Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
قِيلَ
dikatakan
لَهُمُ
kepada mereka
ٱتَّبِعُواْ
ikutilah
مَآ
apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُ
Allah
قَالُواْ
mereka berkata
بَلۡ
tidak/bahkan
نَتَّبِعُ
kami mengikuti
مَآ
apa
أَلۡفَيۡنَا
kami dapati
عَلَيۡهِ
atasnya
ءَابَآءَنَآۚ
bapak-bapak kami
أَوَلَوۡ
apakah walaupun
كَانَ
adalah
ءَابَآؤُهُمۡ
bapak-bapak mereka
لَا
tidak
يَعۡقِلُونَ
berakal/mengerti
شَيۡـٔٗا
sesuatu/sedikitpun
وَلَا
dan tidak
يَهۡتَدُونَ
mereka mendapat petunjuk
وَإِذَا
dan apabila
قِيلَ
dikatakan
لَهُمُ
kepada mereka
ٱتَّبِعُواْ
ikutilah
مَآ
apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُ
Allah
قَالُواْ
mereka berkata
بَلۡ
tidak/bahkan
نَتَّبِعُ
kami mengikuti
مَآ
apa
أَلۡفَيۡنَا
kami dapati
عَلَيۡهِ
atasnya
ءَابَآءَنَآۚ
bapak-bapak kami
أَوَلَوۡ
apakah walaupun
كَانَ
adalah
ءَابَآؤُهُمۡ
bapak-bapak mereka
لَا
tidak
يَعۡقِلُونَ
berakal/mengerti
شَيۡـٔٗا
sesuatu/sedikitpun
وَلَا
dan tidak
يَهۡتَدُونَ
mereka mendapat petunjuk
Terjemahan
Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “Tidak. Kami tetap mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?
Tafsir
(Dan apabila dikatakan kepada mereka) kepada orang-orang kafir, ("Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,") berupa tauhid dan menghalalkan yang baik-baik, (mereka menjawab,) "Tidak!' (Tetapi kami hanya akan mengikuti apa yang kami jumpai) atau dapati (dari nenek moyang kami.") berupa pemujaan berhala, diharamkannya bahair/unta yang dipotong telinganya dan sawaib/unta yang tidak boleh dimanfaatkan, dibiarkan lepas bebas hingga mati dengan sendirinya. (Apakah) mereka akan mengikuti juga (walaupun mereka itu tidak mengetahui sesuatu) mengenai urusan keagamaan (dan tidak pula beroleh petunjuk) untuk mencapai kebenaran. Hamzah atau 'apakah' di atas untuk pengingkaran.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 170-171
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?
Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
Ayat 170
Allah ﷻ berfirman, "Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir yang musyrik itu, 'Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dan tinggalkanlah kesesatan dan kebodohan yang kalian lakukan itu!' Mereka menjawab pernyataan tersebut, 'Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami'," yakni menyembah berhala dan tandingan-tandingan Allah. Maka Allah membantah mereka melalui firman-Nya: “(Apakah mereka mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170) Artinya, apakah mereka tetap akan mengikuti jejak nenek moyang-nya, sekalipun nenek moyang mereka tidak mengerti apa pun dan tidak pula mendapat hidayah?
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang Yahudi yang diajak oleh Rasulullah ﷺ untuk memeluk Islam, lalu mereka menjawab bahwa mereka hanya mau mengikuti apa yang mereka dapati nenek moyang mereka melakukannya.
Lalu Allah ﷻ menurunkan ayat ini. Allah membuat suatu perumpamaan tentang mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk.” (An-Nahl: 60)
Ayat 171
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 171), hingga akhir ayat. Yakni menyeru mereka yang tenggelam di dalam kesesatan, kezaliman, dan kebodohannya sama dengan menyeru hewan gembalaan yang tidak memahami apa yang diserukan kepada mereka. Bahkan apabila diserukan kepada mereka suatu seruan oleh penggembalanya untuk membimbingnya, maka mereka tidak memahami apa yang dikatakannya selain hanya suaranya saja yang didengar, tanpa memahami maksudnya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, ‘Atha’, Al-Khur-rasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuatkan terhadap mereka sehubungan seruan mereka kepada berhala-berhala sesembahan mereka yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak memahami apa pun. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Tetapi pendapat pertama adalah pendapat yang lebih utama, mengingat berhala-berhala itu memang tidak mendengar apa pun, tidak memahami dan tidak melihatnya, tidak bergerak dan tidak hidup.
Firman Allah ﷻ: “Mereka tuli, bisu, dan buta.” (Al-Baqarah: 171) Yakni tuli, tidak dapat mendengar perkara yang baik, bisu tidak mau mengutarakannya, dan buta tidak dapat melihat jalan yang hak. “Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (Al-Baqarah: 171) Yakni mereka sama sekali tidak bisa memahami apa pun dan tidak bisa mengerti.
