Ayat
Terjemahan Per Kata
يُؤۡتِي
Dia memberikan
ٱلۡحِكۡمَةَ
hikmah
مَن
siapa
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَمَن
dan siapa
يُؤۡتَ
diberi
ٱلۡحِكۡمَةَ
hikmah
فَقَدۡ
maka sungguh
أُوتِيَ
ia diberi
خَيۡرٗا
kebajikan
كَثِيرٗاۗ
banyak
وَمَا
dan tidak
يَذَّكَّرُ
mengambil pelajaran
إِلَّآ
melainkan
أُوْلُواْ
golongan/kelompok
ٱلۡأَلۡبَٰبِ
berpengetahuan/berilmu
يُؤۡتِي
Dia memberikan
ٱلۡحِكۡمَةَ
hikmah
مَن
siapa
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَمَن
dan siapa
يُؤۡتَ
diberi
ٱلۡحِكۡمَةَ
hikmah
فَقَدۡ
maka sungguh
أُوتِيَ
ia diberi
خَيۡرٗا
kebajikan
كَثِيرٗاۗ
banyak
وَمَا
dan tidak
يَذَّكَّرُ
mengambil pelajaran
إِلَّآ
melainkan
أُوْلُواْ
golongan/kelompok
ٱلۡأَلۡبَٰبِ
berpengetahuan/berilmu
Terjemahan
Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.
Tafsir
(Allah memberikan hikmah), artinya ilmu yang berguna yang dapat mendorong manusia untuk bekerja dan berkarya (kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan barang siapa yang telah diberi hikmah itu, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak) karena hikmah itu akan menuntunnya kepada kebahagiaan yang abadi. (Dan tiadalah yang dapat mengambil pelajaran). Asalnya ta diidghamkan pada dzal hingga menjadi yadzdzakkaruu, (kecuali orang-orang berakal).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 267-269
Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dan karunia dari-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.
Ayat 267
Allah ﷻ memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfak. Yang dimaksud dengan infak dalam ayat ini ialah bersedekah. Menurut Ibnu Abbas, sedekah harus diberikan dari harta yang baik (yang halal) yang dihasilkan oleh orang yang bersangkutan.
Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan hasil usaha ialah berdagang; Allah telah memudahkan cara berdagang bagi mereka.
Menurut Ali dan As-Suddi, makna firman-Nya: “Dari hasil usaha kalian yang baik.” (Al-Baqarah: 267) Yakni emas dan perak, juga buah-buahan serta hasil panen yang telah ditumbuhkan oleh Allah di bumi untuk mereka.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk berinfak dari sebagian harta mereka yang baik, yang paling disukai dan paling disayang. Allah melarang mereka mengeluarkan sedekah dari harta mereka yang buruk dan jelek serta berkualitas rendah; karena sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya.” (Al-Baqarah: 267)
Yakni janganlah kalian sengaja memilih yang buruk-buruk. Seandainya kalian diberi yang buruk-buruk itu, niscaya kalian sendiri tidak mau menerimanya kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Allah Maha Kaya terhadap hal seperti itu dari kalian, maka janganlah kalian menjadikan untuk Allah apa-apa yang tidak kalian sukai.
Menurut pendapat yang lain, makna firman-Nya: “Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan darinya.” (Al-Baqarah: 267)
Yakni janganlah kalian menyimpang dari barang yang halal, lalu dengan sengaja mengambil barang yang haram, kemudian barang yang haram itu kalian jadikan sebagai infak kalian.
Sehubungan dengan ayat ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari As-Sabbah ibnu Muhammad, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah telah membagikan di antara kalian akhlak-akhlak kalian, sebagaimana Dia telah membagi-bagi di antara kalian rezeki-rezeki kalian. Dan sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada semua orang, baik yang disukai-Nya ataupun yang tidak disukai-Nya. Tetapi Allah tidak memberikan agama kecuali kepada orang yang disukai-Nya. Maka barang siapa yang dianugerahi agama oleh Allah, berarti Allah mencintainya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seorang hamba masih belum Islam sebelum kalbu dan lisannya Islam, dan masih belum beriman sebelum tetangga-tetangganya merasa aman dari ulahnya. Mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Nabi Allah, apakah yang dimaksud dengan bawa'iqahu?" Nabi ﷺ menjawab, "Tipuan dan perbuatan zalimnya. Dan seorang hamba mencari usaha dari cara yang diharamkan, lalu ia menginfakkannya maka ia tidak akan mendapat berkah dari infaknya itu. Dan bila ia menyedekahkannya, maka sedekahnya tidak akan diterima darinya. Dan bila ia meninggalkannya di belakang punggungnya (yakni menyimpannya), maka hartanya itu kelak akan menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapus keburukan dengan keburukan lagi, melainkan Dia menghapus keburukan dengan kebaikan. Sesungguhnya keburukan itu tidak dapat menghapuskan keburukan lain."
