hubungan kekerabatan, seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah dalam firman-Nya: “Maka apakah seandainya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (Muhammad: 22). Pendapatnya itu didukung oleh Ibnu Jarir dan dinilainya kuat.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud lebih umum dari itu, yakni mencakup semua hal yang diperintahkan oleh Allah menghubungkan dan mengerjakannya, kemudian mereka memutuskan dan meninggalkannya. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) bahwa hal itu terjadi di akhirat. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah ﷻ: “Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)” (Ar-Ra'd: 25). Menurut Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Allah kepada selain pemeluk Islam berupa suatu sebutan, misalnya merugi; maka sesungguhnya yang dimaksud hanyalah kekufuran.
Sedangkan hal serupa yang dinisbatkan kepada pemeluk Islam, makna yang dimaksud hanyalah dosa. Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Ulaika humul khasirun" bahwa lafal al-khasirun adalah bentuk jamak dari lafal khasirun; mereka adalah orang-orang yang mengurangi bagian keberuntungan mereka dari rahmat Allah karena perbuatan maksiat mereka. Perihalnya sama dengan seorang lelaki yang mengalami kerugian dalam perniagaan, misalnya sebagian modalnya amblas karena rugi dalam jual beli.
Demikian pula halnya orang munafik dan orang kafir, keduanya beroleh kerugian karena terhalang tidak mendapat rahmat Allah yang diciptakan-Nya buat hamba-hamba-Nya di hari kiamat, padahal saat itu yang paling mereka perlukan adalah rahmat Allah ﷻ. Termasuk ke dalam pengertian lafal ini bila dikatakan khasirar rajulu (lelaki itu mengalami kerugian), bentuk masdar-nya adalah khusran, khusranan, dan khisaran, sebagaimana dikatakan Jarir ibnu Atiyyah: Sesungguhnya si Sulait, kerugian yang dialaminya adalah karena dia dari anak-anak suatu kaum yang sejak lahir ditakdirkan menjadi budak.
Orang-orang fasik itu adalah orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu diteguhkan, yaitu perjanjian dalam diri setiap manusia yang muncul secara fitrah dan didukung dengan akal dan petunjuk agama sebagaimana dijelaskan pada Surah al-A 'ra'f/7: 172, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, seperti menyambung persaudaran dan hubungan kekerabatan, berkasih sayang, dan saling mengenal sesama manusia, dan berbuat kerusakan di bumi dengan perilaku tidak terpuji, menyulut konflik, mengobarkan api peperangan, merusak lingkungan, dan lainnya. Mereka itulah orangorang yang rugi karena telah menodai kesucian fitrah dan memutus hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan kehinaan di dunia dan siksaan di akhirat.
Sungguh mengherankan perbuatan kamu itu, wahai orang-orang musyrik! Bagaimana kamu ingkar kepada Allah Yang Maha Esa dengan mempersekutukan-Nya, padahal bukti keesaan-Nya ada dalam diri kamu, yaitu kamu yang tadinya mati dan belum berupa apa-apa, lalu Dia menghidupkan kamu dari tiada, kemudian Dia mematikan kamu setelah tiba ajal yang ditetapkan untukmu, lalu Dia menghidupkan kamu kembali pada hari Kebangkitan. Kemudian hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan untuk dimintai pertanggungjawaban dan mendapat balasan atas segala amal perbuatan.
Sifat-sifat orang fasik dan juga orang kafir yang tersebut pada ayat di atas, yaitu:
1. Melanggar perjanjian dengan Allah sesudah perjanjian itu teguh;
2. Memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya;
3. Membuat kerusakan di muka bumi.
Orang-orang yang merusak perjanjian Allah yaitu merusak perjanjian Allah dengan makhluk-Nya, bahwa seluruh makhluk-Nya akan beriman hanya kepada-Nya, kepada para malaikat, kepada para rasul, kepada kitab-kitab-Nya, kepada hari kemudian dan kepada adanya qada dan qadar Allah, mengikuti semua perintah dan menghentikan semua larangan-Nya. Untuk itu Allah ﷻ menganugerahkan kepada manusia akal, pikiran, anggota badan dan sebagainya agar manusia selalu ingat akan janjinya itu. Tetapi orang-orang fasik tidak mau mengindahkannya sesuai dengan firman Allah:
.. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (al-A'raf/7: 179)
"Dan mereka juga memutuskan apa yang telah diperintahkan Allah untuk menghubungkannya" ialah segala macam pemutusan hubungan yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya, seperti memutuskan hubungan silaturrahim antara sesama kaum Muslimin (an-Nisa'/4: 1), membeda-bedakan para nabi dan rasul yaitu mengimani sebagiannya dan mengingkari sebagian yang lain (al-Baqarah/2: 285) dan sebagainya. Termasuk pula di dalam memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya ialah mengubah, menghapus atau menambah isi dari kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para rasul-Nya yang berakibat putusnya hubungan antara agama Allah yang dibawa para rasul.
