Ayat
Terjemahan Per Kata
لَآ
tidak ada
إِكۡرَاهَ
paksaan
فِي
dalam/untuk
ٱلدِّينِۖ
agama
قَد
sungguh
تَّبَيَّنَ
telah jelas
ٱلرُّشۡدُ
yang benar
مِنَ
dari
ٱلۡغَيِّۚ
yang sesat
فَمَن
maka barang siapa
يَكۡفُرۡ
(ia) ingkar
بِٱلطَّـٰغُوتِ
kepada Taghut (berhala)
وَيُؤۡمِنۢ
dan ia beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
فَقَدِ
maka sesungguhnya
ٱسۡتَمۡسَكَ
ia telah berpegang
بِٱلۡعُرۡوَةِ
dengan/kepada tali
ٱلۡوُثۡقَىٰ
yang teguh
لَا
tidak akan
ٱنفِصَامَ
putus
لَهَاۗ
baginya
وَٱللَّهُ
dan Allah
سَمِيعٌ
Maha Mendengar
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
لَآ
tidak ada
إِكۡرَاهَ
paksaan
فِي
dalam/untuk
ٱلدِّينِۖ
agama
قَد
sungguh
تَّبَيَّنَ
telah jelas
ٱلرُّشۡدُ
yang benar
مِنَ
dari
ٱلۡغَيِّۚ
yang sesat
فَمَن
maka barang siapa
يَكۡفُرۡ
(ia) ingkar
بِٱلطَّـٰغُوتِ
kepada Taghut (berhala)
وَيُؤۡمِنۢ
dan ia beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
فَقَدِ
maka sesungguhnya
ٱسۡتَمۡسَكَ
ia telah berpegang
بِٱلۡعُرۡوَةِ
dengan/kepada tali
ٱلۡوُثۡقَىٰ
yang teguh
لَا
tidak akan
ٱنفِصَامَ
putus
لَهَاۗ
baginya
وَٱللَّهُ
dan Allah
سَمِيعٌ
Maha Mendengar
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tafsir
(Tidak ada paksaan dalam agama), maksudnya untuk memasukinya. (Sesungguhnya telah nyata jalan yang benar dari jalan yang salah), artinya telah jelas dengan adanya bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang kuat bahwa keimanan itu berarti kebenaran dan kekafiran itu adalah kesesatan. Ayat ini turun mengenai seorang Ansar yang mempunyai anak-anak yang hendak dipaksakan masuk Islam. (Maka barang siapa yang ingkar kepada tagut), maksudnya setan atau berhala, dipakai untuk tunggal dan jamak (dan dia beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang teguh kuat) ikatan tali yang kokoh (yang tidak akan putus-putus dan Allah Maha Mendengar) akan segala ucapan (Maha Mengetahui) segala perbuatan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 256
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang salah. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat 256
Firman Allah ﷻ: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (Al-Baqarah: 256)
Maksudnya, janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya agama Islam itu sudah jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Karena itu, tidak perlu memaksakan seseorang agar memeluknya. Karena Allah-lah yang memberinya hidayah untuk masuk Islam, melapangkan dadanya, dan menerangi hatinya hingga ia masuk Islam dengan suka rela dan penuh kesadaran. Barang siapa yang hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci mati oleh-Nya, sungguh tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa. Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum dari kalangan Anshar, sekalipun hukum yang terkandung di dalamnya bersifat umum.
Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang wanita yang selalu mengalami kematian anaknya, maka ia bersumpah kepada dirinya sendiri, "Jika anakku hidup kelak, aku akan menjadikannya seorang Yahudi.”
Ketika Bani Nadir diusir dari Madinah, di antara mereka ada anak-anak dari kalangan Anshar. Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan menyeru anak-anak kami (untuk masuk Islam)." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang salah.” (Al-Baqarah: 256)
Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai meriwayatkan pula hadits ini, kedua-duanya meriwayatkannya dari Bandar dengan lafal yang sama. Sedangkan dari jalur-jalur yang lain diriwayatkan hal yang semakna dari Syu'bah. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui hadits Syu'bah dengan lafal yang sama. Hal yang sama disebutkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, dan Al-Hasan Al-Basri serta lain-lainnya, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad Al-Jarasyi, dari Zaid ibnu Sabit, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (Al-Baqarah: 256). Ibnu Abbas menceritakan: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki Anshar dari kalangan Bani Salim ibnu Auf yang dikenal dengan panggilan Al-Husaini. Dia mempunyai dua orang anak lelaki yang memeluk agama Nasrani, sedangkan dia sendiri adalah seorang muslim. Maka ia bertanya kepada Nabi ﷺ, "Bolehkah aku memaksa keduanya (untuk masuk Islam)? Karena sesungguhnya keduanya telah membangkang dan tidak mau kecuali hanya agama Nasrani." Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. As-Suddi meriwayatkan pula hal yang semakna, tetapi di dalam riwayatnya ditambahkan seperti berikut: “Keduanya telah masuk agama Nasrani di tangan para pedagang yang datang dari negeri Syam membawa zabib (anggur kering). Ketika keduanya bertekad untuk ikut bersama para pedagang Syam itu, maka ayah keduanya bermaksud memaksa keduanya (untuk masuk Islam) dan meminta kepada Rasulullah ﷺ agar mengutus dirinya untuk menyusul keduanya agar pulang kembali. Maka turunlah ayat ini.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Hilal, dari Asbaq yang menceritakan, "Pada mulanya aku memeluk agama mereka sebagai seorang Nasrani yang menjadi budak Umar ibnul Khattab, dan ia selalu menawarkan untuk masuk Islam kepadaku, tetapi aku menolak. Maka ia membacakan firman-Nya: 'Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).' (Al-Baqarah: 256). Ia mengatakan, 'Wahai Asbaq, seandainya kamu masuk Islam, niscaya aku akan mengangkatmu sebagai pegawai untuk mengurusi sebagian urusan kaum muslim'."