Akan tetapi, pendapat yang shahih adalah pendapat yang pertama tadi.
Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Umar Al-Abqari, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Asbat, dari As-Suddi, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib sehubungan dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan.” (Al-Baqarah: 267), hingga akhir ayat.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Anshar. Dahulu orang-orang Anshar apabila tiba masa panen buah kurma, mereka mengeluarkan buah kurma yang belum masak benar (yang disebut busr) dari kebun kurmanya. Lalu mereka menggantungkannya di antara kedua tiang masjid dengan tali, yaitu di masjid Rasul. Maka orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin makan buah kurma itu. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan mereka (kaum Anshar) dengan sengaja mencampur kurma yang buruk dengan busr (agar tidak kelihatan), ia menduga bahwa hal itu diperbolehkan. Maka turunlah firman Allah berkenaan dengan orang yang berbuat demikian, yaitu:
“Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan.” (Al-Baqarah: 267)
Ibnu Jarir, Ibnu Majah, dan Ibnu Mardawaih serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui As-Suddi, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra meriwayatkan hal yang serupa. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini berpredikat shahih dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengetengahkan hadits ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Israil, dari As-Suddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al-Baqarah: 267)
Al-Barra mengatakan, "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami (kalangan Anshar); di antara kami ada orang-orang yang memiliki kebun kurma. Kami biasa menginfakkan sebagian dari hasil buah kurmanya sesuai dengan kadar yang dimilikinya; ada yang banyak, dan ada yang sedikit. Lalu ada seorang lelaki (dari kalangan Anshar) datang dengan membawa buah kurma yang buruk, lalu menggantungkannya di masjid.
Sedangkan golongan suffah (fakir miskin) tidak mempunyai makanan; seseorang di antara mereka apabila lapar datang, akan memukulkan tongkatnya pada gantungan buah kurma yang ada di masjid, maka berjatuhanlah darinya buah kurma yang belum matang dan yang berkualitas rendah, lalu memakannya. Di antara orang-orang yang tidak menginginkan kebaikan memberikan sedekahnya berupa buah kurma yang buruk dan yang telah kering dan belum masak, untuk itu ia datang dengan membawa buah kurmanya yang buruk dan menggantungkannya di masjid.
Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya' (Al-Baqarah: 267)."
Al-Barra ibnu Azib mengatakan, "Seandainya seseorang di antara kalian diberi hadiah buah kurma seperti apa yang biasa ia berikan, niscaya dia tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya dengan perasaan malu. Maka sesudah itu kami selalu datang dengan membawa hasil yang paling baik yang ada padanya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darimi, dari Ubaidillah (yaitu Ibnu Musa Al-Absi), dari Israil, dari As-Suddi (yaitu Ismail ibnu Abdur Rahman), dari Abu Malik Al-Gifari yang namanya adalah Gazwan, dari Al-Barra, lalu ia mengetengahkan hadits yang serupa. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Kasir, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ melarang menyedekahkan dua jenis kurma, yaitu ju'rur dan habiq (kurma yang buruk dan kurma yang sudah kering). Tersebutlah bahwa pada mulanya orang-orang menyeleksi yang buruk-buruk dari hasil buah kurma mereka, lalu mereka menyedekahkannya sebagai zakat mereka. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan”. (Al-Baqarah: 267)
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Sufyan ibnu Husain, dari Az-Zuhri. Ia mengatakan bahwa hadits ini disandarkan oleh Abul Walid dari Sulaiman ibnu Kasir, dari Az-Zuhri yang lafaznya berbunyi seperti berikut: “Rasulullah ﷺ melarang memungut kurma ju'rur (yang buruk) dan kurma yang telah kering sebagai sedekah (zakat).”
