Ayat
Terjemahan Per Kata
أَلَمۡ
tidakkah
تَرَ
kamu memperhatikan
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
خَرَجُواْ
(mereka) keluar
مِن
dari
دِيَٰرِهِمۡ
rumah/kampung halaman mereka
وَهُمۡ
dan mereka
أُلُوفٌ
beribu-ribu
حَذَرَ
takut
ٱلۡمَوۡتِ
mati
فَقَالَ
maka berfirman
لَهُمُ
kepada mereka
ٱللَّهُ
Allah
مُوتُواْ
matilah kamu
ثُمَّ
kemudian
أَحۡيَٰهُمۡۚ
Dia menghidupkan mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَذُو
sungguh mempunyai
فَضۡلٍ
karunia
عَلَى
atas/terhadap
ٱلنَّاسِ
manusia
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَ
kebanyakan
ٱلنَّاسِ
manusia
لَا
tidak
يَشۡكُرُونَ
(mereka) bersyukur
أَلَمۡ
tidakkah
تَرَ
kamu memperhatikan
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
خَرَجُواْ
(mereka) keluar
مِن
dari
دِيَٰرِهِمۡ
rumah/kampung halaman mereka
وَهُمۡ
dan mereka
أُلُوفٌ
beribu-ribu
حَذَرَ
takut
ٱلۡمَوۡتِ
mati
فَقَالَ
maka berfirman
لَهُمُ
kepada mereka
ٱللَّهُ
Allah
مُوتُواْ
matilah kamu
ثُمَّ
kemudian
أَحۡيَٰهُمۡۚ
Dia menghidupkan mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَذُو
sungguh mempunyai
فَضۡلٍ
karunia
عَلَى
atas/terhadap
ٱلنَّاسِ
manusia
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَ
kebanyakan
ٱلنَّاسِ
manusia
لَا
tidak
يَشۡكُرُونَ
(mereka) bersyukur
Terjemahan
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dalam jumlah ribuan karena takut mati? Lalu, Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian, Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah Pemberi karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
Tafsir
(Tidakkah kamu perhatikan) pertanyaan disertai keanehan dan dorongan untuk mendengar apa yang dibicarakan sesudah itu (orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan jumlah mereka beribu-ribu) ada yang mengatakan empat, delapan atau sepuluh ribu serta ada pula yang mengatakan berjumlah tiga puluh, empat puluh atau tujuh puluh ribu (disebabkan takut mati) sebagai maf`ul liajlih. Mereka ini ialah segolongan Bani Israel yang ditimpa oleh wabah sampar hingga lari meninggalkan negeri mereka. (Maka firman Allah kepada mereka, "Matilah kamu!") hingga mereka pun mati, (kemudian mereka dihidupkan-Nya kembali), yakni setelah delapan hari atau lebih, atas doa Nabi mereka yang bernama Hizqil. Ada beberapa lamanya mereka hidup tetapi bekas kematian tanda-tandanya terdapat pada diri mereka, tidak memakai pakaian kecuali nanti berbalik menjadi kain kafan, dan peristiwa ini menjadi buah tutur sampai kepada anak-anak mereka. (Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia) di antaranya menghidupkan mereka tadi, (tetapi kebanyakan manusia) yakni orang-orang kafir (tidak bersyukur). Adapun tujuan menyebutkan tentang orang-orang itu di sini ialah untuk merangsang semangat orang-orang beriman untuk berperang dan itulah sebabnya dihubungkan kepadanya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 243-245
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka, "Matilah kalian," kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan.
Ayat 243
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jumlah mereka adalah empat ribu orang, dan diriwayatkan pula darinya bahwa jumlah mereka adalah delapan ribu orang. Abu Saleh mengatakan, jumlah mereka adalah sembilan ribu orang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa jumlah mereka adalah empat puluh ribu orang. Wahb ibnu Munabbih dan Abu Malik mengatakan, mereka terdiri atas tiga puluh ribu orang lebih.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk sebuah kota yang dikenal dengan nama Jawurdan. Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi dan Abu Saleh, tetapi ditambahkan bahwa mereka dari arah Wasit. Sa'id ibnu Abdul Aziz mengatakan bahwa mereka adalah penduduk negeri Azri'at. Sedangkan menurut Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, hal ini hanyalah semata-mata perumpamaan saja. Ali ibnu ‘Ashim mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Zawurdan yang jauhnya satu farsakh dari arah Wasit.
