Ayat
Terjemahan Per Kata
فَمَنۡ
maka barang siapa
خَافَ
khawatir
مِن
dari
مُّوصٖ
orang yang berwasiat
جَنَفًا
berat sebelah
أَوۡ
atau
إِثۡمٗا
berbuat dosa
فَأَصۡلَحَ
maka ia mendamaikan
بَيۡنَهُمۡ
diantara mereka
فَلَآ
maka tidak ada
إِثۡمَ
dosa
عَلَيۡهِۚ
atasnya/baginya
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
فَمَنۡ
maka barang siapa
خَافَ
khawatir
مِن
dari
مُّوصٖ
orang yang berwasiat
جَنَفًا
berat sebelah
أَوۡ
atau
إِثۡمٗا
berbuat dosa
فَأَصۡلَحَ
maka ia mendamaikan
بَيۡنَهُمۡ
diantara mereka
فَلَآ
maka tidak ada
إِثۡمَ
dosa
عَلَيۡهِۚ
atasnya/baginya
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Akan tetapi, siapa yang khawatir terhadap pewasiat (akan berlaku) tidak adil atau berbuat dosa, lalu dia mendamaikan mereka, dia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Tetapi barang siapa merasa khawatir terhadap orang yang berwasiat) ada yang membaca muushin dan ada pula yang membaca muwashshin (berlaku berat sebelah) menyimpang dari keadilan (atau berbuat dosa) misalnya dengan sengaja melebihi sepertiga atau mengistimewakan orang kaya, (lalu didamaikannya di antara mereka) yakni antara yang menyampaikan dan yang diberi wasiat dengan menyuruh menepati keadilan, (sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 180-182
Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 182
Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang paling shahih di antara dua pendapat, yakni sebelum turunnya ayat mawaris (pembagian waris). Setelah ayat faraid (pembagian waris) diturunkan, maka ayat ini di-mansukh olehnya. Dengan demikian, sejak diturunkan ayat faraid, maka bagian-bagian waris yang telah ditentukan merupakan hukum fardu dari Allah yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tegas tanpa melalui proses wasiat lagi.
Hukum-hukum bagian waris ini tidak mengandung pengertian pemberian dari pihak orang yang berwasiat. Karena itu, telah disebutkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr ibnu Kharijah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ berkhotbah, yang antara lain mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak atas bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi wasiat bagi ahli waris.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di suatu majelis, lalu ia membaca surat Al-Baqarah sampai pada firman-Nya: “Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya.” (Al-Baqarah: 180) Lalu ia mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Hasyim, dari Yunus dengan lafal yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat keduanya (yakni Al-Bukhari dan Muslim).
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya.” (Al-Baqarah: 180) Pada mulanya tidak ada yang berhak mewarisi selain dari ibu bapak, kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka Allah menurunkan ayat mirats (pembagian waris) dan menjelaskan padanya bagian waris dari ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat dalam sepertiga dari harta peninggalan si mayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu ‘Atha’, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Berwasiat buat ibu bapak dan kaum kerabatnya.” (Al-Baqarah: 180) Ayat ini dimansukh oleh firman-Nya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa: 7)
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Musa, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, ‘Atha’, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Sirin, Ikrimah, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Suddi, Muqatil ibnu Hayyan, Tawus Ibrahim An-Nakha'i, Syuraih, Adh-Dhahhak, dan Az-Zuhri, bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah dimansukh; yang me-mansukh-nya adalah ayatul mirats (ayat yang menerangkan bagian-bagian tertentu dalam pewarisan).
Akan tetapi, yang mengherankan adalah pendapat yang dikatakan oleh Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi. Dia mengatakan di dalam kitab Tafsirul Kabir-nya, meriwayatkan pendapat Abu Muslim Al-Asfahani, bahwa ayat ini tidak di-mansukh, dan sesungguhnya ia hanya ditafsirkan oleh ayatul mawarits. Hal ini berarti makna yang dimaksud ialah diwajibkan atas kalian apa yang telah disyariatkan Allah kepada kalian tentang pembagian pusaka untuk ibu bapak dan kaum kerabat, yakni bagian dari firman-Nya: “Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian.” (An-Nisa: 11) Selanjutnya Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi mengatakan, hal ini merupakan pendapat kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqih yang dianggap.