Perihal mereka sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu, dan berada dalam gelap gulita. Barang siapa yang dikehendaki Allah sesat, niscaya disesatkan-Nya. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah untuk diberi-Nya petunjuk, niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (Al-An'am: 39)
Dan apabila dikatakan kepada mereka, yaitu orang-orang musyrik, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah kepada para nabi yaitu tuntunan mengenai kebenaran, mereka menolak nasihat tersebut dan mereka menjawab, Tidak! Kami tidak mau mengikuti nasihat itu, karena cukup bagi kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami. Mereka mengatakan hal ini karena ingin melestarikan tradisi yang dilakukan nenek moyang mereka, antara lain menyembah berhala, meminum minuman keras, dan perilaku tidak terpuji lainnya. Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun tentang tradisi yang dijalankan selain juga mengikuti nenek moyang sebelumnya, dan mereka tidak mendapat petunjuk dasar-dasar kebenaran tradisi tersebutDan perumpamaan bagi penyeru yang mengajak orang yang kafir agar mereka mengikuti kebenaran, yaitu beriman kepada Allah dan hari Akhir, adalah seperti penggembala yang meneriaki binatang gembalaannya yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan. Mereka mendengar panggilan dan ajakan, tetapi mereka tidak memahami maksud dan manfaatnya, sehingga mereka memilih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka. Hal itu karena telinga mereka tuli tidak berfungsi untuk mendengarkan nasihat dan bimbingan, mulut mereka bisu tidak bisa difungsikan untuk bertanya dan berbicara kebenaran, dan mata mereka buta tidak dapat melihat tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah yang tersebar di alam nyata, maka mereka tidak mengerti dan tidak menyadari kalau sudah melakukan kesalahan yang besar, yaitu mengikuti tradisi nenek moyang yang keliru padahal telah datang ajaran kebenaran yang dibawa oleh para rasul Allah.
Sungguh aneh kemauan dan jalan pikiran pengikut setan. Apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah peraturan yang diturunkan Allah," mereka menjawab, "Kami tidak akan mengikutinya; kami hanya akan mengikuti peraturan yang kami pusakai dari nenek moyang kami." Padahal sudah jelas bahwa peraturan-peraturan itu hanya dibuat menurut hawa nafsu belaka.
Apakah mereka tidak dapat memikirkan dan meneliti sehingga dapat mengetahui bahwa peraturan-peraturan itu tidak ada faedah dan manfaatnya?" Apakah mereka akan mematuhi juga peraturan-peraturan itu walaupun nenek moyang mereka yang membuat peraturan-peraturan itu adalah bodoh, tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak pula dapat petunjuk dari Allah? Dalam ayat ini dapat diambil suatu kesimpulan yaitu bahwa seorang Muslim tidak boleh bertaklid buta kepada siapa pun karena bertaklid buta itu adalah sifat para pengikut setan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KARENA CARI MAKAN
Setelah menerangkan bahaya ikut-ikutan, datanglah seruan Allah kepada seluruh manusia agar mengatur makanan,
Ayat 168
“Wahai, manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi ini barang yang halal lagi baik dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian."
Penting sekali peringatan ini dan ada hubungannya dengan ayat yang sebelumnya. Kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit, adalah hubungannya dengan perut asal berisi. Berapa perbuatan yang curang terjadi di atas dunia ini oleh karena mempertahankan syahwat perut. Maka, apabila manusia telah mengatur makan minumnya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman modern ini dinamai korupsi, jiwa akan terpelihara dari kekasarannya. Dalam ayat ini tersebut yang halal lagi baik. Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram; yang haram telah pula disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu yang tidak disembelih, daging babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala. Kalau tidak ada pantang yang demikian, halal dia dimakan. Akan tetapi, hendaklah pula yang baik meskipun halal.
Ayat 169
“Hanyalah setan memerintahkan kalian dengan keburukan dan kekejian serta supaya kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui."
Sampai ke sanalah setan akan membawa larat. Asalnya ialah karena tidak menjaga diri dalam hal makan, dalam hal syahwat perut. Akhirnya berlarut-larut menjadi kafir. Ketika telah gagal, karena tentu satu waktu akan gagal, keluarlah perkataan terhadap Allah dengan tidak berketentuan sehingga ada yang mengatakan Allah tidak adil. Kalau orang telah kaya raya karena harta tidak halal lalu ada orang yang memberikan nasihat, tetapi karena petunjuk setan, dia akan berkata pula tentang Allah, ‘Apa Allah?! Apa agama?! Mana dia Tuhan itu belum pernah aku melihatnya. Aku tidak percaya bahwa Dia ada."