Waki' Ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Maisarah ibnu Habib An-Nahdi, dari Al-Minhal ibnu Amr Al-Asadi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan deagan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati.” (Al-Baqarah: 243) Ibnu Abbas mengatakan bahwa jumlah mereka ada empat ribu orang; mereka keluar meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari penyakit ta'un yang sedang melanda negeri mereka.
Mereka berkata, "Kita akan mendatangi suatu tempat yang tiada kematian padanya." Ketika mereka sampai di tempat anu dan anu, maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kalian!” (Al-Baqarah: 243)
Maka mereka semuanya mati. Kemudian lewatlah di samping mereka seorang nabi, lalu nabi itu berdoa kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali, maka Allah menghidupkan mereka. Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati.” (Al-Baqarah: 243), hingga akhir ayat.
Tidak hanya seorang saja dari kalangan ulama Salaf menyebutkan bahwa mereka adalah suatu kaum penduduk sebuah negeri di zaman salah seorang nabi Bani Israil. Mereka bertempat tinggal di kemah-kemahnya di tanah kampung halaman mereka. Akan tetapi, datanglah wabah penyakit yang membinasakan, menimpa mereka. Akhirnya mereka keluar menghindari maut ke daerah-daerah pedalaman. Mereka bertempat di sebuah lembah yang luas, dan jumlah mereka yang banyak itu memenuhi lembah tersebut.
Maka Allah mengirimkan dua malaikat kepada mereka; salah satunya dari bawah lembah, sedangkan yang lainnya datang dari atasnya. Kedua malaikat itu memekik sekali pekik di antara mereka, akhirnya matilah mereka semuanya seperti halnya seseorang mati. Kemudian mereka dikumpulkan di kandang-kandang ternak, lalu di sekitar mereka dibangun tembok-tembok (yang mengelilingi) mereka. Mereka semuanya binasa dan tercabik-cabik serta berantakan. Setelah lewat masa satu tahun, lewatlah melalui mereka seorang nabi dari kalangan nabi-nabi Bani Israil yang dikenal dengan nama Hizqil.
Lalu Nabi Hizqil meminta kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali di hadapannya, dan Allah memperkenankan permintaan tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar mengucapkan, "Wahai tulang belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar berkumpul kembali!" Maka tergabunglah tulang-belulang tiap jasad sebagian yang lain menyatu dengan yang lainnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi tersebut untuk mengucapkan, "Wahai tulang-belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk memakai daging, urat, dan kulitmu!" Maka terjadilah hal tersebut, sedangkan nabi menyaksikannya.
Kemudian Allah ﷻ memerintahkan kepada nabi untuk mengatakan: “Wahai para arwah, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu agar setiap ruh kembali kepada jasad yang pernah dimasukinya!" Maka mereka bangkit hidup kembali seraya berpandangan; Allah telah menghidupkan mereka dari tidurnya yang cukup panjang itu, sedangkan mereka mengucapkan kalimat berikut: “Maha Suci Engkau, tidak ada Tuhan selain Engkau.” Dihidupkan-Nya kembali mereka merupakan pelajaran dan bukti yang akurat yang menunjukkan bahwa kelak di hari kiamat jasad akan dibangkitkan hidup kembali.
Karena itulah Allah ﷻ berfirman: Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia.” (Al-Baqarah: 243) Yakni melalui ayat-ayat (tanda-tanda) yang jelas yang diperlihatkan kepada mereka, hujah-hujah (argumentasi) yang kuat, dan dalil-dalil yang akurat. “Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak bersyukur.”(Al-Baqarah: 243) Yaitu mereka tidak menunaikan syukurnya atas limpahan nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dalam urusan agama dan keduniawian mereka.
Di dalam kisah ini terkandung pelajaran dan dalil yang menunjukkan bahwa tiada gunanya kewaspadaan dalam menghadapi takdir, dan tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali hanya kepada Dia.
Karena sesungguhnya mereka keluar untuk tujuan melarikan diri dari wabah penyakit mematikan yang melanda mereka agar hidup mereka panjang. Akan tetapi, pada akhirnya nasib yang menimpa mereka adalah kebalikan dari apa yang mereka dambakan, dan datanglah maut dengan cepat sekaligus membinasakan mereka semuanya. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Malik dan Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar; keduanya meriwayatkan hadits berikut dari Az-Zuhri, dari Abdul Hamid ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Naufal, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berangkat menuju negeri Syam.
