Ayat
Terjemahan Per Kata
مَثَلُهُمۡ
perumpamaan mereka
كَمَثَلِ
seperti umpama
ٱلَّذِي
orang yang
ٱسۡتَوۡقَدَ
menyalakan
نَارٗا
api
فَلَمَّآ
maka setelah
أَضَآءَتۡ
menerangi
مَا
apa
حَوۡلَهُۥ
disekelilingnya
ذَهَبَ
menghilangkan
ٱللَّهُ
Allah
بِنُورِهِمۡ
dengan cahaya mereka
وَتَرَكَهُمۡ
dan membiarkan mereka
فِي
dalam
ظُلُمَٰتٖ
kegelapan
لَّا
tidak
يُبۡصِرُونَ
mereka melihat
مَثَلُهُمۡ
perumpamaan mereka
كَمَثَلِ
seperti umpama
ٱلَّذِي
orang yang
ٱسۡتَوۡقَدَ
menyalakan
نَارٗا
api
فَلَمَّآ
maka setelah
أَضَآءَتۡ
menerangi
مَا
apa
حَوۡلَهُۥ
disekelilingnya
ذَهَبَ
menghilangkan
ٱللَّهُ
Allah
بِنُورِهِمۡ
dengan cahaya mereka
وَتَرَكَهُمۡ
dan membiarkan mereka
فِي
dalam
ظُلُمَٰتٖ
kegelapan
لَّا
tidak
يُبۡصِرُونَ
mereka melihat
Terjemahan
Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api. Setelah (api itu) menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Tafsir
(Perumpamaan mereka) sifat mereka dalam kemunafikannya itu, (seperti orang yang menyalakan) atau menghidupkan (api) dalam kegelapan (dan setelah api itu menerangi) atau menyinari (apa yang di sekelilingnya) hingga ia dapat melihat, berdiang dan merasa aman dari apa yang ditakutinya (Allah pun menghilangkan cahaya yang menyinari mereka) yaitu dengan memadamkannya. Kata ganti orang dijadikan jamak 'him' merujuk kepada makna 'alladzii' (dan meninggalkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat) apa yang terdapat di sekeliling mereka, sehingga tidak tahu jalan dan mereka dalam keadaan kecemasan. Demikianlah halnya orang-orang munafik yang mengucapkan kata-kata beriman, bila mereka mati mereka akan ditimpa ketakutan dan azab.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 17-18
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka mereka tidak akan kembali (ke jalan yang benar).
Ayat 17
Dikatakan matsalun, mitslun, dan matsilun artinya perumpamaan bentuk jamaknya adalah amtsal, seperti makna yang terdapat di dalam firman lainnya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al-Ankabut: 43). Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa Allah ﷻ menyerupakan perbuatan mereka yang membeli kesesatan dengan keimanan dan nasib mereka yang menjadi buta seperti keadaan orang yang menyalakan api. Akan tetapi, setelah suasana di sekitarnya terang dan beroleh manfaat dari sinarnya, yaitu dapat melihat semua yang ada di kanan dan kirinya, telah menyesuaikan diri dengannya; di saat dalam keadaan demikian, tiba-tiba api tersebut padam. Maka ia berada dalam kegelapan yang pekat, tidak dapat melihat, dan tidak beroleh petunjuk. Selain itu keadaannya kini menjadi tuli tidak dapat mendengar, bisu tidak dapat berbicara lagi, buta seandainya keadaannya terang (lagi) karena tidak dapat melihat. Karena itu, dia tidak dapat kembali kepada keadaan sebelumnya.
Demikian pula keadaan orang-orang munafik itu yang mengganti jalan petunjuk dengan kesesatan dan lebih memilih kesesatan daripada hidayah. Di dalam perumpamaan ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa pada awalnya mereka beriman, kemudian kafir, sebagaimana diceritakan oleh Allah ﷻ dalam ayat lain. Pendapat yang telah kami kemukakan ini diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari As-Suddi. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, tasybih atau perumpamaan dalam ayat ini sangat benar, karena mereka pada mulanya memperoleh nur berkat keimanan mereka; kemudian pada akhirnya karena kemunafikan mereka, maka batallah hal tersebut dan terjerumuslah mereka ke dalam kebimbangan yang besar, mengingat tiada kebimbangan yang lebih besar daripada kebimbangan dalam agama.
