Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلِلَّهِ
dan milik Allah
ٱلۡمَشۡرِقُ
timur
وَٱلۡمَغۡرِبُۚ
dan barat
فَأَيۡنَمَا
maka dimana saja
تُوَلُّواْ
kamu menghadap
فَثَمَّ
disitulah
وَجۡهُ
wajah
ٱللَّهِۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
وَٰسِعٌ
Maha Luas
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
وَلِلَّهِ
dan milik Allah
ٱلۡمَشۡرِقُ
timur
وَٱلۡمَغۡرِبُۚ
dan barat
فَأَيۡنَمَا
maka dimana saja
تُوَلُّواْ
kamu menghadap
فَثَمَّ
disitulah
وَجۡهُ
wajah
ٱللَّهِۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
وَٰسِعٌ
Maha Luas
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Hanya milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.
Tafsir
Ketika orang-orang Yahudi mengecam penggantian kiblat atau tentang salat sunah di atas kendaraan selama dalam perjalanan dengan menghadap ke arah yang dituju, turunlah ayat, (Dan milik Allahlah timur dan barat) karena keduanya merupakan ujung dan pangkalnya, (maka ke mana saja kamu menghadap) maksudnya menghadapkan mukamu di waktu salat atas titah-Nya, (maka di sanalah) di arah sanalah (wajah Allah) maksudnya kiblat yang diridai-Nya. (Sesungguhnya Allah Maha Luas) maksudnya kemurahan-Nya meliputi segala sesuatu (lagi Maha Mengetahui) tentang pengaturan makhluk-Nya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 115
Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Ayat 115
Makna ayat ini (hanya Allah yang mengetahuinya) merupakan penghibur bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang telah diusir dari Mekah dan berpisah meninggalkan masjid dan tempat shalat mereka. Pada mulanya Rasulullah ﷺ shalat di Mekah menghadap ke arah Baitul Maqdis, sedangkan Ka'bah berada di hadapannya. Ketika beliau ﷺ tiba di Madinah, beliau masih menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Kemudian Allah ﷻ memalingkannya ke arah Ka'bah. Karena itu, Allah ﷻ berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam telah meriwayatkan di dalam kitab Nasikh wal Mansukh, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Juraij dan Usman ibnu ‘Atha’, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa bagian permulaan dari Al-Qur'an yang dimansukh bagi kami menurut apa yang diceritakan kepada kami (hanya Allah Yang lebih mengetahui) adalah mengenai masalah kiblat.
Allah ﷻ berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115) Maka Rasulullah ﷺ menghadap ke arah Baitul Maqdis dalam salatnya dan meninggalkan arah Baitul 'Atiq (Ka'bah). Kemudian Allah me-nasakh-nya dan memalingkannya ke arah Baitul 'Atiq, yaitu melalui firman-Nya: “Dan dari mana saja kamu berangkat, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu sekalian berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya.” (Al-Baqarah: 150)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa permulaan ayat Al-Qur'an yang dimansukh adalah mengenai masalah kiblat. Hal ini terjadi ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah yang penduduknya antara lain adalah orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya), hingga orang-orang Yahudi gembira melihat hal itu.
Rasulullah ﷺ menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya) selama belasan bulan, padahal Rasulullah ﷺ sendiri lebih menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. (yaitu Ka'bah). Karena itu, beliau ﷺ selalu menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit” sampai dengan firman-Nya “maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya.” (Al-Baqarah: 144-150) Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka berkata, "Apakah gerangan yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang pada mulanya mereka telah berkiblat kepada-nya?" Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142) “Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115). Yang dimaksud dengan wajah Allah ialah kiblat Allah, yakni ke mana pun kamu menghadap, di situlah kiblat Allah, baik ke arah timur ataupun ke arah barat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115), yakni di mana pun kalian berada, maka menghadaplah kalian ke arah kiblat yang kalian sukai, yaitu Ka'bah.
Sesudah mengetengahkan riwayat atsar di atas, Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas sebuah atsar mengenai pe-nasakh-an kiblat ini melalui ‘Atha’, dari Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan dari Abul Aliyah, Al-Hasan, ‘Atha’ Al-Khurrasani, Ikrimah, Qatadah, As-Suddi, dan Zaid ibnu Aslam hal yang mirip.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya bahkan ada yang mengatakan bahwa Allah menurunkan ayat ini sebelum ada kewajiban menghadap ke arah Ka'bah. Sesungguhnya Allah ﷻ menurunkan ayat ini hanya untuk memberitahukan kepada Nabi-Nya dan para sahabatnya bahwa dalam salatnya mereka boleh menghadapkan wajah ke arah mana pun yang mereka sukai di antara arah Timur dan Barat. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali mereka menghadapkan wajahnya ke suatu arah mana pun melainkan Allah ﷻ berada di arah tersebut, mengingat semua arah Timur dan Barat hanyalah milik-Nya belaka; dan bahwa tiada suatu arah pun melainkan Allah ﷻ selalu berada padanya, seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya: “Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah orang) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada.” (Al-Mujadilah: 7) Mereka mengatakan bahwa setelah itu kewajiban yang ditetapkan atas mereka adalah menghadap ke arah Masjidil Haram. Demikianlah menurut keterangan Ibnu Jarir.