Cukup banyak dari kalangan ulama berpendapat bahwa ayat ini diinterpretasikan dengan pengertian tertuju kepada kaum Ahli Kitab dan orang-orang yang termasuk ke dalam kategori mereka sebelum (mengetahui adanya) pe-nasakh-an dan penggantian, tetapi dengan syarat bila mereka membayar jizyah.
Ulama lain mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh (diganti) oleh ayat qital (perang). Wajib menyeru semua umat untuk memasuki agama Al-Hanif, yaitu agama Islam. Jika ada seseorang di antara mereka menolak untuk masuk ke dalam agama Islam serta tidak mau tunduk kepada peraturannya atau tidak mau membayar jizyah, maka ia diperangi hingga titik darah penghabisan. Demikianlah makna ikrah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Kalian akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (Al-Fath: 16)
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman: “Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
“Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripada kalian; dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 123)
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “Tuhanmu kagum kepada suatu kaum yang digiring masuk ke surga dalam keadaan dirantai.” Makna yang dimaksud ialah para tawanan yang didatangkan ke negeri Islam dalam keadaan terikat oleh rantai dan belenggu. Sesudah itu mereka masuk Islam dan memperbaiki amal perbuatan serta hati mereka. Maka mereka kelak termasuk ahli surga.
Adapun mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Humaid, dari sahabat Abas yang menceritakan: Bahwa Rasulullah ﷺ pernah berkata kepada seorang lelaki, "Masuk Islamlah kamu!" Lelaki itu menjawab, "Sesungguhnya aku masih belum menyukainya." Nabi ﷺ bersabda, "Sekalipun kamu belum menyukainya."
Hadits ini merupakan salah satu dari hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang, tetapi shahih. Hanya saja tidak termasuk ke dalam bab ini karena pada kenyataannya Nabi ﷺ tidak memaksanya untuk masuk Islam, melainkan beliau menyerunya untuk masuk Islam, lalu lelaki itu menjawab bahwa ia masih belum mau menerimanya, bahkan masih tidak suka untuk masuk Islam. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Masuk Islamlah, sekalipun hatimu tidak suka, karena sesungguhnya Allah pasti akan menganugerahimu niat yang baik dan ikhlas."
Firman Allah ﷻ: “Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 256)
Maksudnya, barang siapa yang melepaskan semua tandingan dan berhala-berhala serta segala sesuatu yang diserukan oleh setan berupa penyembahan kepada selain Allah, lalu ia mentauhidkan Allah dan menyembah-Nya semata serta bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, berarti ia seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya: “Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat.” (Al-Baqarah: 256) Yaitu berarti perkaranya telah mapan dan berjalan lurus di atas tuntunan yang baik dan jalan yang lurus.
Abul Qasim Al-Baghawi meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al-Baladi, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas (yaitu Salam ibnu Salim), dari Abu Ishaq, dari Hassan (yaitu Ibnu Qaid Al-Absi) yang menceritakan bahwa Umar pernah mengatakan, "Sesungguhnya al-jibt adalah sihir, dan tagut adalah setan. Sesungguhnya sifat berani dan sifat pengecut ada di dalam diri kaum lelaki; orang yang pemberani berperang membela orang yang tidak dikenalnya, sedangkan orang yang pengecut lari tidak dapat membela ibunya sendiri. Sesungguhnya kehormatan seorang lelaki itu terletak pada agamanya, sedangkan kedudukannya terletak pada akhlaknya, sekalipun ia seorang Persia atau seorang Nabat."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui riwayat Ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Hassan ibnu Qaid Al-Abdi, dari Umar.
Makna ucapan Umar tentang tagut bahwa tagut adalah setan sangat kuat, karena sesungguhnya pengertian tersebut mencakup semua bentuk kejahatan yang biasa dilakukan oleh ahli Jahiliah (orang bodoh), seperti menyembah berhala dan meminta keputusan hukum kepadanya serta membelanya.
Firman Allah ﷻ: “Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)
Maksudnya, sesungguhnya ia telah berpegang kepada agama dengan sarana yang sangat kuat. Hal itu diserupakan dengan tali yang kuat lagi tak dapat putus. Pada kenyataannya tali tersebut dipintal dengan sangat rapi, kuat lagi halus, sedangkan ikatannya pun sangat kuat. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya: “Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)
Mujahid mengatakan bahwa al-'urwatil wusqa artinya iman.
Menurut As-Suddi artinya agama Islam, sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair dan Adh-Dhahhak artinya adalah kalimat "Tidak ada Tuhan selain Allah."
Menurut sahabat Anas ibnu Malik, al-'urwatul wusqa artinya Al-Qur'an.
Menurut riwayat yang bersumber dari Salim ibnu Abul Ja'd, yang dimaksud adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Semua pendapat di atas benar, satu sama lainnya tidak bertentangan.
Sahabat Mu'az ibnu Jabal mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256) Bahwa yang dimaksud dengan terputus ialah tidak dapat masuk surga.
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan pengertian yang ada di dalam firman-Nya: “Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256), kemudian membacakan ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra'd: 11)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Qais ibnu Ubadah yang menceritakan bahwa ketika ia berada di dalam masjid, datanglah seorang lelaki yang pada raut wajahnya ada bekas kekhusyukan. Lalu lelaki itu shalat dua rakaat dengan singkat. Maka kelompok yang ada di dalam masjid itu berkata, "Lelaki ini termasuk ahli surga." Ketika lelaki itu keluar (dari masjid), maka aku (Muhammad ibnu Qais ibnu Ubadah) mengikutinya hingga ia memasuki rumahnya.
