Ayat
Terjemahan Per Kata
مَّن
siapakah
ذَا
orang
ٱلَّذِي
yang
يُقۡرِضُ
(dia) memberi pinjaman
ٱللَّهَ
Allah
قَرۡضًا
pinjaman
حَسَنٗا
yang baik
فَيُضَٰعِفَهُۥ
maka Dia akan melipat gandakannya
لَهُۥٓ
kepadanya
أَضۡعَافٗا
lipat ganda
كَثِيرَةٗۚ
yang banyak
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَقۡبِضُ
Dia menyempitkan
وَيَبۡصُۜطُ
dan Dia melapangkan
وَإِلَيۡهِ
dan kepadaNya
تُرۡجَعُونَ
kalian dikembalikan
مَّن
siapakah
ذَا
orang
ٱلَّذِي
yang
يُقۡرِضُ
(dia) memberi pinjaman
ٱللَّهَ
Allah
قَرۡضًا
pinjaman
حَسَنٗا
yang baik
فَيُضَٰعِفَهُۥ
maka Dia akan melipat gandakannya
لَهُۥٓ
kepadanya
أَضۡعَافٗا
lipat ganda
كَثِيرَةٗۚ
yang banyak
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَقۡبِضُ
Dia menyempitkan
وَيَبۡصُۜطُ
dan Dia melapangkan
وَإِلَيۡهِ
dan kepadaNya
تُرۡجَعُونَ
kalian dikembalikan
Terjemahan
Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Tafsir
(Siapakah yang bersedia memberi pinjaman kepada Allah) yaitu dengan menafkahkan hartanya di jalan Allah (yakni pinjaman yang baik) dengan ikhlas kepada-Nya semata, (maka Allah akan menggandakan) pembayarannya; menurut satu qiraat dengan tasydid hingga berbunyi 'fayudha'ifahu' (hingga berlipat-lipat) mulai dari sepuluh sampai pada tujuh ratus lebih sebagaimana yang akan kita temui nanti (Dan Allah menyempitkan) atau menahan rezeki orang yang kehendaki-Nya sebagai ujian (dan melapangkannya) terhadap orang yang dikehendaki-Nya, juga sebagai cobaan (dan kepada-Nya kamu dikembalikan) di akhirat dengan jalan akan dibangkitkan dari matimu dan akan dibalas segala amal perbuatanmu.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 243-245
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka, "Matilah kalian," kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan.
Ayat 243
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jumlah mereka adalah empat ribu orang, dan diriwayatkan pula darinya bahwa jumlah mereka adalah delapan ribu orang. Abu Saleh mengatakan, jumlah mereka adalah sembilan ribu orang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa jumlah mereka adalah empat puluh ribu orang. Wahb ibnu Munabbih dan Abu Malik mengatakan, mereka terdiri atas tiga puluh ribu orang lebih.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk sebuah kota yang dikenal dengan nama Jawurdan. Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi dan Abu Saleh, tetapi ditambahkan bahwa mereka dari arah Wasit. Sa'id ibnu Abdul Aziz mengatakan bahwa mereka adalah penduduk negeri Azri'at. Sedangkan menurut Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, hal ini hanyalah semata-mata perumpamaan saja. Ali ibnu ‘Ashim mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Zawurdan yang jauhnya satu farsakh dari arah Wasit.
Waki' Ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Maisarah ibnu Habib An-Nahdi, dari Al-Minhal ibnu Amr Al-Asadi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan deagan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati.” (Al-Baqarah: 243) Ibnu Abbas mengatakan bahwa jumlah mereka ada empat ribu orang; mereka keluar meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari penyakit ta'un yang sedang melanda negeri mereka.
