Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
تَوَلَّىٰ
ia berpaling
سَعَىٰ
ia berjalan
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
لِيُفۡسِدَ
untuk membuat kerusakan
فِيهَا
didalamnya
وَيُهۡلِكَ
dan ia merusak
ٱلۡحَرۡثَ
tanam-tanaman
وَٱلنَّسۡلَۚ
dan binatang ternak
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
ٱلۡفَسَادَ
kerusakan
وَإِذَا
dan apabila
تَوَلَّىٰ
ia berpaling
سَعَىٰ
ia berjalan
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
لِيُفۡسِدَ
untuk membuat kerusakan
فِيهَا
didalamnya
وَيُهۡلِكَ
dan ia merusak
ٱلۡحَرۡثَ
tanam-tanaman
وَٱلنَّسۡلَۚ
dan binatang ternak
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
ٱلۡفَسَادَ
kerusakan
Terjemahan
Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.
Tafsir
(Dan apabila ia berpaling) dari hadapanmu (ia berjalan di muka bumi untuk membuat kerusakan padanya dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak) untuk menyebut beberapa macam kerusakan itu (sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan), artinya tidak rida padanya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 204-207
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari muka kalian), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah," bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa.
Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Akhnas ibnu Syuraiq As-Saqafi yang datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu menampakkan keislamannya, sedangkan di dalam batinnya memendam kebalikannya. Dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang munafik yang membicarakan perihal Khubaib dan teman-temannya yang gugur di Ar-Raji', orang-orang munafik tersebut mencela mereka.
Maka Allah menurunkan firman-Nya yang mencela sikap orang-orang munafik dan memuji sikap Khubaib dan teman-temannya, yaitu: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207) Menurut pendapat yang lain, ayat ini mengandung celaan terhadap semua orang munafik secara keseluruhan, dan mengandung pujian kepada orang-orang mukmin secara keseluruhan. Pendapat ini dikemukakan oleh Qatadah, Mujahid, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lainnya; pendapat inilah yang shahih.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Al-Al-Laits ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Yazid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari- Al-Qurazi, dari Nauf (yakni Al-Bakkali, ahli dalam membaca kitab-kitab terdahulu) yang pernah mengatakan: Sesungguhnya aku menjumpai suatu sifat dari segolongan umat ini di dalam Kitabullah yang telah diturunkan, ada suatu kaum melakukan tipu muslihat dengan agama untuk meraih keduniawian; lisan mereka lebih manis daripada madu, telapi kalbu mereka lebih pahit daripada jazam (kina); mereka menampilkan dirinya di mata orang lain dengan berpakaian bulu kambing, padahal hati mereka adalah hati serigala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Mereka berani terhadap diri-Ku dan mencoba menipu-Ku. Aku bersumpah atas nama-Ku, Aku benar-benar akan menimpakan kepada mereka suatu fitnah yang membuat orang yang penyantun (dari kalangan mereka) menjadi kebingungan." Selanjutnya Al-Qurazi mengatakan, "Setelah kupikirkan dan kubaca di dalam Al-Qur'an, ternyata kujumpai mereka yang bersifat demikian adalah orang-orang munafik," sebagaimana tertera di dalam firman-Nya: Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. (Al-Baqarah: 204), hingga akhir ayat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Ma'syar, telah menceritakan kepadaku Abu Ma'syar (yakni Nujaih) yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id Al-Maqbari melakukan muzakarah bersama Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi.
Maka Sa'id mengatakan, "Sesungguhnya di dalam salah satu kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa sesungguhnya ada segolongan hamba-hamba yang lisan mereka lebih manis daripada madu, tetapi hati mereka lebih pahit daripada kina. Mereka menampilkan dirinya di mata orang-orang dengan pakaian bulu domba yang kelihatan begitu lembut, mereka menjual agama dengan duniawi. Allah berfirman, 'Kalian berani kurang ajar terhadap-Ku dan mencoba menipu-Ku.
Demi keagungan-Ku, Aku benar-benar akan menimpakan kepada mereka suatu fitnah yang akan membuat orang yang penyantun dari kalangan mereka kebingungan'." Maka Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Ini terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur'an)." Sa'id bertanya, "Di manakah hal ini terdapat di dalam Kitabullah!" Muhammad ibnu Ka'b menjawab bahwa hal tersebut terkandung di dalam firman-Nya: Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 204), hingga akhir ayat.