Aku ikut masuk bersamanya, dan aku mengobrol dengannya. Setelah kami saling berkenalan, aku katakan kepadanya, "Sesungguhnya kelompok yang ada di masjid tadi ketika engkau masuk ke dalam masjid, mereka mengatakan anu dan anu." Lelaki itu menjawab, "Maha Suci Allah, tidak layak bagi seseorang mengatakan apa yang tidak diketahuinya. Aku akan menceritakan kepadamu mengapa demikian. Sesungguhnya aku pernah bermimpi sesuatu di masa Rasulullah, lalu aku ceritakan mimpi itu kepadanya.
Aku melihat diriku berada di sebuah taman yang hijau. Ibnu Aun mengatakan bahwa lelaki itu menggambarkan suasana kesuburan taman dan luasnya. Di tengah-tengah kebun itu terdapat sebuah tiang besi yang bagian bawahnya berada di bumi, sedangkan bagian atasnya berada di langit, dan pada bagian atasnya ada buhul tali-nya. Kemudian dikatakan kepadaku, 'Naiklah ke tiang itu.' Aku menjawab, 'Aku tidak dapat.' Lalu datanglah seorang yang memberi nasihat kepadaku. Ibnu Aun mengatakan bahwa orang tersebut adalah penjaga taman tersebut.
Orang itu mengangkat bajuku dari belakang seraya berkata, 'Naiklah!' Maka aku naik hingga dapat memegang tali tersebut. Orang tersebut berkata, 'Berpeganglah kepada tali ini.' Aku terbangun, dan sesungguhnya tali itu benar-benar masih berada dalam pegangan kedua tanganku. Aku datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu kuceritakan padanya mimpi tersebut. Maka beliau bersabda: 'Adapun taman tersebut adalah taman Islam, sedangkan tiang tersebut adalah tiang Islam; dan tali itu adalah tali yang kuat, artinya engkau tetap berada dalam agama Islam hingga mati'."
Perawi mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah sahabat Abdullah ibnu Salam. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini di dalam kitab Shahihain melalui riwayat Abdullah ibnu Aun, maka aku (perawi) berdiri menghormatinya.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari melalui jalur lain, dari Muhammad ibnu Sirin dengan lafal yang sama. Jalur yang lain dan teks yang lain adalah sebagai berikut.
Imam Ahmad berkata: Telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa dan Usman. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari ‘Ashim ibnu Bahdalah, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Kharsyah ibnul Hur yang menceritakan hadits berikut: Aku tiba di Madinah, lalu aku duduk (bergabung) dengan halaqah (kelompok) salah seorang guru di Masjid Nabawi. Lalu datanglah seorang syekh (guru) yang bertopang pada sebuah tongkat, maka kelompok yang ada berkata, "Barang siapa yang ingin melihat seorang lelaki dari kalangan ahli surga, hendaklah ia memandang syekh ini."
Kemudian syekh itu berdiri di belakang sebuah tiang dan melakukan shalat dua rakaat. Lalu aku berkata kepadanya, "Sebagian dari kelompok mengatakan anu dan anu." Maka ia menjawab, "Surga adalah milik Allah, Dia memasukkan ke dalamnya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya aku pernah mengalami sebuah mimpi di zaman Rasulullah ﷺ. Aku melihat dalam mimpiku itu seakan-akan ada seorang lelaki datang kepadaku, lalu lelaki itu berkata, 'Berangkatlah.' Maka aku berangkat bersamanya, dan ia menempuh sebuah jalan yang besar bersamaku. Lalu ada sebuah jalan di sebelah kiriku; ketika aku hendak menempuhnya, lelaki itu berkata, 'Sesungguhnya kamu bukan termasuk ahlinya.'
Kemudian tampak sebuah jalan di sebelah kananku, dan aku langsung menempuhnya hingga sampai di sebuah bukit yang licin. Lalu ia memegang tanganku dan mendorongku, tiba-tiba diriku telah berada di puncak bukit tersebut; aku merasa diriku tidak tetap dan tiada pegangan. Kemudian muncullah sebuah tiang besi yang di puncaknya terdapat tali emas. Maka ia memegang tanganku dan mendorongku hingga aku dapat memegang tali tersebut, lalu ia berkata, 'Berpeganglah.' Aku menjawab, 'Ya.' Lalu ia memanjatkan kakinya ke tiang tersebut, dan aku berpegang dengan tali itu.
Lalu aku kisahkan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau menjawab: 'Kamu telah melihat kebaikan; adapun jalan yang besar itu adalah padang mahsyar, adapun jalan yang tampak di sebelah kirimu adalah jalan ahli neraka, sedangkan kamu bukan termasuk ahlinya. Dan adapun jalan yang tampak di sebelah kananmu adalah jalan ahli surga, dan adapun mengenai bukit yang licin itu adalah kedudukan para syuhada, sedangkan tali yang menjadi peganganmu itu adalah tali Islam. Maka berpeganglah kepadanya hingga kamu mati.' Lalu Syekh itu berkata, 'Sesungguhnya aku hanya berharap semoga diriku ini termasuk ahli surga'."
Perawi mengatakan, ternyata Syekh itu adalah Abdullah ibnu Salam. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, dari Ahmad ibnu Sulaiman, dari Affan dan Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Al-Hasan ibnu Musa Al-Asyyab. Keduanya meriwayatkannya pula dari Hammad ibnu Salimah dengan lafal yang mirip. Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadits Al-A'masy, dari Sulaiman ibnu Mishar, dari Kharsyah ibnul Hur Al-Fazari dengan lafal yang sama.