Mengenai penjelasan yang mengatakan bahwa tiada suatu tempat pun melainkan Allah selalu berada padanya; jika yang dimaksudkan adalah ilmu Allah ﷻ, berarti benar. Tetapi jika yang dimaksudkan adalah Zat-Nya, maka tidak benar, karena Zat Allah tidak dapat dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya (yakni Allah tidak membutuhkan tempat). Maha Suci Allah dari hal tersebut, dan Maha Tinggi Dia dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, bahkan ayat ini diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya sebagai izin dari-Nya bolehnya menghadap ke arah mana pun baik ke arah Timur ataupun ke arah Barat dalam shalat sunatnya; juga dalam perjalanannya, ketika perang sedang berkobar, dan dalam keadaan yang sangat menakutkan.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik alias Ibnu Abu Sulaiman, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah shalat menghadap ke arah mana unta kendaraannya menghadap, lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melakukan hal itu berdasarkan takwil ayat berikut: “Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115) Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai serta Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Mardawaih melalui berbagai jalur dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan lafal seperti tersebut di atas.
Asal hadits ini berada di dalam kitab Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) melalui hadits Ibnu Umar dan Amir ibnu Rabi'ah, tetapi tanpa menyebutkan ayat. Di dalam kitab Shahih Al-Bukhari melalui hadits Nafi dari Ibnu Umar disebutkan bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai shalat Khauf, ia menggambarkan (memperagakan)nya. Kemudian ia mengatakan, "Apabila keadaan semakin menakutkan, maka mereka shalat dengan berjalan kaki, ada pula yang berkendaraan, ada yang menghadap ke arah kiblat ada pula yang tidak menghadap ke arah kiblat." Selanjutnya Nafi' mengatakan, "Aku merasa yakin bahwa Ibnu Umar tidak sekali-kali menyebutkan hal ini melainkan dari Nabi ﷺ."
Imam Syafii, menurut pendapat yang masyhur darinya, tidak membedakan antara perjalanan biasa dan perjalanan untuk melakukan perang. Keduanya memang bersumber dari dia, ia memperbolehkan shalat tatawwu' di atas kendaraan (dalam dua keadaan tersebut). Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, lain halnya dengan Imam Malik dan jamaahnya yang berpendapat berbeda. Sedangkan Abu Yusuf dan Abu Sa'id Al-Astakhri memilih pendapat boleh melakukan shalat sunat di atas kendaraan ketika di Mesir. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Yusuf melalui Anas ibnu Malik , tetapi Abu Ja'far At-Tabari memilih pendapat ini dan pendapat yang membolehkannya bagi orang yang berjalan kaki.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang buta sama sekali akan arah kiblat hingga mereka tidak mengetahui mana arahnya, lalu mereka melakukan salatnya menghadap ke arah yang berbeda-beda. Maka Allah ﷻ berfirman, "Dan kepunyaan Aku-lah Timur dan Barat itu. Maka ke arah mana pun kalian menghadapkan wajah kalian, di situlah terdapat wajah-Ku yang merupakan kiblat kalian; hal ini sebagai pemberitahuan buat kalian bahwa shalat kalian harus tetap dilangsungkan."
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi' As-Samman, dari ‘Ashim ibnu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, dari ayahnya yang menceritakan: Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ di suatu malam yang gelap gulita dan kami turun istirahat di suatu tempat, lalu seseorang mulai mengambil batu-batu untuk membuat masjid (tempat sujud) untuk shalat. Ketika pagi harinya, ternyata jelas bagi kami bahwa kami telah shalat bukan menghadap ke arah kiblat. Maka kami berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tadi malam shalat bukan menghadap ke arah kiblat." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah." (Al-Baqarah: 115), hingga akhir ayat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadits yang mirip melalui Sufyan ibnu Waki', dari ayahnya, dari Abur Rabi' As-Samman.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Gailan, dari Waki'; sedangkan Ibnu Majah, dari Yahya ibnu Hakim, dari Abu Dawud, dari Abur Rabi' As-Samman.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, dari Sa'id ibnu Sulaiman, dari Ar-Rabi' As-Samman yang nama aslinya ialah Asy'as ibnu Sa'id Al-Basri, dia orang yang dha’if hadisnya.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan, tetapi sanadnya tidaklah demikian, dan kami tidak mengetahuinya kecuali melalui hadits Al-Asy'as As-Samman, sedangkan Asy'as dinilai lemah hadisnya.