Setan masuk ke segala pintu menurut tingkat orang yang dimasuki. Kebanyakannya karena mencari makanan pengisi perut Paling akhir setan berusaha supaya orang mengatakan terhadap Allah apa yang tidak mereka ketahui. Kalau orang yang dia sesatkan sampai tidak mengakui lagi adanya Allah karena telah mabuk dengan maksiat, setan pun dapat menyelundup ke dalam suasana keagamaan sehingga lama-kelamaan orang berani menam-bah agama, mengatakan peraturan Allah, padahal bukan dari Allah, mengatakan agama, padahal bukan agama. Lama-lama orang pun telah merasa itulah dia agama. Asalnya soal makanan juga.
Satu misal, baru saja seorang mati, orang di dalam rumah keluarganya telah repot. Bukan repot hendak segera menguburkan si mati, tetapi berbelanja ke pasar, membeli sayur m ayu r, membeli lada garam, mencari kambing yang agak besar, bahkan kadang-kadang lembu atau kerbau untuk makan besar. Kata guru yang ada di kampung itu, wajiblah si mati itu sebelum diangkat ke kubur didoakan terlebih dahulu agar selamat dia berpulang ke akhirat. Untuk berdoa, mereka itu makan besar! Kadang-kadang makan besar sebelum berangkat atau makan besar pulang dari kubur.
Apakah ini dari agama?
Terang-terang hadits menerangkan bahwa perbuatan ini adalah haram, sama dengan meratap. Sebaliknya, kalau di kampung itu juga ada orang kematian tidak mengadakan jamuan makan besar itu, dituduhlah dia me-nyalahi peraturan agama. Dikatakan bahwa orang yang telah mati itu tidak diselamatkan, sebagaimana mati anjing saja.
Setelah itu, tidaklah putus makan-makan itu di hari ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, hari memarit (menembok) kubur, hari keempat puluh setelah matinya, hari keseratus, dan penutup hari yang keseribu.
Ketika jenazah masih terbujur tadi juga, seketika orang di dekat jenazah memperkata-kan beberapa tahun si mati meninggalkan shalat. Shalat yang dia tinggalkan selama hidup itu bisa dibayar fidyahnya kepada “pengurus-pengurus agama" yang hadir ketika itu. Kadang-kadang terjadi tawar-menawar.
Sejak kapan mereka menerima perwakilan Allah buat menerima beras yang dinamai fidyah itu? Padahal tidaklah masuk akal bahwa shalat sebagai tiang agama dapat dibayar dengan beras, dengan tawar-menawar. Bukan saja tidak masuk akal, tetapi tidak ada sama sekali dalam syara'. Demikian pintarnya setan sehingga kalau ada orang yang berani menegur, mereka yang menegur itulah yang akan dituduh kaum muda yang mengubah-ubah agama dan membongkar-bongkar masalah khilafiyah.
Belum cukup hingga itu saja. Ketika jenazah itu telah diantarkan bersama-sama ke kubur, orang membaca salawat atau bacaan-bacaan yang lain dengan suara keras mengiringi jenazah itu, di hadapan terbanglah payung, di samping itu ada pula pedupaan yang asap kemenyan menjulang ke langit, padahal semuanya itu bukan agama. Meski demikian, siapa yang menegur akan disalahkan mengubah-ubah agama.
Belum cukup hingga itu saja, sesampai di kubur terjadilah apa yang dinamai talqin mayat. Tentang talqin itu sendiri memang ada khilafiyahnya, tetapi di beberapa tempat telah membawa bahaya besar jika hal itu dibuka-buka sebab ada orang yang mengharapkan makan dan pakaian dari talqin itu. Di dekat kuburan setelah kubur itu ditimbun, diben-tangkanlah kasur kecil, beralaskan tikar indah. Di situ duduk tukang membaca talqin dan membacakannya dengan suara yang merdu. Disediakan pula satu cerek yang mahal untuk penyiram kubur kelaknya dan disediakan pula sehelai kain sarung untuk dipakai tukang talqin ketika membacakannya. Sehabis upacara talqin itu, semua barang tadi adalah untuk si pembaca talqin. Atas rayuan setan, orang berkeras mengatakan bahwa itu adalah agama. Siapa yang tidak mengatakan dari agama, dia akan dituduh memecah persatuan!