Sa'id mengatakan, "Sesungguhnya aku telah mengetahui berkenaan dengan siapakah ayat ini diturunkan." Maka Muhammad ibnu Ka'b menjawab, "Sesungguhnya ayat ini memang diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki, kemudian maknanya umum sesudah itu." Apa yang dikatakan oleh Al-Qurazi ini hasan lagi shahih. Adapun mengenai firman-Nya: dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. (Al-Baqarah: 204) Ibnu Muhaisin membacanya wayasyhadullahu dengan huruf ya yang di-fathah-kan dan lafzul jalalah yang di-dammah-kan, sehingga maknanya menjadi seperti berikut: "Dan Allah menyaksikan apa yang sesungguhnya terkandung di dalam hatinya." Dengan kata lain, sekalipun hal ini dapat menipu mata kamu, tetapi Allah mengetahui orang yang di dalam hatinya mengandung keburukan.
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (Al-Munafiqun: 1) Sedangkan menurut bacaan jumhur ulama, huruf ya dibaca dammah, dan lafzul jalalah dibaca nasab, yaitu: dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) di hatinya. (Al-Baqarah: 204) Makna yang dimaksud ialah bahwa dia menampakkan keislamannya di mata manusia, sedangkan Allah mengetahui kekufuran dan kemunafikan yang dipendam di dalam hatinya.
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. (An-Nisa: 108), hingga akhir ayat. Demikianlah menurut makna yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah apabila dia ingin menampakkan keislamannya di mata orang-orang, maka ia bersumpah dan memakai nama Allah dalam sumpahnya itu untuk mendapat kepercayaan dari mereka bahwa apa yang diucapkan lisannya bersesuaian dengan apa yang ada dalam hatinya.
Pengertian inilah yang shahih, dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini dinisbatkan sampai kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Mujahid. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Al-Baqarah: 204) Al-aladd menurut istilah bahasa artinya yang paling menyimpang (membangkang). Pengertiannya sama dengan yang terdapat di dalam firman-Nya: dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang. (Maryam: 97) Makna yang dimaksud ialah menyimpang (membangkang).
Demikianlah keadaan seorang munafik dalam perdebatannya, ia selalu berdusta dan melakukan pengelabuan terhadap perkara yang hak serta menyimpang dari jalan yang benar, bahkan seorang munafik itu selalu membuat-buat kedustaan dan melampaui batas. Seperti apa yang disebutkan di dalam hadits shahih dari Rasulullah ﷺ yang pernah bersabda: Pertanda orang munafik itu ada tiga: Apabila berbicara, dusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila bersengketa, curang. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah dengan predikat marfu', yaitu: Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci oleh Allah ialah penantang yang paling keras.
Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Abdullah ibnu Yazid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ yang pernah bersabda: Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci oleh Allah ialah penantang yang keras. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq: dari Ma'mar sehubungan dengan makna firman-Nya: padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Al-Baqarah: 204) Dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya lelaki yang paling dimurkai oleh Allah ialah penantang yang paling keras.
Firman Allah Swt: Dan apabila ia berpaling (dari mukamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al-Baqarah: 205) Dengan kata lain, ucapannya selalu menyimpang dan perbuatannya jahat. Yang pertama tadi adalah mengenai ucapannya, sedangkan yang disebutkan di dalam ayat ini mengenai perbuatannya. Yakni perkataannya dusta belaka dan keyakinannya telah rusak, perbuatannya semua buruk belaka.