Meski memiliki kekuasaan yang sangat luas, Allah tidak memaksa seseorang untuk mengikuti ajaran-Nya. Tidak ada paksaan terhadap seseorang dalam menganut agama Islam. Mengapa harus ada paksaan, padahal sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Oleh karena itu, janganlah kamu menggunakan paksaan apalagi kekerasan dalam berdakwah. Ajaklah manusia ke jalan Allah dengan cara yang terbaik. Barang siapa ingkar kepada Tagut, yaitu setan dan apa saja yang dipertuhankan selain Allah, dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang teguh pada ajaran agama yang benar sehingga tidak akan terjerumus dalam kesesatan, sama halnya dengan orang yang berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus sehingga dia tidak akan terjatuh. Agama yang benar ibarat tali yang kuat dan terjulur menuju Allah, dan di situ terdapat sebab-sebab yang menyelamatkan manusia dari murka-Nya. Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan oleh hamba-Nya, Maha Mengetahui segala niat dan perbuatan mereka, sehingga semua itu akan mendapat balasannya di hari kiamat. Mereka yang berpegang teguh pada tali yang kukuh tidak akan sendiri karena Allah selalu menemani dan melindungi-Nya. Allah adalah pelindung orang yang beriman. Dia memelihara, mengangkat derajat, dan menolong mereka. Salah satu bentuk pertolongan-Nya adalah Dia selalu terus menerus mengeluarkan dan menyelamatkan mereka dari kegelapan kekufuran, kemunafikan, keraguan, dorongan mengikuti setan, dan hawa nafsu, kepada cahaya keimanan dan kebenaran. Cahaya iman apabila telah meresap ke dalam kalbu seseorang akan menerangi jalannya, dan dengannya ia akan mampu menangkal kegelapan dan menjangkau sekian banyak hakikat dalam kehidupan. Dan sebaliknya, orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, baik dari kalangan jin maupun manusia, yang mengeluarkan mereka dari cahaya hidayah kepada kegelapan kesesatan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya, dan itu adalah tempat yang palik buruk.
.
Tidak dibenarkan adanya paksaan untuk menganut agama Islam. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan, serta dengan nasihat-nasihat yang wajar, sehingga mereka masuk agama Islam dengan kesadaran dan kemauan sendiri (an-Nahl/16:125).
Apabila kita sudah menyampaikan kepada mereka dengan cara yang demikian, tetapi mereka tidak juga mau beriman, itu bukanlah urusan kita, melainkan urusan Allah. Kita tidak boleh memaksa mereka. Dalam ayat yang lain (Yunus/10:99) Allah berfirman yang artinya: "Apakah Engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-orang yang beriman?"
Dengan datangnya agama Islam, jalan yang benar sudah tampak dengan jelas dan dapat dibedakan dari jalan yang sesat. Maka tidak boleh ada pemaksaan untuk beriman, karena iman adalah keyakinan dalam hati sanubari dan tak seorang pun dapat memaksa hati seseorang untuk meyakini sesuatu, apabila dia sendiri tidak bersedia.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan kenabian Muhammad ﷺ sudah cukup jelas. Maka terserah kepada setiap orang, apakah akan beriman atau kafir, setelah ayat-ayat itu sampai kepada mereka. Inilah etika dakwah Islam. Adapun suara-suara yang mengatakan bahwa agama Islam dikembangkan dengan pedang hanyalah tuduhan dan fitnah belaka. Umat Islam di Mekah sebelum berhijrah ke Medinah hanya melakukan salat dengan cara sembunyi, dan mereka tidak mau melakukannya secara demonstratif di hadapan kaum kafir.
Ayat ini turun kira-kira pada tahun ketiga sesudah hijrah, yaitu setelah umat Islam memiliki kekuatan yang nyata dan jumlah mereka telah bertambah banyak, namun mereka tidak diperbolehkan melakukan paksaan terhadap orang-orang yang bukan Muslim, baik secara halus, apa lagi dengan kekerasan.
Adapun peperangan yang telah dilakukan umat Islam, baik di Jazirah Arab, maupun di negeri-negeri lain, seperti di Mesir, Persia dan sebagainya, hanyalah semata-mata suatu tindakan beladiri terhadap serangan-serangan kaum kafir kepada mereka. Selain itu, peperangan dilakukan untuk mengamankan jalannya dakwah Islam, sehingga berbagai tindakan kezaliman dari orang-orang kafir yang memfitnah dan mengganggu umat Islam karena menganut dan melaksanakan agama mereka dapat dicegah, dan agar kaum kafir itu dapat menghargai kemerdekaan pribadi dan hak-hak asasi manusia dalam menganut keyakinan.
Di berbagai daerah yang telah dikuasai kaum Muslimin, orang yang belum menganut agama Islam diberi hak dan kemerdekaan untuk memilih: apakah mereka akan memeluk agama Islam ataukah akan tetap dalam agama mereka. Jika mereka memilih untuk tetap dalam agama semula, maka mereka diharuskan membayar "jizyah" yaitu semacam pajak sebagai imbalan dari perlindungan yang diberikan Pemerintah Islam kepada mereka. Keselamatan mereka dijamin sepenuhnya, asal mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang memusuhi Islam dan umatnya.37)
Ini merupakan bukti yang jelas bahwa umat Islam tidak melakukan paksaan, bahkan tetap menghormati kemerdekaan beragama, walaupun terhadap golongan minoritas yang berada di daerah-daerah kekuasaan mereka. Sebaliknya dapat kita lihat dari bukti-bukti sejarah, baik pada masa dahulu, maupun pada zaman modern sekarang ini, betapa malangnya nasib umat Islam, apabila mereka menjadi golongan minoritas di suatu negara.
