Ayat

Terjemahan Per Kata
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
ءَايَٰتِهِۦ
ayat-ayatNya
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menerangkan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
ءَايَٰتِهِۦ
ayat-ayatNya
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
Terjemahan

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti.
Tafsir

(Demikianlah), artinya seperti telah disebutkan di atas (Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti) atau memahaminya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 240-242
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat hal-hal yang baik terhadap diri mereka sendiri. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.
Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kalian memahaminya.
Ayat 240
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat ini dimansukh (dihapus) oleh ayat sebelumnya, yaitu firman-Nya: “Menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah: 234)
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umayyah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zura'i, dari Habib, dari Ibnu Abu Mulaikah yang menceritakan bahwa Ibnu Zubair pernah mengatakan bahwa ia pernah mengatakan kepada Usman ibnu Affan mengenai firman-Nya: "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri." (Al-Baqarah: 240) Bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat lainnya, maka mengapa engkau tetap menulisnya atau mengapa tidak engkau tinggalkan? Khalifah Usman ibnu Affan menjawab, "Wahai anak saudaraku, aku tidak akan mengubah barang sedikit pun bagian dari Al-Qur'an ini dari tempatnya."
Masalah yang diutarakan oleh Ibnu Zubair kepada Usman ibnu Aftan ialah bilamana hukum ayat telah dimansukh (dihapus) dengan ayat yang menyatakan beridah empat bulan sepuluh hari, maka hikmah apakah yang terkandung dalam penetapan rasam (aturan)nya, padahal hukum-nya telah dihapuskan. Sedangkan keberadaan rasam (aturan)nya sesudah hukumnya telah dimansukh (dihapus) memberikan pengertian bahwa hukum ayat yang bersangkutan masih tetap ada? Maka Amirul Muminin menjawabnya, bahwa hal ini merupakan perkara yang bersifat tauqifi. Aku menjumpainya ditetapkan dalam mushaf sesudah penasikhan (penghapusan), maka aku pun menetapkannya pula seperti apa yang aku jumpai.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).” (Al-Baqarah: 240) Pada mulanya istri yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal selama satu tahun penuh, kemudian ayat ini di-mansukh oleh ayat mawaris (waris-mewaris) yang di dalamnya dicantumkan bahwa si istri beroleh seperempat atau seperdelapan dari harta peninggalan suaminya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ibrahim, ‘Atha’, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Adh-Dhahhak, Zaid ibnu Aslam, As-Suddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, ‘Atha’ Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah dimansukh (dihapus).
Telah diriwayatkan melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu apabila seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan istrinya, maka si istri melakukan idahnya selama satu tahun di rumah si suami dan menerima nafkah dari harta suaminya. Sesudah itu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah: 234) Demikianlah idah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya; kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka idahnya sampai batas ia melahirkan kandungannya.
Allah ﷻ telah berfirman pula: “Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan.” (An-Nisa: 12) Maka melalui ayat ini dijelaskan hak waris istri dan dihapuslah (digantilah) wasiat dan nafkah yang telah disebutkan oleh ayat di atas (Al-Baqarah: 240).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh firman-Nya: “Selama empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah: 234) Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman.” (Al-Ahzab: 49) hingga akhir ayat.
Menurut kami, telah diriwayatkan pula dari Muqatil dan Qatadah bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat pembagian waris.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri.” (Al-Baqarah: 240) Mujahid mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang menunggu masa idahnya di rumah keluarga suaminya, sebagai suatu kewajiban.
Kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat hal-hal yang baik terhadap diri mereka sendiri.” (Al-Baqarah: 240) Allah menjadikan kelengkapan satu tahun yaitu tujuh bulan dua puluh hari sebagai wasiat (dari pihak suami). Untuk itu jika pihak istri setuju dengan wasiat tersebut, ia boleh tinggal selama satu tahun (di rumah mendiang suaminya); jika ia suka keluar, maka ia boleh keluar. Pengertian inilah yang tersitirkan dari firman-Nya: “Dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal).” (Al-Baqarah: 240) Pada garis besarnya idah tetap diwajibkan seperti apa adanya.