Imam An-Nasai meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur Abdul Jalil ibnu Humaid Al-Yahsubi, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah, tetapi ia tidak menyebutkan dari ayahnya, lalu ia menuturkan hadits yang serupa. Hal yang serupa telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Abdul Jalil.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abdullah ibnu Mugaffal sehubungan dengan ayat ini: “Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan”. (Al-Baqarah: 267) Ia mengatakan bahwa usaha yang dihasilkan oleh seorang muslim tidak ada yang buruk, tetapi janganlah ia menyedekahkan kurma yang berkualitas rendah dan uang dirham palsu serta sesuatu yang tidak ada kebaikan padanya (barang yang tak terpakai).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Hammad (yakni Ibnu Sulaiman), dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Siti Aisyah yang menceritakan: Pernah Rasulullah ﷺ mendapat kiriman daging dab (semacam biawak), maka beliau tidak mau memakannya dan tidak pula melarangnya. Aku (Siti Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami memberikannya kepada orang-orang miskin agar dimakan oleh mereka?" Beliau ﷺ menjawab, "Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah kalian makan." Kemudian ia meriwayatkan pula hal yang serupa dari Affan, dari Hammad ibnu Salamah; aku (Siti Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberikannya kepada orang-orang miskin (agar dimakan mereka)?" Beliau menjawab, "Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah kalian makan."
Ats-Tsauri meriwayatkan dari As-Suddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya: “Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al-Baqarah: 267) Ia mengatakan, "Seandainya seorang lelaki mempunyai suatu hak atas lelaki yang lain, lalu si lelaki yang berutang membayar utangnya itu kepada lelaki yang memiliki piutang, lalu ia tidak mau menerimanya, mengingat apa yang dibayarkan kepadanya itu berkualitas lebih rendah daripada miliknya yang dipinjamkan." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al-Baqarah: 267) Ibnu Abbas mengatakan, "Seandainya kalian mempunyai hak atas seseorang, lalu orang itu datang dengan membawa hak kalian yang kualitasnya lebih rendah daripada hak kalian, niscaya kalian tidak mau menerimanya karena kurang dari kualitas yang sebenarnya." Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa demikian pula makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al-Baqarah: 267) Maka bagaimana kalian rela memberikan kepadaku apa-apa yang kalian sendiri tidak rela bila buat diri kalian, hakku atas kalian harus dibayar dengan harta yang paling baik dan paling berharga pada kalian.”
Atsar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, dan ditambahkan dalam riwayat ini firman Allah ﷻ lainnya, yaitu: “Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai.” (Ali Imran: 92) Kemudian diriwayatkan pula hal yang serupal dari jalur Al-Aufi dan lain-lainnya dari Ibnu Abbas. Hal yang sama diriwayatkan pula tidak hanya oleh seorang imam saja.
Firman Allah ﷻ: “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al-Baqarah: 267)
Dengan kata lain, sekalipun Dia memerintahkan kepada kalian untuk bersedekah dengan harta kalian yang paling baik, pada kenyataannya Dia tidak memerlukannya. Dia Maha Kaya dari itu. Tidak sekali-kali Dia memerintahkan demikian melainkan hanya untuk berbagi rasa antara orang yang kaya dan orang yang miskin. Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj: 37) Allah Maha Kaya dari semua makhluk-Nya, sedangkan semua makhluk-Nya berhajat kepada-Nya.
Dia Maha Luas karunia-Nya, semua yang ada padanya tidak akan pernah habis. Maka barang siapa yang mengeluarkan suatu sedekah dari usaha yang baik (halal), perlu diketahui bahwa Allah Maha Kaya, Maha Luas pemberian-Nya, lagi Maha Mulia dan Maha Pemberi; maka Dia pasti akan membalasnya karena sedekahnya itu, dan Dia pasti akan melipatgandakan pahalanya dengan penggandaan yang banyak. Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Tuhan Yang Maha Kaya lagi tidak pernah zalim? Dia Maha Terpuji dalam semua perbuatan, ucapan, syariat,dan takdir-Nya. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Ayat 268
Firman Allah ﷻ: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan; sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dan karunia dari-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 268)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya setan mempunyai dorongan dalam diri anak Adam dan malaikat pun mempunyai dorongan pula (dalam dirinya). Adapun dorongan dari setan ialah dorongan yang menganjurkan kejahatan dan mendustakan kebenaran. Dan adapun dorongan dari malaikat adalah dorongan yang menganjurkan kepada kebaikan dan percaya kepada kebenaran. Maka barang siapa yang merasakan hal ini dalam dirinya, hendaklah ia mengetahui bahwa yang demikian itu adalah dari Allah, hendaklah ia memuji Allah; dan barang siapa yang merasakan selain dari itu, maka hendaklah ia meminta perlindungan (kepada Allah) dari godaan setan.