Ayat ini selanjutnya menerangkan bahwa barang siapa yang tidak lagi percaya kepada thagut, atau tidak lagi menyembah patung, atau benda yang lain, melainkan beriman dan menyembah Allah semata-mata, maka dia telah mendapatkan pegangan yang kokoh, laksana tali yang kuat, yang tidak akan putus. Iman yang sebenarnya adalah iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lidah dan diiringi dengan perbuatan. Itulah sebabnya maka pada akhir ayat, Allah berfirman yang artinya: "Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Artinya Allah senantiasa mendengar apa yang diucapkan, dan Dia selalu mengetahui apa yang diyakini dalam hati, dan apa yang diperbuat oleh anggota badan. Allah akan membalas amal seseorang sesuai dengan iman, perkataan dan perbuatan mereka masing-masing.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TIDAK ADA PAKSAAN DALAM AGAMA
Menurut riwayat dari Abu Dawud, an-Nasa'i, ibnu Mundzir, Ibnu farir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaihi, dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan beberapa riwayat yang lain bahwasanya penduduk Madinah sebelum memeluk agama Islam, mereka merasa bahwa kehidupan orang Yahudi lebih baik dari kehidupan mereka sebab mereka jahiliyah. Sebab itu, di antara mereka ada yang menyerahkan anaknya kepada orang Yahudi untuk mereka didik dan setelah besar anak-anak itu menjadi orang Yahudi. Ada pula perempuan Arab yang tiap beranak tiap mati maka kalau dapat anak lagi, lekas-lekas diserahkannya kepada orang Yahudi. Oleh orang Yahudi, anak-anak itu diyahudikan. Selanjutnya, orang Madinah menjadi Islam, menyambut Rasulullah ﷺ Dan, menjadi kaum Anshar. Maka, setelah Rasulullah pindah ke Madinah, dibuatlah perjanjian bertetangga yang baik dengan kabilah-kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah itu. Akan tetapi, dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, perjanjian itu mereka mungkiri, baik secara halus maupun secara kasar. Akhirnya, terjadilah pengusiran atas Bani Nadhir yang telah dua kali didapati hendak membunuh Nabi (lihat tafsiran surah al-Hasyr). Lantaran itu, diputuskanlah untuk mengusir habis seluruh kabilah Bani Nadhir itu keluar dari Madinah. Rupanya ada pada Bani Nadhir itu anak orang Anshar yang telah mulai dewasa dan telah menjadi orang Yahudi. Ayah anak itu memohonkan kepada Rasulullah ﷺ supaya anak itu ditarik kepada Islam, kalau perlu dengan paksa. Si ayah tidak sampai hati dia sendiri memeluk Islam, sedangkan anaknya menjadi Yahudi. "Belahan diriku sendiri akan masuk neraka, ya Rasulullah!" kata orang Anshar itu. Di waktu itulah turun ayat ini,
Ayat 256
“Tidak ada paksaan dalam agama."
Kalau anak itu sudah terang menjadi Yahudi, tidaklah boleh dia dipaksa memeluk Islam. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi ﷺ hanya memanggil anak-anak itu dan disuruh memilih, apakah mereka sudi memeluk agama ayah mereka, yaitu Islam, atau tetap dalam Yahudi dan turut diusir? Menurut riwayat, ada di antara anak-anak itu yang memilih Islam dan ada yang terus menjadi Yahudi lalu berangkat dengan orang Yahudi yang mengasuhnya itu meninggalkan Madinah. Keyakinan suatu agama tidaklah boleh dipaksakan sebab “Telah nyata kebenaran dan kesesatan". Orang boleh mempergunakan akalnya untuk menimbang dan memilih kebenaran itu, dan orang pun mempunyai pikiran waras untuk menjauhi kesesatan."Maka barangsiapa yang menolak segala pelanggaran besar dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya telah berpeganglah dia dengan tali yang amat teguh, yang tidak akan putus selama-lamanyaAgama Islam memberi orang kesempatan untuk mempergunakan pikirannya yang murni guna mencari kebenaran. Asal orang sudi membebaskan diri dari hanya turut-turutan dan pengaruh dari hawa nafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran itu. Apabila arti kebenaran sudah didapat, niscaya iman kepada Allah mesti timbul, dan kalau iman kepada Allah Yang Tunggal telah tumbuh, segala pengaruh dari yang lain, dari sekalian pelanggaran batas, mesti hilang. Akan tetapi, suasana yang seperti ini tidak bisa dengan paksa, mesti timbul dari keinsafan sendiri.
“Dan Allah adalah Maha Mendengar, lagi Mengetahui."
Didengar-Nya permohonan hamba-Nya yang meminta petunjuk, diketahui-Nya hamba-Nya yang berusaha mencari kebenaran.
Sungguh-sungguh ayat ini suatu tantangan kepada manusia karena Islam adalah benar. Orang tidak akan dipaksa memeluknya, tetapi orang hanya diajak untuk berpikir. Asal dia berpikir sehat, dia pasti akan sampai kepada Islam. Akan tetapi, kalau ada paksaan, mestilah timbul perkosaan pikiran dan mestilah timbul taklid. Manusia sebagai orang-seorang akan datang dan akan pergi, akan lahir dan akan mati. Akan tetapi, pikiran manusia akan berjalan terus. Penilaian manusia atas agama akan dilanjutkan dan kebebasan berpikir dalam memilih keyakinan menjadi tujuan dari manusia yang telah maju.
Ayat ini adalah dasar teguh dari Islam. Musuh-musuh Islam membuat berbagai fitnah yang dikatakan ilmiah sifatnya bahwa Islam dimajukan dengan pedang. Islam dituduh memaksa orang memeluk agamanya."Pengetahuan" seperti ini pun kadang-kadang dipaksakan supaya diterima orang, terutama di masa-masa negeri-negeri Islam dalam penjajahan. Orang dipaksa menerima teori itu dan orang tidak diberi kesempatan membanding.
