Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تُبۡطِلُواْ
kamu merusakkan
صَدَقَٰتِكُم
sedekahmu
بِٱلۡمَنِّ
dengan umpatan
وَٱلۡأَذَىٰ
dan gunjingan
كَٱلَّذِي
seperti orang yang
يُنفِقُ
(ia) menafkahkan
مَالَهُۥ
hartanya
رِئَآءَ
riya (ingin dilihat)
ٱلنَّاسِ
manusia
وَلَا
dan tidak
يُؤۡمِنُ
ia beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِۖ
akhirat
فَمَثَلُهُۥ
maka perumpamaannya
كَمَثَلِ
seperti
صَفۡوَانٍ
batu licin
عَلَيۡهِ
atasnya
تُرَابٞ
tanah/debu
فَأَصَابَهُۥ
kemudian menimpanya
وَابِلٞ
hujan lebat
فَتَرَكَهُۥ
maka ia meninggalkan
صَلۡدٗاۖ
bersih
لَّا
tidak
يَقۡدِرُونَ
mereka menguasai
عَلَىٰ
atas
شَيۡءٖ
sesuatu
مِّمَّا
dari apa yang
كَسَبُواْۗ
mereka usahakan
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
Dia memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تُبۡطِلُواْ
kamu merusakkan
صَدَقَٰتِكُم
sedekahmu
بِٱلۡمَنِّ
dengan umpatan
وَٱلۡأَذَىٰ
dan gunjingan
كَٱلَّذِي
seperti orang yang
يُنفِقُ
(ia) menafkahkan
مَالَهُۥ
hartanya
رِئَآءَ
riya (ingin dilihat)
ٱلنَّاسِ
manusia
وَلَا
dan tidak
يُؤۡمِنُ
ia beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِۖ
akhirat
فَمَثَلُهُۥ
maka perumpamaannya
كَمَثَلِ
seperti
صَفۡوَانٍ
batu licin
عَلَيۡهِ
atasnya
تُرَابٞ
tanah/debu
فَأَصَابَهُۥ
kemudian menimpanya
وَابِلٞ
hujan lebat
فَتَرَكَهُۥ
maka ia meninggalkan
صَلۡدٗاۖ
bersih
لَّا
tidak
يَقۡدِرُونَ
mereka menguasai
عَلَىٰ
atas
شَيۡءٖ
sesuatu
مِّمَّا
dari apa yang
كَسَبُواْۗ
mereka usahakan
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
Dia memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batalkan sedekah-sedekahmu), maksudnya pahala-pahalanya (dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan) si penerima hingga menjadi hapus (seperti orang), maksudnya seperti batalnya nafkah orang yang (menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia) maksudnya ingin mendapatkan pujian manusia (dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari yang akhir) yakni orang munafik (Maka perumpamaannya adalah seperti sebuah batu licin yang bertanah di atasnya, lalu ditimpa oleh hujan lebat) (hingga menjadi licin tandas) tanpa tanah dan apa-apa lagi di atasnya. (Mereka tidak menguasai). Kalimat ini untuk menyatakan tamsil keadaan orang munafik yang menafkahkan hartanya dengan tujuan beroleh pujian manusia. Dhamir atau kata ganti manusia di sini menunjukkan jamak, mengingat makna 'alladzii' juga mencakupnya (suatu pun dari hasil usaha mereka) yang telah mereka kerjakan, maksudnya pahalanya di akhirat, tak ubahnya bagai batu licin yang ditimpa hujan hingga tanahnya habis dihanyutkan air. (Dan Allah tidak menunjukkan orang-orang yang kafir).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 262-264
Orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang diinfakkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghapuskan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Ayat 262
Allah ﷻ memuji orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi kebaikan dan sedekah yang telah mereka infakkan dengan menyebut-nyebutnya kepada orang yang telah mereka beri. Dengan kata lain, mereka tidak menyebutkan amal infaknya itu kepada seorang pun dan tidak pula mengungkapkannya, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
Firman Allah ﷻ: “Dan tidak (pula) menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-Baqarah: 262)
Dengan kata lain, mereka tidak melakukan perbuatan yang tidak disukai terhadap orang yang telah mereka santuni, yang akibatnya kebaikan mereka menjadi terhapuskan pahalanya karena perbuatan tersebut. Kemudian Allah ﷻ menjanjikan kepada mereka pahala yang berlimpah atas perbuatan yang baik tanpa menyakiti hati si penerima itu, melalui firman-Nya:
“Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.” (Al-Baqarah: 262)
Yakni pahala mereka atas tanggungan Allah, bukan atas tanggungan seseorang selain-Nya.
“Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka.” (Al-Baqarah: 262)
Maksudnya, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, yaitu kengerian di hari kiamat.
“Dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 262)
Yaitu tidak bersedih hati atas sanak keluarga yang mereka tinggalkan, tidak pula atas kesenangan dunia dan gemerlapnya yang terluputkan. Sama sekali mereka tidak menyesalinya, karena mereka telah beralih kepada keadaan yang jauh lebih baik bagi mereka daripada semuanya itu.
Ayat 263
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Perkataan yang baik.” (Al-Baqarah: 263)
Yang dimaksud ialah kalimat yang baik dan doa buat orang muslim.
“Dan pemberian maaf.” (Al-Baqarah: 263)
Yakni memaafkan dan mengampuni perbuatan zalim yang ditujukan terhadap dirinya, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
“Lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan.” (Al-Baqarah: 263)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah ku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail yang menceritakan bahwa ia pernah belajar mengaji kepada Ma'qal ibnu Abdullah, dari Amr ibnu Dinar yang mengatakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Tiada suatu sedekah pun yang lebih disukai oleh Allah selain ucapan yang baik.” Tidakkah kamu mendengar firman-Nya yang mengatakan: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya” (Al-Baqarah: 263). Yakni tidak membutuhkan makhluk-Nya. “Lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 263) Yaitu penyantun, pengampun, pemaaf, dan membiarkan (kesalahan) mereka.
Banyak hadits yang menyebutkan larangan menyebut-nyebut pemberian sedekah.
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui hadits Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Sulaiman ibnu Misar, dari Kharsyah ibnul Hur, dari Abu Dzar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tiga macam orang yang Allah tidak mau berbicara kepada mereka di hari kiamat dan tidak mau memandang mereka serta tidak mau menyucikan mereka (dari dosa-dosanya) dan bagi mereka azab yang pedih, yaitu orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, orang yang suka memanjangkan kainnya, dan orang yang melariskan dagangannya melalui sumpah dusta.”
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Us'man ibnu Muhammad Ad-Dauri, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Uqbah, dari Yunus ibnu Maisarah, dari Abu Idris, dari Abu Darda, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Tidak dapat masuk surga orang yang menyakiti (kedua orang tuanya), orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, orang yang gemar minuman keras, dan orang yang tidak percaya kepada takdir.”
Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula hal yang serupa melalui hadits Yunus ibnu Maisarah.
Kemudian Ibnu Mardawaih, Ibnu Hibban, Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, dan Imam An-Nasai melalui hadits Abdullah ibnu Yasar Al-A'raj, dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tiga macam orang, Allah tidak mau memandang kepada mereka di hari kiamat, yaitu orang yang menyakiti kedua orang tuanya, orang yang gemar minum khamr (minuman keras), dan orang yang suka menyebut-nyebut apa yang telah diberikannya.”
Imam An-Nasai meriwayatkan dari Malik ibnu Sa'd, dari pamannya yang bernama Rauh ibnu Ubadah, dari Attab ibnu Basyir, dari Khasif Al-Jarari, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Tidak dapat masuk surga orang yang gemar minuman khamr, orang yang menyakiti kedua orang tuanya, dan orang yang menyebut-nyebut pemberiannya.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan ibnul Minhal, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Assar Al-Mausuli, dari Attab, dari Khasif, dari Mujahid, dari ibnu Abbas; Imam An-Nasai meriwayatkan pula dari hadits Abdul Karim ibnu Malik Al-Huri, dari Mujahid perkataannya. Hadits ini diriwayatkan pula dari Mujahid, dari Abu Sa'id dan dari Mujahid, dari Abu Hurairah dengan lafal yang serupa.