Imam Al-Bukhari menduga bahwa hal ini diriwayatkan dari Mujahid. ‘Atha’ mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat di atas memansukh (menghapus) pengertian harus beridah di rumah keluarganya. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun menurut apa yang dikehendakinya. Pengertian inilah yang tersitir dari firman-Nya: “Dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).” (Al-Baqarah: 240) ‘Atha’ mengatakan, jika si istri suka, ia boleh beridah di rumah suaminya dan tinggal sesuai dengan hak wasiat yang diperolehnya; jika ia suka, boleh keluar (untuk melakukan idahnya di rumahnya sendiri), karena Allah ﷻ telah berfirman: “Maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat hal-hal yang baik terhadap diri mereka sendiri.” (Al-Baqarah: 240)
‘Atha’ mengatakan lagi bahwa sesudah itu turunlah ayat waris, maka di-mansukh-lah (dihapuslah) ayat memberi tempat tinggal. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun yang disukainya, tetapi tidak berhak mendapat tempat tinggal lagi. Kemudian Imam Al-Bukhari menyandarkan kepada Ibnu Abbas suatu riwayat yang sama dengan pendapat yang disandarkan kepada Mujahid dan ‘Atha’ yang mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan wajib beridah selama satu tahun. Pendapat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, dan sama sekali tidak di-mansukh oleh ayat yang menyatakan beridah selama empat bulan sepuluh hari. Tetapi ayat ini menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut masalah anjuran berwasiat buat para istri yang akan ditinggal mati oleh suami-suaminya, yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk tinggal di rumah suami-suami mereka sesudah suami-suami mereka meninggal dunia selama satu tahun, jika mereka mau menerimanya. Karena itulah maka disebutkan di dalam firman-Nya: “Hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya.” (Al-Baqarah: 240) Yakni Allah mensyariatkan kepada kalian untuk membuat wasiat buat mereka.
Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman lainnya, yaitu: “Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian.” (An-Nisa: 11), hingga akhir ayat.
Dan Firman-Nya: “(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah.” (An-Nisa: 12)
Menurut pendapat yang lain, lafal wasiyyatan di-nasab-kan karena mengandung pengertian, "Maka hendaklah kalian berwasiat buat mereka dengan sebenar-benarnya." Sedangkan yang lainnya membacanya rafa' (wasiyyatun) dengan pengertian, "Telah ditetapkan atas kalian berwasiat," pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Tiada yang melarang mereka (para istri) untuk melakukan hal tersebut, karena ada firman-Nya yang mengatakan: “Dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).” (Al-Baqarah: 240) Jika ia telah menyelesaikan masa idahnya yang empat bulan sepuluh hari, atau telah melahirkan kandungannya, lalu ia memilih keluar dari rumah mendiang suaminya serta pindah darinya, maka ia tidak dilarang untuk melakukannya, karena firman Allah ﷻ: “Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat hal-hal yang baik terhadap diri mereka sendiri.” (Al-Baqarah: 240) Pendapat ini cukup terarah dan sesuai dengan makna ayat secara lahiriahnya.
Pendapat ini ternyata dipilih oleh sejumlah ulama, antara lain Imam Abul Abbas ibnu Taimiyah. Tetapi ulama lainnya membantah pendapat tersebut, di antaranya adalah Abu Umar ibnu Abdul Barr. Pendapat ‘Atha’ dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa hal tersebut di-mansukh oleh ayat waris, jika mereka bermaksud tidak lebih dari empat bulan sepuluh hari, maka hal ini bukan merupakan suatu masalah.
Akan tetapi, jika mereka bermaksud bahwa memberi tempat tinggal selama empat bulan sepuluh hari bukan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada peninggalan mayat, maka hal inilah yang menjadi topik perbedaan pendapat di kalangan para imam. Imam Syafii sehubungan dengan masalah ini mempunyai dua pendapat. Mereka yang berpendapat wajib memberi tempat tinggal di rumah suami berdalilkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya dari Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah, dari bibinya (yaitu Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah).
