Ayat
Terjemahan Per Kata
فَإِن
maka jika
طَلَّقَهَا
ia (suami) mentalaknya
فَلَا
maka tidak
تَحِلُّ
halal
لَهُۥ
baginya
مِنۢ
dari
بَعۡدُ
sesudah
حَتَّىٰ
sehingga
تَنكِحَ
dia kawin
زَوۡجًا
suami
غَيۡرَهُۥۗ
lainnya
فَإِن
maka/kemudian jika
طَلَّقَهَا
dia (suami lain) menceraikannya
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡهِمَآ
atas keduanya
أَن
bahwa
يَتَرَاجَعَآ
keduanya ruju' (kawin kembali)
إِن
jika
ظَنَّآ
keduanya berpendapat
أَن
bahwa
يُقِيمَا
keduanya melaksanakan
حُدُودَ
hukum-hukum
ٱللَّهِۗ
Allah
وَتِلۡكَ
dan itulah
حُدُودُ
hukum-hukum
ٱللَّهِ
Allah
يُبَيِّنُهَا
Dia menerangkannya
لِقَوۡمٖ
bagi kaum
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
فَإِن
maka jika
طَلَّقَهَا
ia (suami) mentalaknya
فَلَا
maka tidak
تَحِلُّ
halal
لَهُۥ
baginya
مِنۢ
dari
بَعۡدُ
sesudah
حَتَّىٰ
sehingga
تَنكِحَ
dia kawin
زَوۡجًا
suami
غَيۡرَهُۥۗ
lainnya
فَإِن
maka/kemudian jika
طَلَّقَهَا
dia (suami lain) menceraikannya
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡهِمَآ
atas keduanya
أَن
bahwa
يَتَرَاجَعَآ
keduanya ruju' (kawin kembali)
إِن
jika
ظَنَّآ
keduanya berpendapat
أَن
bahwa
يُقِيمَا
keduanya melaksanakan
حُدُودَ
hukum-hukum
ٱللَّهِۗ
Allah
وَتِلۡكَ
dan itulah
حُدُودُ
hukum-hukum
ٱللَّهِ
Allah
يُبَيِّنُهَا
Dia menerangkannya
لِقَوۡمٖ
bagi kaum
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
Terjemahan
Jika dia menceraikannya kembali (setelah talak kedua), perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan laki-laki yang lain. Jika (suami yang lain itu) sudah menceraikannya, tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya menduga akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang (mau) mengetahui.
Tafsir
(Kemudian jika ia menceraikannya lagi), maksudnya si suami setelah talak yang kedua, (maka wanita itu tidak halal lagi baginya setelah itu), maksudnya setelah talak tiga (hingga dia kawin dengan suami yang lain) serta mencampurinya sebagaimana tersebut dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. (Kemudian jika ia menceraikannya pula) maksudnya suaminya yang kedua, (maka tidak ada dosa bagi keduanya), maksudnya istri dan bekas suami yang pertama (untuk kembali) pada perkawinan mereka setelah berakhirnya idah, (jika keduanya itu mengira akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah), maksudnya semua yang telah disebutkan itu (peraturan-peraturan Allah yang dijelaskan-Nya kepada kaum yang mau mengetahui) atau merenungkan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 229-230
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.
Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Ayat 229
Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita dari apa yang berlaku pada masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus kali talak, selagi si istri masih dalam masa idahnya. Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita, maka Allah membatasinya hanya sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua, memisahkannya secara keseluruhan pada talak yang ketiga kalinya.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 229)
Imam Abu Dawud di dalam kitab Sunannya mengatakan, yaitu dalam Bab "Nasakh Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali", telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid ibnun Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat. Dengan demikian bila ada seorang lelaki menalak istrinya, maka dialah yang lebih berhak merujuknya, sekalipun dia telah menceraikannya sebanyak tiga kali. Maka ketentuan tersebut di-mansukh oleh firman-Nya: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.” (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam An-Nasai, dari Zakaria ibnu Yahya, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafal yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Aku tidak akan menceraikanmu selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat selama-lamanya." Si istri bertanya, "Bagaimana caranya bisa demikian?" Lelaki (si suami) menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila masa idahmu akan habis, maka aku merujukmu kembali." Lalu si istri datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan kepadanya hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” (Al-Baqarah 229)
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu Idris. Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya, dari Ja'far ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan hadits ini dari Hisyam, dari ayahnya yang menceritakan: “Pada mulanya seorang suami lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya menurut yang dikehendakinya, selagi si istri masih berada dalam masa idahnya. Dan ada seorang lelaki dari kalangan Anshar marah kepada istrinya, lalu ia mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan menaungimu dan tidak pula akan menceraikanmu." Si istri bertanya, "Bagaimana bisa demikian?" Si suami menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila telah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan kamu lagi; dan apabila sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali." Kemudian si istri menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuk) dua kali" (Al-Baqarah: 229). Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu orang-orang tidak berani lagi mempermainkan talak, baik mereka yang suka menjatuhkannya maupun yang belum pernah.
Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Muhammad ibnu Sulaiman, dari Ya'la ibnu Syabib maula Az-Zubair, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan hadis ini seperti yang disebutkan di atas, yakni serupa dengannya. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafal yang sama. Kemudian Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya pula melalui Abu Kuraib, dari Ibnu Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mursal, dan mengatakan bahwa sanad hadits ini paling shahih. Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Ya'qub ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafal yang sama, dan mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Kemudian Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadits berikut: “Pada mulanya talak tidak mempunyai batas; seorang lelaki dapat menceraikan istrinya, lalu merujuknya kembali selagi si istri belum habis masa idahnya. Dan tersebutlah terjadi antara seorang lelaki Anshar dengan istrinya suatu hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang (yakni menceraikan istrinya dengan seenaknya). Si lelaki berkata, "Demi Allah, aku benar-benar akan membuat dirimu bukan sebagai janda, bukan pula sebagai wanita yang bersuami." Lalu si lelaki menalaknya; dan bila masa idah istrinya hampir habis, maka ia merujuknya kembali; dia melakukan hal tersebut berkali-kali. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka talak dihentikan sampai batas tiga kali, tiada rujuk lagi sesudah talak tiga, sebelum si istri kawin dengan suami yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah secara mursal. As-Suddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian, dan Ibnu Jarir memilih bahwa hadits ini merupakan tafsir dari ayat ini.
Firman Allah ﷻ:”Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 229)
Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak sekali talak atau dua kali talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu masih dalam idahnya antara mengembalikan dia kepadamu dengan niat memperbaiki dia dan berbuat baik kepadanya; atau kamu biarkan dia menghabiskan masa idahnya, lalu berpisah darimu dan kamu lepaskan ikatannya darimu dengan cara yang baik; tetapi janganlah kamu berbuat zalim terhadap haknya barang sedikit pun, jangan pula kamu berbuat buruk sama dia.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dua kali talak, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, yakni dalam talak yang ketiga. Adakalanya dia merujukinya dengan cara yang baik dan mempergaulinya dengan cara yang baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik. Dan janganlah ia menzalimi haknya barang sedikit pun."
Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraah (bacaan), telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sufyan Ats-Tsauri, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Sami' yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Razin menceritakan hadits berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang makna firman-Nya, 'Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik’. (Al-Baqarah: 229) Maka manakah talak yang ketiganya?" Nabi ﷺ menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik."
Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadits ini di dalam kitab tafsirnya yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dan Sufyan, dari Ismail ibnu Sami', bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah menceritakan hadits berikut: Seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu mengenai firman Allah ﷻ, 'Talak (yang boleh dirujuki) dua kali’ (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya?" Nabi ﷺ menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik adalah talak yang ketiganya.''
