Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلشَّيۡطَٰنُ
syaitan
يَعِدُكُمُ
(ia) menjanjikan kamu
ٱلۡفَقۡرَ
kemiskinan
وَيَأۡمُرُكُم
dan ia menyuruh kamu
بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ
dengan berbuat kejahatan
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعِدُكُم
Dia menjanjikan kamu
مَّغۡفِرَةٗ
ampunan
مِّنۡهُ
daripadanya
وَفَضۡلٗاۗ
dan karunia
وَٱللَّهُ
dan Allah
وَٰسِعٌ
Maha Luas
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
ٱلشَّيۡطَٰنُ
syaitan
يَعِدُكُمُ
(ia) menjanjikan kamu
ٱلۡفَقۡرَ
kemiskinan
وَيَأۡمُرُكُم
dan ia menyuruh kamu
بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ
dengan berbuat kejahatan
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعِدُكُم
Dia menjanjikan kamu
مَّغۡفِرَةٗ
ampunan
مِّنۡهُ
daripadanya
وَفَضۡلٗاۗ
dan karunia
وَٱللَّهُ
dan Allah
وَٰسِعٌ
Maha Luas
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia-Nya. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.
Tafsir
(Setan menjanjikan kemiskinan bagimu), artinya menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan sekiranya kamu mengeluarkan zakat, maka hendaklah waspada (dan menyuruh kamu berbuat kejahatan) bersifat kikir dan menahan zakat (sedangkan Allah menjanjikan kepadamu) dengan mengeluarkan nafkah itu (keampunan dari-Nya) terhadap dosa-dosamu (dan karunia), yakni rezeki sebagai penggantinya (dan Allah Maha Luas) karunia-Nya (lagi Maha Mengetahui) orang-orang yang suka mengeluarkan nafkah.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 267-269
Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dan karunia dari-Nya. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.
Ayat 267
Allah ﷻ memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfak. Yang dimaksud dengan infak dalam ayat ini ialah bersedekah. Menurut Ibnu Abbas, sedekah harus diberikan dari harta yang baik (yang halal) yang dihasilkan oleh orang yang bersangkutan.
Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan hasil usaha ialah berdagang; Allah telah memudahkan cara berdagang bagi mereka.
Menurut Ali dan As-Suddi, makna firman-Nya: “Dari hasil usaha kalian yang baik.” (Al-Baqarah: 267) Yakni emas dan perak, juga buah-buahan serta hasil panen yang telah ditumbuhkan oleh Allah di bumi untuk mereka.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk berinfak dari sebagian harta mereka yang baik, yang paling disukai dan paling disayang. Allah melarang mereka mengeluarkan sedekah dari harta mereka yang buruk dan jelek serta berkualitas rendah; karena sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya.” (Al-Baqarah: 267)
Yakni janganlah kalian sengaja memilih yang buruk-buruk. Seandainya kalian diberi yang buruk-buruk itu, niscaya kalian sendiri tidak mau menerimanya kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Allah Maha Kaya terhadap hal seperti itu dari kalian, maka janganlah kalian menjadikan untuk Allah apa-apa yang tidak kalian sukai.
Menurut pendapat yang lain, makna firman-Nya: “Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan darinya.” (Al-Baqarah: 267)
Yakni janganlah kalian menyimpang dari barang yang halal, lalu dengan sengaja mengambil barang yang haram, kemudian barang yang haram itu kalian jadikan sebagai infak kalian.
