Ayat
Terjemahan Per Kata
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡقِتَالُ
berperang
وَهُوَ
dan ia
كُرۡهٞ
kebencian
لَّكُمۡۖ
bagi kalian
وَعَسَىٰٓ
dan boleh jadi
أَن
bahwa
تَكۡرَهُواْ
kamu membenci
شَيۡـٔٗا
sesuatu
وَهُوَ
dan/padahal ia
خَيۡرٞ
baik
لَّكُمۡۖ
bagi kalian
وَعَسَىٰٓ
dan boleh jadi
أَن
bahwa
تُحِبُّواْ
kamu menyukai
شَيۡـٔٗا
sesuatu
وَهُوَ
dan ia
شَرّٞ
buruk
لَّكُمۡۚ
bagi kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
Dia mengetahui
وَأَنتُمۡ
dan kalian
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡقِتَالُ
berperang
وَهُوَ
dan ia
كُرۡهٞ
kebencian
لَّكُمۡۖ
bagi kalian
وَعَسَىٰٓ
dan boleh jadi
أَن
bahwa
تَكۡرَهُواْ
kamu membenci
شَيۡـٔٗا
sesuatu
وَهُوَ
dan/padahal ia
خَيۡرٞ
baik
لَّكُمۡۖ
bagi kalian
وَعَسَىٰٓ
dan boleh jadi
أَن
bahwa
تُحِبُّواْ
kamu menyukai
شَيۡـٔٗا
sesuatu
وَهُوَ
dan ia
شَرّٞ
buruk
لَّكُمۡۚ
bagi kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
Dia mengetahui
وَأَنتُمۡ
dan kalian
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
Terjemahan
Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
Tafsir
(Diwajibkan atasmu berperang), yakni menghadapi orang-orang kafir (padahal hal itu suatu kebencian), maksudnya suatu hal yang tidak disukai (bagi kamu) menurut tabiat, disebabkan amat menyusahkannya. (Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal baik bagi kamu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal amat buruk bagi kamu). Ini disebabkan kecenderungan nafsu pada syahwat atau keinginan-keinginan yang pasti akan mencelakakannya dan enggannya melakukan taklif atau tugas-tugas yang akan membahagiakannya. Siapa tahu bahwa dalam peperangan, walau kamu membencinya, tersembunyi kebaikan, misalnya kemenangan dan harta rampasan atau mati syahid dan memperoleh pahala. Sebaliknya dalam meninggalkan, walaupun menyenangkan hatimu, terdapat keburukan, misalnya kehinaan dan kemiskinan serta luput dari pahala. (Dan Allah Maha mengetahui) apa-apa yang baik bagimu (sedang kamu tidak mengetahui) demikian itu. Maka bersegeralah melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Nabi ﷺ mengirim pasukannya yang pertama di antaranya terdapat Abdullah bin Jahsy. Mereka memerangi orang-orang musyrik dan membunuh Ibnul Hadhrami pada hari terakhir bulan Jumadilakhir hingga mereka memasuki awal bulan Rajab (salah satu bulan suci). Mereka lalu dicela oleh orang-orang kafir karena telah menghalalkan bulan suci itu, maka turunlah ayat:.
Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian; dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. Allah mewajibkan jihad kepada kaum muslim demi mempertahankan agama Islam dari kejahatan musuh-musuhnya. Az-Zuhri mengatakan bahwa jihad itu wajib atas setiap orang, baik ia ahli dalam berperang ataupun tidak.