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Khalid ibnu Abdullah, dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu'awiyah, dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Qais ibnur Rabi', dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafal yang sama secara mursal.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Wahid ibnu Ziyad, dari Ismail ibnu Sami', dari Anas ibnu Malik, dari Nabi ﷺ, lalu ia menceritakan hadits tersebut. Kemudian Ibnu Mardawaih mengatakan; telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aisyah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, Allah menuturkan masalah talak dua kali, maka manakah talak yang ketiganya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Rujuk lagi dengan cara yang baik atau melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.”
Firman Allah ﷻ: “Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 229)
Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu dan mempersulit mereka dengan maksud agar mereka membayar tebusannya kepada kalian sebagai ganti mas kawin yang telah kalian berikan kepada mereka, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Hal ini diungkapkan pula oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (An-Nisa: 19)
Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak suami dengan suka hati, maka diterangkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka ambillah (makanlah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa: 4)
Jika suami dan istri bertengkar karena pihak istri tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah kepadanya begitu pula sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergaulinya, maka pihak istri boleh menebus dirinya dari pihak suami dengan mengembalikan kepada pihak suami apa yang pernah ia terima darinya. Tidak ada dosa atas diri istri dalam pengembalian itu, tidak ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya dari pihak istri. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.
Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan (uzur), kemudian ia meminta agar dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan darinya, menurut Ibnu Jarir dalam salah satu riwayatnya disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya (Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah) mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang yang menceritakannya, dari Sauban, dari Rasulullah ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya untuk diceraikan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram baginya bau surga.”
Demikian pula menurut riwayat Imam At-Tirmidzi, dari Bandar, dari Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa predikat hadits ini hasan. Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma, dari Sauban. Sebagian ahli hadits ada yang meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini, tetapi tidak marfu'.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah yang mengatakan bahwa ia pernah menceritakan, Abu Asma dan juga Sauban pernah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wanita mana pun yang meminta untuk diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya bau surga.”
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam ibnu Jarir melalui hadits Hammad ibnu Zaid dengan lafal yang sama.
Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir: Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Al-Laits ibnu Abu Idris, juga Sauban (pelayan Rasul ﷺ), bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya agar diceraikan tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah mengharamkan atasnya bau surga.” Nabi ﷺ bersabda pula: “Wanita-wanita yang meminta khulu' (diceraikan oleh suaminya) adalah wanita-wanita munafik.”
Kemudian Ibnu Jarir dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari Al-Laits (yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Abul Khattab, dari Abu Dzar'ah, dari Abu Idris, dari Sauban, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wanita-wanita yang meminta khulu' adalah wanita-wanita munafik”. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib bila ditinjau dari segi ini, sanadnya pun tidak kuat.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya wanita-wanita yang minta diceraikan lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.” Hadits ini berpredikat gharib lagi dha’if bila ditinjau dari segi ini.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Wanita-wanita yang minta dicerai oleh suaminya lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah: Telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Khalaf Abu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Ja'far ibnu Yahya ibnu Sauban, dari pamannya Imarah ibnu Sauban, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat tercium sejauh perjalanan empat puluh tahun.”
Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan ulama Salaf dan para Imam ulama Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu' kecuali jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri. Maka dalam keadaan seperti itu barulah pihak suami diperbolehkan menerima tebusan dari pihak istri untuk membebaskan dia dari ikatan perkawinan. Mereka mengatakan demikian berdalilkan kepada firman-Nya: “Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (Al-Baqarah: 229)
Mereka mengatakan bahwa masalah khulu' hanya disyariatkan bila kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini. Karena itu, masalah khulu' tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada dalilnya. Sedangkan pada asalnya selain kasus ini tidak ada. Di antara orang yang berpendapat seperti ini ialah Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, ‘Atha’, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam Malik dan Al-A'uzai mengatakan, "Seandainya seorang suami mengambil sesuatu dari istrinya, sedangkan hal itu memudaratkan pihak istri, maka penebusan itu harus dikembalikan kepadanya dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj'i." Imam Malik mengatakan, "Demikianlah yang aku jumpai di kalangan ulama, mereka berpendapat demikian."
Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri diperbolehkan melakukan khulu' dalam kondisi percekcokan; sedangkan dalam keadaan tidak ada percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan analogi yang lebih utama.
Pendapat ini pula yang dikatakan oleh semua muridnya. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di dalam kitab Istizkar-nya dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan bahwa khulu' itu di-mansukh oleh firman-Nya: “Sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun.” (An-Nisa: 20)
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, tetapi pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai. Karena sesungguhnya Ibnu Jarir sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dan istrinya, yaitu Habibah binti Abdullah ibnu Abu Salul. Sekarang marilah kita tuturkan jalur-jalur hadisnya dan aneka ragam lafaznya.
Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya mengatakan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa'id ibnu Zararah, bahwa ia telah menceritakan kepadanya apa yang ia terima dari Habibah binti Sahl Al-Ansari, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas. Ketika Rasulullah ﷺ keluar menunaikan shalat Subuh, beliau menjumpai Habibah binti Sahl berada di depan pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap. Maka Rasulullah ﷺ bertanya, "Siapakah wanita ini?" Ia menjawab, "Aku Habibah binti Sahl." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah keperluanmu?" Ia menjawab, "Aku tidak ada kaitan lagi dengan Sabit ibnu Qais," maksudnya suaminya. Ketika suaminya (yakni Sabit ibnu Qais) datang, maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Perempuan ini adalah Habibah binti Sahl, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh Allah mengenai dirinya." Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, semua apa yang pernah ia berikan masih utuh ada padaku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda (kepada Sabit ibnu Qais), "Ambillah kembali darinya." Kemudian Sabit mengambil kembali pemberian itu dari Habibah, lalu Habibah tinggal di rumah keluarganya.
Hal yang serupa telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu Dawud meriwayatkannya pula dari Al-Qa'nabi, dari Malik, sedangkan Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Maslamah, dari Ibnul Qasim, dari Imam Malik.
Hadits lain diriwayatkan dari Siti Aisyah. Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Jarir mengatakan: "Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Amr As-Sadusi, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah, bahwa Habibah binti Sahl adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit memukulnya hingga salah satu anggota tubuhnya ada yang patah. Kemudian Habibah datang kepada Rasulullah ﷺ sesudah shalat Subuh, dan mengadu kepadanya. Maka Rasulullah ﷺ memanggil Sabit dan bersabda, "Ambillah sebagian hartanya dan ceraikanlah dia!" Sabit bertanya, "Apakah hal tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya." Sabit berkata, "Sesungguhnya aku menyedekahkan kepadanya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di tangannya." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Ambillah kedua kebun itu darinya, kemudian ceraikanlah dia." Lalu Sabit melakukan hal tersebut.
Demikianlah menurut lafal Ibnu Jarir. Abu Amr As-Sadusi adalah Sa'id ibnu Salamah ibnu Abul Husam. Hadits lainnya bersumber dari sahabat Ibnu Abbas.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Jamil, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan hadits berikut: Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya dalam masalah akhlak, tidak pula dalam masalah agama, melainkan aku tidak suka kemunafikan sesudah masuk Islam." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun (kurma)nya?" Ia menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali talak."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dari Azar ibnu Jamil berikut sanadnya. Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula dari Ishaq Al-Wasiti, dari Khalid (yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid (yaitu Ibnu Mahran Al-Hazza), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafal yang serupa. Demikian pula Imam Al-Bukhari meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan pada sebagian kisahnya disebutkan bahwa istri Sabit ibnu Qais mengatakan: “Aku tidak tahan dengannya yakni benci”. Hadits ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam Al-Bukhari sendiri yang memilikinya.
Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Jamilah demikianlah menurutnya, tetapi yang masyhur nama pelaku wanitanya adalah Habibah, seperti yang disebut sebelumnya.
Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu Buttah mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya'qub ibnu Yusuf At-Tabbakh), telah menceritakan kepada kami Abul Qasim (yaitu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Baghawi), telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepadaku Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadits berikut: Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Demi Allah, bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais dalam masalah agama dan akhlak, tetapi aku benci kepada kemunafikan sesudah Islam; aku tidak tahan dengannya karena benci." Nabi ﷺ bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?" Jamilah menjawab, "Ya." Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepada Sabit Ibnu Qais untuk mengambil kembali pemberian pokoknya dan tidak boleh lebih.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Marwan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la hal yang serupa. Demikian pula menurut riwayat Ibnu Majah, dari Azar ibnu Marwan berikut sanadnya dengan lafal yang sama, sanad hadits ini baik lagi benar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdullah ibnu Rabah, dari Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu membangkang kepada suaminya. Maka Nabi ﷺ memanggilnya, kemudian bersabda kepadanya: "Wahai Jamilah, mengapa engkau tidak suka kepada Sabit?'" Jamilah menjawab, "Demi Allah, bukannya aku tidak senang kepadanya dalam masalah agama, tidak pula dalam masalah akhlak, melainkan aku tidak suka kepada penampilannya yang buruk." Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun itu?" Jamilah menjawab, "Ya." Maka Jamilah mengembalikan kebun itu, dan Nabi ﷺ menceraikan keduanya.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Fudail yang menerima hadits berikut dari Abu Jarir, bahwa Abu Jarir pernah bertanya kepada Ikrimah, "Apakah masalah khulu' mempunyai dalil asal?" Ikrimah menjawab bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan, mula-mula peristiwa khulu' dalam Islam terjadi pada saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay.
Disebutkan bahwa pada mulanya saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk selama-lamanya. Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki berkulit hitam, tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek." Maka suaminya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya harta milikku yang paling berharga, yaitu kebunku. Bagaimanakah kalau dia mengembalikan kebun itu kepadaku?" Rasulullah ﷺ bertanya kepada istrinya, "Bagaimanakah pendapatmu?" Si istri menjawab, "Ya. Dan jika dia menghendaki, aku beri tambahannya." Maka Nabi ﷺ memisahkan (menceraikan) keduanya.
Hadits lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan: Habibah binti Sahl pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang yang buruk rupanya. Lalu Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sekiranya aku tidak takut kepada Allah, bila ia masuk ke kamarku, niscaya aku ludahi wajahnya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepada dia?" Habibah menjawab, "Ya." Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit kebun (yang pernah ia berikan kepada)nya. Kemudian Rasulullah ﷺ memisahkan keduanya.
Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila pihak lelaki meminta tebusan yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada pihak si istri. Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan karena mengingat keumuman makna firman-Nya: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah: 229)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Khalifah Umar seorang wanita yang membangkang terhadap suaminya. Maka Khalifah Umar memerintahkan agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah yang banyak sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya, "Bagaimanakah perasaanmu?" Si wanita menjawab, "Aku belum pernah merasa ketenangan sejak aku dinikahi olehnya kecuali malam tadi sewaktu engkau menyekapku." Maka Khalifah Umar berkata kepada suaminya, "Ceraikanlah dia, sekalipun dengan tebusan anting-antingnya."
Atsar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Kasir maula Samurah dengan lafal yang serupa. Tetapi di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Khalifah Umar menyekap wanita itu di dalam rumah tersebut selama tiga hari.
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ada seorang wanita datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu wanita itu mengadu perihal dengan suaminya. Maka Khalifah Umar menyekapnya di dalam rumah yang penuh dengan sampah.
Pada keesokan harinya Khalifah Umar berkata kepadanya, "Bagaimanakah keadaan tempatmu ini?" Wanita itu menjawab, "Sejak aku dinikahi olehnya, aku belum pernah merasakan malam hari yang menyenangkan seperti malam ini." Maka Khalifah Umar berkata (kepada suaminya), "Ambillah, sekalipun kondenya (lalu ceraikanlah dia)."
Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Usman memperbolehkan khulu' dengan tebusan yang lebih kecil daripada konde.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra pernah menceritakan atsar berikut. Ia pernah mempunyai seorang suami yang tidak baik kepadanya bila ada di rumah; dan apabila bepergian, maka si suami menelantarkannya. Ar-Rabi' binti Mu'awwaz melanjutkan kisahnya, bahwa pada suatu hari ia terlanjur mengatakan kalimat, "Aku meminta khulu' kepadamu dengan tebusan semua yang aku miliki." Si suami menjawab, "Ya." Maka Ar-Rabi' melakukan hal itu. Ar-Rabi' melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya (yaitu Mu'az ibnu Afra) memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu Affan. Maka Khalifah Usman memperbolehkan khulu' itu dan memerintahkan kepada suaminya untuk mengambil konde kepalanya dan yang lebih kecil daripada itu, atau segala sesuatu yang nilainya lebih kecil daripada konde.
Makna yang dimaksud dari atsar ini ialah bahwa pihak suami diperbolehkan mengambil dari istrinya yang meminta khulu' seperti itu segala sesuatu yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar ataupun kecil, dan tiada menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde kepalanya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Qubaisah ibnu Zuaib, Al-Hasan ibnu Saleh, dan Usman Al-Batti. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, Al-Al-Laits, Imam Syafii, dan Abu Tsaur serta dipilih oleh Ibnu Jarir. Murid-murid Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika mudarat (keburukan) yang ditimbulkan bersumber dari pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan menarik dari pihak istri apa yang pernah diberikan kepadanya, dan tidak boleh lebih dari itu. Jika pihak suami menuntut tambahannya, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan. Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak suami, maka tidak boleh pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak istrinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya kembali, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan.
Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada istrinya yang meminta khulu'. Hal ini dikatakan oleh Sa'id ibnu Musayyab, ‘Atha’, Amr ibnu Syu'aib, Az-Zuhri, Tawus, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ma'mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, "Seorang suami tidak boleh mengambil dari wanita yang meminta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan ke-padanya."
Al-Auza'i mengatakan bahwa para kadi tidak membolehkan seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.
Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah hadits yang telah kami sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dalam kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada Sabit agar mengambil dari istrinya kebun itu (yang pernah ia berikan kepadanya) dan tidak boleh lebih dari itu. Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid yang menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, dari Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, bahwa Nabi ﷺ tidak suka bila seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' hal yang lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.
Mereka menakwilkan makna ayat berikut: “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah: 229) Yakni berupa apa yang pernah diberikan pihak suami kepadanya, mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: “Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah: 229) Yaitu mengembalikan kembali pemberian tersebut.
Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas melalui qiroahnya yang mengatakan, "Tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dengan mengembalikan pemberian tersebut." Demikianlah menurut riwayat Ibnu jarir.
Karena itulah maka sesudahnya disebutkan: “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.” (Al-Baqarah: 229)
Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih pendapat dalam masalah khulu'. Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, sesudah itu pihak istri meminta khulu' darinya. Maka pihak suami boleh mengawininya jika suka, mengingat Allah ﷻ telah berfirman: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” (Al-Baqarah: 229) sampai dengan firman-Nya: “Bila keduanya (bekas suami pertama dan istri) kawin kembali.” (Al-Baqarah: 230)
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya. Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu' darinya.
Pertanyaannya, "Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya, boleh. Khulu' bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu' disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu' bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak)." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229) Firman-Nya: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (Al-Baqarah: 230)
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas yang kesimpulannya menyatakan bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh nikah (pemutusan pernikahan).
Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Tsaur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan.
Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu' mengatakan bahwa khulu' adalah talak bain (talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya), kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu.
Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta khulu' dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Usman mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan."
Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa atsar ini dha’if. Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, ‘Atha’, Syuraih, Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.
Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali' berniat dengan khulu'-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga talak."
Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu', yaitu manakala khulu' terjadi bukan dengan lafal talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut sama sekali bukan suatu masalah.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu' mempunyai idah sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru' jika ia termasuk wanita yang berhaid. Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Al-Al-Laits ibnu Sa'd, dan Abul Ubaid.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu' adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu' dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu' dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya.
Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi' meminta khulu' kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi' datang kepada Khalifah Usman (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman berkata, "Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid."
Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, "Hendaklah wanita yang khulu' melakukan idahnya selama tiga kali haid." Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, "Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami."
Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu' kepada suaminya adalah sekali haid.
Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Al-Laits, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali'ah (wanita yang meminta khulu') idahnya adalah sekali haid. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman beserta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa khulu' adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian berdalilkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi; masing-masing dari keduanya mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu' dari suaminya di masa Nabi ﷺ ,.Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya agar melakukan idah sekali haid.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan lagi gharib (aneh). Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi: Telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa ia pernah meminta khulu' di masa Rasulullah ﷺ. Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya atau dia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.
Imam At-Tirmidzi mengatakan, yang shahih adalah disebutkan bahwa ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah: Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada Ar-Rabi', "Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu." Ar-Rabi' menjawab, "Aku pernah meminta khulu' dari suamiku. Kemudian aku datang kepada Khalifah Utsman dan menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Usman menjawab, 'Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja menggaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali haid'." Selanjutnya Ar-Rabi' mengatakan bahwa sesungguhnya dia dalam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah diputuskan oleh Rasulullah ﷺ terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu' darinya.
Ibnu Luhai'ah menceritakan dari Abul Aswad, dari Abu Salamah dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada istri Sabit ibnu Qais ketika meminta khulu' dari suaminya agar melakukan idah sekali haid. Lelaki yang meng-khulu' istrinya tidak boleh merujuki istrinya yang meminta khulu' dalam idahnya tanpa seizin dari pihak si istri. Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia berikan kepada pihak suami.
Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Hanafi, dan Sa'id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka mengatakan, "Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri." Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Tsaur rahimahullah.
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, "Jika khulu' terjadi bukan dengan memakai lafal talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya. Jika pihak suami menyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya."
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu' istrinya berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah di-khulu', sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin mengawininya. Pendapat ini syaz (menyendiri) dan tidak dapat diterima.
Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukhtali'ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Tsaur.
Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, "Jika talak diikutkan dengan khulu' tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya (lafal khulu' dan lafal talak), maka talaknya tidak jatuh." Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat Usman.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa talak jatuh atas diri si istri yang meminta khulu' dalam keadaan apa pun selagi si istri masih berada dalam idahnya.
Pendapat ini merupakan pegangan Abu Hanifah dan semua teman-temannya serta Ats-Tsauri dan Al-Auza'i. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih, Tawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Abu Darda. Ibnu Abdul Bar mengatakan, hal tersebut masih belum terbukti bersumberkan dari keduanya (Ibnu Mas'ud dan Abu Darda).
Firman Allah ﷻ: “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 229)
Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya bagi kalian merupakan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya. Seperti yang dijelaskan di dalam hadits shahih yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah menggariskan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan fardu-fardu-Nya, maka janganlah kalian melalaikannya; dan Dia telah mengharamkan hal-hal yang haram, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia membiarkan banyak hal karena kasihan kepada kalian tanpa melupakannya, maka janganlah kalian menanyakan tentangnya.”
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menggabungkan tiga kali talak dalam satu kalimat hukumnya haram. Seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena sesungguhnya hal yang diberlakukan di kalangan mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak, karena berdasarkan kepada firman-Nya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” (Al-Baqarah: 229) Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar-nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 229)
Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadits dari Mahmud ibnu Labid yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai di dalam kitab sunan-nya. Disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid yang menceritakan: Diceritakan kepada Rasulullah ﷺ tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya tiga kali talak sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan emosi dan bersabda, "Apakah Kitabullah dipermainkan, sedangkan aku masih ada di antara kalian?” Hingga ada seorang lelaki yang bangkit dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya!" Akan tetapi, di dalam sanad hadits ini terdapat inqita'.
Ayat 230
Firman Allah ﷻ: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (Al-Baqarah: 230)
Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang benar. Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah milkul yamin (budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin dengan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama.
Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah mengatakan, "Maksud yang dituju telah berhasil untuk men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki lain." Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istiikar-nya.
Dikatakan demikian karena Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetubuhinya. Hal ini ditanyakan kepada Nabi ﷺ, "Bolehkah si wanita tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?" Nabi ﷺ menjawab: “Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si suami yang baru mencicipi pula madu kecilnya.”
Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadits berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa'ib ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu ditalaknya. Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya yang pertama. Maka Nabi ﷺ bersabda: “(Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya.”
Demikian pula menurut riwayat Imam An-Nasai, dari Amr ibnu Ali Al-Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; keduanya menceritakan hadits ini dari Muhammad Ibnu Ja'far Gundar, dari Syu'bah dengan lafal yang sama. Apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnul Musayyab dari Ibnu Umar secara marfu' bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi. Maka mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan riwayat yang tidak ada sandarannya.
Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu juga Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri: Dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Nabi ﷺ pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya serta menurunkan kain kelambunya. Setelah itu dia menceraikannya sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama? Nabi ﷺ menjawab, "Tidak, sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya." Demikianlah menurut lafal Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al-Hana'i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya dengan tiga kali talak. Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadits ini.
Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abul Furat, para ahli hadits berselisih pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilainya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya dapat diterima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Dawud menyebutkan bahwa dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: Telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya yang pertama hendak menikahinya kembali: “Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya.”
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafal yang sama. Abu Haris orangnya tidak terkenal.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Lalu Rasulullah ﷺ ditanya, "Apakah si wanita itu halal bagi suaminya yang pertama?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakannya.”
Hadits ini diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim serta Imam An-Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Waki' serta Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Semuanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki lain, kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama? Rasulullah ﷺ bersabda: “Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun merasakan kemanisan suaminya yang baru itu.”
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Musaddad dan Imam An-Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafal yang sama.
Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya. Setelah itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki lain, dan suaminya yang baru ini pun menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi ﷺ menjawab: “Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya.”.
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini.
Imam Al-Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafal yang sama.
Imam Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdullah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah secara marfu' dengan lafal yang sama atau yang serupa dengannya. Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik). Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang serupa.
Konteks hadits di atas merupakan kependekan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Siti Aisyah secara marfu', dari Nabi ﷺ. Telah menceritakan pula kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah , bahwa Rifa'ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia menceraikannya. Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum menggauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi ﷺ bersabda: “Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.” Imam Al-Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatannya.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadits berikut: Istri Rifa'ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi ﷺ. Ketika itu aku dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa'ah berkata, "Sesungguhnya Rifa'ah telah menceraikanku habis-habisan, dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju," seraya memegang ujung kain jilbabnya. Ketika itu Khalid ibnu Sa'id ibnul As berada di dekat pintu rumah Nabi ﷺ karena belum mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, "Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara blakblakan ini di depan Rasulullah ﷺ?" Tiada yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ kecuali hanya tersenyum, lalu bersabda, "Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa'ah. Tidak boleh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan pula kemanisanmu."
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari melalui hadits Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadits Abdur Razzaq, serta Imam An-Nasai melalui hadits Yazid ibnu Zurai'. Ketiga-tiganya meriwayatkan hadits ini dari Ma'mar dengan lafal yang sama. Menurut hadits Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim disebutkan: Bahwa Rifa'ah menceraikannya dengan tiga kali talak. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Dawud melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Al-Bukhari melalui jalur Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid. Yang ada pada riwayat Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama.