Orang-orang fasik membuat kerusakan di bumi, karena mereka itu tidak beriman, menghalang-halangi orang lain beriman, memperolok-olokkan yang hak, merusak akidah, merusak atau melenyapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk memakmurkan alam ini buat kemaslahatan manusia serta merusak lingkungan hidup. Mereka orang-orang yang rugi di dunia karena tindakan-tindakannya dan rugi di akhirat dengan mendapat kemarahan Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 26-29
Ayat 26
“Sesungguhnya, Allah tidaklah malu membuat perumpamaan apa saja; nyamuk atau lebih kecil daripadanya."
Orang-orang yang kafir atau munafik itu mencari-cari saja pasal yang akan mereka gunakan untuk membantah Nabi, Dalam wahyu, Allah membuat berbagai perumpamaan. Allah pernah mengumpamakan orang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain, adalah laksana laba-laba membuat sarang. Sarang laba-laba adalah sangat rapuh (surah al-'Ankabuut ayat 41). Allah pun pernah mengambil perumpamaan dengan lalat. Bahwa apa-apa yang dipersekutukan oleh orang-orang musyrikin dengan Allah itu, jangankan membuat alam, membuat lalat pun mereka tidak bisa (lihat surah al-Hajj ayat 73).
Demikian juga perumpamaan yang lain-lain. Maka, orang-orang yang munafik tidaklah memperhatikan isi, tetapi hendak mencari kelemahan pada misal yang dikemukakan itu. Kata mereka misal-misal itu adalah perkara kecil dan remeh. Adakan laba-laba menjadi contoh, adakan lalat diambil umpama, apa artinya semua itu. Peremehan yang seperti ini yang dibantah keras oleh ayat ini, “Allah tidaklah malu membuat perumpamaan apa saja; nyamuk atau yang lebih kecil darinya."
Maksud mereka tentu hendak meremehkan Rasulullah, tetapi Allah sendiri menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Muhammad itu bukanlah katanya, dan misal perumpamaan yang dikemukakannya itu bukanlah misal perbuatannya sendiri. Itu adalah misal Aku sendiri. Aku tidak malu mengemukakan perumpamaan itu. Mengambil perumpamaan daripada nyamuk atau agas yang lebih kecil dari nyamuk, atau yang lebih kecil lagi, tidaklah Aku segan-segan."Maka, adapun orang-orang yang beriman mengetahuilah mereka bahwasanya ini," yaitu perumpamaan-per-umpamaan tersebut, “Adalah kebenaran dari Tuhan mereka!' Artinya, kalau perumpamaan itu tidak penting tidaklah Allah akan mengagas: nyamuk yang lebih kecil daripada nyamuk biasa, ambilnya menjadi perumpamaan. Sebab, semua perhitungan Allah itu adalah dengan teliti sekali."Dan, adapun orang-orang yang kafir maka berkatalah mereka, ‘Apa yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan begini?"‘ Apa kehendak Allah mengemukakan misal binatang yang hina sebagaimana laba-laba, binatang tidak ada arti sebagaimana lalat, dan kadang-kadang juga keledai yang buruk, kadang-kadang anjing menjulurkan lidah; adakah pantas wahyu mengemukakan hal tetek bengek demikian? Maka, berfirmanlah Allah selanjutnya,
“Tersesatlah dengan sebabnya," yaitu sebab perumpamaan-perumpamaan itu, “kebanyakan manusia dan mendapat petunjuk dengan sebabnya kebanyakan. Dan, tidaklah akan tersesat dengan dia, melainkan orang-orang yang fasik."
Dengan merenungkan ayat ini, apa yang timbul dalam hati kita?
