Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
كُلُواْ
makanlah
مِن
dari
طَيِّبَٰتِ
yang baik-baik
مَا
apa
رَزَقۡنَٰكُمۡ
Kami rezkikan kepadamu
وَٱشۡكُرُواْ
dan bersyukurlah
لِلَّهِ
kepada Allah
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
إِيَّاهُ
kepadaNya
تَعۡبُدُونَ
kamu menyembah
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
كُلُواْ
makanlah
مِن
dari
طَيِّبَٰتِ
yang baik-baik
مَا
apa
رَزَقۡنَٰكُمۡ
Kami rezkikan kepadamu
وَٱشۡكُرُواْ
dan bersyukurlah
لِلَّهِ
kepada Allah
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
إِيَّاهُ
kepadaNya
تَعۡبُدُونَ
kamu menyembah
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara makanan yang baik-baik) maksudnya yang halal, (yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah) atas makanan yang dihalalkan itu (jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya menyembah).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 172-173
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah.
Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 172
Allah ﷻ berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk makan dari rezeki yang baik yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan hendaknya mereka bersyukur kepada Allah ﷻ atas hal tersebut, jika mereka benar-benar mengaku sebagai hamba-hamba-Nya. Makan dari rezeki yang halal merupakan penyebab bagi terkabulnya doa dan ibadah, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat menghambat terkabulnya doa dan ibadah.
Seperti yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Fudail ibnu Marzuq, dari Addi ibnu Sabit, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sama dengan apa yang diperintahkan-Nya kepada para rasul, maka Allah berfirman, "Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan" (Al-Muminun: 51).
Dan Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian" (Al-Baqarah: 172).
Kemudian Nabi ﷺ menyebutkan perihal seorang lelaki yang lama dalam perjalanannya dengan rambut yang awut-awutan penuh debu, lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan disuapi dari yang haram, mana mungkin doanya dikabulkan dengan cara demikian? Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dan Imam At-Tirmidzi melalui hadits Fudail ibnu Marzuq.
Setelah Allah menganugerahkan kepada mereka rezeki-Nya dan memberi mereka petunjuk agar makan dari rezeki yang halal, berikutnya Allah menyebutkan bahwa Dia tidak mengharamkan kepada mereka dari hal tersebut kecuali bangkai. Yang dimaksud dengan bangkai ialah hewan yang menemui ajalnya tanpa melalui proses penyembelihan, baik karena tercekik atau tertusuk, jatuh dari ketinggian atau tertanduk hewan lain, atau dimangsa oleh binatang buas.
Akan tetapi, jumhur ulama mengecualikan bangkai ikan, karena berdasarkan firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (Al-Maidah: 96) Hal ini akan diterangkan nanti pada tempatnya, insya Allah. Juga berdasarkan hadits ikan anbar dalam kitab Shahih, kitab Musnad, kitab Muwatta dan kitab-kitab Sunan, yaitu sabda Rasul ﷺ mengenai laut: “Laut itu airnya menyucikan dan bangkainya halal.”
Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah serta Imam Daruqutni telah meriwayatkan melalui hadits Ibnu Umar secara marfu yang mengatakan: “Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu ikan dan belalang, serta hati dan limpa.”
Pembahasan secara detail mengenai masalah ini nanti akan diterangkan di dalam tafsir surat Al-Maidah. Air susu bangkai dan telur bangkai yang masih bersatu dengannya hukumnya najis menurut Imam Syafii dan lain-lainnya karena masih merupakan bagian dari bangkai tersebut. Imam Malik menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa air susu dan telur tersebut suci, hanya saja menjadi najis karena faktor mujawairah.
Demikian pula halnya keju yang terbuat dari air susu bangkai, masih diperselisihkan; tetapi menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka, hukumnya najis. Mereka mengemukakan dalil untuk alasan mereka, bahwa para sahabat pernah memakan keju orang-orang Majusi. Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan masalah ini mengatakan, "Bahan keju tersebut sedikit, sedangkan campurannya yang terdiri atas air susu banyak. Karena itu, najis yang sedikit dimaafkan bila bercampur dengan cairan (suci) yang banyak."
Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadits Saif ibnu Harun, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai samin, keju, dan bulu. Maka beliau ﷺ bersabda: Halal ialah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, dan haram ialah apa-apa yang diharamkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak diterangkan padanya termasuk sesuatu yang dimaafkan. Diharamkan pula atas mereka daging babi, baik yang disembelih ataupun mati dengan sendirinya. Termasuk ke dalam pengertian daging babi ialah lemaknya, adakalanya karena faktor prioritas atau karena pengertian daging mencakup lemaknya juga, atau melalui jalur kias (analogi) menurut suatu pendapat.
Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, misalnya menyebut nama berhala-berhala, tandingan-tandingan, dan azlam serta lain sebagainya yang serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang Jahiliah bila mereka menyembelih hewannya.
Imam Qurtubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Atiyyah, yang Ibnu Atiyyah pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang wanita yang mengadakan pesta perkawinan buat bonekanya, lalu wanita itu menyembelih seekor unta untuk pesta tersebut.
Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa daging unta tersebut tidak boleh dimakan karena disembelih untuk berhala. Imam Qurtubi mengetengahkan pula sebuah as'ar dari Siti Aisyah, bahwa Siti Aisyah pernah ditanya mengenai hewan yang disembelih oleh orang-orang 'ajam (selain bangsa Arab) untuk hari perayaan mereka, lalu mereka menghadiahkan sebagiannya kepada kaum muslim. Maka Siti Aisyah menjawab, "Hewan yang disembelih untuk merayakan hari tersebut tidak boleh kalian makan, dan kalian hanya boleh makan buah-buahannya."
Ayat 173
Selanjutnya Allah ﷻ memperbolehkan makan semua yang disebutkan tadi dalam keadaan darurat dan sangat diperlukan bila makanan yang lainnya tidak didapati. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak maksiat dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Al-Baqarah: 173) Yakni bukan dalam keadaan maksiat, bukan pula dalam keadaan melampaui batas; tidak ada dosa baginya memakan apa yang telah disebutkan.
“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 173) Mujahid mengatakan, "Barang siapa yang tidak maksiat dan tidak pula melampaui batas, yakni bukan dalam keadaan sebagai pembegal jalan (rampok), atau memberontak terhadap imam (penguasa), atau bepergian untuk tujuan maksiat terhadap Allah, diperbolehkan baginya memakannya. Tetapi barang siapa yang bepergian karena memberontak atau melampaui batas atau berbuat maksiat kepada Allah, tidak ada rukhsah (dispensasi) baginya, sekalipun ia dalam keadaan darurat." Hal yang sama dikatakan pula menurut suatu riwayat yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair.
Sa'id di dalam riwayat yang lain dan Muqatil mengatakan bahwa yang dimaksud dengan gaira bagin ialah tidak menghalalkannya.
As-Suddi mengatakan bahwa gaira bagin artinya bukan karena memperturutkan selera ingin memakannya.
Adam ibnu Abi Iyas mengatakan, telah menceritakan kepada kami Damrah, dari Usman ibnu ‘Atha’ (yakni Al-Khurrasani), dari ayahnya yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya berselera memakannya, tidak boleh pula memasaknya serta tidak boleh memakannya kecuali hanya sedikit, tetapi ia boleh membawanya sampai ia dapat menemukan makanan yang halal. Apabila ia telah menemukan makanan yang halal, ia harus membuangnya. Demikianlah yang dimaksud oleh firman-Nya, "Wala 'adin," yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan yang halal.
Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna wala 'adin ialah tidak boleh sekenyangnya. Sedangkan As-Suddi menafsirkannya dengan makna al-'udwan, yakni melampaui batas. Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa gaira bagin yakni tidak menginginkan bangkai tersebut, wala 'adin artinya tidak melampaui batas dalam memakannya.
Qatadah mengatakan bahwa gaira bagin artinya tidak menginginkan bangkai tersebut, yakni 'ketika keadaan memaksanya untuk memakan bangkai, ia memakannya tidak melampaui batas garis-garis yang dihalalkan sampai kepada batas yang diharamkan, padahal ia mempunyai jalan keluar dari itu'.