Sehubungan dengan ayat ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari As-Sabbah ibnu Muhammad, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah telah membagikan di antara kalian akhlak-akhlak kalian, sebagaimana Dia telah membagi-bagi di antara kalian rezeki-rezeki kalian. Dan sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada semua orang, baik yang disukai-Nya ataupun yang tidak disukai-Nya. Tetapi Allah tidak memberikan agama kecuali kepada orang yang disukai-Nya. Maka barang siapa yang dianugerahi agama oleh Allah, berarti Allah mencintainya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seorang hamba masih belum Islam sebelum kalbu dan lisannya Islam, dan masih belum beriman sebelum tetangga-tetangganya merasa aman dari ulahnya. Mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Nabi Allah, apakah yang dimaksud dengan bawa'iqahu?" Nabi ﷺ menjawab, "Tipuan dan perbuatan zalimnya. Dan seorang hamba mencari usaha dari cara yang diharamkan, lalu ia menginfakkannya maka ia tidak akan mendapat berkah dari infaknya itu. Dan bila ia menyedekahkannya, maka sedekahnya tidak akan diterima darinya. Dan bila ia meninggalkannya di belakang punggungnya (yakni menyimpannya), maka hartanya itu kelak akan menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapus keburukan dengan keburukan lagi, melainkan Dia menghapus keburukan dengan kebaikan. Sesungguhnya keburukan itu tidak dapat menghapuskan keburukan lain."
Akan tetapi, pendapat yang shahih adalah pendapat yang pertama tadi.
Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Umar Al-Abqari, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Asbat, dari As-Suddi, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib sehubungan dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan.” (Al-Baqarah: 267), hingga akhir ayat.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Anshar. Dahulu orang-orang Anshar apabila tiba masa panen buah kurma, mereka mengeluarkan buah kurma yang belum masak benar (yang disebut busr) dari kebun kurmanya. Lalu mereka menggantungkannya di antara kedua tiang masjid dengan tali, yaitu di masjid Rasul. Maka orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin makan buah kurma itu. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan mereka (kaum Anshar) dengan sengaja mencampur kurma yang buruk dengan busr (agar tidak kelihatan), ia menduga bahwa hal itu diperbolehkan. Maka turunlah firman Allah berkenaan dengan orang yang berbuat demikian, yaitu:
“Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan.” (Al-Baqarah: 267)
Ibnu Jarir, Ibnu Majah, dan Ibnu Mardawaih serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui As-Suddi, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra meriwayatkan hal yang serupa. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini berpredikat shahih dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengetengahkan hadits ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Israil, dari As-Suddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al-Baqarah: 267)
Al-Barra mengatakan, "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami (kalangan Anshar); di antara kami ada orang-orang yang memiliki kebun kurma. Kami biasa menginfakkan sebagian dari hasil buah kurmanya sesuai dengan kadar yang dimilikinya; ada yang banyak, dan ada yang sedikit. Lalu ada seorang lelaki (dari kalangan Anshar) datang dengan membawa buah kurma yang buruk, lalu menggantungkannya di masjid.
Sedangkan golongan suffah (fakir miskin) tidak mempunyai makanan; seseorang di antara mereka apabila lapar datang, akan memukulkan tongkatnya pada gantungan buah kurma yang ada di masjid, maka berjatuhanlah darinya buah kurma yang belum matang dan yang berkualitas rendah, lalu memakannya. Di antara orang-orang yang tidak menginginkan kebaikan memberikan sedekahnya berupa buah kurma yang buruk dan yang telah kering dan belum masak, untuk itu ia datang dengan membawa buah kurmanya yang buruk dan menggantungkannya di masjid.
Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya' (Al-Baqarah: 267)."
Al-Barra ibnu Azib mengatakan, "Seandainya seseorang di antara kalian diberi hadiah buah kurma seperti apa yang biasa ia berikan, niscaya dia tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya dengan perasaan malu. Maka sesudah itu kami selalu datang dengan membawa hasil yang paling baik yang ada padanya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darimi, dari Ubaidillah (yaitu Ibnu Musa Al-Absi), dari Israil, dari As-Suddi (yaitu Ismail ibnu Abdur Rahman), dari Abu Malik Al-Gifari yang namanya adalah Gazwan, dari Al-Barra, lalu ia mengetengahkan hadits yang serupa. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Kasir, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ melarang menyedekahkan dua jenis kurma, yaitu ju'rur dan habiq (kurma yang buruk dan kurma yang sudah kering). Tersebutlah bahwa pada mulanya orang-orang menyeleksi yang buruk-buruk dari hasil buah kurma mereka, lalu mereka menyedekahkannya sebagai zakat mereka. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan”. (Al-Baqarah: 267)
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Sufyan ibnu Husain, dari Az-Zuhri. Ia mengatakan bahwa hadits ini disandarkan oleh Abul Walid dari Sulaiman ibnu Kasir, dari Az-Zuhri yang lafaznya berbunyi seperti berikut: “Rasulullah ﷺ melarang memungut kurma ju'rur (yang buruk) dan kurma yang telah kering sebagai sedekah (zakat).”