Yang timbul dalam hati kita ialah pertambahan iman bahwa Al-Qur'an ini memang diturunkan untuk seluruh masa dan untuk orang yang berpikir dan mencintai ilmu pengetahuan. Orang-orang kafir itu menjadi sesat dan fasik karena bodohnya. Atau bodoh, tetapi tidak sadar akan kebodohan. Dan, orang yang beriman tunduk kepada Allah dengan segala kerendahan hati. Kalau ilmunya belum luas dan dalam, cukup dia menggantungkan kepercayaan bahwa kalau tidak penting tidaklah Allah akan membuat misal dengan nyamuk, lalat, laba-laba, dan lain-lain itu. Meskipun dia belum tahu apa pentingnya. Namun, orang yang lebih dalam ilmunya, benar-benar kagumlah dia akan kebesaran Allah. Di zaman modern ini, sudahlah orang tahu bahwa perkara nyamuk atau agas bukanlah perkara kecil. Lalat pun bukan lagi perkara kecil. Demikian mikroskop telah meneropong hama-hama yang sangat kecil, beratus ribu kali lebih kecil daripada nyamuk dan lalat. Nyamuk malaria, nyamuk penyakit kuning, dan nyamuk yang menyebabkan penyakit tidur di Afrika; menyimpulkan pendapat bahwa bahaya nyamuk lebih besar dari bahaya singa dan harimau.
Ayat 27
“Yaitu orang-orang yang memecahkan janji Allah sesudah dia diteguhkan."
Apakah janji Allah yang teguh yang telah mereka pecah? Janji Allah terasa dalam diri kita sendiri-sendiri, yang ditunjukkan oleh akal kita. Janji Allah bersuara dalam batin manusia sendiri, yaitu kesadaran akalnya. Pada ayat 21 di atas, kita disuruh mempergunakan akal untuk mencari di mana janji itu. Apabila akal dipakai, mestilah timbul kesadaran akan kekuasaan Allah dan perlindungan kepada kita manusia; kalau manusia itu insaf akan akalnya, pastilah menimbulkan rasa terima kasih dan rasa pengabdian, ibadah kepada Allah. Sekarang, janji di dalam batin itu sendirilah yang mereka pecahkan, mereka rusakkan, lalu mereka perturutkan hawa nafsu."Dan mereka putuskan apa yang dihubungkan." Apa yang mesti dihubungkan? Yaitu, pikiran sehat dengan natijah (konklusi) dari pikiran itu. Karena telah fasik mereka putuskan di tengah-tengah, tidak mereka teruskan sampai ke ujung.
Sebagaimana orang-orang yang mengatakan dirinya free thinker. Katanya, dia bebas berpikir. Lalu, berpikirlah dia dengan bebas. Karena sehat pikiran, sampailah dia kepada kesimpulan bahwa tidak mungkin alam yang sangat teratur ini terjadi dengan sendirinya, dengan tidak ada pengaturnya. Pikirannya telah sampai ke sana, tetapi dia putuskan hingga itu saja. Tidak diteruskannya sampai ke ujungnya, sebab itu dia telah fasik dan telah mendustai dirinya sendiri. Katanya, dia berpikir bebas, free thinker, padahal dia tidak bisa lagi."Dan merusak mereka di bumi" Kalau pikiran sehat sudah diperkosa itu di tengah jalan, dan dengan paksa dibelokkan pada yang hal tidak benar, niscaya kekacauanlah yang timbul. Kekacauan dan kerusakan yang paling hebat di atas dunia ialah jika orang tidak bebas lagi menyatakan pikiran yang sehat. Inilah dia fasik.
“Mereka itulah orang-orang yang merugi"
Sebab, mereka telah berjalan di luar garis kebenaran.
Rugilah mereka karena kehinaan di dunia dan adzab di akhirat. Yang lebih merugikan lagi ialah karena biasanya orang-orang penentang kebenaran itu ada yang hidupnya kelihatan mewah, sehingga orang-orang yang dungu pikiran menyangka mereka benar, seumpamanya Qarun di zaman Fir'aun. Orang yang kecil jiwanya menjadi segan kepada mereka, kebesaran dan kekayaan mereka, lantaran itu mereka bertambah sombong dan lupa daratan. Bertambah tenggelam mereka di dalam kesesatan dan kerusakan karena puji dan sanjung. Lantaran itu, bertambah tidaklah dapat lagi mereka mengendalikan diri sendiri. Timbullah sifat-sifat angkuh, tak mau mendengarkan nasihat orang. Akhirnya, mereka bertambah terang-terangan berbuat fasik dan berbangga dengan dosa. Akhir kelaknya karena tenaga manusia terbatas, usia pun tidak sepanjang yang diharap, timbullah penyakit, baik ruhani maupun jasmani. Penyakit gila hormat menimbulkan penyakit lain pula, yaitu cemburu pada segala orang bahwa orang itu akan menentangnya. Takut akan jatuh, timbul berbagai waswas; sehingga pertimbangan akal yang sehat dikalahkan oleh prasangka. Tadinya ingin bersenang-senang, hasilnya ialah kepayahan yang tidak berujung. Dicari sebabnya, tidak lain ialah karena kosongnya dada dari pegangan kepercayaan.
