Ayat
Terjemahan Per Kata
قَوۡلٞ
perkataan
مَّعۡرُوفٞ
yang baik
وَمَغۡفِرَةٌ
dan pemberian maaf
خَيۡرٞ
lebih baik
مِّن
daripada
صَدَقَةٖ
sedekah
يَتۡبَعُهَآ
ia mengiringinya
أَذٗىۗ
gunjingan
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَنِيٌّ
Maha Kaya
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
قَوۡلٞ
perkataan
مَّعۡرُوفٞ
yang baik
وَمَغۡفِرَةٌ
dan pemberian maaf
خَيۡرٞ
lebih baik
مِّن
daripada
صَدَقَةٖ
sedekah
يَتۡبَعُهَآ
ia mengiringinya
أَذٗىۗ
gunjingan
وَٱللَّهُ
dan Allah
غَنِيٌّ
Maha Kaya
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
Terjemahan
Perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.
Tafsir
(Perkataan yang baik) atau ucapan yang manis dan penolakan secara lemah lembut terhadap si peminta (serta pemberian maaf) kepadanya atas desakan atau tingkah lakunya (lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyakiti perasaan) dengan mencerca atau mengomelinya (Dan Allah Maha Kaya) hingga tidak menemukan sedekah hamba-hambanya (lagi Maha Penyantun) dengan menangguhkan hukuman terhadap orang yang mencerca dan menyakiti hati si peminta.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 262-264
Orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang diinfakkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghapuskan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Ayat 262
Allah ﷻ memuji orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi kebaikan dan sedekah yang telah mereka infakkan dengan menyebut-nyebutnya kepada orang yang telah mereka beri. Dengan kata lain, mereka tidak menyebutkan amal infaknya itu kepada seorang pun dan tidak pula mengungkapkannya, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
Firman Allah ﷻ: “Dan tidak (pula) menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-Baqarah: 262)
Dengan kata lain, mereka tidak melakukan perbuatan yang tidak disukai terhadap orang yang telah mereka santuni, yang akibatnya kebaikan mereka menjadi terhapuskan pahalanya karena perbuatan tersebut. Kemudian Allah ﷻ menjanjikan kepada mereka pahala yang berlimpah atas perbuatan yang baik tanpa menyakiti hati si penerima itu, melalui firman-Nya:
“Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.” (Al-Baqarah: 262)
Yakni pahala mereka atas tanggungan Allah, bukan atas tanggungan seseorang selain-Nya.
“Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka.” (Al-Baqarah: 262)
Maksudnya, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, yaitu kengerian di hari kiamat.
“Dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 262)
Yaitu tidak bersedih hati atas sanak keluarga yang mereka tinggalkan, tidak pula atas kesenangan dunia dan gemerlapnya yang terluputkan. Sama sekali mereka tidak menyesalinya, karena mereka telah beralih kepada keadaan yang jauh lebih baik bagi mereka daripada semuanya itu.
Ayat 263
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Perkataan yang baik.” (Al-Baqarah: 263)
Yang dimaksud ialah kalimat yang baik dan doa buat orang muslim.
“Dan pemberian maaf.” (Al-Baqarah: 263)
Yakni memaafkan dan mengampuni perbuatan zalim yang ditujukan terhadap dirinya, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
“Lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan.” (Al-Baqarah: 263)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah ku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail yang menceritakan bahwa ia pernah belajar mengaji kepada Ma'qal ibnu Abdullah, dari Amr ibnu Dinar yang mengatakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Tiada suatu sedekah pun yang lebih disukai oleh Allah selain ucapan yang baik.” Tidakkah kamu mendengar firman-Nya yang mengatakan: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya” (Al-Baqarah: 263). Yakni tidak membutuhkan makhluk-Nya. “Lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 263) Yaitu penyantun, pengampun, pemaaf, dan membiarkan (kesalahan) mereka.
Banyak hadits yang menyebutkan larangan menyebut-nyebut pemberian sedekah.