Ibnu Jarir menduga bahwa orang-orang yang disebut dalam perumpamaan ini adalah mereka yang pernah tidak beriman di suatu waktu. Dia mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya: “Di antara manusia ada yang berkata, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman” (Al-Baqarah: 8). Akan tetapi, yang benar adalah ini merupakan berita mengenai keadaan mereka di saat munafik dan kafir. Pengertian ini tidak bertentangan dengan kenyataan bila mereka pernah beriman sebelum itu, tetapi iman dicabut dari mereka, dan hati mereka dikunci mati. Barangkali Ibnu Jarir tidak menyadari ada ayat lain yang membahas topik yang sama, yaitu firman-Nya: “Itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak bisa mengerti ” (Al-Munafiqun: 3). Karena itulah maka Ibnu Jarir menganalisis perumpamaan ini, bahwa mereka beroleh penerangan dari kalimat iman yang mereka tampakkan (yakni di dunia), kemudian hal selanjutnya yang menimpa mereka adalah kegelapan-kegelapan (yakni kelak di hari kiamat).
Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam perumpamaan dianggap sah menggambarkan suatu jamaah seperti satu orang, seperti makna yang terdapat di dalam firman-Nya: “Kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbolak-balik seperti orang pingsan karena akan mati” (Al-Ahzab: 19). Yakni seperti orang yang sedang dalam keadaan sekarat menghadapi kematiannya. Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman: “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja” (Luqman: 28). “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal” (Al-Jumu'ah: 5).
Sebagian ulama menakwilkannya, bahwa makna yang dimaksud adalah kisah mereka sama dengan kisah orang-orang yang menyalakan api. Sedangkan menurut ulama lain, orang yang menyalakan api itu adalah salah seorang dari mereka. Menurut yang lain lagi, lafal al-ladzi dalam ayat ini mengandung makna al-ladzina (orang banyak), seperti makna yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang telah tiba masanya bagi mereka mengalirkan darahnya (berkurban) di Falaj adalah kaum itu seluruhnya, wahai Ummu Khalid!”
Menurut kami, dalam ungkapan ini terjadi iltifat (pengalihan pembicaraan), yaitu di tengah-tengah perumpamaan dari bentuk tunggal kepada bentuk jamak. Seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: “Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka mereka tidak akan kembali (ke jalan yang benar)” (Al-Baqarah: 17-18). Ungkapan seperti ini lebih fasih dan lebih mengena susunannya. Dzahaballahu binurihim, Allah hilangkan dari mereka manfaat api yang sedang mereka perlukan untuk penerangan; dan membiarkan hal yang membahayakan diri mereka, yaitu bara dan asapnya.
Watarakahum fi dzhulumatin, dan Allah membiarkan mereka berada dalam kegelapan (yakni keraguan, kekufuran, dan kemunafikan mereka). La yubshirun, mereka tidak dapat melihat, yakni tidak mendapat petunjuk untuk menempuh jalan kebaikan dan tidak pula mengetahuinya. Selain itu mereka shummun, yakni tuli tidak dapat mendengar kebaikan; bukmun, bisu tidak dapat mengucapkan hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka; 'umyun, buta dalam kesesatan dan buta mata hatinya, seperti makna yang terkandung di dalam firman lain: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada” (Al-Hajj: 46). Karena itu, mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah yang telah mereka tukar dengan kesesatan.
Komentar para ahli tafsir ulama salaf As-Suddi di dalam kitab Tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya: “Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya” (Al-Baqarah: 17). As-Suddi menduga ada sejumlah orang yang telah masuk Islam di saat Nabi ﷺ tiba di Madinah, kemudian mereka munafik. Perumpamaan mengenai diri mereka sama dengan seorang lelaki yang pada mulanya berada dalam kegelapan, lalu dia menyalakan api. Ketika api menerangi sekelilingnya yang dipenuhi kotoran dan onak duri, maka dia dapat melihat hingga dapat menghindar. Akan tetapi, ketika ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba apinya padam, hingga dia menghadapi situasi yang tidak diketahui, mana yang harus dia hindari dari bahaya yang ada di depannya. Demikianlah keadaan orang munafik, pada awalnya dia berada dalam kegelapan kemusyrikan, lalu masuk Islam hingga mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, juga mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika ia berada dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia kafir, akhirnya dia tidak lagi mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tidak pula mana yang baik dan mana yang buruk'.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini. Cahaya merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang dahulu sering mereka bicarakan, sedangkan kegelapan merupakan perumpamaan bagi kesesatan dan kekufuran mereka yang dahulu mereka perbincangkan.
