Ayat

Terjemahan Per Kata
سَلۡ
tanyakan
بَنِيٓ
bani
إِسۡرَٰٓءِيلَ
Israil
كَمۡ
berapa banyak
ءَاتَيۡنَٰهُم
telah kami berikan kepada mereka
مِّنۡ
dari
ءَايَةِ
ayat/tanda-tanda
بَيِّنَةٖۗ
nyata
وَمَن
dan barang siapa
يُبَدِّلۡ
ia menukar
نِعۡمَةَ
nikmat
ٱللَّهِ
Allah
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
مَا
apa
جَآءَتۡهُ
datang kepadanya
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
شَدِيدُ
amat keras
ٱلۡعِقَابِ
siksaNya
سَلۡ
tanyakan
بَنِيٓ
bani
إِسۡرَٰٓءِيلَ
Israil
كَمۡ
berapa banyak
ءَاتَيۡنَٰهُم
telah kami berikan kepada mereka
مِّنۡ
dari
ءَايَةِ
ayat/tanda-tanda
بَيِّنَةٖۗ
nyata
وَمَن
dan barang siapa
يُبَدِّلۡ
ia menukar
نِعۡمَةَ
nikmat
ٱللَّهِ
Allah
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
مَا
apa
جَآءَتۡهُ
datang kepadanya
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
شَدِيدُ
amat keras
ٱلۡعِقَابِ
siksaNya
Terjemahan

Tanyakanlah kepada Bani Israil, “Berapa banyak bukti nyata (kebenaran) yang telah Kami anugerahkan kepada mereka?” Siapa yang menukar nikmat Allah (dengan kekufuran) setelah (nikmat itu) datang kepadanya, sesungguhnya Allah Mahakeras hukuman-Nya.
Tafsir

(Tanyakanlah) hai Muhammad (kepada Bani Israel) sebagai pukulan bagi mereka (Berapa banyaknya yang telah kami berikan kepada mereka), 'kam' merupakan pertanyaan, tempat berkaitnya 'sal' mengenai maf`ul kedua (obyek kedua), yaitu maf`ul kedua dan mumayaz dari aatainaa (berupa tanda-tanda yang nyata) atau kuat, misalnya terbelahnya laut, turunnya manna dan salwa, lalu mereka sambut dengan kekafiran. (Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah), maksudnya tanda-tanda yang telah diberikan-Nya, karena itu merupakan sebab beroleh petunjuk (setelah nikmat itu datang kepadanya) menjadi kekafiran, (maka sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya) terhadapnya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 211-212
Tanyakanlah kepada Bani Israil, "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka." Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat.
Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan perihal kaum Bani Israil, sudah berapa banyak mereka melihat mukjizat yang jelas dari Nabi Musa a.s. Yang dimaksud dengan ayatin bayyinah ialah hujah yang membuktikan kebenaran Nabi Musa a.s. dalam menyampaikan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepadanya, seperti tangan Nabi Musa, tongkatnya, terbelahnya laut, batu yang ia pukul, awan yang menaungi mereka di panas yang sangat terik, dan diturunkan-Nya manna dan salwa serta lain-lainnya yang menunjukkan adanya Tuhan yang berbuat demikian dalam keadaan tak terpaksa, dan kebenaran dari orang yang menyebabkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam tersebut.
Tetapi sekalipun demikian, banyak dari kalangan mereka yang berpaling dari tanda-tanda yang jelas itu, dan mereka menggantikan nikmat Allah dengan kekufuran, yakni mereka membalas iman kepada hal-hal tersebut dengan keingkaran terhadapnya. Maka Allah mengancam mereka dengan siksa-Nya yang amat keras, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya. (Al-Baqarah: 211) Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya yang menceritakan perihal orang-orang kafir Quraisy, yaitu: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. (Ibrahim: 28-29) Kemudian Allah menyebutkan perhiasan kehidupan duniawi yang diberikan-Nya kepada orang-orang kafir, yaitu mereka yang merasa puas dengannya dan merasa tenang bergelimang di dalamnya serta berupaya menghimpun harta benda, tetapi mereka tidak mau membelanjakannya ke jalan-jalan yang diperintahkan kepada mereka untuk mengeluarkannya, yaitu jalan-jalan yang diridai oleh Allah subhanahu wa ta’ala Bahkan mereka mencemoohkan orang-orang beriman yang berpaling dari kesenangan duniawi, yaitu mereka yang membelanjakan sebagian apa yang mereka peroleh dari harta benda itu untuk ketaatan kepada Tuhan mereka.