Ayat 264
Karena itulah Allah ﷻ berfirman dalam ayat yang lain yang bunyinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghapuskan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-Baqarah: 264)
Dengan ayat ini Allah ﷻ memberitahukan bahwa amal sedekah itu pahalanya terhapus bila diiringi dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerimanya. Karena dengan menyebut-nyebut sedekah dan menyakiti hati penerimanya, maka pahala sedekah menjadi terhapus oleh dosa keduanya.
Dalam ayat selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia.” (Al-Baqarah: 264)
Dengan kata lain, janganlah kalian menghapus pahala sedekah kalian dengan perbuatan manna (menyebut-nyebut pemberian) dan aza (menyakiti hati penerima). Perbuatan riya juga membatalkan pahala sedekah, yakni orang yang menampakkan kepada orang banyak bahwa sedekah yang dilakukannya adalah karena mengharapkan rida Allah, padahal hakikatnya ia hanya ingin dipuji oleh mereka atau dirinya menjadi terkenal sebagai orang yang memiliki sifat yang terpuji, supaya orang-orang hormat kepadanya; atau dikatakan bahwa dia orang yang dermawan dan niat lainnya yang berkaitan dengan tujuan duniawi, tanpa memperhatikan niat ikhlas karena Allah dan mencari rida-Nya serta pahala-Nya yang berlimpah. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:
“Dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)
Perumpamaan ini dibuatkan oleh Allah ﷻ untuk orang yang pamer (riya) dalam berinfak.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa orang yang mengiringi infaknya dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti perasaan penerimanya, perumpamaannya disebut oleh firman Allah ﷻ:
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin.” (Al-Baqarah: 264)
Lafal safwan adalah bentuk jamak dari safwanah. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa lafal safwan dapat digunakan untuk makna tunggal pula yang artinya sofa, yakni batu yang licin.
“Yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat.” (Al-Baqarah: 264)
Yang dimaksud dengan wabilun ialah hujan yang besar.
“Lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).” (Al-Baqarah: 264)
Dengan kata lain, hujan yang lebat itu membuat batu licin yang dikenainya bersih dan licin, tidak ada sedikit tanah pun tertinggal padanya, melainkan semuanya lenyap tak berbekas. Demikian pula halnya amal orang yang riya (pamer), pahalanya lenyap dan menyusut di sisi Allah, sekalipun orang yang bersangkutan menampakkan amal perbuatannya di mata orang banyak seperti tanah (karena banyaknya amal).
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 264)
Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir! Janganlah kamu merusak yaitu menghilangkan pahala sedekahmu de-ngan menyebut-nyebutnya di hadapan yang diberi dan menyakiti perasaan penerima, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Jangan keberatan atau protes hilangnya pahala sedekahmu itu, sebab yang kamu lakukan dan menyebabkan pahala hilang itu keadaannya sama seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria, pamer, kepada manusia untuk mendapat pujian, nama baik atau kepentingan sesaat lainnya, dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir seperti yang dilakukan orang munafik. Perumpamaannya, yakni orang yang pamrih itu, sungguh mencengangkan, seperti batu yang licin, sangat bersih, tidak dinodai apa pun dan tidak sedikit pun retak, yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi, tidak meninggalkan sedikit pun tanah atau debu. Seperti halnya tanah yang subur dan produktif itu hilang dari batu yang licin karena diterpa hujan deras, begitu pula pahala sedekah akan hilang karena perbuatan ria dan menyakiti. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Tidak ada sedikit pun yang dapat diambil manfaatnya. Dan itulah sifat-sifat kaum kafir, maka hindarilah, sebab Allah tidak memberi petunjuk kebaikan kepada orang-orang kafir, antara lain mereka yang mengkufuri nikmat-Nya dan tidak mensyukuri-NyaDan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari rida dan pahala dari Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka dalam rangka melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, seperti pemilik sebuah kebun yang subur, hijau dengan pepohonan dan menghasilkan buah-buahan yang baik yang terletak di dataran tinggi sehingga mendapat sinar matahari dan udara yang cukup. Selain itu, semakin tinggi sebuah dataran, akan semakin jauh dari sumber air yang mengakibatkan akar tumbuh-tumbuhan menjadi semakin memanjang. Serabut yang berfungsi menyerap makanan pun menjadi banyak, sehingga makanan yang membentuk zat hijau daun (klorofil) menjadi banyak pula. Dengan demikian, pohon itu menjadi produktif menghasilkan buah. Tempat kebun itu berada di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat yang tercurah langsung dari langit; sebagiannya diserap oleh tanah tempat akar-akar tumbuhan menghunjam, sebagian lainnya yang tidak dibutuhkan mengalir ke bawah dan ditampung oleh yang membutuhkannya. Selain sebagai sumber makanan, hujan yang deras itu juga berfungsi melunakkan zat-zat yang diperlukan tumbuhan, membersihkannya dari zat-zat yang menghambat pertumbuhan dan menjaga hama. Maka tidak heran jika kemudian kebun itu menghasilkan buahbuahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun atau hujan gerimis dengan sedikit angin yang lembut pun memadai, sebab tanahnya subur dan berada di ketinggian yang memungkinkan untuk menghasilkan buah dengan baik. Begitulah, infak yang dikeluarkan dengan hati yang ikhlas, sedikit atau banyak, akan diterima dan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Yang dapat mengenali niat dan yang disembunyikan seseorang hanya Allah, sebab Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan, dan mengetahui antara yang ikhlas dalam beramal dengan niat ria.
Orang-orang yang beriman agar jangan sampai melenyapkan pahala infak atau sedekah mereka karena menyertainya dengan kata-kata yang menyakitkan hati atau dengan menyebut-nyebut infak yang telah diberikan itu.
Infak atau sedekah bertujuan untuk menghibur dan meringankan penderitaan fakir-miskin, dan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Itulah sebabnya, maka sedekah tidak boleh disebut-sebut, atau disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati si penerimanya.
Apabila sedekah tersebut disertai dengan kata-kata semacam itu, maka tujuan utama dari sedekah tersebut, yaitu untuk menghibur dan meringankan penderitaan, tidak akan tercapai. Sebab itu Allah melarangnya, dan menegaskan bahwa sedekah semacam itu tidak akan mendapatkan pahala.
Orang yang bersedekah karena ria, sama halnya dengan orang yang melakukan ibadah salat dengan ria. Ibadah salatnya tidak akan mendapat pahala, dan tidak mencapai tujuan yang dimaksud. Sebab tujuan salat adalah menghadapkan segenap hati dan jiwa kepada Allah ﷻ serta mengagungkan kebesaran dan kekuasaan-Nya, dan memanjatkan syukur atas segala rahmat-Nya. Sedang orang yang salat karena riya, perhatiannya bukan tertuju kepada Allah, melainkan kepada orang yang diharapkan akan memuji dan menyanjungnya.
Sifat riya adalah tabiat yang tidak baik. Sebagian orang ingin dipuji dan disanjung atas suatu kebajikan yang dilakukannya. Orang yang bersedekah yang mengharapkan pujian dan terima kasih dari yang menerima sedekah atau dari orang lain, bila pada suatu ketika dia merasa kurang dipuji dan kurang ucapan terima kasih kepadanya dari si penerima atau kurang penghargaan si penerima terhadap sedekahnya, dia akan merasa sangat kecewa. Dalam keadaan demikian, sangat besar kemungkinan dia akan mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan si penerima, sehingga sedekahnya tidak akan mendatangkan pahala di sisi Allah. Orang yang bertabiat semacam ini sesungguhnya tidaklah beriman kepada Allah dan hari akhirat. Sedekah semacam itu adalah seperti debu di atas batu yang licin; apabila datang hujan lebat maka debu itu hilang lenyap tak berbekas.