Makna as-sa'yu dalam ayat ini sama dengan lafal al-qasdu (bertujuan), sebagaimana yang disebutkan di dalam firman lainnya yang menceritakan perihal Fir'aun: Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya), lalu berseru memanggil kaumnya (seraya) berkata, "Akulah tuhan kalian yang paling tinggi." Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sesungguhnya yang demikian ilu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya). (An-Nazi'at: 22-26) Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian mengingat Allah. (Al-Jumu'ah: 9) Yakni segeralah kalian berangkat menuju tempat shalat Jumat, karena sesungguhnya pengertian sa'yu secara konkret yakni berlari kecil menuju tempat shalat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan sunnah Nabi ﷺ yang mengatakan:
Apabila kalian mendatangi shalat, janganlah kalian mendatanginya dengan berlari-lari kecil, tetapi datangilah shalat dengan langkah yang tenang dan anggun. Orang munafik yang disebutkan dalam ayat ini (Al-Baqarah: 205) adalah orang munafik yang perbuatannya hanyalah membuat kerusakan di muka bumi dan membinasakan tanam-tanaman, termasuk ke dalam pengertian ini persawahan dan buah-buahan, juga ternak, yang keduanya merupakan makanan pokok bagi manusia. Mujahid mengatakan, "Apabila terjadi kerusakan di muka bumi, karena Allah mencegah turunnya hujan, maka binasalah tanam-tanaman dan binatang ternak." dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al-Baqarah: 205) Artinya, Allah tidak menyukai orang yang bersifat suka merusak, tidak suka pula kepada orang yang melakukannya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan apabila dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. (Al-Baqarah: 206) Apabila orang yang durhaka ini diberi nasihat agar mengubah bicara dan perbuatannya dan dikatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah, dan berhentilah dari cara bicara dan perbuatanmu itu, serta kembalilah ke jalan yang benar," maka ia menolak dan membangkang, timbullah rasa fanatisme dan kemarahannya yang menyebabkan dia melakukan dosa.
Makna ayat ini serupa dengan makna ayat lainnya, yaitu firman-Nya: Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, "Apakah akan aku kabarkan kepada kalian yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka? Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir.
Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. (Al-Hajj: 72) Karena itulah maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat ini: Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (Al-Baqarah: 206) Yakni neraka sudah cukup sebagai pembalasannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207) Setelah Allah menyebutkan sifat orang-orang munafik yang tercela itu, pada ayat berikutnya Allah menyebutkan sifat orang-orang mukmin yang terpuji. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207) Menurut Ibnu Abbas, Anas, Sa'id ibnul Musayyab, Abu Usman An-Nahdi, Ikrimah, dan sejumlah ulama lainnya, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Suhaib ibnu Sinan Ar-Rumi.
Demikian itu terjadi ketika Suhaib telah masuk Islam di Mekah dan bermaksud untuk hijrah, lalu ia dihalang-halangi oleh orang-orang kafir Mekah karena membawa hartanya. Mereka mempersyaratkan 'jika Suhaib ingin hijrah, ia harus melepaskan semua harta bendanya, maka barulah ia diperbolehkan hijrah'. Ternyata Suhaib bersikeras hijrah, dan melepas semua harta bendanya, demi melepaskan dirinya dari cengkeraman orang-orang kafir Mekah; maka ia terpaksa menyerahkan harta bendanya kepada mereka, dan ikut hijrah bersama Nabi ﷺ Lalu turunlah ayat ini, dan Umar ibnul Khattab beserta sejumlah sahabat lainnya menyambut kedatangannya di pinggiran kota Madinah, lalu mereka mengatakan kepadanya, "Alangkah beruntungnya perniagaanmu." Suhaib berkata kepada mereka, "Demikian pula kalian, aku tidak akan membiarkan Allah merugikan perniagaan kalian dan apa yang aku lakukan itu tidak ada apa-apanya." Kemudian diberitakan kepadanya bahwa Allah telah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Menurut suatu riwayat, Rasulullah ﷺ bersabda kepada Suhaib: Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Rustuh, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulai-man Ad-Dabbi, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Suhaib yang menceritakan: Ketika aku hendak hijrah dari Mekah kepada Nabi ﷺ (di Madinah), maka orang-orang Quraisy berkata kepadaku, "Wahai Suhaib, kamu datang kepada kami pada mulanya tanpa harta, sedangkan sekarang kamu hendak keluar meninggalkan kami dengan harta bendamu.
Demi Allah, hal tersebut tidak boleh terjadi selamanya." Maka kukatakan kepada mereka, "Bagaimanakah menurut kalian jika aku berikan kepada kalian semua hartaku, lalu kalian membiarkan aku pergi.? Mereka menjawab, "Ya, kami setuju." Maka kuserahkan hartaku kepada mereka dan mereka membiarkan aku pergi. Lalu aku berangkat hingga sampai di Madinah. Ketika berila ini sampai kepada Nabi ﷺ, maka beliau bersabda, "Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya, Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya," sebanyak dua kali.