Imam An-Nasai meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur Abdul Jalil ibnu Humaid Al-Yahsubi, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah, tetapi ia tidak menyebutkan dari ayahnya, lalu ia menuturkan hadits yang serupa. Hal yang serupa telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Abdul Jalil.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abdullah ibnu Mugaffal sehubungan dengan ayat ini: “Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian infakkan”. (Al-Baqarah: 267) Ia mengatakan bahwa usaha yang dihasilkan oleh seorang muslim tidak ada yang buruk, tetapi janganlah ia menyedekahkan kurma yang berkualitas rendah dan uang dirham palsu serta sesuatu yang tidak ada kebaikan padanya (barang yang tak terpakai).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Hammad (yakni Ibnu Sulaiman), dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Siti Aisyah yang menceritakan: Pernah Rasulullah ﷺ mendapat kiriman daging dab (semacam biawak), maka beliau tidak mau memakannya dan tidak pula melarangnya. Aku (Siti Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami memberikannya kepada orang-orang miskin agar dimakan oleh mereka?" Beliau ﷺ menjawab, "Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah kalian makan." Kemudian ia meriwayatkan pula hal yang serupa dari Affan, dari Hammad ibnu Salamah; aku (Siti Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberikannya kepada orang-orang miskin (agar dimakan mereka)?" Beliau menjawab, "Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah kalian makan."
Ats-Tsauri meriwayatkan dari As-Suddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya: “Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al-Baqarah: 267) Ia mengatakan, "Seandainya seorang lelaki mempunyai suatu hak atas lelaki yang lain, lalu si lelaki yang berutang membayar utangnya itu kepada lelaki yang memiliki piutang, lalu ia tidak mau menerimanya, mengingat apa yang dibayarkan kepadanya itu berkualitas lebih rendah daripada miliknya yang dipinjamkan." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al-Baqarah: 267) Ibnu Abbas mengatakan, "Seandainya kalian mempunyai hak atas seseorang, lalu orang itu datang dengan membawa hak kalian yang kualitasnya lebih rendah daripada hak kalian, niscaya kalian tidak mau menerimanya karena kurang dari kualitas yang sebenarnya." Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa demikian pula makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.” (Al-Baqarah: 267) Maka bagaimana kalian rela memberikan kepadaku apa-apa yang kalian sendiri tidak rela bila buat diri kalian, hakku atas kalian harus dibayar dengan harta yang paling baik dan paling berharga pada kalian.”
Atsar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, dan ditambahkan dalam riwayat ini firman Allah ﷻ lainnya, yaitu: “Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai.” (Ali Imran: 92) Kemudian diriwayatkan pula hal yang serupal dari jalur Al-Aufi dan lain-lainnya dari Ibnu Abbas. Hal yang sama diriwayatkan pula tidak hanya oleh seorang imam saja.
Firman Allah ﷻ: “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al-Baqarah: 267)
Dengan kata lain, sekalipun Dia memerintahkan kepada kalian untuk bersedekah dengan harta kalian yang paling baik, pada kenyataannya Dia tidak memerlukannya. Dia Maha Kaya dari itu. Tidak sekali-kali Dia memerintahkan demikian melainkan hanya untuk berbagi rasa antara orang yang kaya dan orang yang miskin. Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj: 37) Allah Maha Kaya dari semua makhluk-Nya, sedangkan semua makhluk-Nya berhajat kepada-Nya.
