Ayat
Terjemahan Per Kata
وَبَشِّرِ
dan sampaikan kabar gembira
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَعَمِلُواْ
dan mereka berbuat
ٱلصَّـٰلِحَٰتِ
kebaikan
أَنَّ
sesungguhnya
لَهُمۡ
bagi mereka
جَنَّـٰتٖ
surga-surga
تَجۡرِي
mengalir
مِن
dari
تَحۡتِهَا
bawahnya
ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ
sungai-sungai
كُلَّمَا
setiap kali
رُزِقُواْ
mereka diberi rezki
مِنۡهَا
dari padanya
مِن
dari
ثَمَرَةٖ
buah-buahan
رِّزۡقٗا
(sebagai) rezki
قَالُواْ
mereka berkata
هَٰذَا
ini
ٱلَّذِي
yang
رُزِقۡنَا
direzkikan kepada kami
مِن
dari
قَبۡلُۖ
dahulu
وَأُتُواْ
dan mereka diberi
بِهِۦ
dengannya
مُتَشَٰبِهٗاۖ
yang serupa
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
فِيهَآ
didalamnya
أَزۡوَٰجٞ
isteri-isteri
مُّطَهَّرَةٞۖ
yang suci
وَهُمۡ
dan mereka
فِيهَا
didalamnya
خَٰلِدُونَ
kekal
وَبَشِّرِ
dan sampaikan kabar gembira
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَعَمِلُواْ
dan mereka berbuat
ٱلصَّـٰلِحَٰتِ
kebaikan
أَنَّ
sesungguhnya
لَهُمۡ
bagi mereka
جَنَّـٰتٖ
surga-surga
تَجۡرِي
mengalir
مِن
dari
تَحۡتِهَا
bawahnya
ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ
sungai-sungai
كُلَّمَا
setiap kali
رُزِقُواْ
mereka diberi rezki
مِنۡهَا
dari padanya
مِن
dari
ثَمَرَةٖ
buah-buahan
رِّزۡقٗا
(sebagai) rezki
قَالُواْ
mereka berkata
هَٰذَا
ini
ٱلَّذِي
yang
رُزِقۡنَا
direzkikan kepada kami
مِن
dari
قَبۡلُۖ
dahulu
وَأُتُواْ
dan mereka diberi
بِهِۦ
dengannya
مُتَشَٰبِهٗاۖ
yang serupa
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
فِيهَآ
didalamnya
أَزۡوَٰجٞ
isteri-isteri
مُّطَهَّرَةٞۖ
yang suci
وَهُمۡ
dan mereka
فِيهَا
didalamnya
خَٰلِدُونَ
kekal
Terjemahan
Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberi rezeki buah-buahan darinya, mereka berkata, “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami sebelumnya.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang disucikan. Mereka kekal di dalamnya.
Tafsir
(Dan sampaikanlah berita gembira) kabarkanlah (kepada orang-orang yang beriman) yang membenarkan Allah (dan mengerjakan kebaikan), baik yang fardu atau yang sunah (bahwa bagi mereka disediakan surga-surga), yaitu taman-taman yang ada pepohonan dan tempat-tempat kediaman (yang mengalir di bawahnya) maksudnya di bawah kayu-kayuan dan mahligai-mahligainya (sungai-sungai) maksudnya air yang berada di sungai-sungai itu, karena sungai artinya ialah galian tempat mengalirnya air, sebab airlah yang telah menggali atau menjadikannya 'nahr' dan menisbatkan 'mengalir' pada selokan disebut 'majaz' atau simbolisme. (Setiap mereka diberi rezeki di dalam surga itu) maksudnya diberi makanan (berupa buah-buahan, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah) maksudnya seperti inilah yang pernah (diberikan kepada kami dulu"), yakni sebelum masuk surga, karena buah-buahan itu seperti itu pula ciri masing-masingnya, hampir serupa. (Mereka disuguhi) atau dipetikkan buah itu (dalam keadaan serupa), yakni warnanya tetapi berbeda rasanya, (dan diberi istri-istri) berupa wanita-wanita cantik dan selainnya, (yang suci) suci dari haid dan dari kotoran lainnya, (dan mereka kekal di dalamnya) untuk selama-lamanya, hingga mereka tak pernah fana dan tidak pula dikeluarkan dari dalamnya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 25
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan di dalamnya mereka berkata, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada pasangan-pasangan yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.