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Ali ibnu Zaid, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Suhaib berangkat berhijrah untuk bergabung dengan Nabi ﷺ (di Madinah), lalu ia dikejar oleh sejumlah orang-orang Quraisy. Maka Suhaib turun dari unta kendaraannya dan mencabut anak panah yang ada pada wadah anak panahnya, lalu ia berkata, "Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mahir dalam hal memanah di antara kalian semua.
Demi Allah, kalian tidak akan sampai kepadaku hingga aku melemparkan semua anak panah yang ada pada wadah panahku ini, kemudian aku memukul dengan pedangku selagi masih ada senjata di tanganku. Setelah itu barulah kalian dapat berbuat sesuka hati kalian terhadap diriku. Tetapi jika kalian suka, aku akan tunjukkan kepada kalian semua harta bendaku dan budak-budakku di Mekah buat kalian semua, tetapi kalian jangan menghalang-halangi jalanku." Mereka menjawab, "Ya." Ketika Suhaib datang ke Madinah, maka Nabi ﷺ bersabda: Beruntunglah jual belinya.
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207) Menurut kebanyakan mufassirin, ayat ini diturunkan berkenaan dengan semua mujahid yang berjuang di jalan Allah. Seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah: 111) Ketika Hisyam ibnu Amir maju menerjang kedua sayap barisan musuh, sebagian orang memprotes perbuatannya itu (dan mengatakan bahwa ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan). Maka Umar ibnul Khattab dan Abu Hurairah serta selain keduanya membantah protes tersebut, lalu mereka membacakan ayat ini: Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207)"
Dan di antara perbuatannya ialah apabila dia berpaling dari engkau, tidak lagi bersama engkau, dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, melakukan berbagai kejahatan seperti merusak tanam-tanaman, dan membunuh binatang ternak, kepunyaan orang-orang yang beriman, sedang Allah tidak menyukai hamba-Nya berbuat kerusakan di muka bumi. Dan apabila dikatakan kepadanya, Bertakwalah kepada Allah, yakni jangan melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menyebabkan turunnya azab Allah, maka bangkitlah kesombongannya untuk berbuat dosa, ia mengabaikan seruan itu dan dengan sombong ia berbuat dosa, tidak takut kepada ancaman Allah. Maka pantaslah baginya neraka Jahanam, dan sungguh Jahanam itu tempat tinggal yang terburuk.
Golongan manusia semacam ini, apabila ia telah berlalu dan meninggalkan orang yang ditipunya, ia melaksanakan tujuan yang sebenar-nya. Ia melakukan kerusakan-kerusakan di atas bumi; tanaman-tanaman dan buah-buahan dirusak dan binatang ternak dibinasakan, apalagi kalau mereka sedang berkuasa, di mana-mana mereka berbuat sesuka hatinya dan wanita-wanita dinodainya. Tidak ada tempat yang aman dari perbuatan jahatnya. Fitnah di mana-mana mengancam, masyarakat merasa ketakutan dan rumah tangga serta anak-anak berantakan karena tindakannya yang sewenang-wenang.
Sifat-sifat semacam ini, tidak disukai Allah sedikit pun. Dia murka kepada orang yang berbuat demikian, begitu juga kepada setiap orang yang perbuatannya kotor dan menjijikkan. Hal-hal yang lahirnya baik, tetapi tidak mendatangkan maslahat, Allah tidak akan meridainya karena Dia tidak memandang cantiknya rupa dan menariknya kata-kata, tetapi Allah memandang kepada ikhlasnya hati dan maslahatnya sesuatu perbuatan.
Sabda Nabi Muhammad saw:
Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada tubuhmu dan juga tidak kepada bentukmu, tetapi Allah (hanya) memandang kepada hatimu. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEBOHONGAN HIDUP
Ketika membicarakan haji selalu diingatkan maksudnya yang tinggi, yaitu membina takwa. Kesucian batin dan kebersihan lahir. Meskipun keterangan tentang haji telah selesai dalam rangkaian ini dan akan berjumpa lagi kelak pada ayat-ayat yang lain di surah yang lain, dan diibaratkan bahwa haji telah selesai dikerjakan, sekarang mulailah menempuh hidup sehari-hari. Maka, Allah peringatkanlah kepada Rasul-Nya tentang keadaan manusia.