Dia Maha Luas karunia-Nya, semua yang ada padanya tidak akan pernah habis. Maka barang siapa yang mengeluarkan suatu sedekah dari usaha yang baik (halal), perlu diketahui bahwa Allah Maha Kaya, Maha Luas pemberian-Nya, lagi Maha Mulia dan Maha Pemberi; maka Dia pasti akan membalasnya karena sedekahnya itu, dan Dia pasti akan melipatgandakan pahalanya dengan penggandaan yang banyak. Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Tuhan Yang Maha Kaya lagi tidak pernah zalim? Dia Maha Terpuji dalam semua perbuatan, ucapan, syariat,dan takdir-Nya. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Ayat 268
Firman Allah ﷻ: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan; sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dan karunia dari-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 268)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya setan mempunyai dorongan dalam diri anak Adam dan malaikat pun mempunyai dorongan pula (dalam dirinya). Adapun dorongan dari setan ialah dorongan yang menganjurkan kejahatan dan mendustakan kebenaran. Dan adapun dorongan dari malaikat adalah dorongan yang menganjurkan kepada kebaikan dan percaya kepada kebenaran. Maka barang siapa yang merasakan hal ini dalam dirinya, hendaklah ia mengetahui bahwa yang demikian itu adalah dari Allah, hendaklah ia memuji Allah; dan barang siapa yang merasakan selain dari itu, maka hendaklah ia meminta perlindungan (kepada Allah) dari godaan setan.
Kemudian Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan; sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dan karunia dari-Nya.” (Al-Baqarah: 268), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai di dalam kitab tafsir dari kitab sunnah masing-masing, dari Hannad ibnus Sirri. Ibnu Hibban mengetengahkannya pula di dalam kitab sahihnya dari Abu Ya'la Al-Mausuli, dari Hannad dengan lafal yang sama; Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Hadits ini bersumber dari Abul Ahwas (yakni Salam ibnu Salim).
Kami tidak mengenal hadits ini berpredikat marfu' kecuali dari hadisnya. Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan hadits ini di dalam kitab tafsirnya dari Muhammad ibnu Ahmad, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Mas'ud secara marfu' dengan lafal yang serupa. Akan tetapi, diriwayatkan oleh Mis'ar dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abul Ahwas (yaitu Auf ibnu Malik ibnu Nadlah), dari Ibnu Mas'ud, lalu ia menjadikannya sebagai perkataan Ibnu Mas'ud sendiri.
Makna firman-Nya: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan.” (Al-Baqarah: 268)
Maksudnya, menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan agar kalian kikir dengan harta yang ada di tangan kalian sehingga kalian tidak menginfakkannya di jalan yang diridai oleh Allah ﷻ dan menyuruh kalian berbuat fahsya (kekejian). (Al-Baqarah: 268) Selain setan mencegah kalian untuk berinfak dengan mengelabui kalian akan jatuh miskin karenanya, dia pun memerintahkan kalian untuk melakukan perbuatan maksiat, dosa-dosa, serta hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang bertentangan dengan akhlak yang mulia.
Firman Allah ﷻ: “Sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya.” (Al-Baqarah: 268) sebagai lawan dari apa yang dianjurkan oleh setan kepada kalian yang mendorong kepada perbuatan-perbuatan yang keji.
“Dan karunia.” (Al-Baqarah: 268) sebagai lawan dari kemiskinan yang ditakut-takutkan oleh setan kepada kalian.
“Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 268)
Ayat 269
Firman Allah ﷻ: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 269)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan mengenai Al-Qur'an, menyangkut nasikh dan mansukh-nya, muhkam dan mutasyabih-nya, muqaddam dan muakhkhar-nya, halal dan haramnya serta perumpamaan-perumpamaannya.
Juwaibir meriwayatkan dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas secara marfu', bahwa yang dimaksud dengan al-hikmah ialah Al-Qur'an, yakni tafsirnya. Diartikan demikian oleh Ibnu Abbas mengingat Al-Qur'an itu dibaca oleh orang yang bertakwa dan juga oleh orang yang fajir (berdosa). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, yang dimaksud dengan al-hikmah adalah benar dan tepat dalam perkataan.
Al-Laits ibnu Abu Salim meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 269) Yang dimaksud dengan hikmah bukanlah kenabian, melainkan ilmu, fiqih dan Al-Qur'an.