Ia mengatakan pula bahwa di antara mereka ada yang mengatakan, sesungguhnya surat Al-Baqarah ayat 180 ini di-mansukh berkenaan dengan orang-orang yang mempunyai hak waris, dan tetap hukumnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai hak waris. Pendapat ini merupakan mazhab Ibnu Abbas, Al-Hasan, Masruq, Thawus, Adh-Dhahhak, Muslim ibnu Yasar, dan Al-Ala ibnu Ziad. Menurut kami, pendapat ini dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan; tetapi pendapat mereka ini menurut peristilahan di kalangan kami ulama mutaakhkhirin bukan dinamakan nasakh, karena ayatul mawaris hanyalah menghapus sebagian hukum yang ditunjukkan oleh keumuman makna ayat wasiat.
Mengingat istilah kaum kerabat mencakup orang-orang yang mempunyai hak waris dan orang-orang yang tidak mempunyai hak waris, maka dihapuslah hukum yang menyangkut orang-orang yang berhak mewaris karena telah ada bagian tertentu baginya, sedangkan untuk yang lainnya yang tidak mempunyai bagian tertentu masih tetap berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat pertama (Al-Baqarah ayat 180). Pengertian ini hanyalah berdasarkan interpretasi pendapat sebagian dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa wasiat itu pada permulaan Islam hanyalah sunat, hingga ia di-mansukh.
Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu pada mulanya adalah wajib, seperti yang ditunjukkan oleh makna lahiriah konteks ayat, maka sudah dapat ditentukan bahwa ia di-mansukh oleh ayat mirats. Seperti yang dikatakan oleh kebanyakan Mufassirin dan para ahli fiqih terkemuka. Mereka mengatakan, sesungguhnya hukum wajib berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat yang mewaris dimansukh oleh ayat mirats menurut ijma', dan bahkan dilarang karena dalil hadits yang telah lalu, yaitu sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak (mewarisi) bagiannya masing-masing. Maka tidak ada wasiat (lagi) bagi orang yang mewarisi.”
Ayat mengenai pembagian waris merupakan hukum menyendiri dan kewajiban dari sisi Allah buat orang-orang yang memiliki bagian tertentu dan asabah. Ayat ini menghapuskan hukum yang mewajibkan wasiat secara keseluruhan. Dengan demikian, yang tertinggal adalah kaum kerabat yang tidak mempunyai bagian tertentu. Untuk mereka disunatkan berwasiat yang diambil dari sepertiga harta peninggalan, demi menghargai ayat wasiat dan keumuman maknanya; juga karena apa yang telah ditetapkan di dalam kitab Shahihain, dari Ibnu Umar , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiadalah kewajiban seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang akan ia wasiatkan, lalu ia lewatkan waktu selama dua malam, melainkan wasiatnya itu harus sudah tertulis di sisinya.” Selanjutnya Ibnu Umar mengatakan, "Tidak sekali-kali lewat bagiku satu malam sejak aku mendengar hadits ini dari Rasulullah ﷺ kecuali wasiatku telah kupersiapkan di sisiku."
Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi ﷺ yang menganjurkan berbuat baik kepada kaum kerabat dan menyantuni mereka sangat banyak. Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah, dari Mubarak ibnu Hassan, dari Nafi' yang menceritakan, Abdullah pernah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Allah ﷻ berfirman, "Wahai anak Adam, ada dua perkara yang tiada satu pun di antaranya merupakan milikmu: Aku jadikan buatmu suatu bagian pada harta milikmu di saat Aku menimpakan sakit kepadamu untuk membersihkan dan menyucikan dirimu melaluinya, dan shalat hamba-hamba-Ku untukmu sesudah kamu menunaikan ajalmu (mati)."
Firman Allah ﷻ: “Jika ia meninggalkan harta yang banyak.” (Al-Baqarah: 180) Yang dimaksud dengan khairan atau kebaikan ialah harta benda. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Atiyyah Al-Aufi, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Qatadah, dan lain-lainnya.