Mereka membelanjakannya demi memperoleh rida Allah. Karena itu, mereka beroleh kedudukan paling bahagia dan bagian yang berlimpah di hari mereka kembali pada hari kiamat nanti. Kelak di hari kiamat keadaan orang-orang mukmin tersebut berada di atas mereka, baik di tempat mereka semua dihimpun ketika mereka dibangunkan dari kuburnya masing-masing, dalam perjalanan mereka (hisabnya) maupun tempat kembalinya. Orang-orang yang beriman akan menetap pada kedudukan yang paling tinggi di dalam surga, sedangkan orang-orang kafir berada di bagian paling bawah dari neraka- Jahannam dengan kekal dan untuk selama-lamanya.
Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al-Baqarah: 212) Yakni Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya dari kalangan makhluk-Nya dan memberinya pemberian yang banyak lagi berlimpah tanpa batas dan tanpa hitungan, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti yang dinyatakan di dalam sebuah hadits berikut: Wahai anak Adam, berinfaklah, niscaya Aku akan menggantikannya kepadamu. Nabi ﷺ pernah bersabda: Infakkanlah terus, wahai Bilal, janganlah kamu merasa takut kekurangan dari Tuhan Yang mempunyai Arasy. Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Dan barang apa saja yang kalian nafkahkan (belanjakan), maka Allah akan menggantinya. (Saba': 39) Di dalam kitab shahih disebutkan seperti berikut: Bahwa ada dua malaikat yang turun dari langit di setiap pagi hari.
Salah satunya mengatakan, "Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak penggantinya." Sedangkan yang lainnya mengatakan, "Ya Allah, timpakanlah kerusakan kepada orang yang kikir. Di dalam hadits shahih disebutkan: Anak Adam mengatakan, "Hartaku, hartaku." Tetapi tiada bagianmu dari hartamu kecuali apa yang telah kamu makan, lalu kamu lenyapkan; dan apa yang kamu pakai, lalu kamu rusakkan; apa yang kamu sedekahkan, maka kamu akan memetik hasilnya nanti, sedangkan hal-hal yang selain itu bakal lenyap dan menjadi peninggalan untuk orang lain.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan sebuah hadits, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Dunia adalah rumah bagi orang yang tidak mempunyai rumah, dan harta bagi orang yang tidak memiliki harta, dan untuk dunialah orang yang tak berakal menghimpunnya."
Tanyakanlah kepada Bani Israil, yakni Yahudi Madinah, berapa banyak bukti nyata yang telah Kami berikan kepada mereka. Banyak sekali nikmat yang Allah berikan kepada nenek moyang mereka, seperti terbelahnya lautan, terangkatnya bukit Tur di atas kepala mereka, dan diturunkannya manna dan salwa'. Barang siapa menukar nikmat Allah, yakni meng-ingkari nikmat atau petunjuk Allah dan menukarnya dengan kekufuran, setelah nikmat itu datang kepadanya, maka sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya Kehidupan dunia dijadikan oleh Allah terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kafir Mekah. Mereka sangat mencintai dunia dan berlomba-lomba mencari kesenangan dunia sehingga lupa kepada akhirat, dan mereka terus-menerus menghina orang-orang yang beriman, seperti Bila'l, suwahaib, dan lainnya karena kefakiran mereka. Mereka terus saja berbuat demikian padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di atas mereka pada hari Kiamat. Mereka berada di surga sedangkan orang kafir itu berada di neraka. Dan Allah memberi rezeki baik di dunia maupun akhirat kepada orang yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.
Bani Israil telah rusak karena pengaruh keduniaan sehingga tidak sedikit dosa yang telah mereka lakukan dan tidak sedikit pula nikmat Allah yang telah diingkarinya. Karena itu, Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan Allah ﷻ menanyakan kepada mereka berapa banyak sudah ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah diperlihatkan kepada mereka?