Kemudian Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan; sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dan karunia dari-Nya.” (Al-Baqarah: 268), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai di dalam kitab tafsir dari kitab sunnah masing-masing, dari Hannad ibnus Sirri. Ibnu Hibban mengetengahkannya pula di dalam kitab sahihnya dari Abu Ya'la Al-Mausuli, dari Hannad dengan lafal yang sama; Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Hadits ini bersumber dari Abul Ahwas (yakni Salam ibnu Salim).
Kami tidak mengenal hadits ini berpredikat marfu' kecuali dari hadisnya. Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan hadits ini di dalam kitab tafsirnya dari Muhammad ibnu Ahmad, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Mas'ud secara marfu' dengan lafal yang serupa. Akan tetapi, diriwayatkan oleh Mis'ar dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abul Ahwas (yaitu Auf ibnu Malik ibnu Nadlah), dari Ibnu Mas'ud, lalu ia menjadikannya sebagai perkataan Ibnu Mas'ud sendiri.
Makna firman-Nya: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan.” (Al-Baqarah: 268)
Maksudnya, menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan agar kalian kikir dengan harta yang ada di tangan kalian sehingga kalian tidak menginfakkannya di jalan yang diridai oleh Allah ﷻ dan menyuruh kalian berbuat fahsya (kekejian). (Al-Baqarah: 268) Selain setan mencegah kalian untuk berinfak dengan mengelabui kalian akan jatuh miskin karenanya, dia pun memerintahkan kalian untuk melakukan perbuatan maksiat, dosa-dosa, serta hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang bertentangan dengan akhlak yang mulia.
Firman Allah ﷻ: “Sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya.” (Al-Baqarah: 268) sebagai lawan dari apa yang dianjurkan oleh setan kepada kalian yang mendorong kepada perbuatan-perbuatan yang keji.
“Dan karunia.” (Al-Baqarah: 268) sebagai lawan dari kemiskinan yang ditakut-takutkan oleh setan kepada kalian.
“Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 268)
Ayat 269
Firman Allah ﷻ: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 269)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan mengenai Al-Qur'an, menyangkut nasikh dan mansukh-nya, muhkam dan mutasyabih-nya, muqaddam dan muakhkhar-nya, halal dan haramnya serta perumpamaan-perumpamaannya.
Juwaibir meriwayatkan dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas secara marfu', bahwa yang dimaksud dengan al-hikmah ialah Al-Qur'an, yakni tafsirnya. Diartikan demikian oleh Ibnu Abbas mengingat Al-Qur'an itu dibaca oleh orang yang bertakwa dan juga oleh orang yang fajir (berdosa). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, yang dimaksud dengan al-hikmah adalah benar dan tepat dalam perkataan.
Al-Laits ibnu Abu Salim meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 269) Yang dimaksud dengan hikmah bukanlah kenabian, melainkan ilmu, fiqih dan Al-Qur'an.
Abul Aliyah mengatakan, yang dimaksud dengan hikmah adalah takut kepada Allah, karena takut kepada Allah merupakan puncak dari hikmah.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Baqiyyah, dari Usman ibnu Zufar Al-Juhani, dari Abu Ammar Al-Asadi, dari Ibnu Mas'ud secara marfu': “Puncak hikmah adalah takut kepada Allah.”
Abul Aliyah, menurut salah satu riwayat yang bersumber darinya, mengatakan bahwa hikmah adalah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan pemahaman mengenainya.
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan bahwa hikmah adalah pemahaman.
Sedangkan menurut Abu Malik, hikmah adalah sunnah Rasul ﷺ.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Malik, bahwa Zaid ibnu Aslam pernah mengatakan bahwa hikmah adalah akal. Malik mengatakan, "Sesungguhnya terbetik di dalam hatiku bahwa hikmah itu adalah pengetahuan mengenai agama Allah dan merupakan perkara yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati manusia sebagai rahmat dan karunia-Nya. Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa engkau menjumpai seorang lelaki pintar dalam urusan duniawinya jika ia memperhatikannya, sedangkan engkau jumpai yang lainnya lemah dalam perkara duniawinya, tetapi berpengetahuan dalam masalah agama dan mendalaminya. Allah memberikan yang ini kepada lelaki yang pertama dan memberikan yang itu kepada lelaki yang kedua. Pada garis besarnya hikmah adalah pengetahuan mengenai agama Allah."
As-Suddi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hikmah dalam ayat ini adalah kenabian. Pendapat yang shahih sehubungan dengan arti hikmah ini adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, yaitu bahwa hikmah itu tidak khusus menyangkut kenabian saja, melainkan pengertian hikmah lebih umum dari itu, dan memang paling tinggi adalah kenabian.