Kemudian sebagian di antara mereka mengatakan bahwa wasiat itu disyariatkan tanpa memandang apakah harta peninggalan berjumlah banyak ataupun sedikit, perihalnya sama dengan yang untuk ahli waris. Di antara mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wasiat itu diwajibkan hanya bila orang yang bersangkutan meninggalkan harta yang berjumlah banyak.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai kadar yang termasuk jumlah banyak ini. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ali bahwa sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah Quraisy telah meninggal dunia dan meninggalkan harta sebanyak tiga ratus atau empat ratus dinar, tetapi ia tidak berwasiat. Maka Ali menjawab bahwa jumlah tersebut masih belum banyak, karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: “Jika ia meninggalkan harta yang banyak.” (Al-Baqarah: 180)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Ali masuk ke dalam rumah seorang lelaki dari kalangan kaumnya (Quraisy) untuk menjenguknya.
Maka lelaki itu berkata kepadanya, "Apakah aku harus berwasiat?" Ali menjawab: "Sesungguhnya Allah ﷻ hanya mengatakan dalam firman-Nya, ‘Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah.’ (Al-Baqarah: 180) Dan sesungguhnya harta yang kamu tinggalkan hanyalah berjumlah sedikit, maka biarkanlah untuk anakmu.”
Imam Hakim bin Iban mengatakan: “Pernah diceritakan kepadaku sebuah atsar dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: ‘Jika ia meninggalkan harta yang banyak.’ (Al-Baqarah: 180) Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Barang siapa yang tidak meninggalkan sejumlah enam puluh dinar, berarti dia tidak meninggalkan kebaikan (harta yang banyak)’."
Imam Hakim mengatakan bahwa Tawus pernah mengatakan, "Masih belum dikatakan meninggalkan harta yang banyak seseorang yang tidak meninggalkan harta sejumlah delapan puluh dinar."
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan harta yang banyak ialah sejumlah seribu dinar hingga lebih.
Yang dimaksud dengan bil ma'ruf ialah dengan cara yang baik dan lemah lembut. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Diwajibkan atas kalian apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut.” (Al-Baqarah: 180) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Sebaik-baik wasiat, yang merupakan perkara yang hak atas setiap orang muslim, ialah hendaknya ia berwasiat dengan cara yang makruf (bukan mungkar) apabila kedatangan tanda-tanda maut." Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah hendaknya dia berwasiat untuk kaum kerabatnya suatu wasiat yang tidak menghabiskan bagian ahli warisnya, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu pelit.
Seperti yang disebutkan di dalam hadits Shahihain, yaitu: Bahwa Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta yang banyak, sedangkan aku tidak mempunyai ahli waris selain anak perempuanku, maka bolehkah aku berwasiat dengan dua pertiga hartaku?" Rasul ﷺ menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan separonya?" Rasul ﷺ menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan sepertiga?" Rasul ﷺ menjawab, "Sepertiga, ya sepertiga cukup banyak. Sesungguhnya kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, jauh lebih baik daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang lain."
Di dalam kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan: “Seandainya orang-orang mengurangi sepertiga hingga seperempatnya (niscaya baik bagi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sepertiga. Sepertiga itu cukup banyak’."
Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id maula Bani Hasyim, dari Ziad ibnu Atabah ibnu Hanzalah bahwa ia pernah mendengar Hanzalah ibnu Juzaim ibnu Hanifah menceritakan bahwa kakeknya yang bernama Hanifah pernah berwasiat seratus ekor unta untuk seorang anak yatim yang berada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut dirasakan amat berat bagi anak-anaknya, lalu mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Hanifah berkata, "Sesungguhnya aku mewasiatkan buat anak yatimku ini sebanyak seratus ekor unta. Unta-unta itu kami namakan Matiyyah." Maka Nabi ﷺ menjawab: “Tidak, tidak, tidak, sedekah (zakat) saja hanya seperlimanya. Jika tidak, maka sepuluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka lima belas ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh lima ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh lima ekor unta saja. Akan tetapi, jika ternak unta berjumlah banyak, boleh empat puluh ekor unta.” Lalu hadits ini dikemukakannya hingga selesai.