Ketika ia sampai di Sarg, para pemimpin pasukan yang terdiri atas Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan teman-temannya datang menjumpainya. Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa wabah penyakit yang mematikan sedang melanda negeri Syam. Maka Khalifah Umar ibnul Khattab menuturkan hadits mengenai hal ini. Abdur Rahman ibnu Auf yang tadinya tidak ada di tempat karena mempunyai suatu keperluan datang, lalu ia berkata memberikan kesaksiannya, bahwa sesungguhnya ia mempunyai suatu pengetahuan tentang masalah ini.
Ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila wabah berada di suatu tempat, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya. Dan apabila kalian mendengar suatu wabah sedang melanda suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya.” Akhirnya Khalifah Umar mengucapkan hamdalah (memuji kepada Allah atas kesaksian tersebut), lalu ia kembali lagi (ke Madinah).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadits Az-Zuhri dengan lafal sama, sebagiannya melalui jalur yang lain.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Yazid Al-Ama; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zu'aib, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan kepada Khalifah Umar hadits berikut dari Nabi ﷺ ketika Umar berada di negeri Syam, yaitu: “Sesungguhnya wabah ini pernah menimpa umat-umat sebelum kalian sebagai azab. Karena itu, apabila kalian mendengar wabah ini berada di suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan apabila ia berada di suatu daerah, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya karena menghindarinya.” Maka Umar (dan pasukannya) kembali lagi (ke Madinah) dari Syam.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Shahihain melalui hadits Malik, dari Az-Zuhri dengan lafal yang serupal.
Ayat 244
Firman Allah ﷻ: “Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 244)
Yakni sebagaimana sikap waspada tiada gunanya dalam menghadapi takdir, demikian pula melarikan diri dari jihad karena menghindarinya tidak dapat memperpendek atau memperpanjang ajal, melainkan ajal itu telah dipastikan serta rezeki telah ditetapkan takaran dan bagiannya masing-masing, tiada yang diberi tambahan, tiada pula yang dikurangi, semuanya tepat seperti apa yang dikehendaki-Nya.
Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah, "Hindarilah kematian itu dari diri kalian, jika kalian memang benar." (Ali Imran: 168)
Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban perang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dizalimi sedikit pun. Di mana saja kalian berada, kematian akan mendatangi kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (An-Nisa: 77-78)
Telah diriwayatkan kepada kami dari panglima pasukan kaum muslim yang dijuluki 'Pedang Allah', yaitu Khalid ibnul Walid, bahwa ia mengatakan ketika sedang menjelang ajalnya, "Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan anu, dan tiada suatu anggota tubuhku yang selamat melainkan padanya terdapat bekas tusukan pedang, panah, dan pukulan pedang. Tetapi aku kini mati di atas tempat tidurku, seperti unta mati (di kandangnya). Semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur," maksudnya dia merasa sedih dan sakit karena dirinya tidak mati dalam peperangan, dan ia merasa kecewa atas hal tersebut, mengingat dirinya mati di atas kasur.
Ayat 245
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245)
Allah ﷻ menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya di jalan Allah. Allah ﷻ mengulang-ulang ayat ini di dalam Al-Qur'an tidak hanya pada satu tempat saja.
Di dalam hadits yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa Allah ﷻ berfirman: “Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Tuhan yang tidak miskin dan tidak pula berbuat zalim.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: “Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya.” (Al-Baqarah: 245)
Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah memang Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi ﷺ menjawab, "Benar, Abud Dahdah." Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah tanganmu." Maka Rasulullah ﷺ mengulurkan tangannya kepada Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku kebun milikku."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik Abud Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dahdah datang ke kebunnya dan memanggil istrinya, "Wahai Ummu Dahdah." Ummu Dahdah menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah kamu, sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun ini kepada Tuhanku."
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih melalui Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar secara marfu' dengan lafal yang serupa.
Yang dimaksud dengan firman-Nya: “Pinjaman yang baik.” (Al-Baqarah: 245) Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah. Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis.
Firman Allah ﷻ: “Maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245)
Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Tafsir ayat ini akan dikemukakan nanti pada tempatnya.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, dari Ali ibnu Za'id, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah , dan kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah berkata, 'Apakah yang membuatmu heran tentang hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi ﷺ' Nabi ﷺ telah bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua juta kali lipat pahala kebaikan'.’
Hadits ini berpredikat gharib karena Ali ibnu Zaid ibnu Jad'ah banyak memiliki hadits-hadits yang munkar.
