Ayat
Terjemahan Per Kata
أَلَآ
ingatlah
إِنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
هُمُ
mereka
ٱلۡمُفۡسِدُونَ
orang-orang yang membuat kerusakan
وَلَٰكِن
akan tetapi
لَّا
tidak
يَشۡعُرُونَ
mereka sadar
أَلَآ
ingatlah
إِنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
هُمُ
mereka
ٱلۡمُفۡسِدُونَ
orang-orang yang membuat kerusakan
وَلَٰكِن
akan tetapi
لَّا
tidak
يَشۡعُرُونَ
mereka sadar
Terjemahan
Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.
Tafsir
(Ingatlah!) Seruan untuk membangkitkan perhatian. (Sesungguhnya mereka itulah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar) akan kenyataan itu.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 11-12
Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi:" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tapi mereka tidak menyadarinya.
Ayat 11
As-Sadi di dalam kitab Tafsirnya meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah At-Tabib Al Hamdani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ sehubungan dengan firman-Nya: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi,' mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” (Al-Baqarah: 11). Bahwa mereka adalah orang-orang munafik.
Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan di muka bumi ialah melakukan kekufuran dan perbuatan maksiat. Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Waidza qila lahum la tufsidu fil ardh" artinya janganlah kalian berbuat maksiat di muka bumi. Kerusakan yang mereka timbulkan disebabkan perbuatan maksiat mereka terhadap Allah. Karena orang yang durhaka kepada Allah di muka bumi atau memerintahkan kepada kedurhakaan (kemaksiatan) berarti telah menimbulkan kerusakan di muka bumi, mengingat kebaikan bumi dan langit adalah karena perbuatan taat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid tentang makna firman-Nya, "Waidza qila lahum la tufsidufil ardhi." Menurutnya, apabila mereka mengerjakan maksiat, dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian melakukan maksiat ini dan maksiat itu." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami berada di jalan hidayah dan sebagai orang-orang yang mengadakan perbaikan." Waki', Isa ibnu Yunus, dan Assam ibnu Ali mengatakan dari Al-A'masy, dari Minhal ibnu Amr ibnu Abbad ibnu Abdullah Al-Asadi, dari Salman Al-Farisi, sehubungan dengan firman-Nya: “Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Al-Baqarah: 11). Menurut Salman Al-Farisi, orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini masih belum ada (di masanya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Usman ibnu Hakim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Syarik, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb dan lain-lain, dari Salman Al-Farisi sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka masih belum ada. Ibnu Jarir mengatakan, barangkali Salman bermaksud bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang disebut dalam ayat ini melakukan kerusakan yang jauh lebih besar daripada mereka yang memiliki sifat yang sama di zaman Nabi ﷺ. Makna yang dikemukakannya bukan berarti bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut masih belum ada.
Ibnu Jarir mengatakan pula, orang munafik adalah mereka yang melakukan kerusakan di muka bumi karena perbuatan maksiat mereka terhadap Tuhannya dan pelanggaran-pelanggaran yang mereka kerjakan terhadap hal-hal yang dilarang oleh Tuhan. Mereka pun menyia-nyiakan hal-hal yang difardukan-Nya, mereka ragu terhadap agama Allah yang tidak mau menerima amal seorang pun kecuali dengan beriman kepada-Nya dan meyakini hakikat-Nya.
Selain itu mereka berdusta terhadap kaum mukmin melalui pengakuan mereka yang menyatakan bahwa dirinya beriman, padahal di dalam batin mereka dipenuhi oleh keraguan dan kebimbangan. Mereka juga membantu orang-orang yang mendustakan Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kekasih-kekasih-Nya bila mereka menemukan jalan ke arah itu. Demikianlah kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang munafik di muka bumi, dan mereka menduga bahwa perbuatan mereka itu dinamakan perbaikan di muka bumi.
Makna inilah yang dimaksud oleh Al-Hasan, bahwa sesungguhnya termasuk menimbulkan kerusakan di muka bumi bila orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung mereka, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian lain. Jika kalian (wahai kaum muslim) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan besar” (Al-Anfal: 73). Maka Allah memutuskan (meniadakan) saling tolong antara kaum mukmin dan orang-orang kafir, sebagaimana ditegaskan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kalian ingin membuat alasan yang kuat bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?” (An-Nisa: 144). Kemudian dalam ayat berikutnya Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di bagian yang paling bawah dari neraka, dan kalian tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka” (An-Nisa: 145).