Mereka adalah suatu kaum yang pada mulanya berada dalam jalan petunjuk, kemudian hidayah dicabut dari mereka; sesudah itu akhirnya mereka membangkang, tidak mau beriman lagi. Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Falamma adha-at ma haulahu" bahwa sinar api menunjukkan makna keadaan mereka di saat menghadap kepada orang-orang mukmin dan jalan hidayah. ‘Atha’ Al-Khurrasani sehubungan dengan firman-Nya, "Matsaluhum kamatsalil ladzis tauqada naran," mengatakan bahwa hal ini merupakan perumpamaan orang munafik yang kadangkala dia dapat melihat dan mengenal, tetapi setelah itu ia terkena buta hati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan dia telah meriwayatkan dari Ikrimah, Al-Hasan, As-Suddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas hal yang mirip dengan apa yang dikatakan oleh ‘Atha’ Al-Khurasani. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan firman-Nya, "Matsaluhum kamatsalil ladzis tauqada naran," mengatakan bahwa hal tersebut merupakan gambaran tentang sifat orang-orang munafik yang kadangkala dapat melihat dan mengenal, tetapi setelah itu ia terkena buta hati. Dia mengatakan pula sehubungan dengan firman-Nya, "Matsaluhum kamatsalil ladzis tauqada naran," hingga akhir ayat, bahwa hal tersebut merupakan tentang sifat orang-orang munafik. Pada mulanya mereka beriman hingga iman menyinari kalbu mereka, sebagaimana api menyinari mereka yang menyalakannya. Kemudian mereka kafir, maka Allah menghilangkan cahaya apinya dan mencabut imannya sebagaimana Dia menghilangkan cahaya api tersebut, hingga mereka tertinggal dalam keadaan gelap gulita tanpa dapat melihat.
Pendapat Ibnu Jarir serupa dengan riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api” (Al-Baqarah: 17). Disebutkan bahwa hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan orang-orang munafik. Yaitu pada mulanya mereka merasa bangga dengan Islam, maka kaum muslim mau mengadakan pernikahan dengan mereka, saling mewaris dan saling membagi harta fai. Tetapi di kala mereka mati, Allah mencabut kebanggaan itu dari mereka sebagaimana cahaya api yang dihilangkan dari orang yang memerlukannya. Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Matsaluhum kamatsalil ladzis tauqada naran" bahwa sesungguhnya cahaya api itu adalah cahaya api yang dinyalakannya. Tetapi bila api itu padam, maka lenyaplah cahayanya.
Demikian pula keadaan orang munafik, manakala dia mengucapkan kalimat Ikhlas yaitu la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) ia berada dalam cahaya yang terang; tetapi jika ia ragu, maka terjerumuslah ia ke dalam kegelapan. Adh-Dhahhak mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Dzaha-ballahu binurihim." Cahaya api mereka merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang selalu mereka bicarakan. Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya” (Al-Baqarah: 17). Yang dimaksud dengan api adalah perumpamaan kalimat la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Api itu menerangi mereka hingga mereka dapat makan dan minum, dianggap beriman di dunia, melakukan pernikahan, serta darah mereka terpelihara. Tetapi di kala mereka mati, Allah menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka berada dalam keadaan yang sangat gelap, tidak dapat melihat.
Sa'id meriyawatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa orang munafik yang mengucapkan kalimat la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) memperoleh cahaya dalam kehidupan di dunia. Karena itu, mereka dapat menikah dengan kaum muslim melalui kalimat tersebut dan berperang bersama kaum muslim, dapat waris-mewaris dengan mereka, dan darah serta hartanya terlindungi. Tetapi di saat dia mati, kalimat tersebut dicabut karena di dalam hatinya tidak ada pangkalnya; pada amal perbuatannya pun tidak ada hakikat kenyataan. Maka pada ayat selanjutnya disebutkan: “dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat” (Al-Baqarah: 17).