Pertanyaan ini bukan untuk dijawab tetapi sebagai peringatan untuk dapat diinsafi dan disadari, agar mereka taat kepada Allah dan meninggalkan perbuatan jahat.
Allah telah memperlihatkan kepada mereka mukjizat-mukjizat yang terjadi pada nabi-nabi mereka yang menunjukkan kebenaran ajaran-ajaran yang dibawanya itu, seperti tongkat Nabi Musa a.s. ketika dipukulkan kepada batu lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air, dan awan yang menaungi mereka pada waktu panas ketika berjalan di padang pasir, makanan yang berupa mann dan salwa, dan sebagainya. Tetapi mereka tetap saja keras kepala dan tidak ada tanda-tanda sedikit pun bahwa mereka akan sadar dan insaf. Oleh karena itu, Allah ﷻ memberikan satu peringatan keras, yaitu barang siapa yang menukar nikmat Allah dengan kekafiran sesudah nikmat itu datang kepadanya dan mengganti ayat-ayat-Nya, Allah akan membalas mereka dengan azab yang keras dan pedih terutama di hari kemudian dengan menjebloskan mereka ke dalam neraka Jahanam.
Allah ﷻ berfirman:
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?Yaitu neraka Jahanam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. (Ibrahim/14: 28-29).
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 211
“Tanyakanlah kepada Bani Israil berapakah sudah Kami berikan kepada mereka keterangan yang nyata?"
Kalau ditanyakan kepada mereka, berapa Musa telah memperlihatkan mukjizat? Berapa nabi-nabi yang lain berpuluh banyaknya telah membawa keterangan untuk menunjukkan mereka jalan yang benar? Niscaya Bani Israil akan mengakui bahwa mereka telah menerima banyak sekali. Kalau melihat riwayat Bani Israil itu tampaklah betapa kasih Allah kepada hamba-Nya. Benar-benar dituntun dan diberi penerangan, diberi nabi-nabi dan rasul-rasul berulang-ulang, sesudah pertolongan besar yang pertama yaitu pembebasan mereka dari penindasan Fir'aun dengan mukjizat yang luar biasa. Akan tetapi, bagaimana pula riwayat Bani Israil kemudiannya? Nikmat yang diberikan Allah berganda-ganda itu mereka sia-siakan, bahkan mereka lebih mengedepankan hawa nafsu. Peraturan Allah mereka tukar-tukar. Pemuka-pemuka agama membawa cara mereka sendiri-sendiri. Bagaimana jadinya Bani Israil kemudian? Bukankah mereka hancur lebur? Sampai bangsa Babil menawan, bangsa Mesir menawan, bangsa Yunani dan Romawi menawan sehingga habis kocar-kacir? Namun mereka masih berbangga mengatakan diri mereka “Bangsa pilihan Allah di muka bumi?" Maka berfirmanlah Tuhan tentang nasib mereka lantaran itu.
“Dan barangsiapa yang mengganti nikmat Allah sesudah datang kepadanya maka sesungguhnya Allah adalah amat keras siksaan-Nya."
Inilah undang-undang Tuhan yang berlaku terhadap Bani Israil, yang dapat dilihat nyata pada waktu ayat diturunkan. Maka, supaya bahaya begini jangan menimpa umat yang telah beriman kepada Muhammad ﷺ, pun yang telah disebut ummatan wasathan, sebaik-baik umat, sebagaimana kelak akan ditafsirkan dalam surah Aali Imraan. Untuk mencegah bahaya itulah maka pada ayat yang telah terdahulu tadi (ayat 208), umat yang beriman kepada Muhammad ﷺ disuruh memasuki Islam dalam keseluruhannya. As-silmi, mencari jalan damai, jalan bersatu, jangan berpecah memperturutkan hawa nafsu dan kehendak-kehendak sendiri. Yang satu pecahan tidak mau lagi mengenal kepada pecahan yang lain, semua pihak mengatakan bahwa merekalah yang benar, sedangkan semuanya masih mengakui orang Islam.
Kemudian, diberilah keterangan yang lebih jelas lagi, apa yang membawa pecah,
Ayat 212
“Dihiaskan bagi orang-orang yang kafir kehidupan dunia dan mereka hinakan orang-orang yang beriman."