Mereka berkata, "Kita akan mendatangi suatu tempat yang tiada kematian padanya." Ketika mereka sampai di tempat anu dan anu, maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kalian!” (Al-Baqarah: 243)
Maka mereka semuanya mati. Kemudian lewatlah di samping mereka seorang nabi, lalu nabi itu berdoa kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali, maka Allah menghidupkan mereka. Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati.” (Al-Baqarah: 243), hingga akhir ayat.
Tidak hanya seorang saja dari kalangan ulama Salaf menyebutkan bahwa mereka adalah suatu kaum penduduk sebuah negeri di zaman salah seorang nabi Bani Israil. Mereka bertempat tinggal di kemah-kemahnya di tanah kampung halaman mereka. Akan tetapi, datanglah wabah penyakit yang membinasakan, menimpa mereka. Akhirnya mereka keluar menghindari maut ke daerah-daerah pedalaman. Mereka bertempat di sebuah lembah yang luas, dan jumlah mereka yang banyak itu memenuhi lembah tersebut.
Maka Allah mengirimkan dua malaikat kepada mereka; salah satunya dari bawah lembah, sedangkan yang lainnya datang dari atasnya. Kedua malaikat itu memekik sekali pekik di antara mereka, akhirnya matilah mereka semuanya seperti halnya seseorang mati. Kemudian mereka dikumpulkan di kandang-kandang ternak, lalu di sekitar mereka dibangun tembok-tembok (yang mengelilingi) mereka. Mereka semuanya binasa dan tercabik-cabik serta berantakan. Setelah lewat masa satu tahun, lewatlah melalui mereka seorang nabi dari kalangan nabi-nabi Bani Israil yang dikenal dengan nama Hizqil.
Lalu Nabi Hizqil meminta kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali di hadapannya, dan Allah memperkenankan permintaan tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar mengucapkan, "Wahai tulang belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar berkumpul kembali!" Maka tergabunglah tulang-belulang tiap jasad sebagian yang lain menyatu dengan yang lainnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi tersebut untuk mengucapkan, "Wahai tulang-belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk memakai daging, urat, dan kulitmu!" Maka terjadilah hal tersebut, sedangkan nabi menyaksikannya.
Kemudian Allah ﷻ memerintahkan kepada nabi untuk mengatakan: “Wahai para arwah, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu agar setiap ruh kembali kepada jasad yang pernah dimasukinya!" Maka mereka bangkit hidup kembali seraya berpandangan; Allah telah menghidupkan mereka dari tidurnya yang cukup panjang itu, sedangkan mereka mengucapkan kalimat berikut: “Maha Suci Engkau, tidak ada Tuhan selain Engkau.” Dihidupkan-Nya kembali mereka merupakan pelajaran dan bukti yang akurat yang menunjukkan bahwa kelak di hari kiamat jasad akan dibangkitkan hidup kembali.
Karena itulah Allah ﷻ berfirman: Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia.” (Al-Baqarah: 243) Yakni melalui ayat-ayat (tanda-tanda) yang jelas yang diperlihatkan kepada mereka, hujah-hujah (argumentasi) yang kuat, dan dalil-dalil yang akurat. “Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak bersyukur.”(Al-Baqarah: 243) Yaitu mereka tidak menunaikan syukurnya atas limpahan nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dalam urusan agama dan keduniawian mereka.
Di dalam kisah ini terkandung pelajaran dan dalil yang menunjukkan bahwa tiada gunanya kewaspadaan dalam menghadapi takdir, dan tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali hanya kepada Dia.
Karena sesungguhnya mereka keluar untuk tujuan melarikan diri dari wabah penyakit mematikan yang melanda mereka agar hidup mereka panjang. Akan tetapi, pada akhirnya nasib yang menimpa mereka adalah kebalikan dari apa yang mereka dambakan, dan datanglah maut dengan cepat sekaligus membinasakan mereka semuanya. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Malik dan Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar; keduanya meriwayatkan hadits berikut dari Az-Zuhri, dari Abdul Hamid ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Naufal, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berangkat menuju negeri Syam.