Bagi orang yang tidak biasa berperang, apabila diminta bantuannya untuk keperluan jihad, maka ia harus membantu. Dan apabila dimintai pertolongannya, maka ia harus menolong. Apabila diminta untuk berangkat berjihad, maka ia harus berangkat; tetapi jika tidak diperlukan, ia boleh tinggal (tidak berjihad). Menurut kami, di dalam sebuah hadits shahih telah disebutkan seperti berikut: Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia belum pernah berperang (berjihad) dan tiada pula keinginan dalam hatinya untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliah.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam hari kemenangan atas kota Mekah: Tidak ada hijrah sesudah kemenangan, tetapi hanya jihad dan niat; dan apabila kalian diperintahkan untuk berangkat berperang, maka berangkatlah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. (Al-Baqarah: 216) Yakni terasa keras dan berat bagi kalian, dan memang kenyataan perang itu demikian, adakalanya terbunuh atau terluka selain dari masyaqat perjalanan dan menghadapi musuh. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. (Al-Baqarah: 216) Dikatakan demikian karena berperang itu biasanya diiringi dengan datangnya pertolongan dan kemenangan atas musuh-musuh, menguasai negeri mereka, harta benda mereka, istri-istri, dan anak-anak mereka.
dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. (Al-Baqarah: 216) Hal ini bersifat umum mencakup semua perkara. Adakalanya seseorang mencintai sesuatu, sedangkan padanya tidak ada kebaikan atau suatu maslahat pun baginya. Antara lain ialah diam tidak mau berperang, yang akibatnya musuh akan menguasai negeri dan pemerintahan. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216) Artinya, Allah lebih mengetahui tentang akibat dari semua perkara daripada kalian, dan lebih melihat tentang hal-hal yang di dalamnya terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian. Maka perkenankanlah seruan-Nya dan taatilah perintah-Nya, mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.
Selain diuji dengan kemiskinan dan kemelaratan, orang-orang beriman juga akan diuji dengan diminta mengorbankan jiwa mereka melalui kewajiban perang. Diwajibkan atas kamu berperang melawan orang-orang kafir yang memerangi kamu, padahal berperang itu tidak menyenangkan bagimu, sebab ia mengor-bankan harta benda dan jiwa. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, yakni boleh jadi kamu tidak menyukai peperangan, padahal itu baik bagimu karena kamu mendapat kemenangan atas orang-orang kafir atau masuk surga jika terbunuh atau kalah dalam peperangan, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui apa yang baik bagimu, sedang kamu tidak mengetahui. Karena itu, tunaikanlah perintah Allah yang pasti akan membawa kebaikan bagimu.
Ayat ini turun ketika tentara Islam yang dipimpin oleh abdulla'h bin Jahsy berperang melawan orang-orang kafir di permulaan bulan Rajab, satu dari empat bulan haram. Mereka lalu bertanya kepadamu, wahai Nabi Muhammad, tentang boleh-tidaknya berperang pada bulan haram. Katakanlah, Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar. Tetapi, ada yang lebih besar lagi dosanya, yaitu menghalangi orang beriman dari jalan Allah, yakni melaksanakan perintah-Nya, ingkar kepadaNya, menghalangi orang masuk Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya. Itu semua lebih besar dosanya dalam pandangan Allah. Dan fitnah, yaitu kemusyrikan dan menindas orang mukmin, itu lebih kejam daripada pembunuhan dalam peperangan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad keluar dari agamamu, jika mereka sanggup mengeluarkanmu dari agamamu. Janganlah sekali-kali kamu murtad dari agamamu walaupun mereka tidak akan berhenti memerangimu, sebab barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, yakni keluar dari Islam, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Tidak ada pahala bagi amalnya, dan mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Dengan turunnya ayat ini hukum perang itu menjadi wajib kifayah dalam rangka membela diri dan membebaskan penindasan. Bila musuh telah masuk ke dalam negeri orang-orang Islam, hukumnya menjadi wajib 'ain. Hukum wajib perang ini turun pada tahun kedua Hijri. Ketika masih di Mekah (sebelum Hijrah) Nabi Muhammad ﷺ dilarang berperang, baru pada permulaan tahun Hijrah, Nabi diizinkan perang bilamana perlu.