Kerasulan lebih khusus lagi, tetapi pengikut para nabi memperoleh bagian dari kebaikan ini berkat mengikutinya. Seperti halnya yang disebut di dalam sebuah hadits yang isinya mengatakan: “Barang siapa yang hafal Al-Qur'an, berarti derajat kenabian telah berada di antara kedua pundaknya, hanya dia tidak diberi wahyu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Waki' ibnul Jarrah di dalam kitab tafsir-nya melalui Ismail ibnu Rafi, dari seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya, dari Abdullah ibnu Umar yang dianggap sebagai ucapannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' dan Yazid. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Abu Khalid), dari Qais (yaitu Ibnu Abu Hazim), dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak boleh ada iri hati kecuali dalam dua perkara, yaitu seorang lelaki yang dianugerahi harta oleh Allah, lalu ia menggunakannya untuk membela kebenaran; dan seorang lelaki yang dianugerahi hikmah oleh Allah, lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur periwayatan dari Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafal yang sama.
Ayat 269
Firman Allah ﷻ: “Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah: 269)
Yakni tiada yang dapat memanfaatkan pelajaran dan peringatan kecuali hanya orang yang mempunyai pemahaman dan akal, dengannya ia dapat memahami khitab (perintah) Allah ﷻ.
Dia memberikan hikmah, yaitu kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia syariat agama dan sifat bijak berupa kebenaran dalam setiap perkataan dan perbuatan kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak, sebab dengan sifat bijak, urusan dunia dan akhirat menjadi baik dan teratur. Adakah kebaikan yang melebihi hidayah Allah kepada seseorang sehingga dapat memahami hakikat segala sesuatu secara benar dan proporsional' Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat, sebab akal sehat yang tercerahkan dengan cahaya ketuhanan dapat mengetahui kebenaran hakiki tanpa dipengaruhi hawa nafsu. Maka sinarilah jiwa dengan cahaya ketuhanan bila ingin mendapat kebaikan yang banyak.
Dan apa pun infak yang kamu berikan, berupa harta atau lainnya, sedikit atau banyak, berdasar kewajiban atau anjuran Allah, atau nazar yang kamu janjikan, yaitu janji dengan mewajibkan diri melakukan suatu kebajikan yang tidak diwajibkan oleh Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka sungguh, Allah mengetahuinya, sebab Dia Maha Mengetahui segala apa yang kamu niatkan. Siapa yang tidak melaksanakan kewajiban infak dan tidak menepati janjinya, yaitu bernazar tetapi tidak melaksanakannya atau tidak memenuhi hak Allah, maka dia termasuk orang yang zalim, dan bagi orang zalim tidak ada seorang penolong pun yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah.
Allah akan memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Maksudnya, bahwa Allah mengaruniakan hikmah kebijaksanaan serta ilmu pengetahuan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-Nya, sehingga dengan ilmu dan dengan hikmah itu dia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara was-was setan dan ilham dari Allah ﷻ
Alat untuk memperoleh hikmah ialah akal yang sehat dan cerdas, yang dapat mengenal sesuatu berdasarkan dalil-dalil dan bukti-bukti, dan dapat mengetahui sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya. Barang siapa yang telah mencapai hikmah dan pengetahuan yang demikian itu berarti dia telah dapat membedakan antara janji Allah dan bisikan setan, lalu janji Allah diyakini dan bisikan setan dijauhi dan ditinggalkan.
Allah menegaskan bahwa siapa saja yang telah memperoleh hikmah dan pengetahuan semacam itu, berarti dia telah memperoleh kebaikan yang banyak, baik di dunia, maupun di akhirat kelak. Dia tidak mau menerima bisikan-bisikan jahat dari setan, bahkan dia menggunakan segenap panca indera, akal dan pengetahuannya untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang batil, mana yang petunjuk Allah dan mana yang bujukan setan, kemudian dia berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Pada akhir ayat ini Allah memuji orang yang berakal dan mau berpikir. Mereka selalu ingat dan waspada serta dapat mengetahui apa yang bermanfaat dan dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
HIKMAH
Ayat 269
“Dia menganugerahkan hikmah kepada barang siapa yang Dia kehendaki."