Ketika ia sampai di Sarg, para pemimpin pasukan yang terdiri atas Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan teman-temannya datang menjumpainya. Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa wabah penyakit yang mematikan sedang melanda negeri Syam. Maka Khalifah Umar ibnul Khattab menuturkan hadits mengenai hal ini. Abdur Rahman ibnu Auf yang tadinya tidak ada di tempat karena mempunyai suatu keperluan datang, lalu ia berkata memberikan kesaksiannya, bahwa sesungguhnya ia mempunyai suatu pengetahuan tentang masalah ini.
Ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila wabah berada di suatu tempat, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya. Dan apabila kalian mendengar suatu wabah sedang melanda suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya.” Akhirnya Khalifah Umar mengucapkan hamdalah (memuji kepada Allah atas kesaksian tersebut), lalu ia kembali lagi (ke Madinah).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadits Az-Zuhri dengan lafal sama, sebagiannya melalui jalur yang lain.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Yazid Al-Ama; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zu'aib, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan kepada Khalifah Umar hadits berikut dari Nabi ﷺ ketika Umar berada di negeri Syam, yaitu: “Sesungguhnya wabah ini pernah menimpa umat-umat sebelum kalian sebagai azab. Karena itu, apabila kalian mendengar wabah ini berada di suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan apabila ia berada di suatu daerah, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya karena menghindarinya.” Maka Umar (dan pasukannya) kembali lagi (ke Madinah) dari Syam.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Shahihain melalui hadits Malik, dari Az-Zuhri dengan lafal yang serupal.
Ayat 244
Firman Allah ﷻ: “Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 244)
Yakni sebagaimana sikap waspada tiada gunanya dalam menghadapi takdir, demikian pula melarikan diri dari jihad karena menghindarinya tidak dapat memperpendek atau memperpanjang ajal, melainkan ajal itu telah dipastikan serta rezeki telah ditetapkan takaran dan bagiannya masing-masing, tiada yang diberi tambahan, tiada pula yang dikurangi, semuanya tepat seperti apa yang dikehendaki-Nya.
Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah, "Hindarilah kematian itu dari diri kalian, jika kalian memang benar." (Ali Imran: 168)
Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban perang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dizalimi sedikit pun. Di mana saja kalian berada, kematian akan mendatangi kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (An-Nisa: 77-78)
Telah diriwayatkan kepada kami dari panglima pasukan kaum muslim yang dijuluki 'Pedang Allah', yaitu Khalid ibnul Walid, bahwa ia mengatakan ketika sedang menjelang ajalnya, "Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan anu, dan tiada suatu anggota tubuhku yang selamat melainkan padanya terdapat bekas tusukan pedang, panah, dan pukulan pedang. Tetapi aku kini mati di atas tempat tidurku, seperti unta mati (di kandangnya). Semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur," maksudnya dia merasa sedih dan sakit karena dirinya tidak mati dalam peperangan, dan ia merasa kecewa atas hal tersebut, mengingat dirinya mati di atas kasur.
Ayat 245
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245)
Allah ﷻ menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya di jalan Allah. Allah ﷻ mengulang-ulang ayat ini di dalam Al-Qur'an tidak hanya pada satu tempat saja.
Di dalam hadits yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa Allah ﷻ berfirman: “Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Tuhan yang tidak miskin dan tidak pula berbuat zalim.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: “Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya.” (Al-Baqarah: 245)
Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah memang Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi ﷺ menjawab, "Benar, Abud Dahdah." Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah tanganmu." Maka Rasulullah ﷺ mengulurkan tangannya kepada Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku kebun milikku."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik Abud Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dahdah datang ke kebunnya dan memanggil istrinya, "Wahai Ummu Dahdah." Ummu Dahdah menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah kamu, sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun ini kepada Tuhanku."
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih melalui Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar secara marfu' dengan lafal yang serupa.