Ayat 181
Firman Allah ﷻ: “Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.” (Al-Baqarah: 181) Yakni barang siapa yang mengubah wasiat dan menyelewengkannya hingga menyimpang dari ketentuannya, baik dengan melebihkannya atau menguranginya, dan termasuk ke dalam pengertian ini ialah orang yang menyembunyikan wasiat, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, "Pahala mayat tetap ada di sisi Allah, sedangkan dosa mengubah wasiat ditanggung oleh orang-orang yang mengubahnya."
“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 181) Yakni Allah melihat apa yang diwasiatkan oleh si mayat, dan Dia Maha Mengetahui hal tersebut dan apa yang diubah oleh orang-orang yang menerima wasiat.
Ayat 182
Firman Allah ﷻ: “(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 182)
Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Suddi mengatakan bahwa al-janaf ialah keliru, tetapi yang ini pengertiannya mencakup segala macam kekeliruan. Misalnya mereka menambahkan bagian salah seorang ahli waris dengan memakai suatu perantara atau suatu cara. Umpamanya bila ia mewasiatkan untuk menjual sesuatu kepada si Fulan dengan harga yang sangat murah, atau mewasiatkan sesuatu kepada cucu lelakinya yang lahir dari anak perempuan dengan tujuan untuk menambah bagian si anak perempuan, atau dengan cara lainnya. Hal ini dia lakukan baik secara tidak sengaja karena terdorong oleh emosi dan kekuatan kasih sayangnya tanpa berpikir terlebih dahulu ataupun ia lakukan dengan sengaja tanpa memikirkan dosanya, maka dalam keadaan seperti ini si penerima harus memperbaiki permasalahannya dan bersikap adil dalam menangani wasiat yang diterimanya itu sesuai dengan ketentuan hukum syara'.
Dan hendaknya merevisi apa yang diwasiatkan oleh si mayat dengan meluruskannya kepada apa yang lebih dekat kepada hukum yang benar dan maksud yang dituju oleh si mayat. Singkatnya, menggabungkan tujuan si pemberi wasiat dengan hukum syar'i. Perbaikan dan penyesuaian ini sama sekali bukan termasuk ke dalam pengertian mengubah wasiat. Karena itulah maka ia di-'ataf"-kan (dikaitkan) dengan kalimat sebelumnya yang menunjukkan pengertian dilarang, untuk diketahui bahwa cara ini sama sekali berbeda dengan cara pertama tadi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazid secara qiraah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Auza'i, bahwa Az-Zuhri pernah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Dikembalikan sebagian dari sedekah orang yang zalim selagi ia masih hidup, sebagaimana dikembalikan sebagian wasiat orang yang berat sebelah setelah ia meninggal dunia.” Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih melalui hadits Al-Abbas ibnul Walid dengan lafal yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Al-Walid ibnu Mazid melakukan kekeliruan padanya, perkataan ini hanyalah dari Urwah saja. Al-Walid ibnu Muslim meriwayatkannya pula dari Al-Auza'i, dan dalam sanadnya ini ia tidak sampai kepada Urwah.
Ibnu Mardawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Berat sebelah dalam wasiat merupakan dosa besar.” Mengenai status rafa’ hadits ini masih perlu dipertimbangkan.
Hadits yang paling baik mengenai bab ini ialah apa yang dikatakan oleh Abdur Razzaq: Telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun; tetapi apabila ia berwasiat, lalu ia berat sebelah dalam wasiatnya itu, maka dia akan diakhiri dengan keburukan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ternyata berlaku adil dalam wasiatnya, maka dia akan diakhiri dengan kebaikan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam surga.” Selanjutnya Abu Hurairah mengatakan, "Bacalah oleh kalian bila kalian suka," yaitu firman-Nya: “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.” (Al-Baqarah: 229)
Tetapi barang siapa khawatir karena mengetahui atau melihat tanda-tanda bahwa pemberi wasiat berlaku berat sebelah atau berbuat salah, baik disengaja maupun tidak, sehingga menyimpang dari ketentuan Allah, lalu dia mendamaikan antara mereka dengan meminta orang yang berwasiat berlaku adil dalam wasiatnya sesuai dengan ketentuan syariat Islam, maka dia, yakni orang yang mendamaikan itu, tidak berdosa. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang kepada hambahamba-Nya yang bertobatWahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa guna mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu dari umat para nabi terdahulu agar kamu bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Ayat ini memberikan penjelasan, yaitu kalau seseorang merasa khawatir bahwa orang yang berwasiat itu tidak berlaku adil dalam memberikan wasiatnya, maka tidak ada dosa baginya untuk menyuruh yang berwasiat agar berlaku adil dalam memberikan wasiatnya.