Imam Malik meriwayatkan: Dari Al-Miswar ibnu Rifa'ah Al-Qurazi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa Rifa'ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah binti Wahb di masa Rasulullah ﷺ dengan tiga kali talak. Lalu Tamimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. Ketika Rifa'ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut diceritakan kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah ﷺ melarang Rifa'ah mengawininya seraya bersabda: “Dia tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (suami baru) nya.” Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Imam Malik. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat inqita'. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Abdullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa'ah, dari Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-rafa-kan hadits ini.
Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendaknya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepada wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang lestari dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ketentuan perkawinan. Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang baru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu seandainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihram atau sedang berpuasa atau sedang i'tikaf atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau sedang ihrarn atau sedang melakukan i'tikaf, maka si istri masih belum diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.
Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah dengan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki. Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Al-Hasan, disyaratkan hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna yang terkandung di dalam sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: “Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.”
Berdasarkan pengertian ini, maka pihak wanita diharuskan pula mengalami inzal (ejakulasi). Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah 'usailah bukanlah air mani, berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An-Nasai melalui Siti Aisyah , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya 'usailah adalah jimak (persetubuhan).” Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan istilah 'penghapus talak' yang dikecam dan dilaknat oleh banyak hadits. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-terangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kesepakatan jumhur para imam.
Hadits-hadits tentang muhallil.
Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Qais, dari Al-Huzail, dari Abdullah yang telah menceritakan: “Rasulullah ﷺ telah melaknat wanita yang menato dan yang ditato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambung (dengan rambut lain), dan muhallil serta muhallal lah, dan pemakan riba serta orang yang menjadi wakilnya.”
Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu juga Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan (yakni Ats-Tsauri), dari Abu Qais yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu Sarwan Al-Audi, dari Huzail ibnu Syurahbil Al-Audi, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan lagi shahih. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang diamalkan di kalangan ahlul 'ilmi dari kalangan sahabat yang antara lain ialah Usman, Umar, dan Ibnu Umar. Pendapat ini pula yang dipakai oleh ulama fiqih dari kalangan tabi'in. Hal ini diriwayatkan pula dari Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ibnu Abbas.
Jalur lain melalui Ibnu Mas'ud. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Abdul Karim, dari Abul Wasil, dari Ibnu Mas'ud, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Allah melaknat muhallil dan muhallal lah.”
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An-Nasai melalui hadits Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Al-Harts Al-A'war, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa pemakan riba, wakilnya, dan kedua saksinya serta juru tulisnya jika mereka mengetahui transaksi riba; wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung rambutnya; penggelap zakat dan memungut zakat yang melampaui batas; orang yang murtad dari kalangan bangsa Arab sesudah hijrahnya; dan muhallil serta muhallal lah; semuanya dilaknat oleh lisan Muhammad ﷺ di hari kiamat.
Hadits yang diriwayatkan melalui sahabat Ali Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: “Rasulullah ﷺ telah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya; dan wanita yang menato serta wanita yang minta ditato untuk kecantikan; orang yang tidak mau membayar zakat; dan muhallil serta muhallal lah; dan beliau ﷺ melarang pula menangisi mayat (dengan tangisan Jahiliah).”
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Gundar, dari Syu'bah, dari Jabir (yaitu Ibnu Yazid Al-Ju'fi), dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui hadits Ismail ibnu Abu Khalid, Husain ibnu Abdur Rahman, Mujalid ibnu Sa'id, dan Ibnu Aun, dari Amir Asy-Sya'bi dengan lafal yang sama. Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Ma
Kemudian jika dia memilih untuk menceraikan istri-nya setelah talak yang kedua, yakni pada talak ketiga yang tidak lagi memberinya kesempatan untuk rujuk, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dan melakukan hubungan suami-istri dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa dan halangan bagi keduanya, yakni suami pertama dan mantan istrinya, untuk menikah kembali dengan akad yang baru, setelah ia selesai menjalani masa idahnya dari suami kedua. Hal ini dapat ditempuh jika keduanya berpen-dapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah dengan menjalani hidup baru yang lebih baik sesuai dengan aturan yang ditetapkan Allah. Apabila keduanya ragu untuk kembali dengan baikbaik maka niat untuk kembali hidup bersama hendaknya dibatalkan. Itulah ketentuan-ketentuan Allah tentang hukum talak, rujuk, dan khulu' yang dite-rangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan agar mereka memahami dan memperhatikan hukum-hukum Allah. Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan perintah memilih untuk rujuk atau menceraikan istri, berikutnya Allah menjelaskan batas akhir pilihan itu. Dan apabila kamu menceraikan istri-istri kamu dengan talak yang memungkinkan rujuk, setelah talak pertama atau kedua, lalu sampai akhir idahnya5 mendekati habis, maka tahanlah mereka dengan merujuk jika kamu yakin mampu memperbaiki hubungan itu kembali dengan cara yang baik sesuai tuntunan agama dan adat, atau ceraikanlah mereka apabila hubungan itu tidak dapat dilanjutkan dengan cara yang baik pula. Dan janganlah kamu tahan untuk merujuk mereka dengan maksud ingin berbuat jahat atau untuk menzalimi mereka selama hidup bersama. Barang siapa melakukan demikian, yaitu tindakan jahat dan zalim, maka pada hakikatnya dia telah menzalimi dirinya sendiri sehingga ia berhak mendapat murka Allah, kebencian keluarga dan orang sekelilingnya, dan semuanya itu berimbas pada dirinya. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah tentang petunjuk hukum talak sebagai bahan ejekan yang dapat dipermainkan. Ingatlah nikmat Allah yang telah Dia karuniakan kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu petunjuk tentang hukum keluarga yang terdapat dalam Kitab Al-Qur'an dan Hikmah atau Sunah. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini menerangkan, kalau sudah jatuh talak tiga, tidak boleh lagi rujuk. Apabila kedua belah pihak ingin hidup kembali sebagai suami- istri, maka perempuan itu harus kawin lebih dahulu dengan laki-laki lain, dan telah dicampuri oleh suaminya yang baru, dan kemudian diceraikan atas kehendak sendiri, dan sudah habis masa idahnya, barulah keduanya boleh rujuk kembali.
Ayat ini menyuruh kita berhati-hati dalam menjatuhkan talak, jangan gegabah dan jangan terburu nafsu. Pikirkanlah masak-masak, karena terburu nafsu dalam menjatuhkan talak, akhirnya menyesal. Menjatuhkan talak itu dibolehkan dalam Islam, tapi ia adalah perbuatan yang dibenci Allah. Akibat perceraian itu besar sekali, baik bagi suami, lebih-lebih bagi istri dan anak-anak. Karenanya, apabila masih dalam talak kedua, lebih baik rujuk kembali, kalau memang masih bisa diharapkan terwujudnya rumah tangga bahagia, dan dapat menjalankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SUMPAH MENJAUHI ISTRI (AL-ILAA')
Karena sudah mulai membicarakan sumpah maka ada pula orang yang bersumpah tidak akan mendekati istrinya sekian lamanya. Sumpah demikian bernama ilaa'. Dia belum datang talak. Orang kampung saya di Minangkabau menyebut laki-laki yang merajuk dari istrinya sekian lama itu ialah mengutil. Mungkin kata elak dan mengelak-elak berasal dari bahasa Arab ilaa ‘ tadi.
Ayat 226
“Dan bagi orang-orang yang bensumpah hendak benjauh dini dari isbti-isbti meneka (hendaklah) menunggu (pating lama) empat bulan."