Yang dimaksud dengan firman-Nya: “Pinjaman yang baik.” (Al-Baqarah: 245) Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah. Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis.
Firman Allah ﷻ: “Maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245)
Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Tafsir ayat ini akan dikemukakan nanti pada tempatnya.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, dari Ali ibnu Za'id, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah , dan kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah berkata, 'Apakah yang membuatmu heran tentang hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi ﷺ' Nabi ﷺ telah bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua juta kali lipat pahala kebaikan'.’
Hadits ini berpredikat gharib karena Ali ibnu Zaid ibnu Jad'ah banyak memiliki hadits-hadits yang munkar.
Akan tetapi, hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu Sulaiman ibnu Khallad Al-Muaddib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Uqbah Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa "Tiada seorang pun yang lebih banyak duduk di majelis Abu Hurairah selain dari aku sendiri. Abu Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan atsar darinya, bahwa ia pernah mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kali lipat pahala kebaikan.'' Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang pun yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, tetapi aku belum pernah mendengar hadits ini.' Maka aku berangkat dengan maksud untuk menyusulnya, tetapi kujumpai dia telah berangkat berhaji.
Maka aku berangkat pula menunaikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadits ini. Lalu aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, hadits apakah yang pernah kudengar dari penduduk Basrah, mereka mengatakannya bersumber dari kamu?' Abu Hurairah bertanya, 'Hadits apakah itu?' Aku menjawab, 'Mereka menduga engkau pernah mengatakan: Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah menjawab, 'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau herankan dari masalah ini, sedangkan Allah ﷻ telah berfirman: “Barang siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245)
Allah ﷻ telah berfirman pula: “Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah melipat gandakan pahala suatu kebaikan menjadi dua juta kebaikan."
Semakna dengan hadits ini adalah hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu ia mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu," maka Allah mencatatkan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta keburukan (dosa).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, dari Isa ibnul Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika diturunkannya firman Allah ﷻ: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai.” (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat.
Maka Rasulullah ﷺ berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Barang siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245) Nabi ﷺ berdoa lagi, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang diberikan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b Al-Ahbar, bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan, "Barang siapa yang membaca qul huwallahu ahad sekali, maka Allah akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan yaqut di surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? Ka'b Al-Ahbar menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap hal tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan dilipatgandakan menjadi dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan lebih dari itu, tiada yang dapat menghitungnya selain dari Allah sendiri." Selanjutnya Ka'b membacakan firman-Nya: “Barang siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245) Istilah katsir atau banyak dari Allah berarti tidak terhitung jumlahnya.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki.” (Al-Baqarah: 245)
Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan janganlah kalian pedulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi rezeki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang lainnya di antara mereka; hal tersebut mengandung hikmah yang sangat bijak dari Allah.
“Dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan.” (Al-Baqarah: 245) Yakni di hari kiamat nanti.
Barang siapa mau meminjami atau menginfakkan hartanya di jalan Allah dengan pinjaman yang baik berupa harta yang halal disertai niat yang ikhlas, maka Allah akan melipatgandakan ganti atau balasan kepadanya dengan balasan yang banyak dan berlipat sehingga kamu akan senantiasa terpacu untuk berinfak. Allah dengan segala kebijaksanaanNya akan menahan atau menyempitkan dan melapangkan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan pada hari kebangkitan untuk mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai dengan apa yang diniatkan. Ketika para sahabat Nabi begitu antusias melaksanakan perintah berjihad, ayat ini memperlihatkan kebalikan dari sikap tersebut yang ditunjukkan oleh Bani Israil. Tidakkah kamu, wahai Nabi Muhammad, perhatikan, yakni mendengar kisah, para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, setelah mereka berselisih paham siapa yang berhak menjadi pemimpin, dengan mengatakan, Angkatlah seorang raja, yakni pemimpin perang untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah besertanya. Nabi mereka menjawab, Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan menaatinya untuk berperang juga karena takut mati dan kecintaanmu terhadap dunia' Mereka menjawab, Mengapa atau bagaimana mungkin kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dipisahkan dari anak-anak kami, karena mereka ditahan' Tetapi ketika perang itu benar-benar diwajibkan atas mereka karena permintaan mereka sendiri, justru mereka berpaling dengan segera karena merasa ngeri dan takut, kecuali sebagian kecil dari mereka yang masih konsisten. Dan Allah Maha Mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang zalim dengan meminta suatu kewajiban yang kemudian mereka sendiri melanggarnya.
Diriwiyatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi hatim, dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Umar ketika turun ayat 261 surah al-Baqarah yang menerangkan bahwa orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah nafkahnya itu adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan 7 tangkai; pada tiap-tiap tangkai berisi seratus biji, maka Rasulullah ﷺ memohon, "Ya Tuhanku, tambahlah balasan itu bagi umatku (lebih dari 700 kali).
Setelah dikisahkan tentang umat yang binasa disebabkan karena ketakutan dan kelemahan kayakinan, maka dalam ayat ini Allah menganjurkan agar umat rela berkorban menafkahkan hartanya di jalan Allah dan nafkah itu dinamakan pinjaman. Allah, menamakannya pinjaman padahal Allah sendiri maha kaya, karena Allah mengetahui bahwa dorongan untuk mengeluarkan harta bagi kemaslahatan umat itu sangat lemah pada sebagian besar manusia; hanya segolongan kecil saja yang rela berbuat demikian. Hal ini dapat dirasakan di mana seorang hartawan kadang-kadang mudah saja mengeluarkan kelebihan hartanya untuk menolong kawan-kawannya, mungkin dengan niat untuk menjaga diri dari kejahatan atau untuk memelihara kedudukan yang tinggi, terutama jika yang ditolong itu kerabatnya sendiri. Tetapi jika pengeluaran harta itu untuk mempertahankan agama dan memelihara keluhurannya serta meninggikan kalimah Allah yang di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi dirinya sendiri secara langsung di dunia, maka tidak mudah baginya untuk melepaskan harta yang dicintainya itu, kecuali jika secara terang-terangan atau melalui saluran resmi. Oleh karena itu, ungkapan yang dipergunakan untuk menafkahkan harta benda di jalan Allah itu sangat menarik, yaitu: "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, suatu pinjaman yang baik."
Pinjaman yang baik itu yang sesuai dengan bidang dan kemanfaatannya dan dikeluarkan dengan ikhlas semata-mata untuk mencapai keridaan Allah ﷻ Allah menjanjikan akan memberi balasan yang berlipat ganda. Allah memberikan perumpamaan tentang balasan yang berlipat ganda itu seperti sebutir benih padi yang ditanam dapat menghasilkan tujuh tangkai padi, setiap tangkai berisi 100 butir, sehingga menghasilkan 700 butir. Bahkan, Allah membalas itu tanpa batas sesuai dengan yang dimohonkan Rasulullah bagi umatnya dan sesuai dengan keikhlasan orang yang memberikan nafkah.
Allah ﷻ membatasi rezeki kepada orang yang tidak mengetahui sunatullah dalam soal-soal pencarian harta benda karena mereka tidak giat membangun di pelbagai bidang yang telah ditunjukkan Allah. Allah melapangkan rezeki kepada manusia yang lain yang pandai menyesuaikan diri dengan sunatullah dan menggarap berbagai bidang usaha sehingga merasakan hasil manfaatnya. Bila Allah menjadikan seorang miskin jadi kaya atau sebaliknya, maka yang demikian itu adalah sepenuhnya dalam kekuasaan Allah. Anjuran Allah menafkahkan sebagian harta ke jalan Allah, semata-mata untuk kemanfaatan manusia sendiri dan memberi petunjuk kepadanya agar mensyukuri nikmat pemberian itu karena dengan mensyukuri akan bertambah banyaklah berkahnya. Kemudian Allah menjelaskan bahwa semua makhluk akan dikembalikan kepada-Nya pada hari kiamat untuk menerima balasan amalnya masing-masing.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JANGAN TAKUT MATI, SUPAYA HIDUP
Ayat 243
“Atau tidakkah engkau perhatikan kepada orang-orang yang ketuai dari kampung-kampung mereka, padahal mereka beribu-ribu, karena takut mati?"