Ayat 204
"Dan setengah dari manusia ada yang menanik hati engkau kata-katanya dari hal hidup di dunia."
Kata-katanya amat menarik, pandai dia membawakan diri, seakan-akan dia mengerti atau menaruh perhatian akan segala soal-soal yang penting. Seakan-akan dia turut memikirkan keselamatan manusia. Seakan-akan dia mempunyai maksud-maksud dan cita-cita yang baik, “Dan dia menjadikan Allah saksi atas apa yang dalam hatinya." Bahwa dia bermaksud jujur dan untuk itu dia berani bersumpah membawa nama Allah,
“Padahal dia adalah sejahat-jahat musuh."
Orang yang munafik kiranya orang ini. Manis mulutnya berkata-kata. Karena manisnya, orang dapat tertarik. Kalau perlu, nama Allah bisa dijadikannya saksi bahwa dia seorang jujur. Tambah banyak dia bercakap, tambah banyak nama Allah disebut, padahal dalam hati sanubarinya tersimpan rasa dendam dan permusuhan.
Ayat 205
“Dan apabila telah berpisah."
Yaitu, apabila mereka telah kembali kepada keadaannya sendiri, telah lepas daripada menghadapi orang tempatnya mengambil muka itu, “berjalanlah dia di bumi hendak merusak padanya" Sebab yang dijadikannya pedoman sebenarnya bukanlah kebenaran dan bukan nama Allah yang hanya bermain di mulutnya itu, melainkan kemegahan untuk dirinya, keuntungan yang hendak dipulutnya. Dia menyimpan segala rencana yang berbeda dari kemauan Allah, tetapi untuk menyembunyikan maksudnya yang jahat ia bermulut manis. Bertambah kejam rencana mereka, bertambah manislah mulut mereka. Mulut yang manis itulah yang kerap kali mematahkan siku orang yang hendak ingin menentang kezalimannya. Rencananya adalah kemegahan diri. Peraturan dari Allah, kalau dipandangnya merugikan rencananya, niscaya akan dihalangi dan dimusuhi-nya. Sebab itu, agama hanya dipakainya mana yang akan memberikan keuntungan kepadanya. Kalau merugikan, niscaya dia lemparkan."Dan membinasakan pertanian dan peternakan" Mengapa bekas perbuatannya merusak pertanian dan peternakan? Sebab yang menjadi tujuannya yang sebenarnya ialah keuntungan diri sendiri; tidaklah dipikirkannya bahwa dia telah merusak dan merugikan. Pertanian adalah dasar kemakmuran. Hati orang senang bertani kalau dia merasa aman. Akan tetapi, kalau pikiran telah kacau, pertanian pun mundur. Kalau pertanian telah mundur, kemakmuran masyarakat tidak ada lagi. Demikian juga peternakan. Setengah ulama menafsirkan bahwa an-nasla bukan saja berarti peternakan binatang, melainkan juga keturunan manusia. Dan, setengah ulama lagi memberi arti tawalla, bukan saja berpisah, melainkan kalau berkuasa, yaitu sekiranya orang-orang yang berjiwa demikian mendapat kekuasaan dalam bidang mana pun juga, kemunduranlah yang akan didapat mundur di dalam pertanian, mundur di dalam peternakan, dan mundur cita-cita murni dari anak dan keturunan.
“Padahal Allah tidaklah suka akan kerusakan."
Ayat 206
Lantaran itu, tampaklah kehendak orang yang demikian sangat berbeda dengan kehendak Allah. Dan, apabila manusia demikian bertindak melancarkan rencana yang berlawanan dengan kehendak Allah, kehancuranlah yang akan menimpa mereka dan akan hilanglah ketenteraman jiwa masyarakat.