Abul Aliyah mengatakan, yang dimaksud dengan hikmah adalah takut kepada Allah, karena takut kepada Allah merupakan puncak dari hikmah.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Baqiyyah, dari Usman ibnu Zufar Al-Juhani, dari Abu Ammar Al-Asadi, dari Ibnu Mas'ud secara marfu': “Puncak hikmah adalah takut kepada Allah.”
Abul Aliyah, menurut salah satu riwayat yang bersumber darinya, mengatakan bahwa hikmah adalah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan pemahaman mengenainya.
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan bahwa hikmah adalah pemahaman.
Sedangkan menurut Abu Malik, hikmah adalah sunnah Rasul ﷺ.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Malik, bahwa Zaid ibnu Aslam pernah mengatakan bahwa hikmah adalah akal. Malik mengatakan, "Sesungguhnya terbetik di dalam hatiku bahwa hikmah itu adalah pengetahuan mengenai agama Allah dan merupakan perkara yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati manusia sebagai rahmat dan karunia-Nya. Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa engkau menjumpai seorang lelaki pintar dalam urusan duniawinya jika ia memperhatikannya, sedangkan engkau jumpai yang lainnya lemah dalam perkara duniawinya, tetapi berpengetahuan dalam masalah agama dan mendalaminya. Allah memberikan yang ini kepada lelaki yang pertama dan memberikan yang itu kepada lelaki yang kedua. Pada garis besarnya hikmah adalah pengetahuan mengenai agama Allah."
As-Suddi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hikmah dalam ayat ini adalah kenabian. Pendapat yang shahih sehubungan dengan arti hikmah ini adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, yaitu bahwa hikmah itu tidak khusus menyangkut kenabian saja, melainkan pengertian hikmah lebih umum dari itu, dan memang paling tinggi adalah kenabian.
Kerasulan lebih khusus lagi, tetapi pengikut para nabi memperoleh bagian dari kebaikan ini berkat mengikutinya. Seperti halnya yang disebut di dalam sebuah hadits yang isinya mengatakan: “Barang siapa yang hafal Al-Qur'an, berarti derajat kenabian telah berada di antara kedua pundaknya, hanya dia tidak diberi wahyu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Waki' ibnul Jarrah di dalam kitab tafsir-nya melalui Ismail ibnu Rafi, dari seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya, dari Abdullah ibnu Umar yang dianggap sebagai ucapannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' dan Yazid. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Abu Khalid), dari Qais (yaitu Ibnu Abu Hazim), dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak boleh ada iri hati kecuali dalam dua perkara, yaitu seorang lelaki yang dianugerahi harta oleh Allah, lalu ia menggunakannya untuk membela kebenaran; dan seorang lelaki yang dianugerahi hikmah oleh Allah, lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur periwayatan dari Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafal yang sama.
Ayat 269
Firman Allah ﷻ: “Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah: 269)
Yakni tiada yang dapat memanfaatkan pelajaran dan peringatan kecuali hanya orang yang mempunyai pemahaman dan akal, dengannya ia dapat memahami khitab (perintah) Allah ﷻ.