Apabila seseorang mengetahui bahwa wasiat yang telah dibuat itu ternyata tidak adil kemudian ia berusaha mendamaikan antara orang-orang yang menerima wasiat itu, sehingga terjadi perubahan-perubahan, maka hal itu tidaklah dianggap perubahan yang mengakibatkan dosa, tetapi perubahan dari yang tidak adil kepada yang adil, yang disetujui oleh pihak yang menerima bagian dari wasiat itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
WASIAT
Ayat yang di atas membicarakan soal orang yang mati terbunuh dan hukum qishash. Senapas dengan urusan kematian, Tuhan menerangkan lagi apa yang patut diperbuat oleh orang yang hampir mati. Satu waktu orang ditimpa sakit dan dia sendiri kadang-kadang telah merasa bahwa sakitnya itu adalah yang penghabisan di dunia. Satu waktu orang pun merasa dirinya sudah tua, sudah dekat masanya dia meninggal dunia. Pada saat yang demikian Tuhan menganjurkan meninggalkan wasiat.
Ayat 180
“Diwajibkan alas kamu apabila seorang daripada kamu hampir mati jika dia ada meninggalkan harta, supaya berwasiat untuk kedua ibu bapak dan keluarga tedekat, dengan baik. Kewajiban atas orang-orang yang takwa."
Patut juga kita ketahui pertikaian pendapat ulama mengenai ayat wasiat ini. Setengah ulama berpendapat bahwasanya ayat wasiat yang ini tidak berlaku lagi setelah turun ayat lain yang termaktub di dalam surah an-Nisaa' yang telah terang menyatakan pembagian waris. Ibu dan bapak telah ada ketentuan baginya. Maka, segala keluarga karib yang telah mendapat pembagian waris—kata ulama itu—tidak lagi terkena oleh ayat ini. Jadi, ayat ini mansukh. Apatah lagi sudah ada hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi,
“Sesungguhnya, Allah telah memberikan hak kepada yang punya hak maka tidak ada wasiat untuk waris." (HR pengarang Sunan kecuali Abu Dawud. Tirmidzi berkata, “Sahih.")
Akan tetapi, yang sebagian ulama lagi mengatakan bahwa ayat ini tetap berlaku, yakni orang yang mampu. Orang yang harta bendanya banyak. Karena di dalam ayat ini harta benda itu bukan disebut mal, melainkan khairan. Arti khairan ialah baik. Maka, kalau dikatakan si fulan meninggalkan khairan, yang dimaksud adalah kekayaan yang banyak. Pendapat ini mereka kuatkan dari sebuah riwayat dari Ibnu Abi Syaibah bahwa seorang bermaksud hendak membuat wasiat lalu dia minta nasihat kepada Ummul Mu'minin Aisyab r.a.. Maka, bertanyalah beliau, “Berapa banyaknya harta engkau?" Dia menjawab, “Ada tiga ribu." Lalu beliau tanyakan pula, “Berapa anak-anak engkau?" Orang itu menjawab, “Ada empat." Lalu ibu orang yang beriman itu berkata, “Me-mang Allah menyatakan jika engkau meninggalkan khairan hendaklah berwasiat. Akan tetapi, harta engkau itu sedikit. Sebab itu, tinggalkan harta itu buat anak-anakmu. Itulah yang lebih baik!"
Menurut riwayat al-Baihaqi, Ali bin Abi Thalib r.a. datang maulanya dalam maula itu sakit keras. Maula itu lalu bertanya, “Apakah tidak patut kalau hamba berwasiat?"Sayyidina Ali bertanya, “Berapa harta yang akan engkau tinggalkan?" Maula itu menjawab, “Ada tujuh ratus dirham atau enam ratus dirham." Mendengar itu, berkatalah Ali, “Ini cuma harta yang sedikit, tidak usah berwasiat. Biarkan sajalah untuk waris engkau."
