Ayat
Terjemahan Per Kata
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itulah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱشۡتَرَوُاْ
(mereka) membeli
ٱلضَّلَٰلَةَ
kesesatan
بِٱلۡهُدَىٰ
dengan petunjuk
وَٱلۡعَذَابَ
dan siksa
بِٱلۡمَغۡفِرَةِۚ
dengan ampunan
فَمَآ
maka alangkah
أَصۡبَرَهُمۡ
sangat tahan/sabarnya mereka
عَلَى
diatas
ٱلنَّارِ
neraka
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itulah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱشۡتَرَوُاْ
(mereka) membeli
ٱلضَّلَٰلَةَ
kesesatan
بِٱلۡهُدَىٰ
dengan petunjuk
وَٱلۡعَذَابَ
dan siksa
بِٱلۡمَغۡفِرَةِۚ
dengan ampunan
فَمَآ
maka alangkah
أَصۡبَرَهُمۡ
sangat tahan/sabarnya mereka
عَلَى
diatas
ٱلنَّارِ
neraka
Terjemahan
Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan azab dengan ampunan. Maka, alangkah beraninya mereka menentang api neraka.
Tafsir
(Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk) yang mereka ambil sebagai penggantinya di atas dunia (dan siksa dengan keampunan) yang disediakan bagi mereka di akhirat, yakni seandainya mereka tidak menyembunyikannya. (Maka alangkah sabarnya mereka menghadapi api neraka) artinya alangkah sabarnya mereka menanggung api neraka dan ini mengundang keheranan kaum muslimin terhadap perbuatan-perbuatan mereka yang menjerumuskan ke dalam neraka tanpa mempedulikannya. Kalau tidak demikian, kesabaran terhadap apakah yang mereka miliki itu?.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 174-176
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!
Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).
Ayat 174
Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab. (Al-Baqarah: 174) Yakni orang-orang Yahudi yang menyembunyikan sifat-sifat (ciri-ciri) Nabi Muhammad ﷺ dalam kitab-kitab yang ada di tangan mereka, yang isinya antara lain mempersaksikan kerasulan dan kenabiannya. Lalu mereka dengan sengaja menyembunyikan hal tersebut agar kepemimpinan mereka tidak lenyap, dan agar tidak lenyap pula hadiah-hadiah dan upeti-upeti yang biasa diberikan oleh orang-orang Arab kepada mereka sebagai ungkapan rasa hormat orang-orang Arab kepada kakek moyang mereka.
Maka mereka - semoga laknat Allah tetap menimpa mereka - merasa khawatir jika hal tersebut dijelaskan kepada orang-orang, sehingga orang-orang akan mengikutinya dan meninggalkan mereka. Karena itulah mereka menyembunyikan berita tersebut demi mempertahankan apa yang biasa mereka peroleh dari cara mereka itu, yaitu harta duniawi yang sedikit; mereka rela menjual akidah mereka dengan hal tersebut. Dengan demikian, berarti mereka menukar hidayah kebenaran, membenarkan Rasul dan iman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Allah dengan harta duniawi yang sedikit itu; akhirnya kelak mereka akan kecewa dan merugi dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.
Kerugian mereka di dunia ialah karena sesungguhnya Allah menampakkan kepada hamba-hamba-Nya kebenaran Rasul-Nya melalui apa yang ditegakkannya dan Allah membekalinya dengan ayat-ayat yang jelas dan bukti-bukti yang mematahkan hujah (argumentasi) mereka. Pada akhirnya orang-orang yang mereka khawatirkan akan mengikutinya kini benar-benar mengikutinya, dan jadilah orang-orang tersebut pembantu Rasul-Nya dalam memerangi mereka. Akhirnya mereka kembali dengan mendapat kemurkaan yang besar.
Allah mencela perbuatan mereka (Ahli Kitab) bukan hanya pada satu tempat di Al-Qur'an-Nya, yang antara lain ialah ayat yang mulia ini, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak menelan ke dalam perutnya melainkan api.” (Al-Baqarah: 174) Yakni menukarnya dengan harta duniawi. Maka sesungguhnya apa yang mereka makan dari hasilnya itu hanyalah api belaka, sebagai balasan dari penyembunyian mereka terhadap kebenaran. Api itu kelak di hari kiamat berkobar-kobar di dalam perut mereka.
Sama halnya dengan gambaran yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa: 10)
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya orang yang makan atau minum dengan memakai wadah dari emas dan perak tiada lain hanyalah menelan (meneguk) api neraka Jahannam ke dalam perutnya.”