Setelah menuturkan apa yang disediakan-Nya buat musuh-musuh-Nya dari kalangan orang-orang yang celaka yakni orang-orang yang kafir kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya berupa siksaan dan pembalasan, maka Allah mengiringinya dengan kisah keadaan kekasih-kekasih-Nya dari kalangan orang-orang yang berbahagia, yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang keimanan mereka dibuktikan dengan amal-amal salehnya. Berdasarkan pengertian inilah maka Al-Qur'an dinamakan matsani menurut pendapat yang paling shahih di kalangan para ulama, yang keterangannya akan dibahas dengan panjang lebar pada tempatnya.
Yang dimaksud dengan matsani adalah hendaknya disebutkan masalah iman, kemudian diikuti dengan sebutan kekufuran atau sebaliknya, atau keadaan orang-orang yang berbahagia, lalu diiringi dengan keadaan orang-orang yang celaka atau sebaliknya. Kesimpulannya adalah menyebutkan sesuatu hal, kemudian diiringi dengan lawan katanya. Adapun mengenai penyebutan sesuatu yang dikemukakan sesudah penyebutan hal yang serupa dengannya, hal ini dinamakan penyerupaan (tasyabbuh), seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya” (Al-Baqarah: 25). Surga-surga tersebut digambarkan oleh ayat ini, mengalir di bawahnya sungai-sungai, yakni di bawah pohon-pohon dan gedung-gedungnya. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa sungai-sungai surga mengalir bukan pada parit-parit. Sehubungan dengan Sungai Al-Kautsar, telah disebutkan bahwa kedua tepinya terdapat kubah-kubah yang terbuat dari batu permata yang berlubang. Kedua pengertian ini tidak bertentangan.
Tanah liat surga terdiri dari bibit minyak kesturi, sedangkan batu-batu kerikilnya terdiri dari batu-batu mutiara dan batu-batu permata. Kami memohon kepada Allah dari karunia-Nya, sesungguhnya Dia Maha Baik lagi Maha Penyayang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah membacakan kepadaku Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Sauban, dari ‘Atha’ ibnu Qur-rah, dari Abdullah ibnu Damrah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungai-sungai surga mengalir di bagian bawah lereng-lereng atau di bagian bawah bukit-bukit kesturi.” Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Masruq yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan, "Sungai-sungai surga mengalir dari bukit kesturi."
Firman Allah ﷻ: “Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan di dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu" (Al-Baqarah: 25). As-Suddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Disebutkan bahwa mereka di dalam surga diberi buah-buahan.” Ketika melihat buah-buahan itu mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu di dunia." Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan didukung oleh Ibnu Jarir. Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka mengatakan. Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu. Makna yang dimaksud adalah 'seperti yang pernah diberikan kemarin.
Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. Mujahid mengatakan bahwa mereka mengatakan buah-buahan itu serupa dengan apa yang pernah diberikan kepada mereka. Ibnu Jarir mengatakan begitu pula yang lain bahwa takwil makna ayat ini adalah, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu, buah-buahan surga sebelumnya." Dikatakan demikian karena satu sama lainnya sangat mirip, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya: “Mereka diberi buah-buahan yang serupa” (Al-Baqarah: 25).
Sanid ibnu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami seorang syaikh dari kalangan penduduk Al-Masisah, dari Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir yang mengatakan bahwa diberikan kepada seseorang di antara penduduk surga piring besar berisikan sesuatu (buah-buahan), lalu ia memakannya. Kemudian disuguhkan lagi piring besar lainnya, maka ia mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Maka para malaikat berkata, "Makanlah, bentuknya memang sama, tetapi rasanya berbeda." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Yusaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir yang pernah mengatakan bahwa rerumputan surga terdiri atas minyak za'faran, sedangkan bukit-bukitnya terdiri atas minyak kesturi.
Para ahli surga dikelilingi oleh pelayan-pelayan yang menyuguhkan beraneka buah-buahan, lalu mereka memakannya. Kemudian disuguhkan pula kepada mereka hal yang serupa, maka berkatalah penduduk surga kepada para pelayan, "Inilah yang pernah kalian suguhkan kepada kami sebelumnya." Lalu para pelayan menjawabnya, "Makanlah, bentuknya memang sama, tetapi rasanya berbeda." Hal inilah yang dimaksud dengan firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa." Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: "Wautu bihi mutasyabihan," yakni satu sama lain mirip, tetapi rasanya berbeda.