Kalau orang benar-benar hendak ilmiah, hendaklah menilik kebenaran sesuatu soal dicari sumber aslinya. Apa sumber asli Islam kalau bukan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul? Ayat inilah, al-Baqarah 256, sumber itu, yaitu Islam menjelaskan bahwa dalam hal agama tidak boleh ada paksaan. Sunnah atau praktik dari Nabi ﷺ sendiri dapat pula dilihat pada sebab turunnya ayat. Kita melihat jelas bahwa kaum Yahudi Bani Nadhir diusir habis dari Madinah karena mereka mengadakan suatu komplotan hendak membunuh Nabi ﷺ yang pada waktu itu telah berkuasa dalam masyarakat Madinah. Tidak ada perkataan ketika itu bahwa kalau mereka sudi memeluk Islam, mereka tidak akan diusir. Malahan anak-anak kaum Anshar sendiri, yang telah menjadi Yahudi, tidak dipaksa untuk memeluk agama ayah mereka meskipun ayah itu sendiri meminta kepada Nabi ﷺ supaya anak-anak itu dipaksa.
Yang diketahui oleh semua peminat sejarah Islam bahwa apabila angkatan perang Islam masuk ke suatu negeri, terlebih dahulu dikirim surat atau utusan yang membawa tiga peringatan.
1. Ajakan masuk Islam. Kalau ajakan ini diterima, timbullah persaudaraan seagama. Sama derajat, sama kedudukan, tidak ada yang menjajah dan tidak ada yang terjajah. Hak sama dan kewajiban pun sama.
2. Kalau tidak mau memeluk Islam, bolehlah terus memeluk agama yang lain. Mereka akan diberi perlindungan dengan syarat membayar jizyah.
3. Kalau salah satu dari dua ini tidak diterima, itu adalah alamat akan terjadinya peperangan. Kalau peperangan terjadi, berlakulah hukum perang. Negeri mereka dikuasai, tetapi tidak juga ada paksaan untuk memeluk Islam.
Apakah lantaran syarat pertama mengajak terlebih dahulu supaya sudi memeluk Islam itu yang dinamai memaksakan agama dengan pedang? Padahal ajakan yang kedua yaitu membayar jizyah terbuka lebar buat mereka?
Dalam pelaksanaan di zaman-zaman mulai perkembangan Islam, di zaman Abu Bakar dan Umar, di bawah pimpinan pahlawan-pahlawan perang sebagaimana Khalid bin al-Walid, Abu Ubaidah, dan Amr bin al-Ash, kerap kali kepungan atas suatu desa Nasrani dihentikan setelah delegasi (perutusan) mereka datang menyatakan membayar jizyah dan kedudukan pemimpin-pemimpin mereka diakui. Uskup Nasrani di Palestina meminta supaya Khalifah Umar bin Khaththab sendiri datang menerima penaklukan mereka. Beliau pun datang. Jaminan perlindungan atas mereka dipegang teguh sampai empat belas abad. Tidak sekali juga ada seorang penguasa atau raja Islam yang berani bertindak memaksa mereka memeluk Islam meskipun penguasa itu keras tindakannya, padahal jumlah mereka sangat kecil di waktu itu. Malahan tenaga-tenaga mereka banyak yang dipakai dalam administrasi kenegaraan. Mengapa penguasa-penguasa Islam itu tidak mau menjalankan paksaan? Ialah karena takut akan terlanggar ayat ini.
Setelah abad-abad terakhir setelah pengaruh kerajaan-kerajaan penjajah Kristen masuk ke Dunia Islam, mereka berusaha memakai golongan kecil Kristen dalam negeri-negeri Islam yang hidup damai dengan tetangganya orang Islam itu untuk menjadi pengganggu ketenteraman pemerintahan (siam. Salah seorang sultan Turki Utsmani pernah menyatakan niat, lebih baik dipaksa saja golongan-golongan kecil Kristen ini masuk Islam, tetapi mufti atau syaikhul Islam membantah keras karena melanggar hukum agama.
Bahkan kadang-kadang toleransi yang ditanamkan oleh ayat inilah yang diambil dijadikan kesempatan yang baik oleh pemeluk agama Kristen di negeri-negeri Islam untuk mendesak umat Isiam. Oleh sebab itu, jika se-mangat beragama telah mundur pada kaum Muslimin sendiri, padahal ayat ini ada, akan mudahlah benteng-benteng mereka diruntuhkan. Mereka tidak boleh oleh agamanya sendiri melakukan paksaan agama kepada orang lain, padahal orang lain dengan segala daya upaya memaksa mereka meninggalkan Islam. Itulah sebabnya, ayat yang bertuah ini diikuti oleh ayat selanjutnya,
Ayat 257
“Allah-lah pemimpin bagi orang-orang yang beriman."
Apabila iman telah subur, kepercayaan kepada Allah dipelihara, dijadikan didikan, disyiarkan dan dimajukan, Allah sendirilah yang akan memimpin umat beriman itu. Sebab, iman kepada Allah Yang Tunggal, tidak memberi tempat buat memercayai yang lain. Hubungan yang langsung dengan Allah, tidak memakai perantaraan, menyebabkan jiwa mendapat sinar selalu dari Ilahi."Dia mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada terang benderang!' Sebab iman kepada Allah itu membawa terbukanya akal. Iman membawanya tunduk kepada syari'at Ilahi dan peraturan-Nya. Iman menimbulkan ukhuwah Islamiyah dalam menyuburkan hidup ber-jamaah. Iman menimbulkan masyarakat yang bercorak islam. Kelak, akan sangat terasa perbedaan hidup dalam cahaya dengan hidup dalam gelap. Kita dapat menyaksikan sendiri perbedaan wajah dan bentuk muka orang, dan kegiatan, kegembiraan, kebaikan budi pada satu negeri yang di sana berjalan tuntunan iman kepada Allah."Akan tetapi, orang-orang yang tidak mau percaya, pemimpin mereka ialah pelanggar-pelanggar batas" Di dalam ayat, pelanggar batas Itu disebut thaghut. Segala pimpinan yang bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, pemimpin, dukun, setan, berhala atau orang-orang yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kata thaghut. Pimpinan yang begini pastilah membawa dari tempat yang terang, kembali kepada gelap.