Berperang dirasakan sebagai suatu perintah yang berat bagi orang-orang Islam sebab akan menghabiskan harta dan jiwa. Lebih-lebih pada permulaan Hijrah ke Medinah. Kaum Muslimin masih sedikit, sedang kaum musyrikin mempunyai jumlah yang besar. Berperang ketika itu dirasakan sangat berat, tetapi karena perintah berperang sudah datang untuk membela kesucian agama Islam dan meninggikan kalimatullah, maka Allah menjelaskan bahwa tidak selamanya segala yang dirasakan berat dan sulit itu membawa penderitaan, tetapi mudah-mudahan justru membawa kebaikan. Betapa khawatirnya seorang pasien yang pengobatannya harus dengan mengalami operasi, sedang operasi itu paling dibenci dan ditakuti, tetapi demi untuk kesehatannya dia harus mematuhi nasehat dokter, barulah penyakit hilang dan badan menjadi sehat setelah dioperasi.
Allah memerintahkan sesuatu bukan untuk menyusahkan manusia, sebab di balik perintah itu akan banyak ditemui rahasia-rahasia yang membahagiakan manusia. Masalah rahasia itu Allah-lah yang lebih tahu, sedang manusia tidak mengetahuinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERINTAH BERPERANG
Ayat 216
“Telah diperintahkan kepada kamu berperang, sedang dia itu tidak kamu sukai. Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai, padahal ada baiknya bagi kamu. Dan, boleh jadi kamu sukai sesuatu, padahal dia itu tidak baik bagi kamu. Dan, Allah mengetahui, sedangkan kamu tidaklah tahu."
Perintah berperang telah diturunkan Tuhan. Perintah ini datang di Madinah, sedangkan waktu masih di Mekah belum ada perintah berperang. Betapapun penderitaan lantaran perbuatan kaum musyrikin kepada Nabi dan umatnya pada masa di Mekah, tetapi mereka diperintahkan memaafkan, berlapang dada, dan jangan melawan dengan kekerasan. Karena pada waktu itu Islam baru tumbuh. Sikap yang tergopoh-gopoh hanya memperturutkan semangat bernyala-nyala saja, niscaya akan membawa malapetaka yang tidak diingini. Akan tetapi, setelah kaum Muhajirin mendapat sokongan yang amat besar dari kaum Anshar di Madinah maka masyarakat Islam di Madinah mulai tumbuh dengan kuatnya. Akan tetapi, pihak yang memusuhi tidaklah akan tinggal diam membiarkan masyarakat Islam itu bertumbuh. Kian besar pengaruh Islam di Madinah, kian besar pulalah kemurkaan musuh-musuh itu, bahkan bertambah besar pula jumlahnya. Musuh dari Quraisy yang telah mengusir mereka. Musuh dari suku-suku Arab di sekeliling tanah Arab yang selalu mengikuti jejak kaum Quraisy. Musuh dari orang Yahudi di Madinah yang di mana ada peluang selalu menghasut orang Quraisy dan Arab yang lain tadi supaya menantang Islam, meskipun kadang-kadang dengan "lempar batu sembunyi tangan". Dan, di sebelah utara bangsa Romawi telah lama berdaulat menjajah penduduk-penduduk Arab dan menguasai negeri-negeri itu. Dan, di sebelah timur ada kerajaan Persia yang besar, yang tidak merasa senang kalau bangkit kekuatan baru di Arabia.
Sementara itu, pertumbuhan Islam sebagai suatu kemasyarakatan telah menjadi suatu kekuasaan yang nyata. Kekuatan yang telah tumbuh ini mesti dipertahankan. Kadang-kadang bertahan itu ialah dengan menyerang atau mendahului sebelum diserang. Dari zaman purbakala kaidah “menyerang ialah pertahanan juga" sudahlah termasuk dalam ilmu perang. Sebab itu, dengan ayat ini, bukan saja Tuhan mengizinkan berperang, melainkan memerintahkan berperang.