Demikian pula halnya sedekah yang diberikan karena ria, tidak akan mendatangkan pahala apa pun di akhirat nanti, sebab amalan itu tidak dilakukan untuk mencapai rida Allah, melainkan karena mengharapkan pujian manusia semata. Dengan demikian dia tidak memperoleh hasil apa pun, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia dia tidak mendapatkan hasil apa-apa dari sedekahnya itu, karena sedekah yang disertai dengan ria atau perkataan yang menyakitkan hati hanya akan menimbulkan kebencian masyarakat kepadanya, sedang di akhirat, dia tidak memperoleh pahala dari sisi Allah, karena ria dan kata-kata yang tidak menyenangkan itu telah menghapuskan pahala amalnya. Allah ﷻ memberikan pahala hanya kepada orang-orang yang beramal dengan ikhlas, ingin menyucikan diri dan memperbaiki keadaan mereka, dan semata-mata mengharapkan rida-Nya.
Allah memberikan perumpamaan bagi sedekah yang disertai riya dan umpatan seperti erosi tanah yang berada di atas batu. Erosi adalah proses hilangnya tanah dari permukaan bumi pada umumnya karena terangkut oleh aliran air. Semakin besar curah hujan yang jatuh, maka akan semakin banyak dan cepat partikel tanah yang ter-erosi. Proses pembentukan tanah di atas batuan terjadi dalam waktu yang lama, tetapi oleh hujan yang lebat lapisan tanah itu dapat dengan mudah dan cepat terangkut dan hilang dari permukaan batu. Jika tanah di atas batu telah hilang, maka batu merupakan pertikel yang tidak dapat menumbuhkan tumbuhan. Perumpamaan demikian menggambarkan bahwa orang yang dengan susuah payah mengumpilkan harta, lalu bersedekah tetapi sedekah itu disertai ria dan umpatan, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa, baik manfaat, pahala maupun rida Allah dari apa yang disedekahkannya itu.
Kebiasaan membagi-bagikan uang kepada peminta-minta yang biasa berkerumun di depan masjid selepas salat Jumat atau salat Id, atau di tempat lain di samping tampak sebagai sedekah dan perbuatan sosial terhadap orang miskin, juga mempunyai efek yang kurang baik bahkan mungkin juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan ria. Kebiasaan ini justru akan mengundang orang yang tidak kita kenal datang ke tempat-tempat ibadah hanya untuk meminta-minta, bukan untuk ikut beribadah, sehingga hari raya Islam itu hanya merupakan hari pameran kemiskinan di mana-mana. Ada sebuah masjid yang pimpinannya melarang jemaahnya bersedekah kepada pengemis-pengemis yang biasa datang berkerumun di pintu-pintu masjid kota itu. Ternyata cara ini berhasil, karena kemudian memang tak seorang pun yang datang ke masjid itu untuk meminta-minta. Orang miskin dan kaum duafa seharusnya menjadi tanggung jawab bersama mereka yang mampu. Kita bersyukur bahwa sekarang sudah ada lembaga-lembaga yang dibentuk khusus untuk menghadapi masalah ini.
Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir, karena petunjuk itu berdasarkan iman. Iman itulah yang membimbing seseorang kepada keikhlasan beramal, dan menjaga diri dari perbuatan dan ucapan yang dapat merusak amalnya, serta melenyapkan pahalanya. Maka dalam ayat ini terdapat sindiran, bahwa sifat ria dan kata-kata yang tidak menyenangkan itu adalah sebagian dari sifat dan perbuatan orang-orang kafir yang harus dijauhi oleh orang-orang mukmin.
Banyak hadis Rasulullah ﷺ yang mencela sedekah yang disertai dengan ucapan yang menyakitkan hati. Imam Muslim meriwayatkan hadis berikut dari Abu dzarr, Rasulullah ﷺ bersabda:
Ada tiga macam orang yang pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan berbicara dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka, dan tidak akan menyucikan mereka dari dosa, dan mereka akan mendapat azab yang pedih, yaitu orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya apabila dia memberikan sesuatu, dan orang yang suka memakai sarungnya terlalu ke bawah sampai menyapu tanah karena congkaknya, dan orang yang berusaha melariskan dagangannya dengan sumpah yang bohong. (Riwayat Muslim dari Abu dzarr)
Imam an-Nasa'i juga meriwayatkan suatu hadis dari Ibnu Umar, dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:
Tidak akan masuk surga orang yang selalu minum khamr, dan tidak pula orang yang durhaka terhadap ibu-bapaknya, dan tidak pula orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya. (Riwayat an-Nasa'i dari Ibnu 'Abbas).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 264
“Wahai, orang-orang yang beriman! Janganlah kamu rusakkan sedekah kamu dengan membangkit-bangkit dan menyakiti."