Hikmah lebih luas daripada ilmu, bahkan ujung dari ilmu adalah permulaan dari hikmah. Hikmah bisa juga diartikan mengetahui yang tersirat di belakang yang tersurat, menilikyang gaib dari melihat yang nyata, mengetahui akan kepastian ujung karena telah melihat pangkal. Ahli hikmah melihat “cewang di langit tanda panas, gabak di hulu tanda hujan". Perasaan ahli hikmah adalah halus. Karena, melihat alam maka ahli hikmah mengenal Tuhan. Sebab itu, dalam bahasa kita, hikmah disebut bijaksana, sedangkan ahli hikmah disebut bahasa Arab al-hakim adalah satu di antara Asma' Allah! Maka kekayaan yang paling tinggi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya ialah kekayaan hikmah itu.
Allah berfirman selanjutnya,"Dan barang-siapa yang diberi hikmah maka sesungguhnya dia telah diberi kekayaan yang banyak."
Ayat ini menunjukkan bahwasanya kekayaan yang sejati ialah hikmah yang diberikan Allah. Kecerdasan akal, keluasaan ilmu, ketinggian budi, kesanggupan menyesuaikan diri dengan masyarakat, itulah kekayaan yang sangat banyak. Betapapun orang menjadi kaya raya, jutawan yang harta bendanya berlimpah-limpah, kalau dia tidak dianugerahi oleh Allah dengan hikmah, samalah artinya dengan orang miskin sebab dia tidak sanggup dan tidak mempunyai pertimbangan yang sehat, buat apa harta bendanya itu akan dikeluarkannya.
“Tetapi tidaklah akan ingat melainkan orang-orang yang berpikiran dalam (yang mempunyai inti pikiran)."
Hanya orang yang mempunyai inti pikiranlah yang akan mengerti soal yang penting ini. Orang yang pikirannya hanya terhadap mengumpulkan benda, yang memandang bahwa kekayaan ialah kesanggupan mengum-pulkan harta belaka, tidaklah akan mengingat ini. Tujuan hidupnya telah berkisar dari Allah kepada harta. Sebab itu, hidupnya tidaklah akan memberi faedah dan manfaat kepada sesamanya manusia dan hari depannya pun akan gelap gulita, baik hari depan dunianya, apatah lagi hari depan akhiratnya.
Ayat 270
“Dan apa pun pembelanjaan yang kamu belanjakan, ataupun nadzar yang kamu nadzarkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya."
Tegasnya, apa pun macamnya belanja yang kamu belanjakan, dermakah atau zakat, bantuan untuk suatu pekerjaan bagi maslahat umum atau pertolongan kepada fakir miskin, memberi belanja kepada kaum keluarga dan lain-lain, baik kamu keluarkan dengan tulus ikhlas hatimu maupun guna kamu bangkit-bangkit dan menyakiti hati mereka, baikkarena Allah maupun karena mengharapkan puji sanjungan manusia, semuanya itu diketahui oleh Allah. Sebab itu, janganlah kamu lupa bahwa Allah selalu memperhatikan kamu dalam gerak-gerikmu.
“Dan bagi orang-orang yang aniaya tidaklah ada orang-orang yang akan menolong."
Maka, Allah lah yang Maha Mengetahui bagaimana sebenarnya niat hatimu ketika engkau memberikan bantuan kepada fakir miskin atau membelanjakan kalau kamu riya maka kamu telah aniaya kepada dirimu sendiri. Bantuanmu tidak diberi pahala di sisi Allah dan perbuatanmu tercela, dan orang lain tidak ada yang dapat menolong buat mengelakkan siksa Tuhan. Demikian juga nadzar yang telah kamu ucapkan, walaupun yang mendengar itu hanya telingamu dan hatimu sendiri saja, tetapi karena telah engkau persaksikan dengan Allah, Allah pun Mahatahu. Kalau nadzar itu tidak engkau penuhi, berdosalah engkau dan tidak pula ada orang lain yang dapat menolongmu jika tempelak Allah datang kepadamu.
***
Ayat 271
“Jika kamu tampakkan sedekah-sedekah itu, baguslah itu, dan jika kamu sembunyikan dia dan kamu berikan dia kepada orang-orang fakir maka itu pun terlebih baik lagi buat kamu."