Maksud kafir di sini tentu saja perangai dan dasar tempat tegak yang tidak benar. Terutama tidak mau menerima ajakan kepada persatuan, kepada as-silmi. Mengapa orang tidak mau diajak? Ialah karena mereka telah dirayu oleh kemegahan duniawi.
Hawa nafsu dan setan-setan itulah yang senantiasa menghabiskan keduniaan itu sehingga orang tetap di dalam kekafirannya. Segala kemegahan dunia, baik pangkat dan kedudukan yang tinggi, kekuasaan, kekayaan, maupun pengaruh, mengikatnya sehingga tidak kuat dia melepaskan diri, untuk masuk ke persatuan aqidah. Di Mekah, pemuka-pemuka Quraisy menolak Islam dengan keras karena ikatan adat lama pusaka usang, dan mereka terkemuka dalam hal itu. Orang kaya-kaya mereka menolak masuk kesatuan aqidah karena riba dihalangi, sedangkan kehidupan mereka ialah dari mengisap darah si miskin. Pemuka-pemuka Yahudi di Madinah tidak mau masuk meskipun kebenaran yang dibawa Muhammad ﷺ terang-terang sesuai dengan isi Taurat, yaitu tauhid, ialah karena dengki mengapa sekarang nabi bukan dari Bani Israil, dan pendeta-pendeta mereka keberatan masuk sebab kedudukan mereka menjadi pemuka agama sudah menjadi suatu kemegahan duniawi. Kaum munafik di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay tidak mau masuk, serba benci, mengapa sejak Muhammad datang, ke-pemimpinannya terhadap orang Madinah ke-lindungan oleh cahaya nubuwat Muhammad. Maka, semuanya itu merasa dirinya jatuh kalau sekarang menjadi orang yang beriman kepada Muhammad ﷺ, “Padahal orang-orang yang bertakwa itu akan lebih atas dari mereka di hari kiamat!' Maka, oleh sebab yang mereka pikirkan hanya kemegahan dunia, tidak memikirkan hari depan, hari bahagia karena iman, mereka tidak mau turut dalam rombongan orang yang bertakwa itu.
“Dan Allah mengaruniakan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tiada dihitung."
Kemudian, Tuhan terangkan tentang kesatuan umat manusia,
Ayat 213
“Adalah manusia itu umat yang satu."
Pangkal ayat ini adalah satu dasar ilmu sosiologi yang ditanamkan oleh Islam, untuk direntang panjang oleh alam pikiran yang cerdas dan sudi menyelidik. Manusia seluruhnya ini pada hakikatnya adalah umat yang satu. Artinya, walaupun berbeda warna kulitnya, berlainan bahasa yang dipakainya, berdiam di berbagai benua dan pulau, tetapi dalam perikemanusiaan mereka itu satu. Seluruh manusia sama-sama menggunakan akal untuk menyeberangi hidup ini. Hanya manusia saja di antara makhluk yang hidup di dalam bumi ini yang mempunyai akal. Dan, semua manusia itu pun satu dalam kehendak mencari yang bermanfaat dan menjauhi yang mudharat. Semua satu dalam keinginan akan laba dan ketakutan akan rugi.
Meskipun manusia satu pada hakikatnya, baik karena satu keturunannya dari Adam maupun karena satu corak jiwa dan akal, dalam kenyataannya dari mereka menjadi berpecah-belah. Dalam kenyataannya terjadi beribu macam bahasa. Dan, karena pengaruh iklim, terjadi perlainan warna kulit, ada yang sangat hitam, ada yang putih, ada yang merah, ada yang kuning. Dalam perbedaan itu, sekali-kali jelas juga kesatuannya. Oleh karena seluruh manusia berperasaan satu dan berkeadaan satu, dan satu perasaan mencari hakikat, berusahalah manusia itu dengan akal budi yang ada padanya mencari hakikat itu. Oleh sebab itu, bilamana digali orang bekas-bekas suku bangsa purbakala yang telah beribu tahun di satu daerah, yang kadang-kadang telah terbenam ke dalam lapis bumi sampai tiga puluh atau empat puluh meter, terdapatlah kehidupan manusia purbakala, baik di Mongolia dalam atau di Mohenjodaro (di wilayah Pakistan) sekarang atau di pulau-pulau Yunani bahwa ada persamaan keperluan hidup. Sampai kepada piring dan cangkir, perhiasaan badan, dan yang lebih menakjubkan lagi ialah terdapatnya persama-an kepercayaan bangsa-bangsa purbakala itu kepada Zat Yang Mahakuasa.