Tadinya mereka mencari bahagia, tetapi salah memahamkan bahagia. Lantaran iman tidak ada, amal pun tidak menentu. Padahal kalau hendak mencari bahagia, amallah yang akan diperbanyak. Kesenangan dan istirahat jiwa ialah bila dapat mengerjakan suatu amalan yang baik sampai selesai untuk memulai lagi amal yang baru, sampai berhenti bila jenazah telah diantar ke kubur. Orang yang telah fasik, yang telah terpesona haluan bahtera hidupnya dari tujuan yang benar, akan tenggelamlah dia ke dalam kesengsaraan batin, yang walaupun sebesar gunung emas persediaannya, tidaklah akan dapat menolongnya.
Adakah rugi yang lebih dari ini?
Kemudian datanglah bujuk rayuan Allah kembali untuk menyadarkan manusia supaya jangan menempuh jalan yang fasik dan kufur itu.
Ayat 28
“Betapa kamu hendak kufur kepada Allah, padahal adalah kamu mati, lalu dihidupkan-Nya kamu."
Cobalah pikirkan kembali: dari tidak ada, kamu telah Dia adakan. Entah di manalah kamu dahulunya tersebar; entah di daun kayu, entah di biji bayam, entah di air mengalir, tidak ada bedanya dengan batu tercampak, rumput yang lesa terpijak, ataupun serangga yang tengah menjalar, kemudian dihidupkan-Nya kamu. Terbentuklah mani dalam sulbi ayahmu dan taraib ibumu, yang berasal dari darah, dan darah itu berasal dari makanan, hormon, kalori, dan vitamin. Kemudian, kamu dalam rahim ibumu, dikandung sekian bulan lalu diberi akal. Mengembara di permukaan bumi berusaha mencukupkan keperluan-keperluan hidup."Kemudian Dia matikan kamu" Dicabut nyawamu dipisahkan dari badanmu. Badan diantarkan kembali kepada asalnya. Datang dari tanah dipulangkan ke tanah; kembali seperti tadi pula, entah jadi rumput lesa terpijak, entah jadi tumpukan tulang-tulang. Orang membangun kota yang baru, kubur-kubur dibongkar, tulang-tulangnya dipindahkan atau tidak diketahui lagi bahwa di sana ada kuburan dahulunya, lalu didirikan orang gedung di atasnya."Kemudian Dia hidupkan," yaitu hidup kali yang kedua. Sebab, nyawa yang pisah dari badan tadi tidaklah kembali ke tanah, tetapi pulang ke tempat yang telah ditentukan buat menunggu panggilan Hari Kiamat. Itulah hidup kali yang kedua; hidup salah satu dari dua, yaitu hidup yang lebih tinggi dan lebih mulia. Karena, di zaman hidup pertama di dunia kamu memang melatih diri dari dalam kehidupan yang tinggi dan mulia. Atau hidup yang lebih sengsara, karena memang dalam kehidupan pertama kamu menempuh jalan pada kesengsaraan itu.
“Kemudian, kepada-Nyalah kamu akan kembali."
Artinya, setelah kamu dihidupkan kembali, kamu dipanggil kembali ke hadirat Allah untuk diperhitungkan baik-baik, dicocokkan bunyi catatan Malaikat dengan perbuatanmu semasa hidupmu, lalu diputuskan ke tempat mana kamu akan digolongkan, pada golongan orang-orang yang berbahagiakah atau golongan orang-orang yang celaka. Dan, keadilan akan berlaku, sedangkan kezaliman tidak akan ada. Sedang belas kasihan Ilahi telah kamu rasakan sejak dari kini. Kalau kamu mendapat celaka, tidak lain hanyalah karena salahmu sendiri.