Pada pokoknya, perang itu tidaklah disukai. Memang pada umumnya apabila mempersoalkan perang, orang tidak suka. Berperang adalah mengubah kebiasaan hidup yang tenteram, berperang ialah membunuh atau dibunuh. Sedangkan orang ingin, kalau dapat, biarlah mati secara wajar saja. Berperang meminta perbelanjaan besar, sedangkan nafsu manusia ialah bakhil. Sebab itu, pokoknya orang berperanan, kalau boleh biarlah tidak ada perang. Akan tetapi, boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai, padahal dia membawa kebaikan kepada kamu. Dalam hal ini, bukan berperang saja; banyak hal yang kita tidak menyukainya, tetapi dia baik buat kita. Laksana orang sakit meminum obat yang pahit, tidaklah seleranya suka meminum obat itu, tetapi untuk kesembuhannya, mesti ditelan-nya juga. Misalnya, kita perturutkan perasaan hati, tidak suka berperang, suka yang tenteram-tenteram saja, sedangkan musuh telah mengancam di sekeliling kota pertahanan kita. Berdiam diri dan tidak suka berperang, Artinya, menyerahkan negeri kepada musuh. Atau, diketahui musuh telah mengadakan persiapan buat menyerbu pertahanan kita. Pada saat itu, tidak boleh lengah sedikit juga. Dalam taktik perang, hal itu tidak boleh ditunggu, tetapi didahului menyerbu musuh itu sebelum mereka bangkit.
Ini semuanya bukanlah kalau-kalau, melainkan kenyataan. Masyarakat musuh yang dipimpin oleh seorang sebagaimana Abu Jahal tidaklah akan berdiam diri saja melihat Islam berkembang. Siang malam mereka menyusun kekuatan buat membunuh Islam yang sedang tumbuh itu. Orang-orang yang sebagaimana demikian hanya dapat dihentikan geraknya dengan diperangi. Sebab, itu maka di ujung ayat, Allah berfirman,
“Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidaklah tahu."
Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan Allah, merangkap juga sebagai kepala masyarakat (kepala negara) dan juga pemimpin peperangan. Seluruh umat yang di bawah pimpinan beliau adalah tentara semuanya, yang wajib tunduk kepada komando beliau. Beliau memerintahkan peperangan bukanlah atas kehendak sendiri, melainkan menjalankan rencana Allah. Dalam beberapa hal, misalnya, maksud-maksud penyerangan dan penyerbuan, kamu sebagai tentara hanya wajib tunduk. Kamu tidak selalu dapat mengetahui apa rahasia yang lebih dalam dari perintah itu. Hanya Allah yang tahu dan Rasul-Nya. Dengan ujung firman Allah ini, ke dalam masyarakat kaum Muslimin, Muhajirin, dan Anshar itu, telah mulai ditanamkan dasar ilmu perang. Orang-orang sebagaimana Umar bin Khaththab, Zubair bin Awwam, dan lain-lain itu bukanlah orang-orang penakut seorang juga, melainkan orang-orang yang biasa perang suku, perang kabilah di zaman jahiliyyah. Demikian juga pemuka-pemuka kaum Anshar. Sekarang, keberanian berperang itu telah terpimpin di bawah satu komando, yang di atas sekali ialah komando Allah. Bukan sebagaimana perkelahian suku-suku yang selalu terjadi di zaman jahiliyyah dahulu itu.
Ayat 217
Lantaran perintah berperang sudah turun dari Allah maka pada suatu waktu di akhir Jumadil Akhir setelah tujuh belas bulan Rasulullah ﷺ berpindah ke Madinah, beliau panggil Abdullah bin Jahasy (anak dari saudara perempuan ibu beliau atau 'Ammah) bersama dengan delapan orang Muhajirin lalu beliau suruh berangkat ke jurusan Badar. Seraya menyerahkan sepucuk surat, beliau bersabda, “Segera engkau berangkat bersama teman-temanmu yang delapan ini. Setelah dua hari perjalanan, barulah boleh engkau buka dan baca suratku ini. Jalankan apa yang aku perintahkan di dalamnya. Akan tetapi, teman-temanmu yang delapan sekali-kali jangan engkau paksa menurutkan engkau."