Ayat 12
Mengingat orang munafik dalam sikap lahiriahnya menunjukkan beriman, keadaan yang sebenarnya dapat mengelabui kaum mukmin. Kerusakan yang diakibatkan oleh orang munafik mudah terjadi, mengingat dia dengan mudah dapat membujuk kaum mukmin melalui hasutan yang dilancarkannya. Dengan sembunyi-sembunyi orang-orang munafik bersahabat dengan orang-orang kafir untuk memusuhi kaum mukmin. Padahal seandainya orang-orang munafik tersebut tetap pada pendirian kafirnya, niscaya kejahatan yang ditimbulkannya lebih ringan. Seandainya mereka ikhlas dalam amalnya karena Allah, niscaya mereka beruntung dan beroleh kebahagiaan.
Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi’ Mereka menjawab. ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’.” (Al-Baqarah: 11). Dengan kata lain mereka mengatakan, "Kami bermaksud menjadi juru penengah perdamaian antara kedua golongan, yakni kaum mukmin dan kaum kuffar." Pengertian ini dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Waidza qila lahum la tufsidu fil ardhi qalu innama nahnu muslihuna," yakni sesungguhnya kami bermaksud melakukan perdamaian di antara kedua golongan, yaitu golongan kaum mukmin dan ahli kitab. Akan tetapi, anggapan mereka itu dibantah oleh firman-Nya: “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya” (Al-Baqarah: 12). Dengan kata lain, dapat diartikan "hanya saja hal yang mereka duga sebagai perbaikan dan perdamaian itu justru merupakan kerusakan itu sendiri; tetapi karena kebodohan mereka, mereka tidak merasakan hal itu sebagai kerusakan."
Karena kelakuan mereka yang selalu menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran serta menganggap kerusakan mereka sebagai kebaikan, Allah mengingatkan orang-orang mukmin agar tidak tertipu dengan itu semua. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan. Diri mereka telah rusak karena keyakinan yang batil dan perbuatan yang jahat. Mereka pun telah merusak orang lain dengan menyebar fitnah dan memicu konflik di tengah masyarakat. Tetapi, karena hati yang telah tertutup dan rasa bangga diri yang berlebihan, mereka tidak menyadari kerusakan tersebut dan akibat buruk yang akan menimpa mereka oleh sebab kemunafikan. Dan apabila dikatakan dan dinasihatkan kepada mereka, Berimanlah kamu dengan tulus ikhlas sebagaimana orang lain yang menyambut suara dan seruan akal sehat telah beriman, seperti yang dilakukan para sahabat pengikut Nabi Muhammad, mereka menjawab dengan penuh kesombongan dan nada menghina, Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman' Tidak pantas bagi kami untuk mengikuti orang-orang bodoh itu, sebab dengan begitu berarti kami sama bodohnya dengan mereka. Allah membantah kecongkakan mereka dengan mengingatkan orangorang mukmin, Ingatlah, sesungguhnya hanya mereka itulah orang-orang yang kurang akal dan bodoh, tetapi mereka tidak tahu dan tidak sadar bahwa kebodohan dan sifat kurang akal itu ada dalam diri mereka, dan mereka juga tidak menyadari kesesatan mereka itu.
Pada ayat ini Allah membantah pernyataan orang munafik bahwa mereka mengadakan perbaikan, tetapi mereka betul-betul membuat kerusakan di bumi. Sebenarnya mereka adalah kaum perusak, tetapi mereka tidak menyadari kerusakan yang telah mereka lakukan karena setan membuat mereka memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 8-13
NIFAK (I)
Ayat 8
“Dan sebagian dari manusia ada yang berkata, Kami percaya kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal tidaklah mereka itu orang-orang yang beriman."
Sudah dibicarakan pada ayat yang lalu tentang orang yang kafir. Orang yang dengan tegas telah menyatakan bahwa dia tidak percaya. Betapa pun mereka diajak, diberi peringatan ancaman adzab kehancuran di dunia dan siksa neraka di akhirat, mereka tidak akan mau karena hati mereka sudah dicap. Dengan hanya dua ayat saja, hal itu sudah selesai. Namun, mulai ayat 8 ini sampai ayat 20 akan dibicarakan yang lebih sulit daripada kufur, yaitu orang yang berlain apa yang diucapkannya dengan mulutnya dengan pendirian hatinya yang sebenarnya. Sifat ini bernama nifak dan pelakunya bernama munafik. Mereka berkata dengan mulut bahwa mereka percaya; mereka percaya kepada Allah, percaya akan Hari Kemudian, tetapi yang sebenarnya adalah mereka itu orang-orang yang tidak percaya.
Inilah macam manusia yang ketiga; yang pertama tadi percaya hatinya, percaya mulutnya, dan percaya perbuatannya, tegasnya dibuktikan kepercayaan hatinya itu oleh perbuatannya. Itulah orang Mukmin.
Yang kedua, tidak mau percaya; hatinya tidak percaya, mulutnya menentang, dan perbuatannya melawan. Itulah orang yang disebut kafir.