Akan tetapi, hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu Sulaiman ibnu Khallad Al-Muaddib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Uqbah Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa "Tiada seorang pun yang lebih banyak duduk di majelis Abu Hurairah selain dari aku sendiri. Abu Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan atsar darinya, bahwa ia pernah mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kali lipat pahala kebaikan.'' Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang pun yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, tetapi aku belum pernah mendengar hadits ini.' Maka aku berangkat dengan maksud untuk menyusulnya, tetapi kujumpai dia telah berangkat berhaji.
Maka aku berangkat pula menunaikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadits ini. Lalu aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, hadits apakah yang pernah kudengar dari penduduk Basrah, mereka mengatakannya bersumber dari kamu?' Abu Hurairah bertanya, 'Hadits apakah itu?' Aku menjawab, 'Mereka menduga engkau pernah mengatakan: Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah menjawab, 'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau herankan dari masalah ini, sedangkan Allah ﷻ telah berfirman: “Barang siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245)
Allah ﷻ telah berfirman pula: “Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah melipat gandakan pahala suatu kebaikan menjadi dua juta kebaikan."
Semakna dengan hadits ini adalah hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu ia mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu," maka Allah mencatatkan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta keburukan (dosa).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, dari Isa ibnul Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika diturunkannya firman Allah ﷻ: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai.” (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat.
Maka Rasulullah ﷺ berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Barang siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245) Nabi ﷺ berdoa lagi, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang diberikan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b Al-Ahbar, bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan, "Barang siapa yang membaca qul huwallahu ahad sekali, maka Allah akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan yaqut di surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? Ka'b Al-Ahbar menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap hal tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan dilipatgandakan menjadi dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan lebih dari itu, tiada yang dapat menghitungnya selain dari Allah sendiri." Selanjutnya Ka'b membacakan firman-Nya: “Barang siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245) Istilah katsir atau banyak dari Allah berarti tidak terhitung jumlahnya.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki.” (Al-Baqarah: 245)
Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan janganlah kalian pedulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi rezeki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang lainnya di antara mereka; hal tersebut mengandung hikmah yang sangat bijak dari Allah.
“Dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan.” (Al-Baqarah: 245) Yakni di hari kiamat nanti.
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa tidak ada seorang pun bisa lari dari takdir Allah. Tidakkah kamu memperhatikan, yakni mendengar kisah orang-orang yang keluar dari kampung halamannya, sedang jumlahnya ribuan karena takut mati' Padahal Rasulullah melarang seseorang untuk keluar dari daerahnya yang terjangkit wabah penyakit. 7 Lalu apabila Allah berfirman kepada mereka, Matilah kalian! pasti kalian akan mati tanpa bisa menghindar, karena hidup dan mati ada di tangan-Nya, dan kematian pasti datang meski tanpa sebab. Kemudian Allah menghidupkan mereka, artinya mereka terselamatkan dari musuh karena sebagian mereka ada yang ingin maju berjihad. Inilah karunia Allah. Sesungguhnya Allah memberikan karunia, yakni pemberian lebih, kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur, karena ketidakmampuan manusia memahami jenis-jenis nikmat yang dianugerahkan Allah. Usai menjelaskan bahwa kematian pasti akan tiba, pada ayat ini Allah mengikutinya dengan penjelasan tentang salah satu sebab kematian, yakni terbunuh dalam peperangan. Dan berperanglah kamu di jalan Allah ketika situasi menuntut demikian, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar apa yang kamu katakan, Maha Mengetahui apa yang kamu sembunyikan dalam hati, seperti keinginan untuk tidak turut berperang.
Dalam ayat ini, Allah memberikan tamsil atau perumpamaan bagi suatu kelompok masyarakat yang patah semangatnya, tidak mau berjuang untuk kemajuan masyarakat dan agamanya. Dengan ayat ini, Allah memberi-kan semangat agar sifat-sifat tersebut jangan dicontoh dan hendaklah manusia gigih berjuang untuk kejayaan bangsa dan agama. Dijelaskan juga berita orang yang lari dari tanah airnya di mana jumlah mereka ribuan banyaknya. Seharusnya mereka gagah berani, mampu mempertahankan tanah airnya, tetapi mereka lemah kehilangan semangat karena takut mati.
Yang tergambar dalam pikiran mereka yang melarikan diri itu adalah jalan keselamatan. Sedangkan yang terjadi sebaliknya, yaitu larinya mereka itu berarti memperkokoh kedudukan musuh untuk menjajah mereka dengan mudah. Kepada mereka yang penakut seperti ini, Allah berfirman, "Hancurlah kamu karena kamu adalah pengecut."