Tuhan di dalam ayat ini menyuruh Rasul-Nya dan umatnya memperhatikan suatu kaum, beribu-ribu banyaknya. Mereka keluar dari kampung halaman mereka karena mereka takut mati.
Kita yang telah mengalami masa-masa peralihan, terutama jatuhnya kerajaan Hindia-Belanda dan masuknya tentara Jepang, dapat merasakan apa yang dikatakan oleh ayat ini. Sebab, kita melihat bahkan mengalami ketika telah jatuh Singapura, runtuhlah semangat tentara Belanda dan bangsa Belanda yang selama ini merasa sombong di Indonesia ini, yang merasa bahwa negeri ini mereka yang empunya, dan benci kepada rakyat yang empunya negeri sebenarnya, tidak percaya buat menyerahkan senjata kepada mereka untuk mempertahankan diri. Ketika itulah, kita melihat beribu-ribu orang berduyun-duyun meninggalkan rumah tangga dan kampung halaman karena takut mati, terutama orang Belanda dan serdadu Hindia-Belanda, sehingga kita rakyat asli yang tidak bersenjata pun ikut ketularan penyakit takut mati itu. Keluar dari dalam rumah bukan niat pergi bertahan, tetapi pergi memelihara nyawa. Ketika itulah kita baru mendengar apa yang dinamai evacuatie menjadi bahasa kita evakuasi atau mengungsi, atau lari habis!
Akhirnya, karena tidak ada pertahanan yang berarti, bahkan segala senjata yang dalam tangan dibawa lari ke hutan, musuh itu pun masuklah; semua dia hantam, dia tindas, dia jadikan tawanan, dia perbudak. Alamat hidup suatu bangsa ialah apabila mereka masih mempunyai pemerintahan yang teratur. Kalau pemerintahannya tidak ada lagi, sebab pemegang-pemegang pemerintah itu telah dibunuh atau ditawan, dan kekuatan telah pindah dengan serta merta ke tangan musuh yang memasuki negeri itu, berartilah sejak waktu itu negeri itu telah mati walaupun orang-orangnya masih ada. Maka, dilanjutkanlah keadaan yang diderita mereka oleh bunyi ayat, “Maka, berkatalah Allah kepada mereka, ‘Matilah kamu semuanya!'" Yaitu, bahwa tanda-tanda hidup sebagai suatu kaum tidak ada lagi. Semisal kejatuhan pemerintahan Hindia-Belanda tadi; mulai tentara Jepang masuk, bendera Belanda tidak naik lagi sebab kekuasaan mereka telah mati, yang naik ialah bendera Jepang. Gubernur Jenderal Belanda tidak ada lagi sebab sudah masuk tawanan. Yang naik ialah Saiko Sikikan, penguasa tertinggi Jepang. Alat-alat negara Hindia-Belanda yang selama ini memegang senjata menjaga keamanan sudah dilucuti senjatanya, yang tentara sudah ditawan, dan yang polisi sudah diberi band tangan bertulisan huruf Kanji, tandanya mereka sudah jadi alat kekuasaan pemerintah baru. Pemerintahan yang lama sudah disuruh mati oleh Tuhan.
Maka, berkatalah sambungan ayat, “Kemudian Dia hidupkan mereka."