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (Al-Baqarah: 174)
Dikatakan demikian karena Allah ﷻ murka terhadap mereka, mengingat mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui. Untuk itu mereka berhak mendapat murka Allah, dan Allah tidak mau melihat mereka. Wala yuzakkihim, Allah tidak mau menyebut dan memuji nama mereka, bahkan Allah mengazab mereka dengan siksa yang amat pedih.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Mardawaih dalam bab ini meriwayatkan melalui hadits Al-A'masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tiga macam orang, Allah tidak akan berbicara kepada mereka dan tidak akan melihat mereka, serta tidak akan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu: ‘orang tua yang berzina, raja (penguasa) yang pendusta, dan orang miskin yang takabur’.”
Ayat 175
Kemudian Allah ﷻ berfirman menceritakan perihal mereka: “Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.” (Al-Baqarah: 175) Yaitu mereka menukar petunjuk dengan kesesatan. Yang dimaksud dengan petunjuk ialah menyiarkan berita yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka menyangkut sifat-sifat Rasulullah ﷺ perihal kerasulannya dan berita gembira kedatangannya, perintah mengikutinya dan percaya kepadanya; hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab nabi-nabi terdahulu. Yang dimaksud dengan kesesatan ialah mendustakan Nabi ﷺ, mengingkarinya, dan menyembunyikan sifat-sifatnya yang ada dalam kitab-kitab mereka.
“Dan siksa dengan ampunan.” (Al-Baqarah: 175) Maksudnya, mereka menukar magfirah (ampunan) Allah dengan siksa-Nya, yakni penyebab-penyebab magfirah mereka tukar dengan penyebab-penyebab siksa.
Firman Allah ﷻ: “Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.” (Al-Baqarah: 175) Allah menceritakan bahwa mereka berada di dalam siksa yang keras lagi besar dan mengerikan, hingga membuat orang yang melihat mereka merasa takjub dengan keberanian mereka dalam menanggung siksa tersebut, padahal kerasnya siksaan yang mereka alami tak terperikan dan semuanya berlindung kepada Allah dari siksa seperti itu.
Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka alangkah sabarnya mereka menentang api neraka.” (Al-Baqarah: 175) Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah alangkah beraninya mereka kekal dalam mengerjakan kemaksiatan, padahal kemaksiatan itu menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
Ayat 176
Firman Allah ﷻ: “Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran.” (Al-Baqarah: 176) Yakni sesungguhnya mereka berhak mendapat siksa yang keras ini, tiada lain karena Allah ﷻ telah menurunkan kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad ﷺ juga kepada nabi-nabi sebelumnya kitab-kitab-Nya yang membuktikan kebenaran dan menyalahkan kebatilan. Sedangkan mereka menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olok.
Kitab mereka (Ahli Kitab) memerintahkan kepada mereka untuk menyampaikan ilmu dan menyebarkannya, tetapi mereka menentangnya dan mendustakannya. Hal yang sama dialami pula oleh penutup para rasul, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Beliau menyeru mereka (Ahli Kitab) kepada Allah ﷻ, memerintahkan perkara yang makruf, serta melarang mereka melakukan perbuatan yang mungkar; tetapi mereka mendustakannya, menentangnya, mengingkari, dan menyembunyikan ciri-cirinya. Perbuatan mereka sama dengan memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, mereka berhak mendapat azab dan balasan yang setimpal. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” (Al-Baqarah: 176).
Mereka yang menyembunyikan isi Kitab Suci itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, yaitu menukar petunjuk yang berasal dari Allah melalui rasul-Nya dengan kepentingan duniawi karena mengikuti hawa nafsu, dan menukar azab dengan ampunan, yakni lebih memilih azab neraka daripada ampunan Allah. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka, padahal mereka tidak akan sanggup menahan siksa neraka yang sangat pedih dan menyakitkan! Yang demikian itu karena Allah telah menurunkan Kitab Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, tetapi mereka berselisih paham tentang kebenaran informasi Kitab Al-Qur'an, sehingga ada yang menolak isinya secara keseluruhan dan ada yang menolak sebagian isinya dan menerima sebagian yang lain. Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang kebenaran informasi Kitab itu, sesungguhnya mereka dalam perpecahan dan penyimpangan yang jauh dari kebenaran.
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk yang diturunkan Allah kepada rasul-rasul-Nya. Bahkan sebenarnya mereka telah membeli siksaan dengan ampunan. Sesungguhnya yang mereka lakukan ini adalah jual-beli yang amat merugikan yang tidak akan dilakukan oleh orang yang waras pikirannya serta dapat mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi meskipun mereka telah diberi akal pikiran, mereka tidak mempergunakannya karena telah dipengaruhi hawa nafsu dan disilaukan pangkat dan kedudukan. Mereka giat dan gigih mengerjakan perbuatan yang akan membawa dan memasukkan mereka ke dalam neraka kelak di akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN
Ayat 174
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dari Kitab, dan mereka jual dia dengan harga yang sedikit, itulah mereka yang tidak ada yang dimakannya di dalam perutnya selain dari api neraka."