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui hadits Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Sulaiman ibnu Misar, dari Kharsyah ibnul Hur, dari Abu Dzar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tiga macam orang yang Allah tidak mau berbicara kepada mereka di hari kiamat dan tidak mau memandang mereka serta tidak mau menyucikan mereka (dari dosa-dosanya) dan bagi mereka azab yang pedih, yaitu orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, orang yang suka memanjangkan kainnya, dan orang yang melariskan dagangannya melalui sumpah dusta.”
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Us'man ibnu Muhammad Ad-Dauri, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Uqbah, dari Yunus ibnu Maisarah, dari Abu Idris, dari Abu Darda, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Tidak dapat masuk surga orang yang menyakiti (kedua orang tuanya), orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, orang yang gemar minuman keras, dan orang yang tidak percaya kepada takdir.”
Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula hal yang serupa melalui hadits Yunus ibnu Maisarah.
Kemudian Ibnu Mardawaih, Ibnu Hibban, Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, dan Imam An-Nasai melalui hadits Abdullah ibnu Yasar Al-A'raj, dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tiga macam orang, Allah tidak mau memandang kepada mereka di hari kiamat, yaitu orang yang menyakiti kedua orang tuanya, orang yang gemar minum khamr (minuman keras), dan orang yang suka menyebut-nyebut apa yang telah diberikannya.”
Imam An-Nasai meriwayatkan dari Malik ibnu Sa'd, dari pamannya yang bernama Rauh ibnu Ubadah, dari Attab ibnu Basyir, dari Khasif Al-Jarari, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Tidak dapat masuk surga orang yang gemar minuman khamr, orang yang menyakiti kedua orang tuanya, dan orang yang menyebut-nyebut pemberiannya.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan ibnul Minhal, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Assar Al-Mausuli, dari Attab, dari Khasif, dari Mujahid, dari ibnu Abbas; Imam An-Nasai meriwayatkan pula dari hadits Abdul Karim ibnu Malik Al-Huri, dari Mujahid perkataannya. Hadits ini diriwayatkan pula dari Mujahid, dari Abu Sa'id dan dari Mujahid, dari Abu Hurairah dengan lafal yang serupa.
Ayat 264
Karena itulah Allah ﷻ berfirman dalam ayat yang lain yang bunyinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghapuskan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al-Baqarah: 264)
Dengan ayat ini Allah ﷻ memberitahukan bahwa amal sedekah itu pahalanya terhapus bila diiringi dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerimanya. Karena dengan menyebut-nyebut sedekah dan menyakiti hati penerimanya, maka pahala sedekah menjadi terhapus oleh dosa keduanya.
Dalam ayat selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia.” (Al-Baqarah: 264)
Dengan kata lain, janganlah kalian menghapus pahala sedekah kalian dengan perbuatan manna (menyebut-nyebut pemberian) dan aza (menyakiti hati penerima). Perbuatan riya juga membatalkan pahala sedekah, yakni orang yang menampakkan kepada orang banyak bahwa sedekah yang dilakukannya adalah karena mengharapkan rida Allah, padahal hakikatnya ia hanya ingin dipuji oleh mereka atau dirinya menjadi terkenal sebagai orang yang memiliki sifat yang terpuji, supaya orang-orang hormat kepadanya; atau dikatakan bahwa dia orang yang dermawan dan niat lainnya yang berkaitan dengan tujuan duniawi, tanpa memperhatikan niat ikhlas karena Allah dan mencari rida-Nya serta pahala-Nya yang berlimpah. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:
“Dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)
Perumpamaan ini dibuatkan oleh Allah ﷻ untuk orang yang pamer (riya) dalam berinfak.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa orang yang mengiringi infaknya dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti perasaan penerimanya, perumpamaannya disebut oleh firman Allah ﷻ:
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin.” (Al-Baqarah: 264)
Lafal safwan adalah bentuk jamak dari safwanah. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa lafal safwan dapat digunakan untuk makna tunggal pula yang artinya sofa, yakni batu yang licin.
“Yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat.” (Al-Baqarah: 264)
Yang dimaksud dengan wabilun ialah hujan yang besar.
“Lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).” (Al-Baqarah: 264)
Dengan kata lain, hujan yang lebat itu membuat batu licin yang dikenainya bersih dan licin, tidak ada sedikit tanah pun tertinggal padanya, melainkan semuanya lenyap tak berbekas. Demikian pula halnya amal orang yang riya (pamer), pahalanya lenyap dan menyusut di sisi Allah, sekalipun orang yang bersangkutan menampakkan amal perbuatannya di mata orang banyak seperti tanah (karena banyaknya amal).
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 264)
Setelah menjelaskan pemberian berupa nafkah dan larangan menyebut-nyebutnya serta menyakiti hati yang diberi, ayat ini menekankan pentingnya ucapan yang menyenangkan dan pemberian maaf. Perkataan yang baik yang sesuai dengan budaya terpuji dalam suatu masyarakat, yaitu menolak dengan cara yang baik, tidak dengan cara menyakiti; dan pemberian maaf, yaitu memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari peminta, lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti dari pemberi. Allah Mahakaya, tidak memerlukan sedekah dari hamba-Nya yang disertai sikap menyakiti, bahkan tidak butuh kepada pemberian siapa pun, dan Maha Penyantun, sehingga tidak segera menjatuhkan sanksi dan murka kepada siapa yang durhaka kepada-Nya dengan harapan orang itu akan berubah sikapnya kemudian. Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir! Janganlah kamu merusak yaitu menghilangkan pahala sedekahmu de-ngan menyebut-nyebutnya di hadapan yang diberi dan menyakiti perasaan penerima, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Jangan keberatan atau protes hilangnya pahala sedekahmu itu, sebab yang kamu lakukan dan menyebabkan pahala hilang itu keadaannya sama seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria, pamer, kepada manusia untuk mendapat pujian, nama baik atau kepentingan sesaat lainnya, dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir seperti yang dilakukan orang munafik. Perumpamaannya, yakni orang yang pamrih itu, sungguh mencengangkan, seperti batu yang licin, sangat bersih, tidak dinodai apa pun dan tidak sedikit pun retak, yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi, tidak meninggalkan sedikit pun tanah atau debu. Seperti halnya tanah yang subur dan produktif itu hilang dari batu yang licin karena diterpa hujan deras, begitu pula pahala sedekah akan hilang karena perbuatan ria dan menyakiti. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Tidak ada sedikit pun yang dapat diambil manfaatnya. Dan itulah sifat-sifat kaum kafir, maka hindarilah, sebab Allah tidak memberi petunjuk kebaikan kepada orang-orang kafir, antara lain mereka yang mengkufuri nikmat-Nya dan tidak mensyukuri-Nya.
Orang yang tidak mampu bersedekah akan tetapi dia dapat mengucapkan kata-kata yang menyenangkan atau yang tidak menyakitkan hati, dan memaafkan orang lain adalah lebih baik dari orang yang bersedekah tetapi sedekahnya itu diiringi dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Apabila orang yang bersedekah tidak dapat menghindarkan diri dari mengucapkan kata-kata yang melukai perasaan atau menyebut-nyebut pemberian itu, baik ketika memberikan atau pun sesudahnya, lebih baik ia tidak bersedekah, tetapi tetap mengucapkan kata-kata yang baik dan menyenangkan kepada siapa saja yang berhubungan dengannya. Itu lebih baik daripada memberikan sesuatu yang disertai dengan caci-maki, dan sebagainya.