Ali ibnu Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Watarakahum fi dzhulumatil la yubshirun" yakni Allah meninggalkan mereka dalam kegelapan (maksudnya dalam azab) bila mereka mati. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Watarakahum fi dzhulumatin," yakni mereka dapat melihat kebenaran dengan mata hatinya, dan mengatakannya hingga mereka dapat keluar dari kegelapan kekufuran. Akan tetapi, sesudah itu mereka memadamkannya melalui kekufuran dan kemunafikan mereka, akhirnya Allah membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, hingga tidak dapat melihat hidayah dan tidak dapat berjalan lurus dalam kebenaran.
As-Suddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan berikut sanadnya mengenai firman-Nya, "Watarakahum fi dzhulumatin," bahwa kegelapan tersebut merupakan perumpamaan bagi kemunafikan mereka. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa watarakahum fi dzhulumatin la yubshirun artinya hal tersebut terjadi ketika orang munafik mati. Maka amal perbuatan jahatnya merupakan kegelapan baginya, hingga dia tidak dapat menemukan suatu amal baik pun yang sesuai dengan kalimat la ilaha illallah.
Ayat 18
Shummun bukmun 'umyun, As-Suddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka bisu, buta serta tuli. Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna shummun bukmun 'umyun, bahwa mereka tidak dapat mendengar petunjuk, tidak dapat melihatnya, dan tidak dapat pula memahaminya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Abul Aliyah dan Qatadah ibnu Di'amah.
Fahum la yarji'una, menurut Ibnu Abbas mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. As-Suddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya, "Shummun bukmun 'umyun fahum la yarji'una," yakni mereka tidak dapat kembali kepada Islam. Sedangkan menurut Qatadah, mereka tidak dapat kembali itu maksudnya tidak dapat bertobat dan tidak pula mereka ingat.
Perumpamaan keadaan mereka orang-orang munafik yang sungguh mengherankan itu seperti keadaan yang aneh dari orang-orang yang menyalakan api. Setelah api itu menerangi apa-apa yang ada di sekelilingnya dan memberikan kehangatan, rasa nyaman, dan manfaat lainnya bagi mereka, tiba-tiba Allah melenyapkan cahaya yang menyinari mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan yang kelam, tidak dapat melihat suatu apa pun. Allah telah memberikan kepada mereka petunjuk kebenaran, tetapi mereka tidak berpegang teguh pada petunjuk tersebut, sehingga mata mereka menjadi tertutup, dan mereka pantas berada dalam kebimbangan dan kesesatan. Mereka seperti orang tuli, sebab mereka telah kehilangan fungsi pendengaran dengan tidak mengikuti kebenaran yang didengar. Mereka juga seperti orang bisu karena tidak mengucapkan kebenaran oleh sebab hati mereka tertutup, sehingga tidak tergerak melakukan itu. Dan mereka juga seperti orang buta, karena kehilangan fungsi penglihatan, baik melalui mata kepala (bashar) ataupun mata hati (bashirah), dengan tidak mengambil pelajaran dari hal-hal yang mereka lihat, sehingga pada akhirnya mereka tidak dapat kembali dari kesesatan itu kepada kebenaran yang telah mereka jual dan tinggalkan.
Ayat ini memberikan gambaran lain tentang orang-orang munafik seperti disebutkan pada ayat-ayat terdahulu dengan perumpamaan yang nyata. Orang-orang munafik yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang munafik dari ahli kitab (orang-orang Yahudi). Mereka itu telah beriman kepada kitab-kitab dan rasul-rasul yang telah lalu, maka seharusnya mereka beriman pula kepada Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw, karena kedatangan Nabi Muhammad itu telah disebutkan dalam kitab-kitab mereka. Akan tetapi disebabkan mereka dipengaruhi oleh kebesaran mereka di masa lampau, mereka tidak mau beriman. Tak ubahnya mereka itu seperti orang yang menyalakan api untuk menyinari tempat sekitarnya, tiba-tiba api itu padam, sehingga mereka berada dalam gelap gulita.
Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir, maka hati mereka dikunci, sehingga mereka tidak dapat mengerti. (al-Munafiqun/63: 3)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 14-20
NIFAK (II)
Ayat 14
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, “Kami ini telah beriman,' dan apabila mereka telah bersendirian dengan setan-setan mereka, mereka katakan, Sesungguhnya, kami adalah (tetap) bersama kamu, kami ini hanyalah mengolok-olokkan mereka itu".