Ibnu Abu Hatim mengatakan hal yang serupa, telah diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Suddi. Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya, dari As-Suddi di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa." Makna yang dimaksud adalah serupa dalam hal warna dan bentuk, tetapi tidak sama dalam hal rasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa," bahwa buah-buahan surga mirip dengan buah-buahan di dunia, hanya buah-buahan surga lebih wangi dan lebih enak. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Abu Zabyan, dari Ibnu Abbas, bahwa tiada sesuatu pun di dalam surga yang menyerupai sesuatu yang di dunia, hanya namanya saja yang serupa.
Menurut riwayat yang lain, tiada sesuatu pun di dunia sama dengan yang ada di surga kecuali hanya dalam masalah nama saja yang serupa. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui riwayat Ats-Tsauri dan Ibnu Abu Hatim melalui hadits Abu Mu'awiyah; keduanya menerima riwayat ini dari Al-A'masy dengan lafal seperti ini. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: "Mereka diberi buah-buahan yang serupa," bahwa mereka mengenal nama-namanya sebagaimana ketika mereka di dunia, misalnya buah apel dan buah delima bentuknya sama dengan buah apel dan buah delima ketika mereka di dunia.” Lalu mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami sebelumnya ketika di dunia." Mereka diberi buah-buahan yang serupa, yakni mereka mengenalnya karena bentuknya sama dengan yang ada di dunia, tetapi rasanya tidak sama.
Firman Allah ﷻ: “Dan untuk mereka di dalamnya (surga) ada pasangan-pasangan yang suci” (Al-Baqarah: 25). Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa muthahharah artinya suci dari najis dan kotoran. Mujahid mengatakan, yang dimaksud ialah suci dari haid, buang air besar, buang air kecil, dahak, ingus, ludah, air mani, dan beranak. Qatadah mengatakan bahwa muthahharah artinya suci dari kotoran dan dosa (najis). Menurut suatu riwayat darinya disebutkan tidak ada haid dan tidak ada tugas. Telah diriwayatkan dari ‘Atha’, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, Abu Saleh, Atiyyah, dan As-Suddi hal yang serupa dengan riwayat tadi. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa al-muthahharah artinya wanita yang tidak pernah haid. Dia mengatakan, demikian pula halnya Siti Hawa pada waktu pertama kali diciptakan. Tetapi ketika dia durhaka, maka Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakanmu dalam keadaan suci, sekarang Aku akan membuatmu mengalami pendarahan sebagaimana kamu telah melukai pohon ini." Akan tetapi, riwayat ini dinilai garib.
Al-Hafidzh Abu Bakar Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Muhammad ibnu Harb dan Ahmad ibnu Muhammad Al-Khawari; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq ibnu Umar Al-Buzai'i, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci” (Al-Baqarah: 25). Yang dimaksud adalah suci dari haid, buang air besar, dahak, dan ludah. Hadits ini dinilai garib. Akan tetapi, Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadraknya, dari Muhammad ibnu Ya'qub, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari Muhammad ibnu Ubaid dengan lafal yang sama. Imam Hakim mengatakan bahwa predikat hadits ini shahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari Muslim). Apa yang didakwakan oleh Imam Hakim ini masih bisa dipertanyakan, karena sesungguhnya hadits Abdur Razzaq ibnu Umar Al-Buzai'i dinilai oleh Abu Hatim ibnu Hibban Al-Basti tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Menurut kami, yang jelas pendapat ini merupakan pendapat Qatadah, seperti yang telah kami kemukakan di atas.
Firman Allah ﷻ : “Dan mereka kekal di dalamnya” (Al-Baqarah: 25). Hal ini merupakan kebahagiaan yang sempurna, karena sesungguhnya di samping mereka mendapat nikmat tersebut, mereka terbebas dan aman dari kematian dan terputusnya nikmat. Dengan kata lain, nikmat yang mereka peroleh tiada akhir dan tiada habisnya, bahkan mereka berada dalam kenikmatan yang abadi selama-lamanya.