Pada akhir ayat ini Allah menyebutkan dua sifat di antara sifat-sifat kesempurnaan-Nya, "Mahakaya dan Maha Penyantun". Maksudnya ialah, Allah Mahakaya, sehingga Dia tidak memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menyumbangkan harta bendanya untuk kepentingan Allah, tetapi untuk kepentingan hamba itu sendiri yaitu membersihkan diri, dan menumbuhkan harta mereka, agar mereka menjadi bangsa yang kuat dan kompak, serta saling tolong-menolong.
Allah ﷻ tidak menerima sedekah yang disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati, karena Allah hanya menerima amal kebaikan yang dilakukan dengan cara-cara yang baik. Allah Maha Penyantun kepada hamba-Nya yang tidak menyertai sedekahnya dengan kata-kata yang menyakitkan, atau yang suka menyebut-nyebut sedekahnya setelah diserahkan atau ketika menyerahkannya. Oleh karena Allah Mahakaya dan Maha Penyantun, maka Allah kuasa pula untuk memberikan ganjaran dan pertolongan kepada hamba-Nya yang suka menafkahkan hartanya dengan ikhlas.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MENGORBANKAN HARTA
Ayat 261
“Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta benda mereka pada jalan Allah adalah laksana satu biji menumbuhkan tujuh …."
Ingatlah arai pinang atau arai kelapa. Kalau pada padi disebut tangkai."Pada tiap-tiap satu arai ada seratus biji." Dengan demikian, diberikanlah targhib bahwasanya satu kebajikan ditanamkan akan bergandalah hasilnya sampai tujuh kali seratus. Dengan demikian, dijelaskanlah bahwasanya pengorbanan harta menegakkan jalan Allah bukanlah merugikan, melainkan memberikan untung. Dimisalkan sebagai seorang hartawan-derma-wan mendirikan sebuah sekolah dasar dalam sebuah desa atau kampung yang miskin sehingga anak-anak tak usah belajar ke tempat jauh, dapat belajar di kampung mereka sendiri. Beratus anak dikirimkan orang menjadi murid tiap-tiap tahun dan beratus pula yang melanjutkan sekolahnya kepada yang lebih atas, dan beratus pula yang telah berkecimpung dalam masyarakat. Kadang-kadang orang yang mendirikan bermula itu telah lama meninggal, tetapi bekas tangannya sebuah rumah sekolah sebagai biji yang pertama, telah menghasilkan buah berpuluh ataupun beratus, bahkan beribu dari tahun ke tahun. Kalau Allah mengatakan bahwa hasil itu ialah tujuh ratus, bukanlah mesti persis tujuh ratus, melainkan beribu-ribu.
Yang dapat mengenal dan menginsafi hal ini tentu saja orang yang beriman. Adapun orang yang mementingkan diri sendiri dan diperbudak harta, yang dipandangnya hanyalah berat mengeluarkan yang sebiji dari dalam pundi-pundinya dan tidak diingatnya tujuh ratus laba keuntungan untuk membina jalan Allah yang akan dihasilkan oleh apa yang dikeluarkannya itu. Itu sebabnya, lanjutan ayat demikian bunyinya, “Dan Allah akan menggandakan (pahala) kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya." Padahal akan digandakan kepada barangsiapa yang dikehendaki. Artinya, sesudah yang tujuh ratus itu masih bisa dilipatgandakan lagi. Siapakah yang dikehendaki Allah buat digandakan pahalanya itu? Niscaya yang mengorbankan hartanya dengan ikhlas, bukan dengan riya dan bukan karena terpaksa dan segan-menyegan. Orang yang ikhlas itu menerima keuntungan dunia dan akhirat, berganda lipat, sehingga tidak sepadan besar pahala yang diterima dengan pengorbanan yang diberikan, sehingga timbul sesal mengapa hanya sebegitu aku berikan dahulu, padahal aku sanggup lebih.
“Dan Allah adalah Mahaluas, lagi Mengetahui."
Kemudian diterangkanlah adab sopan santun membelanjakan harta di jalan Allah.