Inilah kelanjutan dari perangai munafik; bila berhadapan mulutnya manis, bila di belakang lain bicara. Apa sebab jadi begini? Tidak lain adalah karena kelemahan jiwa, yang menyebabkan takut menghadapi kenyataan. Kepada orang-orang yang telah beriman, mereka mengaku telah beriman, sedangkan bila bertemu dengan teman-teman mereka yang sama-sama jadi setan atau ketua-ketua yang telah berpikiran sebagai setan, mereka takut didakwa, mengapa telah berubah pendirian. Mengapa telah ikut-ikut pula seperjalanan dengan orang-orang yang telah sesat itu? Mudah saja mereka menjawab bahwa pendirian mereka tetap, tidak berubah. Mereka mencampuri orang-orang yang telah menjadi pengikut Muhammad itu hanya siasat saja, sebagai olok-olok. Namun, pendirian mereka yang asli adalah mempertahankan yang lama tidaklah mau mereka mengubahnya. Karena, kalau tidak pandai kita menyesuaikan diri, tentu akhirnya kita tidak dapat mengetahui rahasia lawan kita. Beginilah kira-kira susun kata jawaban mereka jika setan-setan mereka bertanya. Adapun di segala zaman, jawaban yang seperti ini, dari orang yang jiwanya telah pecah, hampir sama saja, hanya susunannya berbeda sedikit-sedikit.
Mereka merasa telah menang sebab dapat memperolok-olokkan orang yang beriman. Padahal bagaimana yang sebenarnya? Merekalah jadinya yang diperolok-olok-kan Allah dan kesesatan itu diperpanjang sehingga mereka tidak sadar sama sekali. Mereka menjadi tidak tentu rebah-tegak, hilir mudik tidak menentu, resah gelisah, serba salah, sebab hanya mengambil muka ke sana, menarik hati kemari.
Ayat 15
“Allah-lah yang akan memperolok-olokkan mereka dan akan memperpanjang mereka di dalam kesesatan, Mereka resah gelisah."
Sekarang, mereka mengaku pula bahwa orang-orang yang beriman itu mereka perolok-olokkan, padahal merekalah yang telah diperolok-olokkan oleh Allah, sedangkan mereka pun tidak sadar. Yang mereka perolok-olokkan itu siapa? Ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan mempunyai seorang pemimpin besar yang disokong oleh wahyu. Sandaran mereka yang diperolok-olokkan itu
Ayat 16
“Mereka itulah orang-orang yang telah memberi kesesatan dengan petunjuk."
Artinya, Nabi ﷺ telah datang membawakan hudan, petunjuk. Hati kecil mereka sebagai insan yang berakal mengakui bahwa petunjuk Allah yang dibawa Nabi itu adalah benar, tidak dapat dibantah. Akan tetapi, ka-rena rayuan hawa nafsu dan perdayaan setan-setan halus dan setan kasar, terjadilah perjuangan batin. Akan ikutilah pada petunjuk itu atau akan tetap dalam kesesatan? Rupanya menanglah hawa nafsu dan setan, kalahlah jiwa murni karena kelemahan diri. Lalu, diadakanlah pertukaran (barter); badan, petunjuk, diserahkannya kepada orang lain, sedangkan dhalalah, kesesatan, diambilnya buat dirinya."Sebab itu, tidaklah berlaba perniagaan mereka." Awak sudah payah, resah gelisah siang dan malam “berniaga" pendirian; disangka gelas berlaba, rupanya pokok tua yang termakan.
“Dan tidaklah mereka dapat pimpinan."
Bagaimana mereka akan dapat pimpinan? Padahal pimpinan itulah yang mereka tentang selama ini? Padahal Muhammad ﷺ itulah yang pimpinan. Selain itu, tidak ada pimpinan lagi. Dan, ketenaran hanya satu, di luar kebenaran adalah batil. Kalau mengelak dari pimpinan wahyu, akan mengambil juga pimpinan yang lain, yaitu pimpinan untuk terus sesat. Itulah pimpinan setan.
Ayat 17
“Perumpamaan mereka adalah laksana orang yang menyalakan api."
Mengapa api mereka nyalakan? Ialah karena mereka mengharap mendapat terang dari cahaya api itu, “Maka, tatkala api itu telah menerangi apa yang di sekelilingnya, dihilangkan Allah-lah cahaya mereka."