Hanya kepada Allah-lah kami memohon agar diri kami dihimpun bersama golongan ahli surga ini; sesungguhnya Allah Maha Dermawan, Maha Mulia, Maha Baik lagi Maha Penyayang."
Dan jika demikian balasan yang akan diterima oleh orang-orang kafir, maka tidak demikian halnya dengan orang-orang yang beriman. Surga yang nyaman dan indah adalah tempat bagi mereka. Sampaikanlah kabar gembira yang menenteramkan jiwa kepada orang-orang yang beriman kepada Allah, Rasul, dan kitab-Nya tanpa keraguan sedikit pun, dan berbuat amal-amal kebajikan, bahwa untuk mereka Allah menyediakan di sisi-Nya surga-surga dengan kebun-kebun yang rindang dan berbuah, serta istana-istana yang menjulang tinggi, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki oleh Allah berupa buah-buahan dari surga, mereka berkata, Inilah rezeki yang serupa dengan yang pernah diberikan kepada kami dahulu. Mereka telah diberi buah-buahan yang serupa dari segi nama, bentuk, dan jenisnya, meski rasa dan kelezatannya jauh berbeda. Dan di sana mereka juga memperoleh pasangan-pasangan yang suci, tanpa cacat dan kekurangan sedikit pun. Mereka kekal hidup di dalamnya untuk selama-lamanya, tidak akan pernah mati, dan tidak akan pernah keluar darinya.
Allah sering membuat perumpamaan untuk menjelaskan kebe-naran dan hakikat yang luhur, dengan bermacam makhluk hidup, baik kecil maupun besar. Orang-orang kafir mencibir ketika Allah mengambil perumpamaan berupa makhluk kecil yang dipandang remeh seperti lalat dan laba-laba. Di sini dijelaskan sesungguhnya Allah tidak merasa segan atau malu untuk membuat perumpamaan bagi sebu-ah kebenaran dengan seekor nyamuk atau kutu yang sangat kecil atau yang lebih kecil dari itu. Kendati kecil, belalainya dapat menembus kulit gajah, kerbau, dan unta, dan menggigitnya, serta menyebabkan kematian. Adapun orang-orang yang beriman, ketika mendengar perumpamaan itu mereka tahu maksud perumpamaan itu dan tahu bahwa perumpamaan itu adalah kebenaran dari Tuhan yang tidak diragukan lagi. Tetapi sebaliknya, mereka yang kafir menyikapi itu dengan sikap ingkar dan berkata, Apa maksud Allah dengan perumpamaan yang remeh ini' Allah menjawab bahwa perumpamaan itu dibuat untuk menguji siapa di antara mereka yang mukmin dan yang kafir. Oleh karenanya, dengan perumpamaan itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, karena mereka tidak mencari dan menginginkan kebenaran, dan dengan perumpamaan itu banyak pula orang yang diberi-Nya petunjuk karena mereka memang mencari dan menginginkannya. Tetapi Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya, sehingga tidak ada yang Dia sesatkan dengan perumpamaan itu selain orang-orang fasik, yang melanggar ketentuan-ketentuan agama, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Allah ﷻ memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ agar menyampaikan "berita gembira" kepada orang-orang yang beriman. Sifat-sifat berita gembira itu ialah berita yang dapat menimbulkan kegembiraan dalam arti yang sebenarnya bagi orang-orang yang menerima atau mendengar berita itu. "Berita gembira" hanya ditujukan kepada mereka yang bekerja dan berusaha dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan yang digariskan oleh agama. Karena itulah Allah menyuruh Nabi Muhammad menyampaikan berita gembira itu kepada mereka yang beriman dan berbuat baik.
Iman yang dihargai Allah adalah iman yang hidup, yakni iman yang dibuktikan dengan amal kebajikan. Sebaliknya, Allah tidak menghargai amal apabila tidak berdasarkan iman yang benar.
"Amal" (perbuatan) ialah mewujudkan suatu perbuatan atau pekerjaan, baik berupa perkataan, perbuatan atau pun ikrar hati, tetapi yang biasa dipahami dari perkataan "amal" ialah perbuatan anggota badan. Amal baik mewujudkan perbuatan yang baik seperti yang telah ditentukan oleh agama.