Begitulah Allah telah membuat tingkat hidup yang kamu tempuh. Maka, bagaimana juga kamu kufur terhadap-Nya. Bagaimana juga kamu hendak berbuat sesuka hati dalam kehidupan yang pertama ini? Padahal, kamu tidak akan dapat membebaskan dirimu daripada garis yang telah ditentukan-Nya itu. Padahal, bukan pula Dia menyia-nyiakan kamu dalam hidup ini; diutus-Nya Rasul, dikirim-Nya wahyu, diberi-Nya petunjuk agama akan menjadi pegangan kamu. Diberikan-Nya bagi kamu bimbingan sejak matamu terbuka melihat alam ini. Adakah patut, wahai bimbingan kasih yang sedemikian rupa kamu mungkiri dan kamu kufuri Dia?
Bawalah tafakur, pakailah akal; adakah patut perbuatanmu itu?
Ayat 29
“Dialah yang telah menjadikan untuk kamu apa yang di bumi ini sekaliannya."
Cobalah perhatikan segala yang ada di sekeliling kamu ini dan bertanyalah kepada semuanya, niscaya semua akan menjawab, “Kami ini untuk Tuan!" “Kemudian, menghadaplah Dia ke langit, lalu Dia jadikan ia tujuh langit" Artinya, diselesaikan-Nya dahulu nasibmu di sini, dibereskan-Nya segala keperluanmu, barulah Allah menghadapkan perhatian-Nya menyusun tingkatan langit, yang tadinya adalah dukhan, yaitu asap belaka. Maka, Allah pun mengatur kelompok-kelompoknya, yang dikatakan-Nya kepada kita ialah tujuh. Bagaimana tujuhnya, kita tidak tahu. Kita hanya percaya sebab urusan kekayaan langit itu tidaklah terpermanai banyaknya. Adapun bila kita duduk pada sebuah perpustakaan besar yang berisi satu juta buku tulisan manusia, lalu kita baca, berumur pun kitab seribu tahun, tidaklah akan dapat dibaca satu juta jilid buku itu. Kononnya akan mengetahui apa perbendaharaan di langit,
“Dan, Dia terhadap tiap-tiap sesuatu adalah Mahatahu."
Artinya, Dialah Yang Mahatahu bagaimana cara pembuatan dan pembangunan alam itu. Penyelidikan kita hanyalah untuk tahu bahwa kita tidak tahu. Dan, amat janggal dalam perasaan beragama kalau sekiranya hasil penyelidikan kita manusia tentang kejadian alam ini, yang baru bertumbuh kemudian, lalu kita jadikan alat buat membatalkan keterangan wahyu. Padahal maksud Al-Qur'an, terutama maksud ayat ini, ialah tertentu buat memberi peringatan kepada manusia bahwasanya isi bumi ini disediakan buat mereka semua. Maka, patutlah mereka bersyukur kepada Allah dan pergunakan kesempatan buat mengambil faedah yang telah dibuka itu. Setelah siap Allah menyediakan segala sesuatu untuk manusia hidup di dalam bumi, Allah menghadapkan amar perintah-Nya pada langit dan terjadilah langit itu tujuh. Apakah manusia telah terjadi sebelum Allah mengatur tujuh langit? Apakah kemudian baru manusia baru diadakan dalam bumi setelah terlebih dahulu persediaan buat hidupnya disediakan selengkapnya? Tidaklah ada dalam ayat ini.
Apakah yang dimaksud dengan tujuh langit? Apakah benar-benar tujuh? Atau hanya menurut undang-undang perbahasaan Arabi bahwasanya bilangan tujuh ialah menunjukkan banyak? Dan bagaimanakah Allah menghadapkan amar perintah-Nya kepada langit itu? Semuanya ini tidaklah akan dikuasai oleh pengetahuan manusia. Sebab itu, janganlah kita belokkan maksud ayat ke sana. Tuntutlah ilmu rahasia alam ini sedalam-dalamnya. Carilah fosil-fosil makhluk purbakala yang telah terbenam dalam bumi berjuta tahun. Pakailah teori Darwin dan lain-lain, moga-moga saja kian lama kian tersingkaplah bagi kita betapa hebatnya kejadian alam itu dan bertambah iman akan adanya Yang Mahakuasa atas alam.
Akan tetapi, jangan sekali-kali dengan ilmu kita yang terbatas mencoba membatalkan ayat dan ilmu Tuhan yang tidak terbatas.