Disebutkan bahwa Fari'ah binti Malik ibnu Sinan (yaitu saudara perempuan Abu Sa'id Al-Khudri ) pernah menceritakan kepadanya (Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah) bahwa ia pernah datang menghadap Rasulullah ﷺ untuk meminta izin agar diperkenankan kembali ke rumah keluarganya di kalangan orang-orang Bani Khudrah. Karena sesungguhnya suaminya telah berangkat untuk mencari budak-budaknya yang minggat (melarikan diri). Tetapi ketika ia sampai di Tarful Qadum, ia dapat menyusul mereka, hanya saja mereka membunuhnya. Fari'ah melanjutkan kisahnya, "Aku meminta kepada Rasulullah ﷺ untuk kembali ke rumah keluargaku, karena sesungguhnya suamiku tidak meninggalkan diriku di dalam rumahnya sendiri, tiada pula nafkah buatku. Maka Rasulullah ﷺ hanya menjawab, 'Ya.' Lalu aku pergi. Tetapi ketika aku sampai di Hujrah, Rasulullah ﷺ memanggilku, atau memerintahkan seseorang untuk memanggilku. Setelah aku datang, beliau ﷺ bertanya, 'Apa yang tadi kamu katakan?' Maka aku mengulangi lagi kepadanya kisah mengenai nasib yang menimpa suamiku, lalu beliau ﷺ bersabda: 'Diamlah di dalam rumahmu hingga masa idahmu habis.' Maka aku melakukan idah di dalam rumah suamiku selama empat bulan sepuluh hari. Ketika Khalifah Usman ibnu Affan mengutus seseorang untuk menanyakan kasus yang sama, maka aku ceritakan hal itu kepadanya, dan ia mengikutinya serta memutuskan perkara dengan keputusan yang sama.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui hadits Malik dengan lafal yang sama. Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui jalur Sa'd ibnu Ishaq dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Ayat 241
Firman Allah ﷻ: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 241) Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya, yaitu: “Mut'ah menurut yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebaikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah mas kawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis (dikhususkan) oleh firman lainnya, yaitu: “Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah: 236)
Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis (pengkhususan)menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.
Ayat 242
Firman Allah ﷻ: “Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya)”. (Al-Baqarah: 242) Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu dan batasan-batasan-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan semua yang dilarang-Nya kepada kalian. Dia menerangkan dan menjelaskannya serta menafsirkannya. Dia tidak akan membiarkan hal yang bermakna global kepada kalian di saat kalian memerlukannya. “Supaya kalian memahaminya.” (Al-Baqarah: 242) Maksudnya, agar kalian memahami dan memikirkannya.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti. Penutup ayat ini seakan memberi jawaban atas pertanyaan apakah ada ketentuan agama menyangkut pemberian, selain harta waris' Jawabannya, ada, yaitu memberikan sesuatu sebagai penghibur bagi perempuan yang dicerai karena istri yang dicerai hidup keadaannya seperti ditinggal mati.
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa tidak ada seorang pun bisa lari dari takdir Allah. Tidakkah kamu memperhatikan, yakni mendengar kisah orang-orang yang keluar dari kampung halamannya, sedang jumlahnya ribuan karena takut mati' Padahal Rasulullah melarang seseorang untuk keluar dari daerahnya yang terjangkit wabah penyakit. 7 Lalu apabila Allah berfirman kepada mereka, Matilah kalian! pasti kalian akan mati tanpa bisa menghindar, karena hidup dan mati ada di tangan-Nya, dan kematian pasti datang meski tanpa sebab. Kemudian Allah menghidupkan mereka, artinya mereka terselamatkan dari musuh karena sebagian mereka ada yang ingin maju berjihad. Inilah karunia Allah. Sesungguhnya Allah memberikan karunia, yakni pemberian lebih, kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur, karena ketidakmampuan manusia memahami jenis-jenis nikmat yang dianugerahkan Allah.
Demikian Allah menerangkan hukum-hukum-Nya yang seringkali disertai dengan sebab dan akibatnya untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam mencapai kemaslahatan agar diperhatikan oleh manusia.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MUT'AH
Ayat 241
“Dan untuk perempuan-perempuan yang ditalak, wajiblah diberi bekal menurut patutnya; kewajiban atas orang-orang yang takwa."