Pada ayat di atas Allah ﷻ menyebut perkataan "beriman" dan "berbuat baik", karena "berbuat baik" itu adalah hasil daripada "iman". Pada ayat di atas ini juga disebut balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman, yaitu surga dengan segala kenikmatan yang terdapat di dalamnya.
"Surga" menurut bahasa berarti "taman" yang indah dengan tanam-tanaman yang beraneka warna, menarik hati orang yang memandangnya. Yang dimaksud dengan "surga" di sini tempat yang disediakan bagi orang yang beriman di akhirat nanti.
Surga termasuk alam gaib, tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, hanya Allah saja yang mengetahuinya. Yang perlu dipercaya adalah bahwa surga merupakan tempat yang penuh kenikmatan jasmani dan rohani yang disediakan bagi orang yang beriman. Bentuk kenikmatan itu tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan duniawi.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 21-25
Ayat 21
“Wahai, manusia!"
Rata seruan kepada seluruh manusia yang telah dapat berpikir—"Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu."— Dari tidak ada, kamu telah diadakan dan hidup di atas bumi.—"Dan orang-orang yang sebelum kamu" Artinya, datang ke dunia mendapat sawah dan ladang, rumah tangga, dan pusaka yang lain dari nenek moyang sehingga yang datang kemudian hanya melanjutkan apa yang dicencang dan dilatih oleh orang tua-tua. Maka, orang tua-tua yang telah meninggalkan pusaka itu pun Allah jualah yang menciptakan mereka. Disuruh mengingat itu
“Supaya kamu terpelihara."
Pikirkanlah olehmu, hai manusia, akan Allah itu,
Ayat 22
“Yang telah menjadikan untuk kamu akan bumi, jadi hamparan,"
Terbentang luas sehingga kamu bisa hidup makmur di atas hamparannya itu."Dan langit sebagai bangunan" yang dapat dirasakan melihat awannya yang berarak di waktu siang dan bintangnya yang gemerlap di waktu malam, dan mataharinya yang memberikan sinar dan bulannya yang gemilang cahaya."Dan diturunkan-Nya air dari langit'—dari atas—"Maka, keluarlah dengan sebabnya buah-buahan, rezeki bagi kamu." Maka, pandang dan renungkanlah itu semuanya, sejak dari buminya sampai langitnya, sampai pada turunnya air hujan yang menyuburkan bumi itu. Teratur turunnya hujan menyebabkan suburnya apa pun yang ditanam. Kebun subur, sawah subur, dan hasil tanaman setiap tahun dapAllah diambil buat dimakan.
“Maka, janganlah kamu adakan bagi Allah sekutu-sekutu, padahal kamu mengetahui."
Tentu kalau telah kamu pakai pikiranmu itu, ketahuilah olehmu bahwa Yang Mahakuasa hanyalah Dia sendiri-Nya. Yang menyediakan bumi untuk kamu hanya Dia sendiri, yang menurunkan hujan, menumbuhkan dan menghasilkan buah-buahan untuk makananmu hanya Dia sendiri. Sebab itu, tidaklah pantas kamu menyekutukan Dia dengan yang lain. Padahal kamu sendiri merasa bahwa tidak ada yang lain yang berkuasa. Yang lain itu hanyalah bikin-bikin kamu saja.
Ayat ini menyuruh kita berpikir dan merenungkan, diikuti dengan merasakan. Bukankah kemakmuran hidup kita sangat bergantung pada pertalian langit dengan bumi lantaran hujan? Adanya gunung-gunung dan kayu-kayuan, menghambat air hujan itu jangan tumpah percuma saja ke laut, tetapi ter-tahan-tahan dan menimbulkan sungai-sungai. Setengahnya terpendam ke bawah bumi menjadi persediaan air. Pertalian langit dengan bumi, dengan adanya air hujan itu teratur dengan sangat rapinya sehingga kehidupan kita di atas bumi menjadi terjamin. Ayat ini menyuruh renungkan kepada kita bahwasanya semuanya itu pasti ada yang mencipta-kan; itulah Allah. Tak mungkin ada kekuasaan lain yang dapat membuat aturan setertib dan seteratur itu. Sebab itu, datanglah ujung ayat mengatakan tidaklah patut kita menyembah kepada Tuhan yang lain selain Allah.