Kadang kalanya terjadi suasana muram dalam rumah tangga. Si laki-laki marah. Lantaran marahnya itu dia hendak melakukan suatu sikap kepada istrinya itu. Sikap itu ada yang terlarang, ada yang diboleh-bolehkan, tetapi dibenci, tetapi ada pula yang diatur. Yang terlarang ialah dhirar, yaitu tidak pulang-pulang saja kepada istri, tidak memberi nafkah, tetapi tidak pula diceraikan. Hanya hendak menunjukkan kekuasaan saja. Yang diboleh-kan, tetapi dibenci, yaitu segera melafalkan talak, bercerai. Tentang bercerai atau talak ada peraturannya kelak. Yang ketiga ialah marah yang teratur, yang gunanya sekadar memberi nasihat saja, yakni ilaa', yaitu bersumpah “demi Allah, tidak akan pulang-pulang". Diatur di ayat ini ilaa' hanya boleh paling lama empat bulan."Maka, jika mereka kembali (sesudah itu)," yaitu sesudah empat bulan,
“Maka, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Terlebih dahulu setelah selesai empat bulan, hendaklah dibayarkannya kaffarah sumpah mengucil empat bulan itu. Dan, boleh juga, kalau marahnya sudah reda, dia pulang kembali sebelum empat bulan sebab empat bulan adalah paling lama. Bila dia hendak pulang, wajiblah dia membayar kaffarah. Nama-nama kebesaran Tuhan yang menjadi kunci-kunci ayat, sebagai Pengampun, seakan-akan kepada si suami dianjurkan meniru sifat Tuhan itu. Mengapa lama-lama mengucil, sedangkan Tuhan lagi Pengampun, teladanilah itu dan ampunilah istri kamu, hapuskanlah marah dari hatimu. Dengan sifat Tuhan Penyayang, diperingatkan bahwa seyogianyalah si suami memperdalam rasa rahim, cinta sayang terhadap istri. Dengan berpisah empat bulan, kedua belah pihak tentu telah rindu-merindui. Apatah lagi masa empat bulan dipisahkan atau terpisah dari suami, adalah masa yang tersedih bagi seorang perempuan. Kedua pihak dalam masa empat bulan sudah dapat menyelidiki kesalahan masing-masing dan kalau berjumpa kembali, kasih sayang akan lebih mesra.
Ayat 227
“Dan jika mereka berazam hendak menalak maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Mengetahui."
Karena hal ini adalah kemerdekaan pribadi seseorang, Allah tidak akan melarang dia menalak istrinya sesudah dia mengucil selama empat bulan itu. Akan tetapi, Allah Maha Mendengar; Allah dengar walaupun suara hatinya dan Allah lebih mengetahui apa yang terkandung dalam pikirannya ketika dia berazam hendak menalak. Talak yang telah dipikirkan sejak lama bukanlah talak orang marah. Talak demikian jatuh kalau dijatuhkan. Akan tetapi, apa sebab engkau talak dia? Hanya karena sebab yang dicari-cari saja atau memang karena engkau telah pertimbangkan bahwa pergaulan engkau dengan dia tidak bisa dilangsungkan lagi? Apakah karena selisih sudah sangat mendalam? Ibarat patah, ialah patah tebu, tak dapat dipertemukan lagi? Oleh karena Allah mendengar dan mengetahui, berpikirlah dengan baik-baik apabila hari empat bulan telah hampir habis. Di sini timbul masalah khilafiyah di antara ulama fiqih. Kata setengah dari mereka, apabila misalnya bersumpah mengucil satu bulan, rupanya belum satu bulan telah ingin pulang, wajiblah is membayar kajfarah sumpah.
Kalau sudah cukup waktu empat bulan, berhaklah hakim campur tangan menanyainya, akan kembalikah kepada istrinya atau akan cerai?
Kalau dia pulang kembali, selesailah perkara. Dia diampuni, Artinya, tidak usah membayar kaffarah. Akan tetapi, kalau dia tidak mau menceraikan, hakim berhak menerangkan kepadanya bahwa saat itu dia telah bercerai. Sebab, dalam Islam terlarang keras menggantung tidak bertali terhadap istri. Kalau sengajanya hendak menasihati, empat bulan sudah cukup.
TALAK
Ayat 228
“Dan perempuan-perempuan yang ditalak itu hendaklah menahan diri mereka tiga kali bensih."
Inilah yang dinamai iddah talak, yaitu tiga quru', tiga edaran haid dan bersih. Menahan diri Artinya, belum boleh bersuami, lamanya tiga quru', tiga kali suci dari haid. Sengaja kita tidak membawa khilaf ulama dalam hal ini dan kita langsung saja menjelaskan bahwa penahanan diri selama tiga quru' itu untuk menjelaskan bersihnya perempuan itu dari kandungan anak dari suami yang menalaknya itu. Sebab itu, Rasulullah membimbing juga kesopanan menalak istri, yaitu jangan ditalak dia ketika dalam haid. Sayyidina Abdullah bin Umar sampai dicela oleh Rasulullah ﷺ karena dia menalak istri dalam keadaan haid. Ini karena kalau ditalak dalam keadaan haid, terlalu lama dia menunggu iddah, yaitu masa haid dia ditalak, suci pertama, haid kedua, suci kedua, haid ketiga, dan suci ketiga. Akan tetapi, kalau sehabis haid itu baru ditalak dan tidak disetubuhi lebih dahulu, dia hanya menunggu dua kali haid lagi, di suci ketiga dia telah boleh kawin pula, empat bulan telah habis, dengan sendirinya talak telah terjadi sehingga pintu buat dhirar atau menganiaya perempuan tidak terbuka, yang dinamakan menggantung tidak bertali. Menurut paham ini, bila perempuan itu datang kepada hakim nikah bahwa pada hari ini sudah cukup empat bulan suaminya tidak pulang-pulang, berhaklah dia menyatakan bahwa mulai hari itu dia tidak bersuami lagi. Hakim hanya tinggal mensahkan saja, asal cukup bukti memang telah habis empat bulan. Kata setengahnya lagi, jatuhnya talak dengan resmi ialah setelah dinyatakan oleh hakim.
“Dan tidaklah halal bagi mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah di dalam peranakan-peranakan mereka!' Artinya, kalau dia mengandung, wajiblah bagi dia memberitahukan hal itu sehingga nyata bahwa ayah anak yang dalam kandungan itu iaiah suami yang menyatakannya itu."Jika memang mereka beriman kepada Allah dan hari yang akhir" Ini diperingatkan benar agar jangan dibangkitkan dalam Islam kecurangan zaman jahiliyyah, yaitu perempuan sengaja menyembunyikan kandungannya lalu langsung bersuami dan anaknya dengan suami yang menceraikannya itu dipandang sebagai anak dari suaminya yang baru. Maka, kacaulah keturunan, orang mengasuh anak yang bukan anaknya. Ditambah lagi keterangannya oleh setengah ulama, termasuk juga kecurangan menyembunyikan haid yang keluar dari rahimnya, supaya lama iddahnya, supaya nafkah bekas suaminya masih lama diterimanya. Ini adalah perbuatan orang yang tidak beriman.
Kalau ternyata dia hamil, yang mendapat hak pertama sekali atasnya ialah bekas suaminya itu."Sedang suami mereka lebih berhak mengembalikan mereka kepada keadaan yang demikian, jika semuanya hendak mencari damai." Ditekankan dengan frase ingin mencari damai karena memang banyak orang yang keras mempertahankan diri menjadi lunak kembali setelah mengetahui bahwa dia akan menunggu kedatangan anak. Mungkin dia menyesal bercerai, mengingat bekas istrinya itu sedang mengandung anaknya. Dengan kata yang demikianpun dengan halus ditarik tangan orang lain, tangan keluarga ataupun hakim nikah buat berusaha mendamaikan orang ini supaya hidup rukun kembali. Sama-sama menunggu anak yang tercinta. Bukankah tadi dikatakan bahwa istri itu adalah sawah ladang kamu? Tempat kamu menanamkan benih kamu? Sekarang, benih itu akan tumbuh, bukankah lebih baik berdamai, surut sebagai sediakala?