Sebagaimana kita katakan tadi, kalimat tawaila mengandung dua arti. Pertama berpaling, kedua berkuasa. Dalam penafsiran yang pertama dilukiskan orang-orang munafik, yang apabila duduk berhadapan, dia manis bicaranya, tetapi kalau dia telah berpaling pergi, cakapnya lain pula. Orang-orang ini tidak dapat dipercayai percakapannya dan tidak dapat dipegang janjinya. Pada penafsiran makna yang kedua, apabila dia telah memerintah atau telah berkuasa, kelihatanlah coraknya yang sebenarnya. Mereka tipu rakyat yang telah memercayakan kekuasaan kepadanya dengan tutur lemak manis, sehingga orang hanya dininabobokan dengan pidato, padahal apa yang dituju bertambah lama bertambah jauh. Mudah saja lidah mereka menyebut Allah, laksana seorang penyembelih sapi di tempat penyembelihan, mengucapkan “bismillah" lebih dahulu sebelum menggorok leher sapinya. Dia berjalan di atas bumi, bekerja yang utama adalah merusak. Betapa tidak akan merusak? Padahal yang dipentingkannya hanya bercakap dengan berpidato membujuk orang, sedangkan mengurus negeri jarang sekali. Jiwa rakyat yang diperintah telah lesu dan putus asa atau apatis!
Demikianlah yang diperbuat oleh penguasa negara yang bersikap diktator atau kultus perseorangan. Setiap waktu hanya mempertunjukkan kekuasaan (show). Hampir setiap hari rakyat dikerahkan menonton kebesaran “paduka", bertepuk tangan menyambut pidato “paduka" sehingga kebun-kebun tertinggal dan sawah-sawah terbengkalai. Rimba-rimba larangan ditebas dan ditebang orang karena hendak mencuri kayunya lalu terjadilah erosi. Di musim hujan timbullah banjir, di musim kemarau seluruhnya menjadi kering. Kesuburan tidak ada lagi, jalan-jalan penghubung menjadi rusak. Rumput-rumput jadi kering, binatang ternak tidak berkembang lagi, sehingga akhirnya negeri jatuh kepada kemiskinan dan rakyat kelaparan. Sedang beliau penguasa setelah kesengsaraan memuncak, hanya pandai memuji diri dan mendabik dada, mengatakan bahwa dialah yang berjasa. Bertambah negeri sengsara, bertambah dia membuka janji baru untuk dimungkirinya lagi.
Di dalam ayat ini disebut membinasakan al-hartsa, yang berarti kesuburan pertanian. Dan, disebut pula an-nasla, yang berarti keturunan. Setengah ahli tafsir memberi arti al-hartsa itu dengan istri dan beristri, sedangkan an-nasla dengan anak keturunan. Sedang penafsir pertama tadi ialah pertanian dan peternakan.
Keduanya boleh diambil menjadi penafsiran dan keduanya kena apabila penguasa adalah si penguasa yang bermulut manis tadi. Mereka pada hakikatnya adalah aladdul khishaam, musuh yang paling jahat. Musuh yang membawa penderitaan batin; membujuk dengan mulutnya yang manis, tetapi bekas perbuatannya menyebabkan negeri kian lama kian sengsara, pertanian jadi mundur, peternakan jadi mandul. Atau istri-istri tidak aman lagi dalam rumah tangganya, bisa ditimpa berbagai penyakit, sebagaimana darah tinggi dan penyakit gila, karena kesusahan hidup. Dan, juga perzinaan. Dan, apabila istri dalam rumah tangga sudah selalu ditimpa sengsara, anak-anak keturunan, (an-nasla) pun tidak beres lagi. Maka, datanglah sambungan ayat, “Dan apabila dikatakan padanya, ‘Takwalah kepada Allah!' Dibawalah dia oleh kesombongan berbuat dosa." Inilah kata yang tepat tentang sikap hidup seorang pemerintah dan penguasa yang zalim, seorang diktator dan tiran, seorang pembina kultus perseorangan. Dia tidak boleh ditegur sapa, dia tidak boleh diberi nasihat. Orang yang jujur akan dimusuhinya, sedangkan orang yang suka mengambil muka, itulah yang disenanginya. Puji dia terus, sanjung dia. Berikan gelar-gelar yang agung padanya. Bertambah ditegur dengan jujur, akan bertambah dibuatnya dosa yang baru. Dia amat sombong dengan kekuasaannya dan kesombongannya itu akan ditambah lagi oleh pengambil-pengambil muka yang datang menyembahnya.
Maka, datanglah sambungan ayat,
“Lantaran itu, cukuplah Jahannam untuknya, dan itulah yang seburuk-buruk ketetapan."