Api telah mereka nyalakan dan telah menggejolak naik dan yang di sekelilingnya telah diberinya cahaya, tetapi mata mereka sendiri tidak melihat lagi karena telah silau oleh cahaya api itu.
“Dan Dia biarkan mereka di dalam gelap gulita, tidak melihat."
Alangkah tepatnya perumpamaan Tuhan ini. Mereka diumpamakan dengan orang yang membuat unggun inginkan api, mengharap nyala dan cahayanya. Artinya, bahwa keinginan akan cahaya terang itu memang ada juga. Sebelum Nabi Muhammad ﷺ menyatakan risalahnya, dalam kalangan Yahudi ada pengharapan, menunggu kedatangan Nabi akhir zaman, yang mereka namai Messias. Mereka selalu membanggakan kepada orang Arab Madinah bahwa Taurat ada menyebutkan bahwa mereka akan kedatangan Nabi lagi. Sekarang, Nabi itu telah datang atau api telah nyala. Api yang telah lama mereka harapkan. Namun, setelah api nyala, yang di sekelilingnya mendapat terang. Arab Madinah yang dahulunya dihinakan oleh Yahudi, dikatakan orang-orang ummi, orang-orang yang tidak cerdas, telah menyambut nyala api itu dengan segala sukacita dan mereka telah mendapat cahaya-nya serta nyalanya. Orang-orang Yahudi kehilangan cahaya itu, walaupun api unggun ada di hadapan rumah mereka sendiri. Bertambah nyala api itu, mereka bertambah gelap gulita dan tidak melihat apa-apa.
Mengapa setelah unggun menyalakan api, mereka jadi gelap gulita dan mata mereka menjadi silau? Datang jawabnya pada ayat yang berikut.
Ayat 18
“Tuli, lagi bisu, lagi buta."
Meskipun telinga mendengar, mulut dan mata bisa melihat, tetapi kalau pancaindra yang lahir itu telah putus hubungannya dengan batin, samalah artinya dengan tuli, bisu, dan buta. Mengapa mereka menjadi tuli, bisu, dan buta? Batin mereka telah ditutup oleh suatu pendirian salah yang telah ditetapkan, inti sari agama Yahudi ajaran asli Nabi Musa telah hilang, dan yang tinggal hanya bingkai dan bangkai. Mereka bertahan pada huruf-huruf, tetapi mereka tidak peduli lagi pada isinya. Mereka menyangka mereka lebih di dalam segala hal, padahal karena menyangka lebih itulah mereka menjadi serba kurang.
“Maka, tidaklah Mereka (dapat) kembali lagi."
Sebab, langkah salah yang telah dimulai dari bermula telah membawa mereka masuk jurang. Apabila kendaraan telah menuju masuk jurang, tidak ada lagi kekuatan yang sanggup mengembalikannya ke tempat yang datar. Tujuannya sudah pasti ialah kehancuran.
Di ayat ini dimisalkan laksana orang yang menghidupkan api mengharapkan nyala dan cahayanya. Namun, ada lagi yang seperti mengharapkan hujan turun agar mendapat kesuburan.
Ayat 19
“Atau seperti hujan lebat dari langit, yang padanya ada gelap gulita, guruh dan kilat."
Hujan artinya kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang telah lama sekali menunggu hujan turun agar sawah ladang mereka memberikan hasil yang baik kembali. Namun, hujan lebat itu datangnya adalah dengan dahsyat. Pertama, langit jadi gelap oleh tebalnya awan dan mendung. Setelah awan itu sangat berat, lebih dahulu akan terdengarlah guruh dan petir, dan kilat pun sambung-menyambung; ngeri rasanya.
“Mereka sumbatkan jari-jari mereka ke dalam telinga mereka dari (mendengar) suara petir karena takut mati."