Perhatikanlah di sini mulai bertemu perkataan,
“Jika mereka hendak mencari damai."
Di sini sudah bertemu orang lain, bukan kedua suami-istri saja lagi. Maka, dibukakanlah pintu bagi yang lain, yaitu keluarga-keluarga kedua belah pihak supaya berusaha agar mereka keduanya itu berdamai. Bujuklah mana yang keras di antara mereka supaya lunak hatinya, supaya damai kembali. Ingatlah anak yang dalam kandungan itu. Sebelum dia lahir, hendaknya ayahnya sudah pulang kembali. Jangan sampai setelah melihat dunia, dia tidak melihat wajah ayahnya."Jika mereka ingin mencari damai" Perkataan itu meninggalkan kesan yang dalam pada hati keluarga-keluarga, yang Artinya, ialah, “Hai kaum keluarga! Damaikanlah mereka. Kasihan anak.dalam kandungan."
“Dan bagi mereka (perempuan) adalah (hak) seumpama (kewajiban) yang atas mereka jua dengan patut." Inilah yang amat penting di dalam ayat ini mengenai orang perempuan. Mereka pun mempunyai hak di samping memikul kewajiban, sebagaimana juga orang laki-laki ada hak dan ada kewajiban. Bukanlah orang perempuan itu hanya wajib begini, mesti begitu, misalnya mesti khidmat kepada suami, tidak membantah, dan wajib selalu taat. Akan tetapi, dia juga mempunyai hak buat dihargai, berhak atas hak miliknya sebagaimana berhaknya atas dirinya sendiri. Sekiranya terjadi kekacauan di dalam rumah tangga, tidaklah boleh kepadanya saja ditimpakan kesalahan, tetapi ditilik, apakah di sini si suami juga ada kelalaian memenuhi kewajibannya?
“Dan laki-laki mempunyai derajat atas mereka!' !tu adalah suatu hal yang wajar di dalam rumah tangga yang hendak teguh berdiri.
Meskipun keduanya, laki dan istri, sama berhak dan sama berkewajiban, di dalam rumah tangga, sebagai dasar pertama dalam masyarakat yang besar, yang kepalanya hanya satu, yaitu suami. Sama juga dengan kapal besar tengah berlayar. Juru bantu atau masinis bertanggung jawab penuh dalam putaran mesin-mesin kapal, tetapi tanggung jawab terakhir adalah kepada satu orang jua, yaitu nakhoda kapal. Satu kapal dengan dua nakhoda tidak mungkin. Dan, segala otak yang sehat harus mengakui bahwa tanggung jawab terakhir dalam rumah tangga pastilah suami. Ini karena dia yang lebih mengetahui rahasia kekuatan dan kelemahan, bahaya dari luar dan rintangan yang akan diatasi. Suami-istri yang cerdik akan bermusyawarah dalam hal yang penting-penting di dalam rumah tangga. Tentang perbelanjaan, penambahan dan pengurangan anggaran, akan menerima menantu dan sebagainya, tetapi keputusan terakhir tetap pada suami. Di situlah laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi.
“Dan Allah adalah Mahagagah lagi Bijaksana."
Allah Gagah untuk menghukum seorang suami yang memakai haknya yang berlebih itu dengan sewenang-wenang. Allah akan menghukum orang yang memandang bahwa teman hidupnya itu, perempuan, yang telah diserahkan Allah padanya sebagai amanah, adalah hanya untuk melepaskan nafsunya; bila senang kawini, tidak senang dilempar. Allah Mahagagah pula buat menghukum perempuan yang menuntut lebih daripada hak dan kewajibannya. Yang lupa bahwasanya betapa pun jua, tetapi tenaga perempuan tidaklah serupa dengan tenaga laki-laki di dalam menempuh gelombang hidup. Allah Mahabijaksana untuk menurunkan kebahagiaan kepada rumah tangga yang masing-masing anggotanya menjunjung tinggi kewajiban dan memakai hak masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Ayat 229
“Talak itu hanya dua kati, sesudah itu peganglah dengan sepatutnya atau lepaskan dengan cara yang baik."
Talak artinya lepas atau putus pertalian, habis pergaulan, bercerai, dan berpisah. Talak berarti lepas dari ikatan. Sebab, waktu nikah diadakan akad. Akad itu berarti ikatan, yaitu ijab qabul di antara wali dan mempelai laki-laki. Sebab itu, ada baiknya berpegang tangan di antara si wali dan si mempelai ketika akad itu guna melambangkan janji telah diikat. Dengan talak, berarti ikatan itu telah ditanggalkan atau dilepaskan. Rumah tangga yang didirikan oleh dua orang suami-istri selama ini dengan rukun dan damai, karena suatu hal terpaksa ditanggalkan ikatannya. Yang seperti itu sebaiknya hanya terjadi dua kali. Dengan ayat ini, sudah tegas bahwasanya yang dimaksud ialah si laki-laki mengucapkan lafal talaknya satu kali maka terjadilah cerai satu kali pula. Kemudian, karena kedua belah pihak sama-sama menyesal, mereka pun berkesurutan kembali. Si istri bergaul lagi dengan suaminya.
Ini dinamai rujuk, kalau iddah belum lepas. Kemudian, entah apa sebabnya mereka pun bercerai pula. Cerai yang kedua kali. Maka, di dalam ayat ini Tuhan memberi nasihat, sebaiknya sehingga dua kali itu sajalah bercerai. Sebab, orang-orang yang ada pertimbangan akan mengerti bahwa perceraian yang pertama mungkin karena belum dipikirkan matang. Biasanya kalau terjadi selisih, yang tampak hanya kesalahan saja. Akan tetapi, kalau sudah bercerai, teringatlah kembali kebaikan yang ada di kedua belah pihak. Sebaiknya rujuklah di dalam iddah supaya selesai perkara dan damai timbul kembali. Perceraian beberapa lama ini akan meninggalkan kesan mendalam pada jiwa masing-masing. Maka, kalau terjadi perceraian yang sekali lagi, yaitu cerai yang kedua, berpikirlah keduanya lebih mendalam. Pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah hendaklah menjadi pengajaran. Atau berkembalian dengan baik, secara patut dan tidak akan bercerAl-cerai lagi. Atau habislah sehingga itu, lepaskan dengan sebaik-baiknya. Dua kali bercerai sudahlah menjadi pengalaman bagi kedua belah pihak. Barangkali memang ada pendirian-pendirian masing-masing yang tidak bisa dipertemukan selama-lamanya. Elakkanlah supaya jangan sampai terjadi pula cerai yang ketiga, karena tidak akan dapat dipertemukan lagi. Si perempuan sudah patut menerima suami lain, barangkali dengan dia bisa cocok pergaulan. Si suami pun bisa memilih istri lain yang lebih sesuai perangai.
Dengan kalimat “talak itu hanya dua kali" sudah terang bahwa yang dimaksud ialah berpisah sampai dua kali, bukan mengucapkan lafal talak dalam satu majelis dua kali, apatah lagi tiga kali. Sebab, melafalkan talak dua kali atau tiga kali dalam satu majelis hanya akan menghasilkan pisah satu kali, bukan dua atau tiga kali. Dan, lagi perbuatan demikian sangat dimurkai Rasulullah sebab mengubah-ubah peraturan yang telah ditentukannya. Di zaman Rasulullah dan Sayyidina Abu Bakar, melafalkan talak dua atau tiga kali dalam satu majelis, hanya dihukumkan satu yang jatuh. Baru di zaman Umar dipandang jatuh dua dan jatuh tiga karena kata beliau orang sudah terlalu banyak mempermain-mainkan talak. Ini sebagai hukuman dari beliau. Akan tetapi, ijtihad Sayyidina Umar ini bukanlah suatu hal yang mesti diikut saja, sebab di dalam seratus macam ijtihad Umar, tentu ada juga satu-satu kali yang kurang tepat. Jika karena Umar memutuskan talak dua atau tiga di satu majelis dipandang jatuh dua dan jatuh tiga itu yang lebih benar, niscaya sunnah Rasul dan khalifah beliau yang pertama tidak diakui kebenarannya.