Dengan ini teranglah bahwa memberikan sedekah, bantuan, sokongan harta benda dengan secara terang-terangan adalah pekerjaan yang bagus. Akan tetapi, pada taraf yang kedua, kalau hendak memberikan bantuan, zakat, sedekah kepada orang-orang yang miskin fakir, melarat, terlebih baik diberikan dengan secara rahasia. Memberikan sedekah untuk pembangunan agama yang lebih umum itu lebih baik dengan terang-terang. Misalnya mendirikan rumah sekolah agama, membangun rumah sakit, rumah pemeliharaan orang-orang miskin, menyelesaikan pembangunan masjid, pendeknya segala perbantuan amal akhirat, seumpama memberikan perbelanjaan bagi perkumpulan-perkumpulan agama, baguslah kalau diberikan dengan terang dan tampak. Meskipun kita menjaga supaya jangan sampai terjadi beramal karena riya, yang pada ayat di atas telah diancam, ada lagi maksud baik dari sedekah yang dilakukan secara terang-terangan, yaitu buat menarik orang-orang dermawan yang lain supaya sudi pula memberikan perbantuannya. Semuanya berlomba atas mengerjakan kebajikan.
“Dia akan menghapuskan sebagian dari dosa-dosa kamu." Sebab mungkin ada juga terperbuat kesalahan-kesalahan yang lain, maklumlah manusia tidak terlepas dari alpa dan lalai. Maka, dengan sebab membantu fakir miskin dengan diam-diam, melepaskan kesulitan orang yang kesusahan dengan diam-diam, dengan sembunyi, moga-moga dapatlah mengimbangi kelalaian dan kekurangan itu, bahkan menghapuskannya.
“Dan Allah atas apa-apa yang kamu kerjakan adalah amat teliti."
Artinya, di dalam melakukan sedekah itu, baik yang ditampakkan untuk menarik teman-teman yang lain bergotong-royong maupun memberikan secara rahasia agar terpelihara air muka orang yang dibantu, semuanya itu ditilik Allah dengan teliti. Sebab, dalam hal yang demikian setan bisa juga masuk. Bersedekah yang ditampakkan dengan maksud menarik teman-teman yang lain, bisa juga dibelokkan setan kepada riya mencari nama.
Selanjutnya, Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
Ayat 272
“Bukanlah kewajiban engkau memberi mereka petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki."
Janganlah disangka bahwa ayat ini sudah putus hubungannya dengan ayat yang sebelumnya.
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Syaibah, yang diterimanya dari Said bin Jubair (Tabi'in, murid Ibnu Abbas), Rasulullah ﷺ pernah bersabda.
“Tak usah kamu bersedekah kecuali kepada ahli seagama kamu."
Maka, turunlah ayat ini memberi tahu bahwa urusan memberi orang yang masih musyrik itu dengan petunjuk, bukanlah kewajiban kamu. Itu adalah hak Allah semata-mata. Adapun hak kamu ialah memberi bantuan kepada fakir miskin walaupun dia belum masuk Islam.
Ibnu Abi Hatim dan beberapa ahli riwayat yang lain menyatakan pula satu riwayat dari Ibnu Abbas. Dia mengatakan bahwa pernah Nabi memberi ingat kepada kami kalau-kalau hendak mengeluarkan sedekah, hendaklah kepada yang sesama Islam saja. Kemudian turunlah ayat ini memberi ingat kami.
Dan satu riwayat lagi dari Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas juga bahwasanya beberapa banyak dari sahabat Anshar mempunyai kaum keturunan dan sekeluarga, mereka itu belum Islam, sedangkan sahabat-sahabat Anshar itu takut-takut akan memberi sedekah kepada mereka, padahal mereka itu mau masuk Islam.
Dengan keterangan-keterangan sebab-sebab turun ayat ini menjadi jelas bahwa bukanlah semata-mata sesama Islam saja yang mesti diberi sedekah ataupun zakat, ataupun zakat fitrah. Orang yang belum islam, sebagai-mana musyrik di zaman Rasul ﷺ itu, yang diharapkan akan Islamnya, atau orang-orang Ahlul Kitab yang menjadi tetangga baik, sedangkan dia miskin. Mereka pun patut mendapat. Inilah yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Selanjutnya Allah berfirman, “Dan apa yang kamu belanjakan dari kekayaan kamu maka itu adalah untuk dirimu sendiri"
Ini adalah peringatan keras dari Allah kepada orang yang mampu. Kalau kamu ingin selamat, dermawanlah, murah tanganlah. Harta benda yang kamu berikan itu akan merapatkan silaturahimmu dengan orang-orang yang sengsara.