“Maka, janganlah kamu adakan bagi Allah sekutu-sekutu, padahal kamu mengetahui."
Kamu sudah tahu bahwa yang menghamparkan bumi dan membangun langit lalu menurunkan hujan itu, tidak dicampuri oleh kekuasaan yang lain.
Di sini, kita bertemu lagi dengan apa yang telah kita tafsirkan di dalam surah al-Faatihah. Di ayat 21, kita disuruh menyembah Allah, itulah Tauhid Uluhiyah; penyatuan tempat menyembah. Sebab, Dia yang telah menjadikan kita dan nenek moyang kita; tidak bersekutu dengan yang lain. Itulah Tauhid Rububiyah.
Di ayat 22, ditegaskan sekali lagi Tauhid Rububiyah, yaitu Dia yang menjadikan bumi sebagai hamparan, menjadikan langit sebagai bangunan dan Dia yang menurunkan hujan, sehingga tumbuhlah tanam-tanaman untuk rezeki bagi kamu. Ini adalah Tauhid Rububiyah. Oleh sebab itu, janganlah disekutukan Allah dengan yang lain; itulah Tauhid Ulubiyah.
Maka, pelajaran tauhid didapat langsung dari melihat alam.
Ayat 23
“Dan, jika kamu dalam kegaguan dari hal apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami."
Hamba Kami yang Allah maksudkan ialah Nabi kita Muhammad ﷺ, satu ucapan kehormatan tertinggi dan pembelaan atas diri beliau. Dan yang telah Kami turunkan itu adalah Al-Qur'an. Di ayat kedua permulaan sekali, Allah telah menyatakan bahwa Al-Kitab itu tidak ada lagi keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertakwa. Akan tetapi, sudah terbayang selanjutnya bahwa masih ada manusia yang ragu-ragu, yang menyebabkan mereka menjadi munafik. Sehingga, ada yang mulanya menyatakan percaya, tetapi hatinya tetap ragu.
Ditantangiah keraguan mereka itu dengan ayat ini, “Maka, datangkanlah sebuah surah yang sebanding dengan ia." Allah berfirman begini karena masih ada di antara yang ragu itu menyatakan bahwa Al-Qur'an itu hanyalah karangan Muhammad saja, sedangkan hamba Kami Muhammad ﷺ itu adalah manusia seperti kamu juga. Selama ini, tidaklah dia terkenal sebagai seorang yang sanggup menyusun kata begitu tinggi mutunya atas kehendaknya sendiri, dan bukan pula terkenal dia sebagai seorang kahin (tukang tenung) yang sanggup menyusun kata sastra. Maka, kalau kamu ragu bahwa sabda yang disampaikannya itu benar-benar dari Allah, kamu cobalah mengarang dan mengemukakan satu surah yang sebanding dengan yang dibawakan Muhammad itu!
Cobalah. Apa salahnya! Dan, kalau kamu tidak sanggup maka,
“Dan, panggillah saksi-saksi kamu selain Allah, jika adalah kamu orang-orang yang benar."
Panggillah ahli-ahli untuk membuktikan kebenaranmu. Kalau kamu tidak bisa, mungkin ahli-ahli itu bisa. Boleh kamu coba-coba.
Ayat yang begini dalam bahasa Arab namanya tahaddi yaitu tantangan.
Di zaman Mekah ataupun di zaman Madinah, bukan sedikit ahli-ahli syair dan ada pula kahin atau tukang mantra yang dapat mengeluarkan kata tersusun. Namun, tidak ada satu pun yang dapat menandingi Al-Qur'an. Bahkan sampai pada zaman kita ini pun bangsa Arab tetap mempunyai pujangga-pujangga besar. Mereka pun tidak sanggup membanding dan mengadakan tandingan dari Al-Qur'an. Sehingga dipindahkan ke dalam kata lain, meskipun dalam bahasa Arab sendiri untuk menyamai pengaruh ungkapan-ungkapan wahyu, tidaklah bisa, apalagi akan mengatasi.