Setan, baik dari kalangan jin maupun manusia, selalu berusaha menjanjikan dengan cara membisiki dan menakuti kemiskinan kepadamu, misalnya dengan bersedekah harta akan berkurang, atau bahkan akan membuatmu terpuruk dalam kemiskinan, dan sebagainya. Dan setan juga selalu menyuruh kamu berbuat keji, yaitu segala sesuatu yang dianggap sangat buruk oleh akal sehat, budaya, agama, dan naluri manusia, antara lain kikir. Itulah ulah setan yang selalu menghalangi manusia untuk berbuat kebaikan, sedangkan Allah menjanjikan ampunan, sebab setiap sedekah yang kita keluarkan akan menghapuskan dosa. Dan selain itu Allah juga menjanjikan akan menambah karunia-Nya kepadamu jika kamu berinfak, sebab harta tidak berkurang dengan disedekahkan, justru sedekah akan menambah berkahnya. Bukan hanya itu, sedekah dan kedermawanan akan menghilangkan kecemburuan dan penyakit sosial lainnya di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan menciptakan stabilitas sehingga kegiatan perekonomian akan semakin produktif dan karunia Allah bertambah. Dan Allah Mahaluas ampunan, anugerah dan rahmat-Nya, Maha Mengetahui siapa yang berhak menerima itu semuaDia memberikan hikmah, yaitu kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia syariat agama dan sifat bijak berupa kebenaran dalam setiap perkataan dan perbuatan kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak, sebab dengan sifat bijak, urusan dunia dan akhirat menjadi baik dan teratur. Adakah kebaikan yang melebihi hidayah Allah kepada seseorang sehingga dapat memahami hakikat segala sesuatu secara benar dan proporsional' Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat, sebab akal sehat yang tercerahkan dengan cahaya ketuhanan dapat mengetahui kebenaran hakiki tanpa dipengaruhi hawa nafsu. Maka sinarilah jiwa dengan cahaya ketuhanan bila ingin mendapat kebaikan yang banyak.
.
Setan selalu menakut-nakuti orang yang berinfak dan membujuk mereka agar bersifat bakhil dan kikir. Setan membayangkan kepada mereka bahwa berinfak atau bersedekah akan menghabiskan harta benda dan akan menyebabkan mereka menjadi miskin dan sengsara. Oleh sebab itu harta benda mereka harus disimpan untuk persiapan di hari depan.
Menafkahkan barang yang jelek, dan keengganan untuk menafkahkan barang yang baik, oleh Allah disebut sebagai suatu kejahatan, bukan kebajikan, karena orang yang bersifat demikian berarti mempercayai setan dan tidak mensyukuri nikmat Allah serta tidak percaya akan kekayaan Allah dan kekuasaan-Nya untuk memberi tambahan rahmat kepadanya.
Allah menjanjikan kepada hamba-Nya melalui rasul-Nya, untuk memberikan ampunan atas kesalahan-kesalahan yang banyak, terutama dalam masalah harta benda. Karena sudah menjadi tabiat manusia mencintai harta benda sehingga berat baginya untuk menafkahkannya.
Selain menjanjikan ampunan, Allah juga menjanjikan kepada orang yang berinfak akan memperoleh ganti dari harta yang dinafkahkannya. Di dunia dia akan memperoleh kemuliaan dan nama baik di kalangan masyarakatnya karena keikhlasannya dalam berinfak atau dengan bertambahnya harta yang masih tersisa. Di akhirat kelak dia akan menerima pahala yang berlipat ganda.
Dalam hubungan ini Allah berfirman:
.. Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik. (Saba'/34:39)
Berinfak adalah salah satu cara untuk bersyukur. Maka orang yang berinfak dengan ikhlas adalah orang yang bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan harta benda itu kepadanya dan Dia akan menambah rahmat-Nya kepada orang tersebut. Firman-Nya:
?Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat. (Ibrahim/14:7)
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan suatu hadis, yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tidak ada suatu hari di mana hamba-hamba Allah berada pada pagi hari, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari malaikat itu berdoa, "Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menginfakkan (harta bendanya) ganti." Dan malaikat yang satu lagi berdoa, "Berikanlah kepada orang yang enggan (menginfakkan hartanya) kemusnahan." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan "ganti" dari harta yang dinafkahkan itu ialah: Allah akan memudahkan jalan baginya untuk memperoleh rezeki, dan dia mendapatkan kehormatan dalam masyarakat. Sedang yang dimaksud dengan "kemusnahan" ialah bahwa harta bendanya itu habis tanpa memberikan faedah kepadanya.
Pada akhir ayat ini Allah ﷻ mengingatkan bahwa Dia Mahaluas rahmat dan karunia-Nya memberikan ampunan dan ganti dari harta yang dinafkahkan itu. Allah Maha Mengetahui apa yang dinafkahkan hamba-Nya, sehingga Dia tidak akan menyia-nyiakannya, bahkan akan diberinya pahala yang baik.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 267
“Wahai, orang-orang yang beriman! Belanjakan sebagian dari hasil-hasil usaha kamu yang baik-baik, dan dari apa yang telah Kami keluarkan untuk kamu dari bumi."