Ayat 262
"Orang-orang yang membelanjakan benda-benda mereka pada jalan Allah, kemudian itu tidak mereka … apa yang telah mereka belanjakan itu dengan membangkit-bangkit dan tidak dengan menyakiti; untuk mereka pahala di sisi Tuhan meieka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Pada ayat ini dituntun budi orang yang berkorban harta untuk jalan Allah yang luas itu supaya pemberian yang telah diberikan jangan hendaknya dibangkit-bangkit. Ini karena seorang yang membangkit-bangkit kembali pemberian yang telah diberikannya, nyatalah bahwa dia tidak memberi karena Allah. Seumpama seseorang yang telah memberikan bantuan mendirikan sebuah tempat belajar agama. Satu kali dia telah memberi, tetapi belum mencukupi. Pekerjaan itu belum selesai. Lalu orang datang lagi meminta perbantuannya. Tiba-tiba disebut-sebutnya pemberiannya yang lama, mengapa datang lagi, padahal tempo hari saya sudah memberi bantuan. Padahal kalau dia suka seribu kali tidaklah ada salahnya.
Selanjutnya Allah berfirman,
Ayat 263
“Suatu kata-kata yang patut dan menutup (rahasia) lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyakiti; dan Allah adalah Mahakaya, lagiMahasabai."
Kadang-kadang sedang tidak ada yang dibantukan dan akan diberikan. Kadang-kadang keadaan diri sendiri sedang susah pula. Datang orang meminta bantu. Maka, bukanlah bantuan harta saja yang perlu bagi orang itu. Mulut manis dan kaya yang jujur kadang-kadang membuat hatinya puas juga walaupun dia tidak mendapat. Inilah yang dinarnai qaulun ma'rufun. Kata yang patut dan sopan, kata yang mengobat hati. Misalnya, “Saya sangat menyesal sekali kedatangan saudara kepada saya pada waktu ini terpaksa tidak berhasil sebab saya pun dalam kesusahan. Akan tetapi, sukakah saudara saya tolong dengan jalan lain? Bawalah surat kecil saya ini kepada si Fulan; pada pikiran saya dia dapat membantu saudara!" Itu pun sudah namanya pertolongan. Sebagaimana pepatah orang tua-tua kita, “Nasi dimakan akan habis, train dipakai akan lusuh, uang dibelanjakan akan habis. Akan tetapi, mulut yang manis dan budi bahasa yang baik lebih berkesan ke dalam hati daripada nasi, kain, dan uang." Kemudian dituntunkan lagi supaya menutup rahasia. Sebab, ada orang yang kadang-kadang amat malu membuka rahasia kesusahan hidupnya kepada orang lain. Kalau tidaklah sangat terdesak, tidaklah dia akan datang meminta bantuan kepada saudara. Dan, niscaya dia telah menduga-duga bahwa maksudnya tidak akan dihampakan. Kalau kejadian yang seperti itu dan saudara sanggup memberinya bantuan, berikanlah bantuan itu dengan diam-diam dan tutup rahasianya supaya jangan sampai ketahui orang lain bahwa dia pernah meminta bantuan kepada saudara. Biasakanlah mengirimkan pos wesel kepada orang yang patut dibantu dengan tidak menuliskan alamat sehingga dia sendiri pun tidak tahu dan mana dia mendapat bantuan. Di ujung ayat disebutkanlah sifat Allah bahwa Allah Mahakaya. Oleh sebab Allah Mahakaya, janganlah ragu-ragu membantu orang yang susah, pasti akan diganti Allah dengan yang lebih banyak. Disebut pula sifat Allah Mahasabar karena tidak lekas dinyata-kan-Nya hukuman-Nya kepada orang yang suka membangkit-bangkit dan menyakiti. Namun, lama-lama hukuman Allah itu akan datang juga. Orang-orang yang demikian, dengan tidak sadar, lama-lama akan bertukar menjadi budak dari hartanya, sesudah tadinya dia masih menguasai harta itu.