Terlebih dahulu Allah menyebut tuah dari manusia yang diseru dengan ayat ini, yaitu orang yang beriman. Dengan menyebut itu terlebih dahulu, dapatlah orang merasakan, kalau dia mengaku beriman, membangkit-bangkit dan menyakiti pihak yang diberi sedekah adalah merusakkan sedekah itu sendiri. Shadaqah (sedekah), baik kepada orang yang perlu dibantu maupun pada jalan lain, yakni keperluan-keperluan umum untuk pembangunan masyarakat Islam, gunanya ialah untuk membantu dan untuk menunjukkan kesucian hati. Tidak untuk yang lain. Maka, kalau dimulai membangkit-bangkit atau menyakiti, niscaya habislah arti sedekah itu. Lebih baik tidak memberi, tetapi dengan budi yang baik, daripada memberi, tetapi dihamun dicerca-kan. Maka, kalau telah ditentukan oleh Allah sedekah itu telah rusak karena dirusakkan sendiri oleh yang memberikannya dengan membangkit-bangkit dan memaki, apa artinya lagi? “.Sebagaimana orang yang membelanjakan hartanya dalam keadaan riya terhadap manusia, dan tidak dia beriman kepada Allah dan Hari Kemudian." Dengan lanjutan ini sudah terang bahwa membangkit dan menyakiti orang yang diberi bukanlah sedekah orang yang beriman, melainkan sedekah orang yang riya, yaitu orang beramal karena mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia, mencari nama dan sebagainya. Dia memberi bukan karena Allah, melainkan memasang reklame. Terutama sebagaimana di zaman kita sekarang ini; surat-surat kabar dapat menyiarkan berita si anu menderma sekian juta. Orang seperti ini berderma bukanlah karena percaya kepada Allah dan Hari Kemudian. Sehingga, kalau datanglah orang di satu waktu memohonkan bantuannya, tetapi tidak akan tersiar di surat-surat kabar, tidaklah dia akan memberi, dan kalaupun diberinya, hanyalah pemberian yang menambah sakit hati saja. Untuk perbuatan foya-foya, dia berderma sepuluh juta dan langsung masuk ke surat-surat kabar, sedangkan untuk mendirikan sebuah rumah sakit dalam dakwah Islam diberinya saja 500 ribu rupiah, itu pun dengan berjanji berulang-ulang dan dijemput berulang-ulang.
“Perumpamaan orang ini adalah laksana satu batu tandus yang di atasnya ada tanah-debu, lalu dia ditimpa oleh hujan lebat maka jadilah dia licin."
Suatu perumpamaan yang amat jitu dari Allah; hati orang yang seperti ini diumpamakan dengan sebuah batu besar yang tandus, yang walaupun ada tanah di atas datarannya, hanyalah tanah-debu dibawa angina. Karena, itu, tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di atas tanah singgah itu bukanlah tumbuh-tumbuhan yang bisa berurat ke bawah sebab yang menanti di bawahnya hanya batu belaka. Kemudian datanglah hujan yang sangat lebat. Maka, tanah yang tertumpuk di atas batu tandus itu pun disapu habis oleh air, turut mengalir dengan air hujan itu ke bawah sehingga batu itu menjadi licin kembali. Kalaupun ada terkumpul pula tanah di sana kemudiannya, tidaklah diharap dia akan menumbuhkan apa-apa sebab hujan akan datang pula membersihkan tanah itu dari atas batu itu dan dia pun akan licin kembali."Tidaklah mereka berdaya sesuatu pun atas apa yang telah mereka usahakan itu." Artinya, janganlah mengharapkan hasil baik dari batu licin, tandus, dan gersang. Memang dasar untuk tumbuh urat itu benarlah yang tidak ada padanya.