Ayat ini untuk menjelaskan lagi sebab pada ayat 236 sudah diterangkan bahwa perempuan yang ditalak sebelum disentuh (disetubuhi) ataupun mahar belum dibayar, supaya diberi obat hati karena bercerai. Ini sudah terang. Akan tetapi, dengan ayat ini, diterangkan lagi yang tadi belum diterangkan, yaitu segala istri yang diceraikan, bukan saja yang belum disentuh, hendaklah diberi juga pengobat hati jika dia diceraikan, yaitu menurut berapa patutnya uang, barang, emas, perak, atau rumah lengkap dengan isinya. Entah pula mobil! Kalau di atas telah kita ceritakan bahwa Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib pernah memberikan uang pengobat hati istri yang diceraikan sebesar sepuluh ribu dirham, diiringi dengan kata terharu “hanya sedikit kiriman dari kekasih yang terpaksa berpisah" maka dia dalam perceraian yang lain pernah mengirim uang obat hati sebesar dua puluh ribu dirham. Adapun hikmahnya ialah supaya perceraian jangan menimbulkan bisik desus, gunjing, dan umpat, dan menjadi tanda bahwa si laki-laki adalah seorang yang halus perasaan, tidak membiarkan jandanya telantar sesudah bercerai, sampai dia mendapat suami lain, atau jangan dia selama tinggal dengan orang tuanya menjadi beban berat kepada orang tuanya itu. Di dalam ayat ditegaskan benar-benar bahwa ini adalah kewajiban bagi orang yang takwa karena orang yang takwa kepada Allah itu halus perasaannya, bukan orang yang patut dituduh hanya laksana kumbang mencari kembang saja: habis sarinya, dia pun terbang.
Memang, ada juga pertikaian pendapat ulama tentang obat hati bagi istri yang diceraikan itu. Setengahnya berpendapat bahwa yang dibayar mut'ah-nya hanyalah istri yang belum disentuh saja. Kalau istri yang sudah di-sentuh, apatah lagi maharnya sudah dibayar, hanya sunnah saja. Akan tetapi, sekarang kita sedang “pulang" kepada sumber pandangan hidup Islam, yaitu Al-Qur'an sendiri, mengapa lagi kita berbelok kepada pertikaian ulama? Apatah lagi tersebut di dalam ayat Khiyar, yaitu kisah Rasulullah disuruh menyampaikan kepada istri-istri beliau bahwa mereka disuruh memilih apakah mereka inginkan dunia dengan segala kemewahannya atau mengikuti Rasulullah, sehidup semati dengan kehidupan apa adanya? (Lihat surah al-Ahzaab: 28 dan 29) Di ayat 28 itu Nabi disuruh menyampaikan supaya mereka memilih di antara kedua kehidupan itu. Kalau mereka memilih bercerai, mereka akan diceraikan semua dan akan diberi mut'ah pengobat hati. Oleh sebab itu, meskipun hal itu tidak terjadi, sebab istri-istri beliau memilih hidup bersama Nabi apa adanya, tetapi mut'ah itu sudahlah rupanya menjadi ketentuan beliau.
Ayat 242
“Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu berpikir."
Kesempatanlah pada kita sekarang memikirkan ayat-ayat Allah ini, yaitu peraturan yang telah Allah turunkan, terutama dalam menyusun pergaulan suami-istri di rumah tangga akan ditanamlah benih yang akan menurunkan umat yang baik, yang akan menjadi teladan yang baik di dalam beribadah kepada Allah. Celakalah pergaulan kaum Muslimin kalau rumah tangga dan persuami-istrian mereka hanya asal kawin saja. Cerai asal cerai saja. Demikian juga sesudah si suami meninggal, sampai setahun di belakangnya pun agama mewasiatkan agar keluarga memelihara jandanya baik-baik.
Maka, sekiranya suatu masa tampak kekeruhan masyarakat Muslimin sehingga hancur kepribadiannya dan sampai dia diinjak-injak oleh bangsa lain, pastilah bertemu salah satu sebabnya, yaitu karena ayat-ayat Allah ber-kenaan dengan pembangunan keluarga tidak dipedulikan lagi.
Tepatlah apa yang pernah dikatakan oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani, “Kemajuan bangsa lain ialah setelah mereka tinggalkan peraturan agamanya, sedangkan kemunduran kaum Muslimin ialah setelah mereka meninggalkan peraturan agamanya."