“Mereka akan mengeluarkan mereka dan cahaya terang kepada gelap gulita." Kita akan dapat pula merasakan suasana kufur itu dalam satu negeri, yang di dalam statistik disebut daerah Islam, tetapi pimpinan mereka adalah thaghut. Cahaya terang kian lama kian berganti dengan gelap gulita, fitnah banyak, hasad dengki, perzinaan, kecabulan, dan kemaksiatan yang lain. Kalau perwalian Allah telah diganti dengan perwalian thaghut, niscaya padamlah suluh, kembali dalam gelap dan itulah akibat yang wajar dari jiwa yang telah gelap, yang telah kehilangan pedoman, sehingga meraba-raba, merumbu-rumbu, sebab telah putus hubungan dengan bimbingan yang lurus. Adzab nerakalah ujung dari perjalanan itu.
“Mereka itulah ahli neraka. Mereka akan kekal padanya."
Di ayat ini mulai kita berjumpa dengan satu perkataan yang penting artinya untuk diperhatikan dan luas perkembangan perkataan itu dipakai dalam Islam, yaitu kata wali. Luaslah arti yang terkandung dalam kata wali itu, yaitu pimpinan, penguasa, pengatur, pengurus, dan lain-lain arti yang berdekat dengan itu. Sebab itu, dalam sejarah perkembangan pemerintah Islam, kalimat wali terpakai juga untuk gubernur wilayah yang besar. Amr bin al-Ash menjadi wali di Mesir. Mu'awiyah bin Abu Sufyan sebelum menjadi khalifah pertama Bani Umaiyah, adalah wali di negeri Syam.
Di zaman kekuasaan Belanda di negeri kita, gubernur jenderal disebut juga “wali negeri", terjemahan dari landvogd. Di zaman Van Mook membentuk negara-negara kecil guna memecah kesatuan Indonesia, dia memberi gelar orang-orang yang diangkatnya menjadi kepala negara yang dibentuknya itu “wali negara'. Di Sumatra Barat di zaman Revolusi Bersenjata, kepala negeri atau penghulu kepala diberi gelar baru, yaitu “wali negeri".
Bapak, paman, atau saudara laki-laki yang berhak menikahkan seorang perempuan disebut juga wali. Dia timbul dari dasar sabda Nabi,
“Tidak (sah) nikah melainkan dengan wali"
Maka, di dalam ayat yang sedang kita tafsirkan ini kita berjumpa dua wali. Pertama, Allah sebagai wali dari orang yang beriman. Kedua, thaghut sebagai wali orang yang kafir.
Maka, yang memimpin langsung orang yang beriman ialah Allah. Akan tetapi, orang yang tidak mau menerima iman, yang menolak (kafir), dia pun ada pemimpinnya, tetapi bukan Allah, melainkan Thagnut, yaitu sekalian pemimpin yang akan membawa keluar dari batas yang ditentukan Tuhan. Kadang-kadang ditegaskan lagi adanya perwalian dari setan, sumber yang asli dari segala macam thaghut. Ini tersebut dalam surah Aali Tmraan: 175, tersebut juga dalam surah al-A'raaf: 30. Dengan demikian, di samping orang-orang Mukmin berusaha mengambil pimpinan dan bimbingan Allah, setan pun berusaha memasukkan pimpinannya yang sesat kepada orang-orang yang memang sengaja mengelak dari pimpinan Allah.
Sebaliknya, orang-orang yang beriman yang telah menerima pimpinan Allah tadi, yang dikeluarkan Tuhan dari gelap kepada cahaya, mereka itu pun diberi kehormatan tertinggi, diberi nama “Auliaa Allah". Di dalam surah Yuunus: 62, mereka diberi jaminan oleh Allah bahwa wali-wali Allah itu tidaklah mereka akan merasa takut dan tidaklah mereka berduka cita,
Kemudian itu, dijelaskan pula bahwasanya orang-orang yang beriman laki-laki dan orang-orangyang beriman perempuan, yang sebagian adalah menjadi wali pula dari yang sebagian-nya lagi, sama menyuruh berbuat ma'ruf, sama mencegah berbuat munkar, sama mendirikan shalat, sama mengeluarkan zakat, sama taat kepada Allah dan Rasul (surah at-Taubah: 71). Dikuatkan lagi oleh surah al-Anfaal: 72 bahwa orang yang beriman itu sanggup hijrah dan sanggup pula berjuang (jihad) dengan harta dan nyawa pada jalan Allah, dan sebagian mereka jadi wali dari yang sebagian.
Begitulah luasnya daerah yang tercakup dalam kata wali itu, baik wali Allah maupun wali thaghut dan wali setan. Pengikut masing-masing menjadi wali pula bagi masing-masing, sokong-menyokong, bantu-membantu, dan pimpin-memimpin.