Namun, yang ketiga ini menjadi golongan yang pecah di antara hati dan mulutnya.
Mulutnya mengakui percaya, tetapi hatinya tidak, dan pada perbuatannya lebih terbukti lagi bahwa pengakuan mulutnya tidak sesuai dengan apa yang tersimpan di hati.
Kalimat munafik atau nifak itu asal artinya ialah lubang tempat bersembunyi di bawah tanah. Lubang perlindungan dari bahaya udara disebut nafaq. Dari sinilah diambil arti dari orang yang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, sebagai suatu pengicuhan atau penipuan,
Ayat 9
“Hendak mereka coba memperdayakan Allah dan orang-orang yang beriman."
Dengan mulut yang manis, kecindan yang murah, berlagak sebagai orang yang jujur, pura-pura sebagai orang yang beriman, fasih lidah berkata-kata, dihias dengan firman Tuhan, sabda Rasul, supaya orang percaya bahwa dia bersungguh-sungguh.
“Padahal tidaklah yang mereka percayakan, kecuali diri mereka sendiri, dan tidaklah mereka rasakan."
Sikap pura-pura itu sudah nyata tidak dapat memperdayakan Allah; niscaya Allah tidak dapat dikicuh. Mungkin sesama manusia dapat tertipu sementara, tetapi akan berapa lamanya?
Ayat 10
“Di dalam hati mereka ada penyakit."
Pokok penyakit yang terutama di dalam hati mereka pada mulanya ialah karena pantang kelintasan, merasa diri lebih pintar. Akhirnya “maka menambahlah Allah akan penyakit mereka!' penyakit dengki, penyakit hati busuk, dan penyakit penyalah terima. Tiap orang bercakap terasa diri sendiri juga yang kena, karena walaupun telah mengambil muka kian kemari, tetapi dalam hati sendiri ada juga keinsafan bahwa orang tidak percaya.
“Dan untuk mereka adzab yang pedih, dari sebeda mereka telah berdusta."
Kaum munafik itu mengatakan percaya kepada Allah dan Hari Akhirat; bahwa Allah ada dan Hari Akhirat pasti terjadi, adalah benar. Akan tetapi, karena sikap hidup selalu menyatakan bahwa mereka bukan orang yang beriman kepada Allah dan tidak ada bukti perbuatan yang menunjukkan bahwa kedua hal itu benar-benar keyakinannya, kian lama tampak jugalah dustanya. Orang pun akhirnya tahu dan dapat pula mengatur sikap menghadapi orang yang seperti ini. Mereka telah disiksa oleh dusta mereka sendiri. Apa saja yang mereka kerjakan menjadi serba salah.
Beginilah digambarkan jiwa orang munafik di Madinah seketika Islam mulai berkembang di sana. Kaum munafik itu dua corak. Pertama, munafik dari kalangan orang Yahudi, yang kian lama kian merasa bahwa mereka telah terdesak, padahal selama ini merekalah yang jadi tuan di Madinah, karena kehidupan mereka lebih makmur dari penduduk Arab asli dan merasa lebih pintar. Kian lama kian mereka rasakan bahwa kekuasaan Nabi Muhammad dan kebebasan Islam kian naik, sedangkan mereka kian terdesak ke tepi. Mereka inilah yang mengatakan kami percaya kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi sudah disengaja buat tidak menyebut bahwa mereka pun percaya kepada kerasulan Muhammad dan wahyu Al-Qur'an.
Munafik kedua ialah orang Arab Madinah sendiri, yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Sebelum Nabi datang, dialah yang dipandang sebagai pemuka masyarakat Arab Madinah yang terdiri atas persukuan Aus dan Khazraj. Akan tetapi, sedatang Nabi ﷺ dia kian lama ditinggalkan orang sebab kian nyata bahwa dia tidak jujur. Kerjanya hanya duduk mence-mooh-mencemooh dan memperenteng kepribadian Nabi ﷺ
Akan tetapi, berhadapan dengan orang tidak pula dia berani karena takut akan disisihkan. Beginilah gambaran umum dari golongan munafik pada masa itu.
Ayat 11
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu berbuat kemuakan di bumi,' Mereka menjawab, ‘Tidak lain kerja kami, hanyalah berbuat kebaikan.'"
Dengan lempar batu sembunyi tangan mereka berusaha menghalang-halangi perbaikan, pembangunan ruhani dan jasmani yang sedang dijalankan oleh Rasul dan orang-orang yang beriman. Hati mereka sakit melihatnya, lalu mereka buat sikap lain secara sembunyi untuk menentang perbaikan itu. Kalau ditegur secara baik, jangan begitu, mereka menjawab bahwa maksud mereka adalah baik. Mereka mencari jalan perbaikan atau jalan yang damai. Lidah yang tidak bertulang pandai saja menyusun kata yang elok-elok bunyinya, padahal kosong isinya.