Macam-macam teori telah dikemukakan oleh ahli-ahli sejarah purbakala untuk menilai kenyataan yang didapati. Tanda-tanda kepercayaan kepada Tuhan terdapat pada timbunan di Yunani sebelum Homerus, serupa dalam banyak hal dengan yang didapati di Mongolia, dan ada pula perserupaan dengan yang didapati di Mohenjodaro. Penyelidikan sejarah itu semuanya membuktikan bahwa kepercayaan akan adanya Tuhan telah sama tumbuh dengan akal manusia. Dan, itulah yang dinamai “fitrah". Kepercayaan bukan semata kepercayaan, tetapi kepercayaan senantiasa diiringi oleh penyerahan diri, yang dalam bahasa Arab disebut “Islam" Sebab itu, dapatlah dikatakan bahwa sejak asal semula manusia terjadi, Islam telah ada.
Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini,"Adalah manusia umat yang satu, artinya, semuanya pada mulanya adalah Islam." Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim pun meriwayatkan daripada Ubay bin Ka'ab demikian, “Manusia itu adalah umat yang satu, yaitu seketika telah diperhatikan seluruh manusia itu dalam soal dan asal kejadian kepada Adam maka telah difitrahkan Allah dalam Islam dan telah mengikrarkan semua bahwa mereka menghambakan diri (ubudiyah) kepada Allah dan semuanya Islam. Sesudah Adam kemudian barulah mereka berselisih paham."
Lantas sambungan ayat, "Lalu Allah mengutus nabi-nabi membawa berita kesukaan dan berita ancaman, dan Dia turunkan bersama mereka akan kitab dengan kebenaran," Pada pangkal yang pertama sudah jelas bahwa manusia itu pada hakikatnya ialah satu. Dalam jiwanya pun adalah kesatuan kepercayaan sejak zaman purbakala bahwa ada Kekuasaan Mahatinggi atas alam ini, yang menurunkan hujan dan yang menjadikan awan, yang mem-berikan perlindungan dari ketakutan, dan juga yang memelihara ruh dari nenek yang telah mati. Berbagai usaha telah dibuat manusia untuk menghubungi Kekuasaan Mutlak itu. Tegasnya, bahwasanya dalam fitrah manusia ada kesatuan kepercayaan itu. Maka, kemudian itu, Yang Mahakuasa itu sendiri pun mengutuslah dalam kalangan manusia itu sendiri akan orang-orang pilihan yang disebut nabi atau rasul, menuntun kepercayaan yang murni itu dan mengakuinya. Memang Tuhan itu ada, memang Dialah Yang Mahakuasa. Dia bukan saja mengadakan, tetapi juga memelihara. Bukan saja memelihara, bahkan memberi kabar kesukaan bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan adzab bagi yang berbuat kejahatan. Dengan kedatangan nabi-nabi itu, kesatuan manusia tadi dipimpin melalui jalannya yang wajar sehingga benar-benar satu. Kepada manusia yang satu itu, tetapi selama ini belum tahu bahwa mereka adalah satu, oleh nabi-nabi itu diingatkanlah bahwa mereka memang adalah satu dan hakikat Kebenaran serta Kekuasaan Tertinggi itu pun adalah satu pula.
Bersama nabi-nabi itu diturunkan kitab dengan kebenaran, yaitu tuntunan bagi umat itu dalam mencari hakikat Yang Mahakuasa yang memang telah diakui adanya oleh akal murninya."Supaya (kitab) itu memberi keputu-san di antara manusia pada hal-hal yang mereka perselisihkan padanya',' terutama tentu pokok perselisihan sesudah mengakui akan ada-Nya, ialah tentang bagaimana keadaannya. Di sinilah yang kerap kali terjadi perselisihan manusia. Semuanya menurut fitrahnya mengakui ada. Akan tetapi, mereka berselisih apakah Dia itu satu atau berbilang? Secara istilah filsafat, apakah monoteisme atau polyteisme? Apakah tauhid atau syirik? Kitab-kitab itu menuntun kepada tauhid. Dalam sejarah perkembangan pikiran tentang ketuhanan memang selalu ada perselisihan di antara tauhid dan syirik. Dan, dalam sejarah pun terdapat bahwa pada pokoknya manusia tetap percaya akan satu Tuhan Yang Mahabesar, sedangkan tuhan-tuhan yang lain hanya di bawah kuasa-Nya jua. Orang Yunani mengakui bahwa Yang Mahakuasa Tertinggi hanya satu, yaitu Apollo!