Akan tetapi, timbul pula arti yang lain dari kata wali itu kira-kira dua ratus atau tiga ratus tahun sesudah Rasulullah ﷺ wafat. Ini sangat berkembang sehingga kadang-kadang paham kita tentang arti wali yang mula-mula dikaburkannya atau dikacaubalaukannya, yaitu paham setengah kaum sufi bahwa ada manusia yang dianggap sebagai waliyullah, yang kedudukannya istimewa dari manusia biasa sebab dia telah sangat dekat kepada Allah. Maka, kalau kita hendak memohonkan apa-apa kepada Allah, hendaklah dengan perantaraan beliau itu. Demikian besarnya pengaruh kepercayaan ini sehingga orang yang dianggap telah mempunyai maqam waliyullah itu dalam kenyataannya telah menjadi wali thaghut, bahkan kuburan-kuburan mereka dijadikanlah semacam tempat ziarah yang telah menyerupai berhala. Orang yang mencela perbuatan itu dipandanglah oleh mereka sebagai merusak agama, sebab mereka sudah sangat berkeyakinan bahwa tidak akan sampai doa kepada Allah kalau tidak diminta dengan perantaraan beliau yang telah bermaqam di kuburan itu. Malahan ada semacam kepercayaan bagi pengikut thariqat Syekh Samman di Madinah, kalau ada bahaya, misalnya kapal akan karam, harap panggil saja, “Ya, Samman!" niscaya terkabul. Malahan ada yang berkata bahwa kalau diminta kepada Allah dengan langsung, “Ya, Allah!" akan ditolak oleh Allah dengan marah, “Mengapa diminta langsung kepada-Ku, padahal wali-Ku telah ada, yaitu Syekh Samman?"
Mungkin Syekh Sammannya sendiri tidak sampai mengajarkan begitu, tetapi pengikut-pengikut yang di belakang telah menjadi thaghut, membawa pengikutnya dari terang benderang tauhid kepada gelap gulita syirik.
Selain dari penyembahan kepada orang-orang yang disebut waliyullah itu, yang telah menjadi thaghut yang menyesatkan manusia, terdapat pula thaghut dalam susunan kenegaraan. Di dalam susunan kenegaraan zaman kuno, raja dipandang sebagai tuhan atau dewa. Raja Cina disebut Putra Langit, raja Jepang disebut sebagai Anak Matahari, raja-raja Melayu disebut turun dari atas bukit Siguntang Mahameru, keturunan dewa-dewa angkasa, raja Mesir purbakala yang bergelar Fir'aun, dipandang dan mengakui sendiri bahwa dia adalah putra Tuhan.
Di zaman modern ini, mendudukkan raja sebagai dewa untuk menjadi sendi kekuasaan mutlak sehingga manusia tunduk patuh tidak membantah kehendak raja, sudah tidak ada lagi karena dikalahkan oleh zaman diktator.
Diktator tidak disebut sebagai Tuhan, tetapi dipuja sebagaimana memuja Tuhan. Diktator tidak pernah salah dan tidak boleh disalahkan. Di Jerman, timbullah diktator Hitler yang disebut “Fuehrer", pemimpin besar. Di Italia, Mussolini disebut “El Duce" yang sama artinya dengan Fuehrer. Di Rusia demikian pula dibuat terhadap Stalin semasa hidupnya.
Di Cina dibuat begitu pula terhadap Mao Tse Tung. Seluruh diktator itu pada hakikatnya adalah antiagama walaupun kadang-kadang mulut mereka tidak keberatan menyebut “Allah Subhanahu wa Ta'aala" yaitu untuk membujuk-bujuk rakyat yang mereka perbodoh. Musuh diktator yang paling besar dan orang yang mereka benci ialah ulama-ulama atau pendeta-pendeta yang berani menegakkan kebenaran dan berani membuka mulut. Ini karena mereka memegang tuntunan sendiri dari Tuhan di dalam kitab suci yang mereka imani dari “kemerdekaan mimbar" di dalam gereja atau masjid. Karena, itu, orang-orang yang beriman tidaklah dapat menjual jiwa mereka kepada diktator-diktator itu sebab mereka telah mempunyai pegangan, yaitu Allah, sebab Allah menjadi wali bagi orang-orang yang beriman. Adapun orang-orang yang lemah pegangannya dengan Tuhan, itulah yang kerap kali datang memperhambakan dirinya kepada thaghut. Itulah orang yang memandang sabda si thaghut sebagai ganti wahyu Ilahi. Maka, di zaman modern, pemimpin dipuja-puja dengan selalu menyebut namanya, memberikan ber-bagai gelar pujaan. Sehingga, dia kian lama kian sombong, bahkan kian latah. Rakyat yang diperintah tadi kian lama kian kehilangan dirinya. Mereka hanya menjadi laksana binatang-binatang ternak, dikerahkan pada hari-hari besar buat berjemur di tanah lapang untuk mendengarkan pidato pemimpin.
Hal ini hanya dapat dihambat dengan memegang teguh ajaran tauhid dalam jiwa. Oleh sebab itu, tauhid itu bukanlah semata-mata untuk kepentingan ibadah kepada Allah, bahkan terlebih lagi untuk kemerdekaan jiwa raga daripada pengaruh sekalian alam ciptaan Allah ini. Salah satu doa yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ kepada Abu Umamah adalah,
“Danaku berselindung kepada Engkau, ya Allah, dari dipengaruhi orang-orang."
Artinya, hilang kepribadian, hilang kesadaran diri, hilang kebebasan mempergunakan pikiran sendiri karena sudah tenggelam di dalam semboyan-semboyan dan slogan-slogan yang diciptakan oleh thaghut.
Dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini dan setelah kita mengukurnya dengan keadaan dalam masyarakat, dapatlah kita mengerti bahwa thaghut itu, demikian juga manusia yang menjual kebebasan jiwanya kepada thaghut, ada macam-macam. Setengah menyembah berhala, setengah menyembah kubur, setengahnya menyembah orang-orang hidup yang dipandang sebagai hero (pahlawan), lalu orang menggantungkan nasib kepadanya.
Tauhid ialah untuk membebaskan jiwa manusia dari pengaruh thaghut itu. Karena, pengaruh thaghut menghilangkan nilai manusia pada diri seorang anak Adam, berganti dengan binatang yang patut dihalau ke hilir ke mudik.