Dengan demikian, golongan kedua ini berpendapat bahwa ayat wasiat tidaklah mansukh. Apalah lagi ayat yang demikian terang, tidaklah dapat di-nasikh-kan oleh hadits Ahad sebagaimana yang dirawikan oleh Imam Tirmidzi itu. Ayat ini berlaku untuk orang kaya yang banyak peninggalannya. Apatah lagi kadang-kadang empat-lima orang waris yang akan menerima pusakanya. Di antara mereka ada yang kaya sehingga waris yang akan diterimanya dari si mati hanya sebagai tambahan biasa saja dari hartanya, sedangkan waris yang satu amat melarat hidupnya. Maka, berwasiAllah untuk waris yang miskin itu. Ada juga perumpamaan lain yang dikemukakan orang, yaitu seorang pemuda masuk Islam, padahal ayah bundanya belum masuk Islam. Menurut hukum waris, orang yang masih kafir tidak bisa menerima waris dari orang Islam. Maka, si anak yang telah Islam itu mewasiatkan sebagian harta bendanya untuk ayah bundanya yang masih kafir itu, moga-moga tertarik hatinya kepada Islam karena kebaikan budi putranya itu.
Di ujung ayat dikuatkan lagi, ialah berwasiat itu menjadi kewajiban bagi orang yang bertakwa. Sebab itu, jika engkau diberi Allah rezeki, janganlah sampai ketika engkau menutup mata meninggalkan kekacauan dalam kalangan keluarga, masih juga hendaknya engkau meninggalkan kenang-kenangan yang baik untuk mereka, yang akan mereka ingat-ingat setelah engkau tak ada lagi. Dan, amat baik, bahkan dianjurkan dalam agama, jika wasiat itu dituliskan. Ada baiknya jika dibawa ke muka notaris, yaitu secara zaman modern kita ini.
Ayat 181
“Maka, barangsiapa yang mengubahnya sesudah dia mendengarnya, tidaklah ada dosa melainkan atas orang yang mengubah-ubahnya itu. Sesungguhnya, Allah adalah Maha Mendengar, lagi Mengetahui."
Dengan ayat ini teranglah bahwa kalau terjadi kecurangan dari yang mendengar wasiat, biasanya pada wasiat yang tidak tertulis dan tidak pakai saksi lain maka yang berwasiat tidaklah berdosa lagi sebab kewajibannya telah dilepaskannya. Yang berdosa ialah siapa yang curang itu, baik yang mendengar maupun waris lain yang tidak suka setia memegang bunyi wasiat karena loba dan tamak. Oleh sebab itu, hendaklah pegang teguh wasiat si mati dan jalankan dengan setia. Janganlah sampai harta benda pencaharian orang yang mati itu yang telah didapat oleh si waris sebagai kekayaan yang tiba-tiba, menjadi fitnah. Ini karena segala bunyi wasiat si mati, pertanggungjawaban yang mendengar wasiat, dan waris yang akan menjalankan sepanjang wasiat, semuanya itu didengar dan disaksikan oleh Tuhan. Dan, hati jujur atau hati curang diketahui-Nya.
Ayat 182
“Dan barangsiapa yang takut bahwa dari yang berwasiat itu ada kekeliruan atau dosa"
Misalnya, dia meninggalkan wasiat yang keliru, yang kacau, sehingga merugikan kepada waris, atau wasiat yang mengandung dosa, seumpama memungkiri pewarisan kepada setengah anak karena pengaruh beristri banyak, atau banyak dia memberikan wasiat kepada keluarga lain yang bukan waris, padahal harta yang akan dibagi hanya sedikit, sehingga timbul silang sengketa di antara para waris dan penerima wasiat."Lalu diperdamAl-kannya di antara mereka maka tidaklah dia berdosaArtinya, tidaklah salah perbuatannya itu, bahkan terpujilah dia dapat menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang keruh di antara orang sekeluarga.
“Sesungguhnya, Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
(ujung ayat 182)