Al-Qurthubi meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya).” (Al-Baqarah: 173) Yakni dipaksa untuk memakannya tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri. Apabila orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat) menemukan suatu bangkai dan makanan milik orang lain, sekiranya tidak ada hukum potong tangan dalam mengambilnya dan tidak pula hukuman lainnya (ta'zir), maka tidak dihalalkan baginya memakan bangkai, melainkan ia boleh memakan makanan milik orang lain itu. Semua ulama sepakat, tanpa ada yang memperselisihkannya
Selanjutnya disebutkan, apabila dia memakannya dalam keadaan demikian, lalu apakah dia harus menggantinya atau tidak? Sebagai jawabannya ada dua pendapat, yang keduanya merupakan dua riwayat dari Imam Malik. Selanjutnya diketengahkan sebuah hadits dari Sunan Ibnu Majah, melalui hadits Syu'bah, dari Abu Iyas, dari Ja'far ibnu Abu Wahsyiyyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syurahbil Al-Anazi menceritakan hadits berikut, "Ketika tahun paceklik menimpa kami, aku datang ke Madinah, lalu aku memasuki sebuah kebun dan mengambil setangkai buah kurma. Aku memakannya, dan selebihnya aku masukkan ke dalam kantong bajuku. Ternyata pemilik kebun itu datang, maka dia memukuliku dan merampas bajuku. Lalu aku datang kepada Rasulullah ﷺ dan kuceritakan kepadanya hal tersebut. Maka beliau ﷺ bersabda kepada pemilik kebun: 'Kamu tidak memberinya makan ketika dia sedang kelaparan dan dalam keadaan tidak bermata pencaharian, dan kamu tidak mengajarnya sewaktu dia tidak mengerti (bodoh).' Lalu Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya agar mengembalikan pakaian lelaki itu, dan Nabi ﷺ memerintahkan pula agar diberikan kepada si pemilik kebun satu wasaq atau setengah wasaq makanan (sebagai gantinya)." Sanad hadits ini shahih, kuat lagi jayyid dan mempunyai banyak syawahid lainnya yang memperkuatnya.
Termasuk ke dalam bab ini hadits lain yang diriwayatkan melalui hadits Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai buah-buahan yang bergantung pada pohonnya. Maka beliau ﷺ menjawab: “Barang siapa yang mengambil sebagian darinya cukup untuk makannya sendiri, sedangkan dia dalam keadaan miskin serta tidak mengambil bekal darinya, tidak ada dosa baginya,” hingga akhir hadits.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 173) Yakni tidak ada dosa baginya karena memakan makanan itu, sebab dia dalam keadaan terpaksa. Telah sampai kepada kami suatu riwayat hanya Allah Yang Mengetahui bahwa makanan tersebut tidak boleh lebih dari tiga suap.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna ayat adalah sebagai berikut: "Allah Maha Pengampun terhadap apa yang telah dimakannya dari barang yang haram, lagi Maha Penyayang karena Dia telah menghalalkan baginya barang yang haram dalam keadaan terpaksa."
Waki' mengatakan bahwa Al-A'masy menceritakan kepada kami, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan, "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, lalu dia tidak mau makan dan minum, kemudian berakibat kepada kematiannya, maka dia masuk neraka." Pendapat ini menunjukkan bahwa memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa merupakan azimah (keharusan), bukan rukhsah (dispensasi).
Abul Hasan At-Tabari yang dikenal dengan nama Kayalharasi (sahabat karib Imam Gazali) di dalam kitab Al-Istigal-nya mengatakan, "Menurut pendapat yang shahih di kalangan kami, masalah ini sama halnya dengan berbuka puasa bagi orang yang sakit dan karena penyebab lainnya yang membolehkannya berbuka puasa."
Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang sehat, aman dan tidak berlebihan, dari yang Kami berikan kepada kamu melalui usaha yang kamu lakukan dengan cara yang halal. Dan bersyukurlah kepada Allah dengan mengakui bahwa semua rezeki berasal dari Allah dan kamu harus memanfaatkannya sesuai ketentuan Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu beberapa hal. Pertama, bangkai, yaitu binatang yang mati tidak dengan disembelih secara sah menurut ketentuan agama; kedua, darah yang aslinya mengalir, bukan limpa dan hati yang aslinya memang beku; ketiga, daging babi dan bagian tubuh babi lainnya seperti tulang, lemak, dan lainnya serta produk turunannya; dan, keempat, daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, yaitu hewan persembahan untuk patung dan roh halus yang dianggap oleh orang musyrik dapat memberikan perlindungan dan keselamatan. Tetapi barang siapa terpaksa memakannya karena kalau tidak memakannya diduga menyebabkan kematian akibat kelaparan, bukan karena menginginkannya tetapi memang tidak ada makanan lain, dan tidak pula melampaui batas karena yang dimakan hanya sekadar untuk bertahan hidup, maka tidak ada dosa baginya memakan makanan yang diharamkan itu. Sungguh, Allah Maha Pengampun terhadap dosa yang dilakukan oleh hamba-Nya, apalagi dosa yang tidak disengaja. Allah Maha Penyayang kepada seluruh hamba-Nya, sehingga dalam keadaan darurat Dia membolehkan memakan makanan yang diharamkan agar hamba-Nya tidak mati kelaparan.
Di dalam ayat ini ditegaskan agar seorang mukmin makan makanan yang baik yang diberikan Allah, dan rezeki yang diberikan-Nya itu haruslah disyukuri. Dalam ayat 168 perintah makan makanan yang baik-baik ditujukan kepada manusia umumnya. Karenanya, perintah itu diiringi dengan larangan mengikuti ajaran setan. Sedangkan dalam ayat ini perintah ditujukan kepada orang mukmin saja agar mereka makan rezeki Allah yang baik-baik. Sebab itu, perintah ini diiringi dengan perintah mensyukurinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SOAL MAKANAN
Ayat 172
“Wahai, orang-orang yang beriman! Makanlah daripada yang baik-baik apa yang telah Kami karuniakan kepada kamu"
Makanan yang baik-baik itu senantiasa disediakan oleh Allah asal kamu suka mengusahakannya. Buah-buahan lengkap tumbuh, binatang-binatang ternak pun demikian pula. Asal kamu berusaha mencari dan memilih mana yang baik-baik itu, pastilah kamu tidak akan kekurangan makanan."Dan bersyukurlah kepada Allah," karena segala sesuatunya telah lengkap Dia sediakan buat kamu. Menurut penyelidikan ahli-ahli gizi, berbagai makanan itu mengandung beberapa macam vitamin zat putih telur, zat besi, zat asam, kalori dan hormon, dan sebagainya, yang semuanya itu akan memperkuat tubuh manusia. Sebab itu, bersyukurlah kepada Allah, kepada Allah bertambah mendalam.
“Jika memang hanya kepada-Nya kamu menyembah."
Memang sudahlah patut kita mengerti bahwa tidak ada selain Allah yang telah menyediakan makanan yang baik itu buat kita. Terasalah dalam ayat ini bahwasanya kita boleh makan asalkan yang baik. Kita pun makan dengan bersyukur kepada Allah karena Allah yang memberi kita makan. Sebab itu, memang hanya kepada-Nya kita menyembah. Makannya orang yang beriman bukanlah semata-mata soal perut berisi, tetapi makan buat menguatkan badan, yang dengan badan kuat dan sehat itu, pikiran pun terbuka dan syukur
“Segala pujian untuk Allah yang telah memberikan makan dan minum dan menjadikan daku salah seorang yang berserah diri kepada-Nya."
Tentu ada juga yang dilarang, yaitu makanan yang tidak termasuk baik. Ini karena makanan yang tidak baik akan merusakkan kesehatan dan merusakkan juga bagi budi. Orang yang beriman tentu makanannya teratur. Sebab, itu pula, ayat selanjutnya diterang-kanlah makanan yang tidak baik itu.
Kemudian, daripada itu, datanglah ayat yang selanjutnya menerangkan apa-apa makanan yang haram, yang tidak ada lagi selisih padanya,
Ayat 173
“,Sesungguhnya, tidak ada yang Dia haramkan atas kamu selain bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih, untuk yang selain Allah."