Kemudian setelah datang kesadaran mereka untuk bersatu kembali, Allah memberikan rahmat-Nya dengan menghidupkan semangat mereka kembali sehingga mereka bangkit mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan diri dari perbudakan kaum penjajah karena Allah mempunyai karunia, Maha Penyantun terhadap manusia, namun demikian manusia tidak bersyukur kepada-Nya.
Sungguh pun Allah menghidupkan semangat mereka kembali sebagai karunia-Nya, namun masih banyak yang tidak bersyukur kepada-Nya. Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa apabila suatu umat selalu menentang ajaran Allah, maka umat ini akan selalu mendapat bahaya dengan berbagai cobaan dari-Nya.
Hal ini telah menjadi sunatullah bagi umat-umat terdahulu sampai sekarang. Menurut sebagian ahli tafsir, ayat ini memberikan suatu pelajaran berupa contoh perbandingan bagi umat yang mati jiwanya, yang lari dari negerinya karena tidak mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan-nya, sehingga negeri mereka menjadi jajahan. Rakyat yang ada di dalamnya menderita kemelaratan, penghinaan, dan kemiskinan karena mereka diperlakukan sebagai budak oleh golongan yang berkuasa yang datang dari luar. Tetapi setelah masa itu berlalu, dengan kesadaran yang diberikan Allah kepada mereka jiwa mereka hidup kembali. Mereka bangun serentak mengusir penguasa-penguasa zalim. Ini karunia dari Allah yang Mahakuasa dan Maha Penyayang.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JANGAN TAKUT MATI, SUPAYA HIDUP
Ayat 243
“Atau tidakkah engkau perhatikan kepada orang-orang yang ketuai dari kampung-kampung mereka, padahal mereka beribu-ribu, karena takut mati?"
Tuhan di dalam ayat ini menyuruh Rasul-Nya dan umatnya memperhatikan suatu kaum, beribu-ribu banyaknya. Mereka keluar dari kampung halaman mereka karena mereka takut mati.
Kita yang telah mengalami masa-masa peralihan, terutama jatuhnya kerajaan Hindia-Belanda dan masuknya tentara Jepang, dapat merasakan apa yang dikatakan oleh ayat ini. Sebab, kita melihat bahkan mengalami ketika telah jatuh Singapura, runtuhlah semangat tentara Belanda dan bangsa Belanda yang selama ini merasa sombong di Indonesia ini, yang merasa bahwa negeri ini mereka yang empunya, dan benci kepada rakyat yang empunya negeri sebenarnya, tidak percaya buat menyerahkan senjata kepada mereka untuk mempertahankan diri. Ketika itulah, kita melihat beribu-ribu orang berduyun-duyun meninggalkan rumah tangga dan kampung halaman karena takut mati, terutama orang Belanda dan serdadu Hindia-Belanda, sehingga kita rakyat asli yang tidak bersenjata pun ikut ketularan penyakit takut mati itu. Keluar dari dalam rumah bukan niat pergi bertahan, tetapi pergi memelihara nyawa. Ketika itulah kita baru mendengar apa yang dinamai evacuatie menjadi bahasa kita evakuasi atau mengungsi, atau lari habis!
Akhirnya, karena tidak ada pertahanan yang berarti, bahkan segala senjata yang dalam tangan dibawa lari ke hutan, musuh itu pun masuklah; semua dia hantam, dia tindas, dia jadikan tawanan, dia perbudak. Alamat hidup suatu bangsa ialah apabila mereka masih mempunyai pemerintahan yang teratur. Kalau pemerintahannya tidak ada lagi, sebab pemegang-pemegang pemerintah itu telah dibunuh atau ditawan, dan kekuatan telah pindah dengan serta merta ke tangan musuh yang memasuki negeri itu, berartilah sejak waktu itu negeri itu telah mati walaupun orang-orangnya masih ada. Maka, dilanjutkanlah keadaan yang diderita mereka oleh bunyi ayat, “Maka, berkatalah Allah kepada mereka, ‘Matilah kamu semuanya!'" Yaitu, bahwa tanda-tanda hidup sebagai suatu kaum tidak ada lagi. Semisal kejatuhan pemerintahan Hindia-Belanda tadi; mulai tentara Jepang masuk, bendera Belanda tidak naik lagi sebab kekuasaan mereka telah mati, yang naik ialah bendera Jepang. Gubernur Jenderal Belanda tidak ada lagi sebab sudah masuk tawanan. Yang naik ialah Saiko Sikikan, penguasa tertinggi Jepang. Alat-alat negara Hindia-Belanda yang selama ini memegang senjata menjaga keamanan sudah dilucuti senjatanya, yang tentara sudah ditawan, dan yang polisi sudah diberi band tangan bertulisan huruf Kanji, tandanya mereka sudah jadi alat kekuasaan pemerintah baru. Pemerintahan yang lama sudah disuruh mati oleh Tuhan.