Setelah itu, berangkatlah Abdullah bin Jahasy dengan kedelapan temannya itu. Setelah dua hari perjalanan, surat itu dibuka dan dibacanya, di antara isinya ialah memerintahkan dia meneruskan perjalanan menuju Nakhlah dan dari sana perhatikan gerak-gerik orang Quraisy. Tentang berperang tidak ada perintah dan tidak ada larangan dalam surat itu. Sehabis surat dibacanya, Abdullah bin Jahasy berkata, “Sam'an wa tha'atan (didengar dan dipatuhi)!" Dia lalu berkata kepada teman-temannya itu, “Siapa di antara kalian yang ingin syahid, turutkan aku karena aku hendak meneruskan perintah Rasulullah. Akan tetapi, barangsiapa yang enggan, boleh pulang karena Rasulullah memesankan kepadaku dalam suratnya supaya jangan ada yang dipaksa." Rupanya tidak seorang juga yang mau pulang, melainkan semua menurut. Mereka meneruskan perjalanan ke Nakhlah. Akan tetapi, di tengah jalan, dua orang di antara mereka, yaitu Sa'ad bin Abu Waqash dan Utbah bin Ghazwan, terpaksa terpisah sebab mengejar unta mereka yang terlepas dan tersesat. Adapun Abdullah bin Jahasy bersama-sama dengan keenam temannya lagi meneruskan perjalanan ke Nakhlah. Sampai di sana kebetulan memang bertemu dengan beberapa orang Quraisy yang mereka kenal. Ketika kedua belah pihak sudah tahu sama tahu ada lawan, bermufakatlah Abdullah bin Jahasy dengan keenam kawannya. Kalau kita berperang dengan mereka sekarang, bulan Rajab telah masuk, kita tidak boleh berperang di bulan yang dimuliakan. Akan tetapi, kalau kita biarkan mereka, tentu malam ini juga mereka lekas-lekas kembali ke Mekah. Di sana, mereka memberi tahu yang lain. Bahaya lebih besar akan kita hadapi. Bagaimana baiknya? Maka, putuslah mufakat bahwa mereka diperangi sekarang juga sebelum mereka berlepas diri ke Mekah.
Maka, Wakid bin Abdullah as-Sahmi pun melesatkan panahnya ke arah Amr bin al-Hadhrami, kena dan mati; Usman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kisan tertawan, tetapi Naufal saudara Usman bin Abdullah dapat meloloskan diri. Orang-orang tawanan bersama unta-untanya mereka giring ke Madinah dan dibawa ke hadapan Rasulullah ﷺ. Maka, setelah orang-orang tawanan dan harta rampasan itu dihadapkan kepada beliau, tidaklah kelihatan beliau gembira. Beliau berkata, “Aku tidak memerintahkan kamu berperang di bulan yang dimuliakan." Maka, kedua orang tawanan itu ditahan saja, tidak diperlakukan sebagaimana orang tawanan dan barang-barang rampasan itu diletakkan saja. Abdullah bin Jahasy dengan teman-temannya kelihatan bermuka muram. Mereka telah salah dan menyesal. Semua kaum Muslimin menyalahkan mereka. Berita ini pun segera tersiar di kalangan kaum Quraisy, menjalar ke suku-suku Arab yang lain: Muhammad mengizinkan berperang di bulan mulia, dia telah membunuh dengan cara yang terlarang, dia telah menawan dan dia telah merampas. Menurut adat turun-temurun, segala peperangan dihentikan pada bulan yang mereka muliakan, yaitu bulan Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Muharram.
Orang Quraisy sampai mengirim utusan ke Madinah, menanyakan kepada beliau, apakah dia membolehkan berperang di bulan yang dimuliakan? Apakah lagi harganya perjanjian yang telah diikat sejak zaman purbakala oleh nenek moyang kita bahwa pada bulan yang empat itu tidak boleh ada peperangan?