Kalau dari hal makanan yang halal dan yang baik telah dianjurkan kepada seluruh manusia dan makanan yang baik-baik telah disuruh makan kepada orang-orang beriman, dan supaya mereka iringi dengan syukur kepada Allah maka dalam ayat ini diperingatkan lagi satu macam penghasilan yang akan dimakan, yang terlalu jahat, yaitu sengaja menyembunyikan kebenaran Kitab atau memutar-mutar Artinya, kepada yang lain karena mengharapkan harga yang sedikit. Maka, harga usaha mereka memutar-mutar isi Kitab yang boleh dikatakan telah menjadi mata pencarian untuk makan baginya, adalah sebagaimana menyalakan api neraka dalam perutnya.
Meskipun asbabun nuzul niscaya pendeta-pendeta Yahudi di Madinah yang sengaja memutar arti ayat Kitab, yaitu Taurat, yang mencoba menyembunyikan isi Taurat karena isi itu menjelaskan kenabian Nabi Muhammad ﷺ, kita berpeganglah kepada pokok pendirian ulama ushul fiqh yang terkenal, “Yang menjadi perhatian adalah umum tujuan kata, bukan khusus sebab terjadinya."
“Dan tidaklah akan bercakap Allah dengan Mereka di Hari Kiamat, dan tidaklah Dia akan memberihkan Mereka, dan untuk Mereka adalah adzab yang pedih."
Apalagi harga diri kalau Allah tidak berkenan memandang? Sedangkan di dunia ini saja di mana-mana orang menonjolkan diri agar dapat dipandang oleh orang yang disegani. Merasa sangat iba hati jika beliau tidak berkenan memandang. Sedangkan ketika bersalam dengan orang besar-besar, kecil rasanya diri kalau sedang bersalam itu beliau melihat ke tempat lain; bagaimana kalau di akhirat Allah tidak mau memandang? Belum masuk neraka sudah mendapat hukum yang getir."Dan tidaklah Dia akan membersihkan mereka," dengan memberikan ampunan. Sebagaimana di dunia ini pun dapat dirasakan; seorang yang dituduh melakukan kesalahan kemudian ternyata kesalahannya tidak terang. Dia tidak dihadapkan ke muka pengadilan. Ketika dia dibebaskan dari tuntutan karena tidak bersalah, itu namanya dibersihkan dari segala tuduhan. Dia direhabilitasi. Pembersihan yang demikian tidak akan berlaku di akhirat terhadap si penjual atau si penyembunyi kebenaran.
“Dan untuk Mereka adalah adzab yang pedih"
Sebab, kesalahannya amat besar, yaitu,
Ayat 175
Itulah orang-orang yang telah memberi kesesalan dengan petunjuk."
Selama ini, dia hidup dalam petunjuk: yang halal tetap halal, yang haram tetap haram, lalu setan memperdayakannya, “Kalau engkau lurus-lurus saja, hidupmu itu tidak akan berubah! Lihatlah orang lain yang pendai menyesuaikan diri, hidupnya sudah senang sekarang." Lantaran perdayaan demikian, berusahalah dia memutar balik kebenaran. Maksudnya berhasil, hidup duniawinya senang, tetapi telah memilih jalan kesesatan. Padahal, dahulu hidupnya sederhana, tetapi jiwanya tenteram sebab dia hidup dalam petunjuk."Dan adzab dengan ampunan." Ampunan atas kealpaan berdikit-dikit, tetapi di dalam tujuan yang mulia, yakni mempertahankan kebenaran, telah mereka tinggalkan. Sekarang, yang mereka pilih adalah adzab, siksa, siksaan batin dalam dunia, adzab neraka di akhirat. Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat.
“Alangkah sabarnya mereka atas neraka!"
Sabar ataupun tidak sabar, tetapi mereka akan menjadi ahli neraka. Akan tetapi, di sini, Allah memakai suatu ungkapan yang tinggi, yang kalau kita tafsirkan ke dalam bahasa kita, dapat didekati dengan susunan, “Alangkah sampai hatinya dia melemparkan kebenaran dan alangkah sampai hatinya dia jadi ahli neraka."
Kenapa sampai demikian kerasnya adzab yang mesti mereka terima?
Ayat 176
“Yang demikian, ialah karena sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab dengan kebenaran"
Adapun kebenaran Allah itu satu, tidak ada kata dua. Kebenaran tidak bisa diputar-putar, didalih-dalih, dan dibelah-belah. Apabila orang mencoba melawan atau memutar balik kebenaran, betapa pun dia memuaskan dirinya, tetapi tidak berapa lama kemudian kebenaran itu pasti timbul kembali.
“Dan sesungguhnya orang-orang yang masih berselisih dari hal Kitab adalah di dalam pecah belah yang jauh."