Pengetahuan pertama yang kita dapat dari ayat ini ialah bahwa orang yang beriman itu tentu suka berusaha. Orang yang beriman tidak mau menganggur, membuang-buang waktu. Segala macam usaha yang halal termasuklah ke dalamnya, termasuk juga bercocok tanam dan bertani, bersawah dan berladang. Maka, hasil yang baik-baik dari usaha-usaha dan pertanian itu hendaklah dibelanjakan atau dinafkahkan. Kemudian dijelaskan lagi apa yang dimaksud dengan baik-baik itu, “Dan janganlah kamu pilih-pilih yang buruk darinya, lalu kamu belanjakan!' Untuk menimbang apa yang baik-baik itu dan apa pemberian yang buruk yang tercela itu disuruh mengukur dengan sendiri kalau awak diberi orang, artinya kalau kamu sendiri yang menerima pemberian dari orang lain, “Dan kamu pun tidaklah akan menerimanya melainkan dengan memejamkan mata kamu." Artinya, ketika memberikan barang itu kepada orang lain, taksirlah dan ukurlah kepada diri sendiri, bagaimana perasaan kita jika engkau diberi orang barang seperti itu? Adakah kamu senang menerima atau kamu terima hanya lantaran terpaksa saja, menerima dengan memicingkan mata karena kurang senang kepada barang itu?
Di penutup ayat, berfirmanlah Allah,
“Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Terpuji."
Allah Mahakaya! Ingatlah ini ketika kamu memberikan apa-apa kepada orang lain, sehingga hatinya terbuka memilih yang baik-baik untuk diberikan kepada yang patut diberi. Allah Maha Terpuji! Sebab Dia selalu membantumu dengan memberikan rezeki yang baik-baik.
Selanjutnya, Allah berfirman,
Ayat 268
“Setan mempertakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji. Sedang Allah adalah menyediakan ampunan dari-Nya dan karunia."
Pangkal ayat ini mempertunjukkan perjuangan batin orang yang dianjurkan membelanjakan harta benda pada jalan Allah. Setiap harta akan dibelanjakan, setan selalu hendak campur tangan, “Jangan banyak-banyak, nanti habis, apa lagi yang akan tinggal di tanganmu! Berikan saja yang buruk-buruk, tentu akan diterimanya juga, dan yang baik-baik simpan untuk dirimu sendiri. Jangan terlalu banyak memberi kalau tidak akan disebut-sebut orang," dan sebagainya. Bahkan mulai saja kelihatan orang membawa lis derma masuk ke pekarangan rumah awak, setan sudah mulai berbisik, “Tuh, datang lagi dia, minta sokongan lagi, minta derma lagi. Lari saja ke dalam, masuk saja ke kamar, dan suruh pelayan mengatakan kepada orang itu bahwa tuan rumah sedang sakit atau sedang keluar kota!" Orang yang beriman tentu lekas sadar ketika mendapat rayuan dari setan itu, “Aku tidak mau memperturutkan tipu dayamu, hai setan! Aku orang beriman, Tuhanku telah menjanjikan bahwa jika aku seorang pemurah, Allah pun pemurah pula untuk mengampuni dosa-dosaku dan Allah akan memberiku karunia berlipat ganda." Mula-mula hal ini sebagai latihan, akhirnya iman yang menang, sehingga pemurah, dermawan, suka memberi telah menjadi perangai dan adat maka naiklah derajat iman,
“Dan Allah adalah Mahaluas (pintu rezeki terbuka), lagi Maha Mengetahui."
Tentu janji Allah-lah yang benar sebab Allah Mahaluas, pintu rezeki terbuka, dan Allah Maha Mengetahui apa karunia yang akan ditimpakan-Nya kepada hamba-Nya yang dermawan itu selanjutnya, sedangkan setan tidak membawa kepada keluasan dan tidak membawa kepada ilmu.