Bangkai ialah sekalian binatang bernyawa yang mati karena tidak disembelih. Entah mati karena terjatuh, entah mati karena terjepit, entah mati karena berlaga, atau mati karena sakit. Darah ialah sekalian macam darah walaupun darah binatang yang mati karena disembelih. Daging babi, sudahlah sama kita maklumi, yaitu seluruh yang dapat dimakan dari tubuh babi, baik dagingnya maupun lemaknya, ataupun tulangnya yang dicencang bersama dagingnya, baikpun babi liar (celeng) maupun daging babi yang jinak dipelihara. Menurut keterangan ahli tafsir al-Qurthubi, adalah ijma (sepaham) di antara ulama bahwa seluruh babi haram kecuali bulunya sebab bulu itu tidaklah dimakan orang.
Akal murni pun dapatlah menerima bahwa bangkai memang keji dan jijik. Sekarang, datang agama memberitahukan bahwa dia tidak baik dimakan. Tentang bangkai binatang, memang ahli-ahli kesehatan sangat menyuruh kita hati-hati tentangnya sebab penyakit yang membawanya mati mungkin menular. Meminum darah atau memakan darah yang telah dibekukan, digulai atau digoreng adalah kebiasaan orang yang belum maju dalam cara makan; masih seperti manusia yang hidup di gua batu pada zaman purba. Daging babi pun patutlah juga diharamkan bila mengingat bahwa di antara segala binatang, babilah yang paling kotor dan najis sehingga bekas dari makanan kotor itulah yang mempergemuk badannya dan tidaklah patut jika badan kita sendiri dipergemuk pula dengan itu. Di dalam badan babi itulah bisa berjangkit cacing pita yang terkenal. Menurut keterangan ahli, daging babi pun menyebabkan meningkatnya syahwat, yang akan menyusahkan pengendalian diri. Adapun larangan terhadap binatang-binatang yang disembelih untuk berhala atau atas nama berhala, atau untuk pujaan bagi berhala, dilarang, adalah semata-mata menjaga kemurnian tauhid. Sebab itu, sifatnya semata-mata keagamaan.
“Namun, barangsiapa yang terpaksa bukan melanggar dan bukan melampaui batas maka tidak ada dosa atasnya." Terpaksa karena tidak ada lagi makanan yang lain sehingga kalau tidak dimakan akan membawa ke-matian, pada waktu itu diadakanlah rukhshah yaitu keizinan memakan yang terlarang itu, yaitu semata-mata karena mempertahankan nyawa. Malahan kalau tidak dimakan sehingga membawa kematian karena lapar, dihukumlah oleh agama sebagai orang yang menyia-nyia-kan nyawa. Dan, lagi tidak melampaui batas. Artinya, kalau sudah hilang lapar, segeralah hentikan dan jangan dimakan lagi."Sesungguhnya, Allah adalah Maha Pengampun" atas orang yang terpaksa karena itu lalu memakannya, dan
“Maha Penyayang
Karena sayang kepada hamba-Nya, Allah tidak suka hamba-Nya itu mati kelaparan, padahal jalan buat mempertahankan hidup masih ada.
Di sini kita mendapat pedoman bahwasanya sekeras-keras hukum, tetapi pengecualian mesti ada. Tidak suatu diri diberati memikul beban yang tidak kuat jiwanya memikulnya. Dan, menjadi haram pulalah hukumnya menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan. Bahkan wajiblah mempertahankan hidup dengan segenap usaha. Itulah sebabnya, diadakan ‘azimah yaitu kekuatan wibawa hukum, tetapi di samping itu diadakan pula rukhshah, pengecualian atau dispensasi.
Adapun bagaimana batas-batas di antara ‘azimah dan rukhshah, apabila masanya diperbolehkan rukhshah, meskipun banyak juga menjadi pembicaraan di kalangan ulama fiqih, oleh karena sejak beberapa ayat yang sebelumnya kita sudah dididik mempergunakan akal dan memperhalus perasaan dengan mengingat bahwa Allah Pengampun dan Penyayang, terserahlah kepada diri kita, iman di mana batas-batasnya itu. Sebab, yang dipanggil di sini nyatalah orang yang beriman! Niscaya orang yang beriman itu halus perasaannya dan dapat merasakan mana yang diridhai Allah dan mana yang dicela-Nya.