Di dalam kenyataan, kerap kali memang orang menjatuhkan talak dua atau talak tiga sekaligus itu adalah karena sedang sangat marah. Malahan ada orang yang karena marahnya menjatuhkan talak, “Aku talak engkau serumpun bambu!" Maka ulama-ulama fiqih pun berat kepada pertimbangan bahwasanya talak yang dijatuhkan karena sedang marah itu tidaklah jatuh.
Kemudian, karena setengah hakim memutuskan menurut keputusan Umar, talak tiga di satu majelis dipandang benar-benar talak jatuh ketiganya, timbullah sesal dari kedua belah pihak sehingga kemudian dapat akal busuk, yaitu menyewa orang buat mengawini perempuan itu, dengan perjanjian lebih dahulu bahwa sehabis dicampurinya perempuan itu sekali, hendaklah diceraikannya. Maka, dicarilah orang-orang bodoh yang kurang-kurang akalnya, diupah kawin oleh si janda, dan selesai persetubuhan, perempuan itu diceraikannya dan upahnya diterima. Ini yang dinamai dalam hadits “taisul musta'ar" kambing (bandot) pinjaman. Nabi ﷺ telah bersabda,
“Dikutuk Allah orang yang jadi penghalal itu dengan orang yang dihalalkan untuknya." (Hadits shahih)
Pada hadits ini suami sewaan untuk sekali bersetubuh itu bukan disebut suami, melainkan seorang yang dipandang sebagai alat untuk menghalalkan bagi suami pertama tadi untuk rujuk kembali kepada istrinya yang sudah ditalak tiga kali. Dengan perbuatan yang jijik dan cemar ini, orang mencari dalih untuk melepaskan dirinya dari kesulitan yang dibuatnya sendiri. Dia langgar ketentuan dan hikmah Ilahi yang berkenaan dengan pem-bangunan rumah tangga lalu untuk itu mereka menempuh jalan yang dikutuk oleh Allah.
Sebab itu, ayat ini memberikan tuntunan, kalau terpaksa bercerai, cukuplah hingga dua kali. Malahan setelah cerai yang pertama, akan rujuk yang kedua sudahlah patut berpikir. Dan, setelah bergaul kembali, pikir-pikirkan benar terlebih dahulu baru bercerai. Cerai yang kedua hendaknya sehabis-habis pikir. Atau rujuk dan jangan bercerAl-cerai lagi. Atau kalau terpaksa bercerai juga yang kedua, habislah hingga itu. Dan, kalau bercampur kembali janganlah juga yang kedua, habislah hingga itu. Dan, kalau bercampur kembali janganlah bercerai lagi, tahanlah hangat dingini.
“Dan tidaklah halal bagi kamu bahwa kamu ambil dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka." Ini juga berisi pendidikan budi yang mendalam. Alangkah rendahnya budi orang yang ketika hati sedang lekat, istri dibelikan ini dibelikan itu, tetapi setelah cerai diminta kembali atau diambil kembali. Yang sudah diberikan sudahlah menjadi kepunyaannya, janganlah dirisaukan hubungan hati karena mencintai benda, “Kecuali jika keduanya takut bahwa keduanya tidak akan mendirikan batas-batas peraturan" Inilah perceraian yang terjadi karena keduanya sudah sama insaf bahwa pergaulan mereka tidak akan bisa diteruskan lagi. Si perempuan merasa lebih baik bercerai saja, si laki-laki mau asal diganti kerugiannya. Dalam saat seperti ini tangan ketiga sudah boleh campur memasuki untuk mencari penyelesaian. Sebab itu, di sambungan ayat disebut, “Maka, jika kamu takut mereka berdua tidak akan mendirikan peraturan-peraturan Allah maka tidaklah mengapa atas keduanya tentang apa yang ditebuskan si istri dengan dia." Di sini sudah disebut kamu, tidak khusus jadi urusan (mereka) berdua lagi. Kamu di sini pada tingkat pertama ialah keluarga, sedangkan tingkat terakhir ialah hakim. Setelah diselidiki memang terdapat sebab-sebab yang menunjukkan bahwa persuami-istrian orang tidak dapat dilanjutkan lagi, sebab si istri tidak dapat mempertanggungjawabkan lagi bahwa pergaulan ini akan selamat kalau diteruskan, sedangkan si suami mau menceraikan asal kerugiannya diganti. Inilah yang dinamai khulu' atau iwadh dan dinamai juga tebus talak. Maka, perempuan itu boleh menyerahkan barang-barang haknya meskipun hak itu adalah pembelian suaminya untuk dia. Sejak lekat ke badannya memang dialah yang empunya barang-barang itu. Dalam hal ini jelas sekali tentang adanya hak si perempuan, sebagaimana yang disebut pada ayat yang terdahulu tadi.
“Demikianlah peraturan-peraturan Allah maka janganlah kamu langgar akan dia. Dan, barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan Allah, itulah orang-orang yang zalim."
Laki-laki mengambil kembali barang yang diberikan, adalah melanggar peraturan Allah. Perempuan minta cerai dengan tidak ada alasan, adalah melanggar peraturan Allah.
Ayat 230
“Maka, jika dia talak (lagi) akan dia maka tidaklah halal baginya sesudah itu, sehingga dia (perempuan) kawin dengan suami yang lain."
Yang dimaksud di sini ialah orang telah bercerai dua kali tadi, yang telah diberi nasihat oleh ayat di atas supaya dicukupkanlah bercerai sampai dua kali. Rupanya terpaksa juga mereka bercerai, cerai yang ketiga. Kalau sudah terjadi cerai yang ketiga, si suami tidak boleh surut lagi. Selepas iddah perempuan itu, dia sudah boleh kawin dengan laki-laki yang lain pula. Riwayat laki yang pertama sudah habis hingga itu."Maka, jika ditalaknya (pula)" oleh suami yang kedua itu, “Maka, tidaklah mengapa bagi mereka berdua jika mereka berkem-balian, (yaitu) jika keras sangka mereka berdua bahwa mereka berdua akan dapat menegakkan peraturan-peraturan Allah." Setengah ahli tafsir mengatakan bahwa bercerai dan berkembalian itu ialah jika terjadi perceraian dengan suami yang kedua itu, dengan suami kedua itu pun boleh berkembalian kembali, sebagaimana peraturan dengan suami pertama yang telah bercerai tiga kali itu. Artinya, suami kedua mempunyai hak-hak pula sebagai hak suami pertama tadi, boleh bercerai sampai dua kali atau tiga kali, sehingga perempuan itu bersuami lain pula. Setengah penafsir mengatakan bahwa kalau si perempuan bercerai lagi dengan suami yang kedua itu, suami yang pertama yang telah pernah talak tiga kali, boleh pula mengawininya. Memang keduanya itu bisa terjadi. Bahkan bisa juga terjadi, setelah bercerai dengan suami kedua satu kali dan dia tidak rujuk sebelum habis iddah, datang lagi laki-laki ketiga dan perempuan itu kawin pula dengannya.
“Dan begitulah peraturan-peraturan Allah, dinyatakan-Nya dia, untuk kaum yang (suka) mengetahui."
(ujung ayat 230)