Yang dimaksud di sini ialah penderma-penderma yang menghamun, mencerca sedekah itu, membangkit-bangkitkan dan menyakiti, walaupun berulang-ulang dia memberi sedekah, samalah saja dengan berulang-ulang tumbuh rumput di atas tanah yang disinggahkan angin di atas batu gersang tadi, hartanya keluar, tetapi nilainya di sisi Allah dan di sisi manusia tidak ada.
Di dunia kian lama nilainya kian jatuh, sedangkan di akhirat tidak mendapat pahala dari Allah. Sehingga, satu waktu dia akan dijadikan orang catatan, dijadikan peringatan, “Jangan meminta bantuan kepadanya. Dia suka membangkit dan menyakiti."
Penutup ayat,
“Dan Allah tidaklah memberikan petunjuk kepada orang yang kafir."
Teranglah bahwa kalau dia tidak dipuji, dia akan berhenti bersedekah. Walaupun dia mengakui beragama Islam, sudah sama saja keadaannya dengan orang yang kafir. Kian lama dia akan kian hanyut, petunjuk tidak akan datang. Sebab itu, harta bendanya tidak akan membawa berkah baginya.
Sebaliknya,
Ayat 265
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta benda mereka karena mengharapkan ridha Allah dan untuk meneguhkan (keyakinan) dalam diri mereka, adalah laksana sebuah kebun di tanah subur, ditimpa dia oleh hujan maka datanglah hasilnya berlipat dua."
Orang-orang yang mengeluarkan harta benda karena mengharapkan ridha Allah, sebab insaf bahwa benda itu adalah semata-mata pemberian Allah kepadanya. Dia insaf bahwa dia hanya sebagai saluran saja dari
Allah untuk menyampaikan bantuan Tuhan kepada hamba-Nya dan dia merasa berbahagia sekali karena dapat berbuat baik. Di kala memberikan bantuan kepada orang yang susah, dibawanyalah perbandingan kepada dirinya sendiri bahwa Allah pun Mahakuasa membuat nasibnya jelek sebagaimana nasib orang yang dibantunya itu. Dahulu, ketika dia lahir ke dunia, tidaklah dia membawa apa-apa. Sekarang, dia telah hidup berusaha; usahanya itu diberi hasil oleh Allah, padahal banyak orang lain berusaha pula, tetapi belum diberi hasil. Tanda syukurnya kepada Allah, dia pun sudi mengeluarkan hartanya, dan lagi, memberikan bantuan kepada orang lain atau kepada maslahat umum itu diambilnya untuk menambah teguh keyakinan dalam dirinya sendiri. Sebab, setiap dia memberi, tiap terasa pula olehnya kepalanya menjadi ringan, pikirannya terbuka. Tidak pernah dia merasa bahwa dengan banyak memberi, dia menjadi rugi. Malahan bertambah banyak diperbuat muara, bertambah besarlah timbul hulunya.
Orang yang seperti ini diumpamakan kebun juga, tetapi kebun di tanah subur, sebagaimana lawan dari tanah yang diterbangkan angin ke atas batu tandus tadi, yang habis mengalir bersama air hujan, hingga licin kembali batu yang dia tinggalkan. Ini adalah kebun di tanah subur. Tanah yang subur ialah yang baik bunga tanahnya dan teratur pula embusan angin serta cahaya matahari menyinari tempat itu. Tanah yang memang subur ditimpa lagi oleh air hujan niscaya bertambah subur dan mendatangkan hasil lipat dua. Kesuburannya sendiri sebe-lum datang hujan telah mendatangkan hasil; sekarang turun pula hujan maka dia pun memberi hasil lagi lebih banyak, bahkan lipat dua."Maka walaupun dia tidak ditimpa hujan, hujan rintik pun jadilah!' Namun dia akan subur juga sebab memang dasarnya yang subur, bahkan embun yang turun tengah malam dan naik lagi ke udara apabila matahari mulai tinggi, sudah cukup juga.buat membasahinya.