Di sini diterangkanlah dengan tegas oleh Allah bahwasanya Allah tidaklah ridha kepada orang yang demikian. Tempat mereka yang pantas tidak lain hanyalah Jahannam, yaitu api neraka yang menyala. Api neraka ini ada yang mereka dapati sementara mereka masih hidup. Satu waktu kemarahan rakyat akan memuncak dan mereka pun akan direnggutkan dari atas takhtanya. Atau negeri-negeri lain yang bertetangga dengan dia akan merasa tidak tenteram melihat kesombongan angkuh ini.
Kemunafikan dan kezaliman serta kerusakan yang diperbuat manusia-manusia di muka bumi itu wajiblah ditantang oleh manusia sendiri. Manusia tidak boleh hanya semata-mata menunggu takdir Allah akan mengubah nasibnya. Oleh sebab itu, selalu wajib ada orang yang memberanikannya tampil ke muka menantang kezaliman walaupun dia akan menderita berbagai penderitaan. Oleh sebab itu, lanjutan ayat adalah imbangan dari ke-munafikan dan kezaliman yang tersebut di atas tadi,
Ayat 207
“Dan setengah dari manusia adalah yang menjual dirinya kanena mengharapkan keridhaan Allah."
Orang yang telah menjual diri kepada Allah adalah tandingan, bandingan, dan imbangan daripada orang yang mulut manisnya menakjubkan tadi, dan yang mudah saja menyebut nama Allah mengucapkan sumpah, padahal perkataannya tidak dapat ditebusnya dengan perbuatannya. Orang yang telah menjual diri kepada Allah tidaklah banyak cakap manis mulut. Tidaklah dia berhenti pada amalan yang saleh dan yang diharapkannya hanya semata-mata ridha Allah. Syahadat yang telah diucapkannya bahwa tiada Tuhan melainkan Allah membawanya kepada sikap teguh yang tidak dapat ditawar-tawar. Dia tidak mempunyai dua atau seribu muka, dua atau seribu cabang lidah.
Menilik bunyi ayat ini dapatlah disimpulkan bahwa menjadi seorang Muslim yang Artinya, menyerahkan diri sebulat-buiatnya, seluruhnya kepada Allah, belumlah berarti menjadi orang islam kalau hidup hanya semata-mata cari makan yang halal, tekun shalat lima waktu, menjaga diri jangan berbuat dosa, dan tidak mengganggu orang lain, puasa taat di bulan Ramadhan. Islam yang egoistik, mementingkan diri sendiri, membaca wirid ini dan ayat itu, surah Yaasiin malam jum'at, ayat Kursi ketika hendak tidur, akan segera masuk surga. Itu belumlah cukup. Islam yang demikian tidaklah menimbulkan api. Akan tetapi, kewajiban seorang Muslim adalah lebih luas, manfaatnya lebih merata. Seorang Muslim harus aktif! Dia wajib berusaha membahagiakan diri dan membahagiakan orang lain. Pelihara syari'at dan perjuangkan dia agar tegak. Cari harta benda banyak-banyak dari yang halal lalu nafkahkan dia untuk membela kepentingan bersama dan menolak bahaya yang mengancam. Segenap kekayaan yang ada, baik kekayaan harta, keandalan lidah, maupun kepiawaian pena, harus dipergunakan untuk membahagiakan umat, mengembuskan napas yang hidup, bukan napas mati. Menyeru kepada kebajikan, menentang kebatilan dan kezaliman walaupun untuk itu dia mati. Sebab, kadang-kadang menuntut keadilan itu meminta pengorbanan jiwa.
Shalat, puasa, zakat, haji, dan amal saleh yang lain bukanlah semata-mata amalan yang beku. Shalat berjamaah beramAl-ramai di waktu Shubuh dan amalan yang lain bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk menuju dan membuat jiwa lebih besar sehingga sanggup memikul tugas hidup, berbuat baik dan berbuat yang mulia, jiwa bertambah besar dan besar lagi, tidak tersangkut dan terikat oleh perkara-perkara remeh sehingga hidup yang hanya sebentar singgah di dunia ini hendak meninggalkan bekas yang lama, beratus kali lipat daripada umur yang dilalui. Sehingga walaupun jasmani telah mati, dia tetap hidup dari abad ke abad. Dan, setelah dia meninggal dunia, pastilah dia berhak duduk menjadi tetangga Allah bersama nabi-nabi, rasul-rasul, dan shiddiqin serta syuhada dan shalihin.
“Dan Allah adalah Penyantun kepada hamba-Nya."