Lanjutan ayat, “Dan apa saja pun yang kamu belanjakan, janganlah selain mengharapkan wajah Allah" Tujuan cita-cita kepada puncaknya, yaitu karena Allah. Karena, kalau di dalam cita-cita terselip agak sedikit maksud yang lain, misalnya supaya dihargai oleh sesama manusia maka kadang-kadang orang yang berjuang dengan ikhlas itu tidak tampak oleh mata manusia. Yang baik dicita, diterima orang juga dengan salah. Apatah lagi dalam masyarakat sebagaimana sekarang ini, masyarakat yang mempunyai berbagai corak pandangan hidup. Berkorban, bersedekah, berbuat baik yang didasarkan karena mengharapkan wajah Allah, keridhaan Allah, hanya itulah yang akan dapat mengobat hati apabila kecewa. Sebab itu, di ujung ayat Allah menegaskan,
“Dan apa pun yang kamu belanjakan dari kekayaan, niscaya akan disempunnakan untuk kamu, dan tidaklah kamu akan dianiaya."
Kemudian itu, Allah menarik perhatian kaum yang beriman lagi mampu itu tentang satu kelompok masyarakat Mukmin yang wajib mendapat perhatian istimewa, yaitu,
Ayat 273
“Untuk orang-orang fakir yang telah terikat pada jalan Allah, yang tidak sanggup lagi berusaha di bumi, disangka oleh orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang kaya dan sangat menahan diri, engkau akan dapat mengenal mereka dengan tanda mereka. Mereka tidak meminta-minta kepada manusia memaksa-maksa."
Di zaman Rasulullah ﷺ di negeri Madinah itu (tempat seluruh surah al-Baqarah diturunkan) ada segolongan sahabat Rasulullah saw, yang diberi gelar Ahlus Shuffah, Kata setengah ahli riwayat, jumlah mereka sampai empat ratus orang, kata setengahnya lagi tidak sampai sebilangan itu, hanya di antara dua ratus dan tiga ratus orang saja. Mereka mempunyai tugas yang berat juga, yaitu memelihara dan menghafal tiap-tiap ayat yang turun. Di antara mereka ada yang lemah badannya sehingga tidak pula kuat buat turut pergi berperang, padahal dalam peperangan empat perlima dari ghanimah adalah hak mujahidin. Niscaya mereka tidak mendapat bagian itu sebab tidak sanggup pergi berperang. Maka, kata ahli tafsir, ayat ini turun untuk menarik perhatian dermawan-derma-wan Muslim supaya mereka ini diberi bantuan istimewa dan patut.
Sebab itu, orang-orang yang seperti ini dipaksa oleh pembagian pekerjaan menjadi miskin. Di sini, kita melihat lima keistimewaan dari golongan orang-orang.
1. Fakir-fakir yang telah terikat pada jalan Allah.
2. Yang tidak sanggup lagi berusaha di bumi.
3. Disangka mereka oleh orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orangyang kaya raya, dari sangat menahan diri.
4. Engkau akan dapat mengenal mereka pada tanda mereka.
5. Mereka tidak meminta-minta kepada manusia memaksa-maksa.
Kemudian di penutup ayat Allah berfirman,
“Maka apa pun kekayaan yang kamu belanjakan, sesungguhnya Allah amatlah mengetahuinya."
Demikianlah Allah memberikan bimbingan kepada kaum yang beriman agar mereka menjadi orang yang dermawan.
Ayat 274
“Orang-orang yang membelanjakan harta benda mereka malam dan siang secara rahasia dan tenang-tenangan maka untuk mereka adalah pahala di sisi Tuhan."
Hati mereka terbuka terus dan pintu rumah mereka terbuka, dan pundi-pundi uang mereka pun terbuka. Malam ataupun siang. Didahulukan di dalam ayat ini menyebut malam daripada siang karena ada orang yang kesusahan tengah malam mengetuk pintu rumahnya ataupun dia sendiri pun teringat membantu orang yang susah sehingga matanya tidak mau tidur. Malam hari pun dia berjalan juga untuk mengantarkan perbantuannya. Sedangkan malam dia begitu, apatah lagi pada siang hari. Dia pun memberikan secara rahasia kepada yang patut menerimanya ataupun secara terang-terangan karena patut terang-terang, tetapi jiwanya ialah jiwa yang selalu ingin memberi sebab jiwa itu telah tergembleng oleh iman. Sikapnya yang demikian disambut oleh Allah dengan janji, sedangkan janji Allah pasti benar bahwa dia akan diberi pahala, ganjaran, dunia dan akhirat, terutama di akhirat. Dan, dikuatkan Allah semangatnya, “Talaklah ada ketakutan atas mereka, dan tidaklah mereka akan berduka cita."
(ujung ayat 274)