Ayat 12
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu perusak-perusak, akan tetapi mereka tidak sadar."
Dengan cara diam-diam, munafik Yahudi telah mencari daya upaya bagaimana supaya segala rencana Nabi kandas. Orang-orang Arab dusun yang belum ada kepercayaan, kalau datang ke Madinah, kalau ada kesempatan, mereka bisiki, mencemoohkan Islam. Padahal, sejak Nabi datang ke Madinah, telah diikat janji akan hidup berdampingan secara damai. Mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka itu merusak dan berbahaya, terutama pada kedudukan mereka sendiri, sebab Islam tidak akan lemah, tetapi akan bertambah kuat. Kalau ditanyakan, mereka menyatakan bahwa maksud mereka baik, mencari jalan damai. Jelaslah bahwa perbuatan mereka yang amat berbahaya itu tidak mereka sadari karena hawa nafsu belaka.
Nafsu yang pantang kerendahan. Kalau mereka berpegang benar-benar dengan agama mereka, agama Yahudi, tidaklah mungkin mereka akan berbuat demikian. Namun, setelah agama menjadi satu macam ta'ashshub, membela golongan, walaupun dengan jalan yang salah, tidaklah mereka sadari lagi apa akibat dari pekerjaan mereka itu. Dalam hal ini, kadang-kadang mereka berkumpul menjadi satu dengan munafik golongan Abdullah bin Ubay. Ayat ini sudah menegaskan: Alal Ketahuilah! Sesungguhnya, mereka itu perusak-perusak semua. Akan tetapi, mereka tidak sadar. Ayat ini telah membayangkan apa yang akan kejadian di belakang, yang akan membawa celaka bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari akibat di belakang.
Ayat 13
“Dan apabila dikatakan orang kepada Mereka, ‘Senimanlah sebagaimana telah beriman manusia (lain).' Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman sebagaimana berimannya orang-orang yang bodoh-bodoh itu?' Ketahuilah, sesungguhnya Mereka itulah yang bodoh-bodoh, tetapi Mereka tidak tahu."
Inilah rahasia pokok. Merasa diri lebih pintar. Merasa diri turun derajat kalau mengakui percaya kepada Rasul, sebab awak orang berkedudukan tinggi selama ini, baik pemuka-pemuka Yahudi maupun Abdullah bin Ubay dan pengikutnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang telah menyatakan iman kepada Rasulullah itu bukanlah dari golongan orang-orang yang terpandang dalam masyarakat selama ini: Apa mereka tahu! Anak-anak kemarin! Belum ada kedudukan mereka dalam masyarakat!
Mereka tidak hendak menilai apa artinya beriman. Yang mereka nilai hanya kedudukan dari orang-orang yang telah menyatakan iman. Mereka pandang bahwa orang-orang yang menjadi pengikut Muhammad itu hanyalah orang bodoh-bodoh, sedangkan mereka orang pintar-pintar, lebih banyak mengerti soal agama sebab mereka mempunyai kitab Taurat.
Kesombongan inilah di zaman dahulu kala yang menyebabkan umat Nabi Nuh menentang Nabi Nuh. Mereka merasa pakaian mereka kotor kalau duduk bersama-sama dengan orang-orang yang telah percaya lebih dahulu kepada Nabi Nuh. Maka, bagi kaum munafik Yahudi ini, kepintaran mereka dalam soal agama tidak lagi untuk diamalkan, tetapi untuk dimegahkan. Namun, mereka sendiri tidak dapat bertindak apa-apa. Mereka terpecah-belah sebab masing-masing hendak mengatasi kepintaran. Lantaran sikap jiwa yang demikian, apakah yang dapat mereka perbuat selain dari mencemooh? Segala yang dikerjakan orang salah semua menurut mereka. Akan tetapi, mereka sendiri tidak dapat berbuat apa-apa.
Kadang-kadang, tentu keluar perkataan mereka mencela pribadi orang. Misalnya, mereka mengatakan bahwa ajaran Muhammad itu ada baiknya juga. Sayangnya, pengikutnya banyak si anu dan si fulan. Padahal, misalnya, orang-orang yang mereka cela dan hinakan itu keluar dan mereka masuk, mereka pun tidak akan dapat berbuat apa-apa selain dari mengemukakan rencana-rencana dan rancangan, tetapi orang lain yang disuruh mengerjakan karena mereka sendiri tidak mempunyai kesanggupan. Mereka mencap semua orang bodoh, tetapi mereka tidak mengerti akan kebodohan mereka sendiri.