Kita teruskan dahulu perbandingan ini untuk menjelaskan penafsiran-penafsiran. Pemerintah Hindia-Belanda terus mati karena haknya untuk hidup memang tidak ada lagi. Walaupun sehabis Perang Dunia II mereka mencoba lagi hendak menghidupkan pemerintahan itu, tetapi dia telah mati. Adapun bangsa Indonesia yang telah dicoba dimatikan selama 350 tahun dihidupkan oleh Tuhan kembali.
Yang tua-tua telah sama mati, tetapi ada sesuatu yang hidup yang mereka tinggalkan buat anak-cucu mereka, yaitu semangat ingin hidup sebagai kaum, sebagai bangsa, sehingga untuk itu, kalau perlu, perseorangan biar mati. Maka, bangsa yang telah dihitung mati itu pun hiduplah kembali. Dunia mengenalnya sebagai bangsa yang hidup. Dia mempunyai tanda-tanda dari kehidupan. Dia mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai kepala negara, mempunyai batas-batas wilayah. Bahkan, orang-orang yang hidup di zaman penjajahan yang boleh dihitung telah mati, menjadi hidup kembali sebab mereka telah jadi bangsa merdeka!
Apa sebab mereka yang telah “terkubur" 350 tahun bisa hidup kembali? Ialah karena bila musuh datang, mereka tidak lagi “keluar dari kampung-kampung mereka beribu-ribu karena takut mati", tetapi mempertahankan negeri mereka dengan harta dan nyawa meskipun untuk itu perlu mereka mati. Karena berani mati itu, mereka pun diberi hidup oleh Allah. Kegagalan orang tua-tua dahulu dan kegagalan pemerintah yang takut mati dijadikan pengajaran oleh anak-cucu yang datang kemudian bahwa untuk hidup, beranilah mati, sedangkan untuk mati, takutlah mati. Dan, di akhir ayat Tuhan tegaskanlah sunnah-Nya,
“Sesungguhnya, Allah adalah mempunyai karunia atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidaklah bersyukur."
Setelah Tuhan menerangkan satu pokok asal dari sebab-sebab kematian atau kehidupan suatu bangsa ini, berfirmanlah Tuhan selanjutnya.
Ayat 244
“Dan berperanglah kamu pada jalan Allah dan ketahuilah olehmu bahwasanya Allah adalah Maha Mendengar, lagi Mengetahui “
Berperang menegakkan jalan Allah niscaya menghendaki pengorbanan. Kalau musuh telah masuk ke negeri atau telah tumbuh di dalam negeri, semua orang menjadi fardhu ‘ain untuk turut berperang. Masing-masing berperang menurut bakat dan bidangnya; berkorban dan memberi. Memberikan harta dan jiwa, bahkan memberikan anak yang dicintai, biar gugur di medan perang. Maka, datanglah rayuan Tuhan untuk menggerakkan hati orang-orang yang beriman,
Ayat 245
“Siapakah dia, yang sudi meminjami Allah dengan pinjaman yang baik? Supaya Dia gandakan untuknya dengan penggandaan yang banyak? Dan Allah menahan-nahan dan meluas-lebarkan? Dan kepada-Nyalah kamu sekalian akan kembali."
Pengorbanan untuk menegakkan yang hak tidaklah akan sia-sia. Namun, Tuhan, karena cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang beriman, mengatakan bahwa Dia meminjam. Alangkah terharunya orang Mukmin mendengar kata Tuhan ini; harta siapa yang dipinjam Tuhan, padahal kekayaan yang ada pada kita, Dialah yang meminjamkan kepada kita untuk sementara? Hati yang beriman pasti tergetar mendengar firman Tuhan ini. Tidak ada yang akan ditahannya lagi kalau kehendak Allah datang supaya dibelanjakan. Dan, Tuhan pun berjanji akan menggantinya berlipat ganda. Kadang-kadang harta benda dikeluarkan, sedangkan gantinya ialah kemerdekaan umat, tegaknya agama dan berjalannya kebenaran Tuhan di muka bumi.