Maka, berkatalah sambungan ayat, “Kemudian Dia hidupkan mereka."
Kita teruskan dahulu perbandingan ini untuk menjelaskan penafsiran-penafsiran. Pemerintah Hindia-Belanda terus mati karena haknya untuk hidup memang tidak ada lagi. Walaupun sehabis Perang Dunia II mereka mencoba lagi hendak menghidupkan pemerintahan itu, tetapi dia telah mati. Adapun bangsa Indonesia yang telah dicoba dimatikan selama 350 tahun dihidupkan oleh Tuhan kembali.
Yang tua-tua telah sama mati, tetapi ada sesuatu yang hidup yang mereka tinggalkan buat anak-cucu mereka, yaitu semangat ingin hidup sebagai kaum, sebagai bangsa, sehingga untuk itu, kalau perlu, perseorangan biar mati. Maka, bangsa yang telah dihitung mati itu pun hiduplah kembali. Dunia mengenalnya sebagai bangsa yang hidup. Dia mempunyai tanda-tanda dari kehidupan. Dia mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai kepala negara, mempunyai batas-batas wilayah. Bahkan, orang-orang yang hidup di zaman penjajahan yang boleh dihitung telah mati, menjadi hidup kembali sebab mereka telah jadi bangsa merdeka!
Apa sebab mereka yang telah “terkubur" 350 tahun bisa hidup kembali? Ialah karena bila musuh datang, mereka tidak lagi “keluar dari kampung-kampung mereka beribu-ribu karena takut mati", tetapi mempertahankan negeri mereka dengan harta dan nyawa meskipun untuk itu perlu mereka mati. Karena berani mati itu, mereka pun diberi hidup oleh Allah. Kegagalan orang tua-tua dahulu dan kegagalan pemerintah yang takut mati dijadikan pengajaran oleh anak-cucu yang datang kemudian bahwa untuk hidup, beranilah mati, sedangkan untuk mati, takutlah mati. Dan, di akhir ayat Tuhan tegaskanlah sunnah-Nya,
“Sesungguhnya, Allah adalah mempunyai karunia atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidaklah bersyukur."
Setelah Tuhan menerangkan satu pokok asal dari sebab-sebab kematian atau kehidupan suatu bangsa ini, berfirmanlah Tuhan selanjutnya.
Ayat 244
“Dan berperanglah kamu pada jalan Allah dan ketahuilah olehmu bahwasanya Allah adalah Maha Mendengar, lagi Mengetahui “
Berperang menegakkan jalan Allah niscaya menghendaki pengorbanan. Kalau musuh telah masuk ke negeri atau telah tumbuh di dalam negeri, semua orang menjadi fardhu ‘ain untuk turut berperang. Masing-masing berperang menurut bakat dan bidangnya; berkorban dan memberi. Memberikan harta dan jiwa, bahkan memberikan anak yang dicintai, biar gugur di medan perang. Maka, datanglah rayuan Tuhan untuk menggerakkan hati orang-orang yang beriman,
Ayat 245
“Siapakah dia, yang sudi meminjami Allah dengan pinjaman yang baik? Supaya Dia gandakan untuknya dengan penggandaan yang banyak? Dan Allah menahan-nahan dan meluas-lebarkan? Dan kepada-Nyalah kamu sekalian akan kembali."
Pengorbanan untuk menegakkan yang hak tidaklah akan sia-sia. Namun, Tuhan, karena cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang beriman, mengatakan bahwa Dia meminjam. Alangkah terharunya orang Mukmin mendengar kata Tuhan ini; harta siapa yang dipinjam Tuhan, padahal kekayaan yang ada pada kita, Dialah yang meminjamkan kepada kita untuk sementara? Hati yang beriman pasti tergetar mendengar firman Tuhan ini. Tidak ada yang akan ditahannya lagi kalau kehendak Allah datang supaya dibelanjakan. Dan, Tuhan pun berjanji akan menggantinya berlipat ganda. Kadang-kadang harta benda dikeluarkan, sedangkan gantinya ialah kemerdekaan umat, tegaknya agama dan berjalannya kebenaran Tuhan di muka bumi.