Bukan itu saja. Bahkan pada kubur-kubur orang yang dianggap keramat, kubur ulama atau kuburan keturunan sayyid yang tertentu, diadakan haul sekali setahun; makan besar di sana sambil membaca berbagai bacaan. Rakyat yang awam dikerahkan menyediakan makanan, bergotong-royong menyediakan segala perbekalan. Kalau kita katakan ini bukanlah agama, ini adalah menambah-nambah dan mengatakan atas Allah barang yang tidak diketahui maka kitalah yang akan dituduh merusak agama.
Bukan itu saja, malahan ada orang yang digajikan buat membaca surah Yaasiin di satu kubur tiap-tiap pagi hari Jum'at. Kalau kita katakan bahwa ini bukan agama, akan mendapatlah kita tuduhan merusak agama.
Inilah beberapa contoh kita kemukakan bahwa penambahan terhadap agama, yang kadang-kadang dimasukkan oleh setan, kerap kali rapat hubungannya dengan soal makan!
Ayat 170
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutlah apa yang ditununkan Allah."
Yaitu supaya kamu tujukan hidupmu kepada satu tujuan saja, yaitu taat dan patuh kepada Allah, mengerjakan apa yang diperintahkan dan menghentikan apa yang dilarang. Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Janganlah kamu mencari tandingan-tandingan yang lain lagi bagi Allah. Janganlah kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang kamu tidak tahu.
Akan tetapi, apa jawaban mereka terhadap ajakan yang demikian? Karena perdayaan setan juga, “Mereka berkata, ‘Bahkan kami (hanya) mau mengikut apa yang telah terbiasa atasnya nenek moyang kami."‘ Benar ataupun salah adalah nenek moyang kami. Kami akan mempertahankan pusaka mereka, yang tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan, jawaban begini menunjukkan bahwa pikiran tidak berjalan beres lagi atau berkeras mempertahankan adat lama pusaka usang. Bukan akal lagi yang berkuasa, melainkan hawa nafsu. Maka, timbul pertanyaan Allah, untuk dibalikkan kepada mereka,
“Bagaimanakah kalau keadaan nenek moyang mereka itu tidak mengerti suatu apa dan tidak mendapat petunjuk?"
Lantaran nenek moyang tidak mengerti suatu apa, pusaka yang mereka tinggalkan pun tidak berarti suatu apa. Pikiran yang sehat dan akal yang masih tetap berjalan niscaya pasti akan meninjau kembali pusaka nenek moyang itu. Mana yang buruk atau ditolak oleh akal.
Ayat 171
“Dan perumpamaan orang-orang yang tidak mau percaya itu ialah seumpama orang yang mengimbau kepada barang yang tidak mendengar29."
Meskipun ada napas dalam diri mereka, meskipun mereka hidup, tetapi karena alat penerima tidak ada di dalam, segala seruan tidak mendapat sambutan, “kecuali panggilan dan seruan". Artinya, paraulah suara me-manggil, koyaklah mulut mengimbau, tidaklah akan mereka pedulikan sebab mereka telah “tuli, bisu, buta". Mereka menjadi tuli walaupun telinga mendengar, bisu walaupun mulut bisa bereakap, dan buta walaupun mata mereka bisa melihat. Mereka menjadi tuli, bisu, dan buta karena jiwa merekalah yang sebenarnya tuli, bisu, dan buta; kelam yang di dalam,
“Oleh sebab itu, tidaklah mereka berakal."
Dimisalkan di sini laksana orang yang mengimbau, ialah bila gembala menggembalakan binatang-binatang ternaknya. Kerja binatang-binatang itu hanya makan, memamah biak. Sedang memakan rumput mulutnya mengunyah; walaupun tidak sedang memakan rumput, mulutnya tetap mengunyah juga. Walaupun dia dihalau ke mana saja, tidaklah dia peduli. Yang penting baginya ialah mengunyah. Mudharat atau manfaat tidak ada dalam perhitungan mereka sebab mereka telah terbiasa digembala orang. Walaupun sudah datang waktu buat meninggalkan tempat itu, mereka tidak akan beranjak kalau tidak dihalau. Maka, orang-orang yang menjadi Pak Turut atau yang disebut muqallid samalah dengan binatang di padang penggembalaan itu. Tidak ada kegiatan dari diri mereka sendiri. Tidak ada yang diharapkan dari pendengaran atau suara atau penglihatan mereka. Matanya tidak bersinar selain dari sinar kebodohan, sinar yang kosong dari isi. Ingatlah lembu yang telah dihalau ke pembantaian akan dipotong. Walaupun telah bergelimpangan bangkai temannya karena disembelih, tetapi yang masih tinggal sepak-menyepak dan tanduk-menanduk juga sesama mereka. Ini karena tidak mereka ketahui bahwa yang mereka hadapi adalah penyembelih mereka juga. Mereka tidak sempat berpikir bahwa giliran akan tiba juga pada mereka.