“Dan Allah, atas apa yang kamu kerjakan adalah melihat."
Allah kemudian mempergunakan lagi suatu perumpamaan yang lebih menyinggung perasaan halus manusia, jika ia memang sudi mempergunakan perasaan, yaitu,
Ayat 266
“Adakah suka seseorang di antara kamu bahwa ada baginya sebuah kebun dari kurma dan anggun, yang mengalir padanya sungai-sungai, dan ada pula baginya di kebun itu berbagai macam buah-buahan."
Di pangkal ayat ini digambarkanlah suatu kebun yang sangat disukai oleh peladang dan petani. Di negeri tempat ayat diturunkan, di Tanah Arab dan seluruh Timur Tengah, kebun kurma dan anggur yang di dalamnya ada pula sungai mengalir, adalah kebun yang sangat dicita-citakan. Kadang-kadang dapat pula disisipi dengan buah-buahan yang lain. Kita pun dapatlah mengambil kias bandingan dengan kebun kelapa di Minahasa atau kebun karet di Kalimantan, atau sawah-sawah yang luas di Sulawesi yang cukup pengairannya, atau kebun cengkeh di Solok Sumatra Barat yang memberi hasil tiap pekan, dapat pembeli makanan dan pakaian.
“Dan dia pun telah dijelang tua, dan dia pun mempunyai anak-cucu yang lemah-lemah." Bertambah terasalah kepentingan kebun tadi; kebun satu-satunya yang telah diusahakan oleh seorang ayah di kala badannya masih kuat dan sekarang kebun itu telah memberi hasil, tetapi si ayah yang berusaha telah pula mulai tua. Hanya inilah satu-satunya yang diharapkan oleh orang tua itu, akan menjadi peninggalan kepada anak-cucunya yang melarat karena kekayaan lain tidak ada. Kalau kebun itu tidak ada lagi atau tidak memberikan hasil yang menyenangkan lagi, akan sengsaralah anak-cucu si tua itu. Tiba-tiba, “Maka menyeranglah kepadanya angin puting beliung" Artinya, sedang segala pengharapan, baik oleh si tua maupun anak-cucu sangat digantungkan kepada kebun satu-satunya yang subur itu, tiba-tiba datanglah angin puting beliung, yaitu angin yang berpusar-pusar dengan cepatnya, di se-tumpak tanah, lalu membongkari sekalian apa yang dilandanya. Kalau angin puling beliung itu beredar di laut, dia pun mengisap air ke udara, tiang kapal bisa dipatahkannya, bahkan perahu bisa diangkatnya dua-tiga meter ke udara dan kelak jatuh dan terbalik atau pecah. Kalau di darat, dia pun bisa membongkar pohon-pohon hingga tumbang, bahkan rumah-rumah bisa hancur, diangkat dan diterbangkannya."Yang padanya ada api." Angin itu pun membawa api atau ada api di dekat itu yang menjadi bertambah menyala oleh karena pusaran angin itu. Ketika angin itu saja yang berpusar, buah-buahan jadi gugur. Kalau ada pula api, segalanya akan terbakar."Maka terbakarlah (kebun itu)" Demikianlah Allah mengemukakan suatu perumpamaan yang seram atas sedekah yang rusak dan hancur, karena dihamun dicercakan, dibangkit-bangkit dan dijadikan sebab buat menyakiti orang yang dibantu atau pekerjaan yang disokong. Pikirkanlah bagaimana perasaan orang tua tadi, awak sudah tua dan anak-cucu pun banyak, tiba-tiba kebun harapan satu-satunya habis terbakar dengan tidak disangka-sangka. Akan dimulai lagi membuka kebun baru, tenaga pun tak ada lagi sebab awak sudah tua, sedangkan anak-cucu sudah melarat. Sampai demikianlah bahaya ngeri yang menimpa orang yang mengeluarkan harta benda karena riya, karena membangkit-bangkit dan menyakiti itu. Sangat berbeda dengan orang yang berkebun di tanah subur tadi. Di penutup ayat berfirmanlah Tuhan,
“Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu berpikir."
(ujung ayat 266)