Di saat yang demikianlah, turunnya ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau dari hal bulan yang mulia, tentang berperang padanya. Katakanlah, ‘Berperang padanya adalah soal besari'" Dengan tegas, diakui ayat ini bahwa kemuliaan bulan itu telah dikotori, suatu hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi."Akan tetapi, menjauhkan manusia dari jalan Allah" yaitu perbuatan orang Quraisy selama ini, berusaha siang dan malam menjauhkan, mem-belokkan perhatian, dan memesongkan manusia dari seruan kepada jalan Allah, “Dan kufur kepada-Nya," tidak mau menerima kebenaran Allah dan tidak mau percaya kepada Allah Yang Mahatunggal, bahkan dipersekutukan yang lain dengan Dia, “Dan Masjidil Haram" yaitu menghambat orang melakukan ibadah padanya dan mengganggu, sebagaimana pernah mereka lakukan kepada Muhammad ﷺ yang sedang sujud di Masjidil Haram, ditimpakan kepadanya usus unta yang baru disembelih dan masih ada kotoran unta di dalamnya, “Dan mengusir penduduknya darinya," sampai terpaksa hijrah ke Madinah. Semuanya itu, “Adalah lebih besar di sisi Allah." Maka, jika dikumpulkan segala perbuatan besar dan mengerikan yang telah mereka lakukan kepada kaum Muslimin yang telah dituturkan satu demi satu itu, walaupun berperang di bulan yang dimuliakan itu memang soal besar, tetapi dia telah menjadi kecil, tidak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan sikap permusuhan yang mereka laku-kan kepada kaum Muslimin, dan belum berhenti hal itu sampai kepada masa terjadinya peperangan di Nakhlah itu. Ada lagi yang lebih besar perbuatan mereka, melebihi dari segala yang disebutkan itu, “Dan fitnah adalah lebih besar lagi dari pembunuhan." Artinya, jika Amr bin al-Hadhrami telah mati terbunuh, jika dibandingkan dengan fitnahan, siksaan, penghinaan yang telah mereka timpakan kepada orang-orang yang beriman, kepada Nabi Muhammad ﷺ, belumlah setimpal sedikit juga dengan kematian Amr itu. Ummu Yasir sampai mati ditusuk farajnya dengan tombak, Amr bin Yasir sampai berkesan cambuk pada punggungnya,
Bilal dijemur di cahaya matahari yang kalau tidaklah segera Abu Bakar datang membelinya, matilah dia dijemur di panas terik. Dan, banyak lagi fitnahan yang lain yang mereka timpakan. Dan, fitnah dan segala sikap permusuhan itu akan terus mereka lakukan, “Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sehingga (dapatlah) mereka mengembalikan kamu dari agama kamu, jika mereka sanggup" yaitu sebelum kaum yang telah beriman itu melemparkan iman mereka dan kembali turut mereka menyembah berhala maka segala fitnahan dan sikap permusuhan ini akan terus tidak akan berhenti. Bahkan akan mereka tambah lagi usaha mengembalikan kamu jadi kafir, dengan segala kesanggupan yang ada pada mereka. Kemudian, diperingatkan betapa besarnya bahaya aksi kaum Quraisy itu bagi mereka orang Islam, karena tidak tahan akan fitnahan mereka dan karena kelemahan iman, mungkin ada yang mau murtad. Maka, datanglah ancaman yang tegas dari Tuhan kepada orang Muslim, “Dan barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya',' yaitu meninggalkan iman dan kembali jadi kafir, meninggalkan tauhid, kembali jadi musyrik karena takut akan fitnah, karena takut akan tanggung jawab, karena takut menghadapi pengorbanan, “Lalu dia mati, padahal dia telah kafir maka mereka itu telah gagallah amalan-amalan mereka di dunia dan di akhirat." Apa yang dibangunkan selama ini runtuhlah, amalan jadi percuma dan kembali ke dalam kegelapan, di bawah pengaruh setan.