Dr. Thaha Husain, pujangga Arab yang terkenal dan diakui kesarjanaannya dan diberi gelar Doctor Honoris Causa oleh beberapa universitas Eropa, sebagaimana universitas di Spanyol, Italia, Yunani, yaitu sesudah dicapai-nya Ph.D. di Sorbonne, mengatakan bahwa bahasa Arab itu mempunyai dua macam sastra, yaitu prosa (manzhum) dan puisi (montsur), yang ketiga ialah Al-Qur'an. Beliau tegaskan bahwa Al-Qur'an bukan prosa, bukan puisi: Al-Qur'an ialah Al-Qur'an.
Tahaddi atau tantangan itu akan berlaku terus sampai akhir zaman. Dan, untuk merasakan betapa hebatnya tantangan itu dan betapa pula bungkamnya jawaban atas tantangan, seyogianyalah kita mengerti bahasa Arab dan dapat membaca Al-Qur'an itu. Dengan demikian, kita akan mencapai ainalyakin dari tantangan ini. Bertambah kita mendalaminya, mempelajari sastra-sastranya dan tingkat-tingkat kemajuannya, bahkan bertambah kita dapat menguasai istimewa itu, bertambah yakinlah kita bahwa tidak dapat dikemuka-kan satu surah pun untuk menandingi Al-Qur'an.
Ayat 24
“Maka, jika kamu tidak dapat membuat, dan sekali-kali kamu tidak akan dapat membuat, takutlah kamu pada neraka yang menyalakannya ialah manusia dan batu, yang disediakan untuk orang-orang yang lain."
Kalau kamu sudah nyata tidak sanggup menandingi Al-Qur'an, dan memang selamanya kamu tidak akan sanggup, baik susun kata maupun makna yang terkandung di dalamnya maka janganlah diteruskan lagi penan-tangan itu, lebih baik tunduk dan patuhlah, serta terimalah dengan tulus ikhlas, jangan dilanjutkan lagi sikap yang ragu-ragu itu. Karena, meneruskan keraguan terhadap perkara yang sudah nyata, akibatnya hanyalah kecelakaan bagi diri sendiri. Jika kebenaran yang telah diakui oleh hati masih juga ditolak, berarti memilih jalan yang lain yang membawa kesesatan. Kalau dipilih jalan sesat, tentu nerakalah ujungnya yang terakhir. Neraka yang apinya dinyalakan dengan manusia yang dihukum yang dimasukkan ke dalamnya bercampur dengan batu-batu.
Ayat 25
“Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa untuk Mereka adalah surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."
Keras kepala nerakalah ancamannya, sedangkan kepatuhan dijanjikan masuk surga. Adapun yang diajak buat kepatuhan itu ialah hal yang masuk di akal dan hal untuk keselamatan hidup sendiri di dunia ini, bukan memaksa yang tidak dapat dikerjakan.
“Tiap-tiap kali diberikan kepada mereka ‘suatu pemberian dari semacam buah-buahan, mereka berkata, ‘Inilah yang telah dijanjikan kepada kita dari dahulu.' Dan diberikan kepada mereka akan dia serupa."
Baik juga kita ketahui pendapat lain di antara ahli-ahli tafsir tentang mafhum ayat ini. Penafsiran Jalaluddin as-Sayuthi membawakan arti demikian, “Inilah yang telah dikaruniakan kepada kita di waktu dahulu. Dan, diberikan kepada mereka serupa-serupa." Beliau, al-Jalal, memahami bahwa buah-buahan yang dihidangkan di surga itu serupa dengan buah-buahan yang telah pernah mereka diberi rezeki di dunia dahulu. Padahal, hanya rupa yang sama, tetapi rasa dan kelezatannya niscaya berlainan. Adakah sama rasa buah-buahan surga dengan buah-buahan dunia? Adapun penafsir-penafsir yang lain memaknakan ayat itu, “Inilah yang telah dijanjikan kepada kita di waktu dahulu." Artinya, setelah mereka menerima buah-buahan itu terkenanglah mereka kembali, memang benarlah dahulu waktu di dunia Allah telah menjanjikan itu buat mereka."Dan, diberikan kepada mereka berbagai ragam. Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci" Setengah ahli tafsir menafsirkan pengertian suci bersih di sini ialah istri di surga tidak pernah berhaid lagi sebab haid itu kotor, tetapi sebaiknya kita memahamkan lebih tinggi lagi dari itu.
“Dan, Mereka akan kekal didalamnya."
(ujung ayat 25)