Mereka mengharapkan hujan turun, tetapi mereka takut oleh mendung gelapnya, takut suara guruhnya dan cahaya kilat, dan petirnya yang sambung-menyambung di udara. Padahal tiap-tiap hujan lebat sebagai penutup kemarau panjang, mestilah diiringi oleh gelap, guruh kilat, dan petir. Kebenaran Ilahi akan tegak di alam. Kebenaran itu adalah laksana hujan. Untuk mengelu-elukan datangnya, mestilah gelap dahulu. Yang menggelapkan itu bukan kutuk laknat, melainkan karena bumi itu dilindungi oleh air yang akan turun. Dan, guruh berbunyi mendayu dan menggarang; artinya, peringatan-peringatan yang keras sering dengan kedatangan hidayah Ilahi. Suara Rasul ﷺ akan keras laksana guruh membanteras adat lama pusaka usang, taklid dan berkeras mempertahankan pusaka nenek moyang. Kadang-kadang, memancar kilatan api kemurkaan dan ancaman. Siapa yang mengikut kebenaran, mari-kemari, iringkan daku menuju surga. Namun, siapa yang menentang, sengsaralah yang menunggunya dan neraka. Bila kehendak
Allah akan ditegakkan, semua orang wajib patuh. Pangkat dan kebesaran dunia, kekayaan yang berlimpah-limpah tidaklah akan menolong. Yang mulia di sisi Allah hanyalah orang yang takwa. Allah tidak menghitung berapa penghasilanmu sebulan, berapa orang gajian-mu, dan berapa bidang tanahmu. Allah hanya menghitung amalmu. Pendirian yang palsu tidak laku lagi; yang laku hanyalah ikhlas. Harta dunia dan anak yang selama ini menjadi kebanggaan bagimu, kalau dirimu tidak engkau sediakan untuk menjunjung tinggi kehendak Allah maka semuanya itu akan menjadi fitnah bagimu. Engkau akan kembali kepada Allah, engkau akan dibangkitkan kembali sesudah mati, dan akan diperhitungkan amalmu selama hidup. Di akhirat, harta kekayaan duniamu tidaklah akan menolong. Dan, tidak ada orang yang akan membelamu. Pembelaan hanyalah amalan sendiri.
Perkataan seperti ini adalah gelap bagi orang yang bertahan pada kemegahan dunia, walaupun bagi orang Mukmin membawa gembira sebab hujan pasti turun. Perkataan seperti ini bagi orang yang memang bertahan pada kebatilan memang Laksana guruh yang bunyinya menakutkan atau laksana kilat dan petir yang memancarkan api. Oleh karena takutnya mereka pada penghantar-penghantar hujan itu, tidaklah mereka gembira menunggu hujan, tetapi mereka tutup lubang telinga dengan jari supaya guruh dan petir itu jangan terdengar sebab semua mereka pandang ancaman maut bagi mereka. Mereka takut mati, mereka tidak mau bercerai dengan kehidupan lama yang mereka pegang teguh itu. Mereka tidak mau berpisah dengan benda yang mereka junjung sebagai menjunjung Tuhan.
“Tetapi Allah mengepung orang-orang yang kafir."
Allah mengepung mereka dari segala penjuru.
Ainal mafarri. Ke mana mereka akan lari?
Ayat 20
“Nyarislah kilat itu menyambar penglihatan Mereka"
Oleh karena mereka meraba-raba di dalam gelap, terutama kegelapan jiwa. Maka, kilat yang sambung-menyambung yang mereka takuti itu nyarislah membawa celaka mereka sendiri. Demikianlah, bagi orang Mukmin kilat itu tidak apa-apa. Mereka tahan melihat guruhnya dan melihat pancaran apinya yang hebat itu, tetapi si munafik menjadi kebingungan karena tidak tentu jalan yang akan ditempuh."Tiap-tiap kilat menerangi mereka, mereka pun berjalan padanya." Mereka angsur melangkah ke muka selangkah, tetapi takut tidak juga hilang, “Dan, apabila telah gelap atas mereka, mereka pun berhenti."
Perjalanan tidak diteruskan lagi, karena mereka hanya meraba-raba dan merumbu-rumbu. Sebab, pelita yang terang tidak ada di dalam dada mereka, yaitu pelita iman."Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka" Artinya, sia-sia penglihatan dan pendengaran yang masih ada pada mereka, mudah sajalah bagi Allah menghilangkannya sama sekali sehingga tamAllah riwayat hidup mereka di dalam kekufuran dan kesesatan, tersebab dari sikap jiwa yang pada mulanya ragu-ragu, lalu mengambil jalan yang salah, lalu kepadaman suluh,
“Sesungguhnya, Allah atas tiap-tiap sesuatu, adalah Mahakuasa."
(ujung ayat 20)