Sebab kalau masing-masing telah membawakan tafsiran Kitab mengandung kebenaran itu menurut kemauan sendiri, tentu akan timbul perpecahan. Kian lama perpecahan itu tidak dapat dipertautkan lagi. Karena bukan Kitab yang salah, tetapi pemutarbalikan Kitab itu yang salah. Orang telah lebih mementingkan kehendak hawa nafsunya daripada kehendak Allah. Masing-masing mau menang sendiri. Bagi penyembunyi-penyembunyi kebenaran ini, Kitab hanya membawa celaka, bukan membawa bahagia.
Seruan yang berkumandang di zaman kini dalam kebangunan umat Islam ialah agar kita semua kembali kepada Kitab dan Sunnah atau Al-Qur'an dan hadits. Ini karena salah satu sebab dari kepecahan umat Islam ialah setelah Al-Qur'an ditinggalkan dan hanya tinggal menjadi bacaan untuk mencari pahala, sedangkan sumber agama telah diambil dari kitab-kitab ulama. Pertikaian madzhab membawa perselisihan dan timbulnya golongan-golongan yang membawa faham sendiri-sendiri. Bahkan dalam satu madzhab pun bisa timbul selisih dan perpecahan karena kelemahan-kelemahan sifat manusia. Orang-orang yang diikut, sebab mereka adalah manusia, kerap kali dipengaruhi oleh hawa nafsu, berkeras mempertahankan pendapat sendiri walaupun salah dan tidak mau meninjau lagi. Sehingga masalah-masalah ijtihadiyah menjadi pendirian yang tidak berubah-ubah lagi. Bukan sebagaimana Imam Syafi'i yang berani mengubah pendapat sehingga ada pendapatnya yang qadim (lama) dan ada yang jadid (baru). Atau Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dalam fi ihdaqaulaihi (pada salah satu di antara dua katanya).
Dalam hal orang yang diikut itu berkeras pada suatu pendapat, si pengikut pun berkeras pula dalam taklid. Ini karena dengan sadar atau tidak mereka telah menjadikan guru ikutan menjadi tandingan-tandingan Allah atau andadan.
Sekarang timbullah angin baru dalam dunia Islam kembali kepada Al-Qur'an dan hadits, tetapi janganlah kita lupa bahwa berlawanan pendapat mesti timbul juga. Kalau kita telah dibolehkan berijtihad atau mengasah pikiran dan ada kebebasan menyatakan pikiran itu, perlainan pendapat pasti ada. Itu bukanlah tanda kemunduran, tetapi itulah tanda kemajuan. Akan tetapi, perlainan pendapat karena kebebasan berijtihad bukanlah mesti meng-akibatkan perpecahan dan permusuhan sebab timbulnya adalah dalam suasana merdeka dan saling mengerti. Bekas dari kebebasan pikiran zaman dahulu itu sampai sekarang masih dapat kita lihat pada kitab-kitab karangan orang-orang dahulu. Apabila seorang ulama menyatakan pendapat dalam satu soal, tidak ketinggalan dia menerangkan pendapat ulama yang lain walaupun yang berjauhan pahamnya, dengan tidak mencela pendapat yang berbeda itu. Sehingga dibukanya kesempatan buat orang lain untuk menimbang dan meninjau. Setelah datang zaman Mutaakhkhirin (ulama-ulama yang datang kemudian), barulah kita berjumpa kata-kata yang mempertahankan golongan sendiri, misalnya perkataan wal-ashahhu ‘indana (yang lebih sah di sisi kita, yaitu madzhab kita, adalah begini).
Pendeknya, kembali kepada Al-Qur'an dan hadits adalah perkara yang mudah. Bahkan kadang-kadang nyata sekali bahwa bahasa Al-Qur'an dan hadits itu jauh lebih mudah dipahamkan daripada bahasa yang dipakai ulama yang datang di belakang itu. Memang, menjauh dari Al-Qur'an dan hadits bukan saja merusak paham, bahkan juga merusak bahasa. Dan, lagi, pokok utama dalam kembali kepada Al-Qur'an dan hadits itu mudah pula, yaitu niat yang suci dan ikhlas. Niat sama menjunjung kebenaran. Sebab, tali dalam ayat sudah diterangkan bahwa kebenaran hanya satu dan yang menentukannya ialah Allah, yang empunya kebenaran, bukan Kiai Fulan atau Tuan Syekh Anu. Kita semuanya hanyalah hamba belaka dari kebenaran. Dan, segala hasil usaha orang yang terdahulu ijtihad, qiyas, tarjih, dan istinbath dapat pula dijadikan bahan oleh kita yang di belakang untuk memudahkan usaha kita.
Berkata Imam Malik r.a.,
“Tidaklah akan jadi baik akhir dari umat ini melainkan dengan kembali kepada apa yang membaikkan umat yang dahulu."