Namun, setelah nabi-nabi itu datang dan pergi, dan kitab-kitab telah tinggal, ternyata timbul lagi perselisihan. Mengapa jadi timbul perselisihan? Lanjutan ayat menerangkan dengan jelas, “Dan tidaklah berselisih tentang (kitab) itu, melainkan orang-orang yang telah diberikan kepada mereka. Sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan, lantaran dengki di antara mereka." Inilah rahasianya!
Kitab-kitab sudah banyak, catatan pun ada, tetapi perselisihan timbul juga. Sebabnya ialah dengki. Walaupun manusia itu hakikatnya adalah satu, tetapi dalam dirinya sendiri-sendiri terdapat pula rangsangan-rangsangan hawa nafsu yang membawa perselisihan. Adapun orang-orang yang bersaudara seibu sebapak kadang-kadang berselisih dan bertengkar lebih hebat daripada perselisihan dan pertengkaran mereka dengan orang lain. Kadang-kadang orang mau bersatu semua, tetapi semuanya pula ingin memimpin. Semua ingin bersatu, tetapi tidak semua ingin dipimpin. Maka, terombang-ambinglah kebenaran oleh hawa nafsu manusia dan timbullah perpecahan umat yang pada hakikatnya adalah satu, oleh nafsu perpecahan yang ada pada manusia.
Akan tetapi, dapatkah manusia terlepas dari perselisihan ini? Ujung ayat memberikan penegasan, “Maka, Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman, dari hal yang diperselisihkan oleh orang-orang itu dengan kebenaran, atas izin-NyaMaka, dengan petunjuk Allah dapatlah orang-orang yang beriman itu, orang-orang yang percaya itu, mengatasi segala perselisihan dan langsung menuju kepada hakikat yang asli, yaitu bahwa umat manusia adalah umat yang satu. Satu sejak dalam fitrahnya, mengakui bahwa Allah itu Esa adanya. Dan, percayalah mereka kepada kesatuan seluruh kitab dan kesatuan seluruh nabi. Mereka akuilah sekalian nabi itu, baik yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an maupun tidak. Dan, mereka pun berimanlah bahwa Nabi Musa pernah membawa kitab wahyu yang bernama Taurat dan Nabi Isa membawa kitab suci yang bernama Injil. Dan, nabi-nabi yang lain membawa pula Zabur-Zabur dan shuhuf. Semuanya itu diperkenalkan di dalam kitab yang terakhir yang mereka terima, yaitu Al-Qur'an. Mereka percaya bahwa kitab-kitab suci itu memang pernah ada. Dan, terhadap catatan-catatan yang sekarang ini, karena telah banyak campur tangan manusia, beratus kali salinan, telah banyaklah hal yang meragukan padanya. Meskipun kalau dicari dengan saksama, tetapi pelajaran kesatuan itu masih ada di dalamnya. Untuk menghilangkan keraguan beragama, dihimpunkanlah semuanya kepada kitab terakhir, ialah Al-Qur'an.
“Dan Allah memberikan petunjuk kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus."
Oleh sebab janji Tuhan bahwa Dia akan memberikan petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki, selalulah umat beriman berdoa dalam shalatnya yang sekurang-kurangnya lima waktu sehari semalam, supaya dia diberi petunjuk itu. Dan, orang yang lain pun, meskipun mereka dalam lingkungan Yahudi atau Nasrani; Budha ataupun Hindu, Khong Hu Chu atau Lao Tse, mudah saja bagi Allah memberi mereka petunjuk kalau Allah meng-hendaki-Nya. Sebab, kitab kebenaran masih terbuka terus untuk dibaca oleh semua orang.