“Dan mereka itu adalah penghuni neraka, meneka akan kekal di dalamnya."
Inilah ayat yang diturunkan untuk menjelaskan duduk perkaranya. Abdullah bin Jahasy tidak salah. Dia telah bertemu dua jalan bersimpang yang keduanya berbahaya. Dia mengakui berperang di bulan yang mulia itu suatu pelanggaran besar, tetapi membiarkan musuh itu pulang saja justru akan membawa bahaya yang lebih besar, yaitu terus-menerusnya mereka beraksi menentang Islam. Maka, oleh sebab rintangan dan fitnah itu dari merekalah mulanya, ini wajib dilawan terus, ditangkis terus, dihadapi terus, sampai mereka tunduk. Pada waktu itu, bukan saja perang di bulan mulia yang tidak ada lagi, malahan keamanan beragamalah yang akan tercapai. Peperangan sekarang ini bukanlah peperangan di antara suku dan kabilah sebagaimana zaman jahiliyyah, balas-membalas dendam, tawan-menawan musuh, rampas-merampas unta, nanti berdamai lagi, nanti berperang lagi, dan bila datang bulan yang dimuliakan berkumpul lagi, berniaga, tertawa-tawa, Datang lagi waktunya, perang pula. Perang yang tidak ada tujuan.
Dengan ayat ini, kedudukan Abdullah bin Jahasy dan teman-temannya diperbaiki, Mereka tidak salah. Orang tawanan tetap tawanan, boleh ditebus. Malahan diberi bantuan semangat bagi setiap orang yang berjuang pada jalan Allah,
Ayat 218
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjuang pada jalan Allah itulah orang-orang yang menghadapkan rahmat Allah. Sedang Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini menjelaskan siapa mereka yang telah sudi bersabung nyawa melaksanakan kehendak Tuhan itu. Mereka telah mencapai tiga tingkat dari aqidah kepercayaan mereka kepada Tuhan. Pertama, mereka telah me-nyatakan kepercayaan kepada Allah dan Rasul-Nya; mereka tidak lagi menyembah kepada selain Allah. Sebab itu, mereka diganggu dan dimusuhi dalam kampung halaman mereka sendiri. Maka, oleh karena yang mereka cintai hanyalah Allah dan Rasul, ketika diajak oleh Rasul Allah berpindah ke Madinah, berpindah kepada Allah dan Rasul, mereka pun telah pindah. Negeri tempat mereka dilahirkan telah mereka tinggalkan karena mereka tidak mau menyembah berhala. Biarpun di tempat kediaman yang baru itu mereka akan melarat, mereka rela menerima kemelaratan karena mempertahankan iman kepada Allah. Kemudian, datang perintah berjihad, berperang mempertahankan agama Allah, mereka pun berperang. Dengan berperang, sudah terang hanya salah satu dari dua yang mereka hadapi: pertama hidup, kedua mati. Mereka rela hidup untuk meneruskan perjuangan dan mereka rela mati untuk syahid. Sebab, hidup atau mati mereka mempunyai satu harapan, yaitu rahmat Allah, kasih cinta Allah. Dan, kalau ada salah berkecil-kecil, yang pasti bertemu dalam perjuangan hidup sebagaimana bertemu pada Abdullah bin Jahasy dengan teman-temannya itu, diberi ampunlah mereka oleh Allah sebab Allah Maha Pengampun. Dan, disayangilah mereka karena tenaga mereka yang telah diberikan untuk menegakkan sabilillah. Karena Tuhan Maha Penyayang.
Pada ayat ini, mulailah kita berjumpa dengan ketiga tingkat penyempurnaan iman itu. Pertama, iman kepada Allah. Kedua, sanggup hijrah lantaran iman. Ketiga, sanggup berjihad apabila perintah datang.