Menurut kami (penulis), gurunya juga (yaitu ‘Ashim) dinilai lemah; bahkan menurut Imam Al-Bukhari hadisnya dinilai munkar.
Ibnu Mu'in mengatakan bahwa dia dha’if, hadisnya tidak dapat dijadikan hujah.
Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadisnya berpredikat matruk (dibuang).
Sesungguhnya telah diriwayatkan dari jalur lain melalui Jabir sebagai berikut. Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih telah meriwayatkan di dalam tafsir ayat ini bahwa telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Syabib, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdullah ibnul Hasan yang mengatakan bahwa di dalam kitab catatan ayahnya ia pernah menemukan hal berikut, bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Al-Azrami, dari ‘Atha’ ibnu Jabir yang menceritakan hadits berikut: Rasulullah ﷺ mengutus suatu pasukan yang aku termasuk salah satu anggotanya, maka kami mengalami malam yang gelap gulita hingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Lalu segolongan orang dari kami berkata, "Sesungguhnya kami telah mengetahui arah kiblat mengarah ke sebelah ini, yakni sebelah Utara." Maka mereka melakukan shalat dan membuat garis-garis sebagai tandanya; ketika mereka berada di pagi hari dan matahari terbit, ternyata garis-garis tersebut bukan menghadap ke arah kiblat. Ketika kami kembali dari perjalanan misi kami, maka kami tanyakan hal itu kepada Nabi ﷺ, tetapi beliau diam (tidak menjawab), dan Allah menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).
Kemudian Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui hadits Muhammad ibnu Ubaidillah Al-Azrami, dari ‘Atha’, dari Jabir dengan lafal yang sama.
Imam Daruqutni mengatakan, telah dibacakan kepada Abdullah ibnu Abdul Aziz, sedangkan aku mendengarkannya. Si pembaca hadits mengatakan, telah menceritakan kepada kalian Daud ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid Al-Wasiti, dari Muhammad ibnu Salim, dari ‘Atha’, dari Jabir yang menceritakan, "Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan, kemudian awan menutupi (pandangan kami) hingga kami kebingungan. Maka kami berbeda pendapat dalam masalah kiblat, dan masing-masing orang dari kami melakukan shalat dengan menghadap ke arahnya masing-masing, dan seseorang di antara kami membuat garis di depannya sebagai tanda untuk mengetahui tempat kami menghadap. Kemudian kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi ﷺ, dan ternyata beliau tidak memerintahkan kami untuk mengulangi shalat kami, lalu beliau ﷺ bersabda, "Salat kalian telah selesai" Kemudian Imam Daruqutni mengatakan bahwa demikianlah apa yang telah dikatakan oleh Muhammad ibnu Salim.
Sedangkan selain Imam Daruqutni meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami, dari ‘Atha’, tetapi keduanya (Muhammad ibnu Salim dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami) berpredikat dha’if.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih melalui hadits Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas: Bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengirim suatu pasukan pengintai, lalu mereka tertutup oleh kabut hingga mereka tidak mendapat petunjuk untuk mengetahui arah kiblat. Maka mereka shalat dengan menghadap ke arah selain kiblat, kemudian jelaslah bagi mereka setelah matahari cerah, bahwa mereka shalat menghadap ke arah selain kiblat. Ketika mereka datang kepada Rasulullah ﷺ, mereka menceritakan hal itu kepadanya, lalu Allah ﷻ menurunkan ayat ini, yaitu: "Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).
Semua sanad yang telah diketengahkan di atas mengandung ke-dha’if-an, barangkali sebagian darinya memperkuat sebagian yang lain. Mengulangi shalat bagi orang yang keliru (menghadap bukan ke arah kiblat), sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama. Semua hadits yang telah dikemukakan merupakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa qadha itu tidak ada.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) diturunkan karena masalah Raja Najasyi, seperti yang diceritakan oleh Muhammad ibnu Basysyar kepada kami, bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, "Sesungguhnya seorang saudara kalian telah meninggal dunia, maka salatkanlah dia oleh kalian." Mereka bertanya, "Apakah kami akan menyalatkan seorang lelaki yang bukan muslim?" Qatadah melanjutkan riwayatnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: “Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah.” (Ali Imran: 199) Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka mengatakan, "Sesungguhnya dia (Raja Najasyi) tidak shalat menghadap ke arah kiblat." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
Hadits ini berpredikat gharib. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya Raja Najasyi shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum sampai kepadanya pe-nasakh-an yang memerintahkan beralih menghadap ke arah Ka'bah, menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurthubi melalui Qatadah. Imam Qurtubi menyebutkan pula bahwa ketika Raja Najasyi meninggal dunia, Rasulullah ﷺ menyalatkannya. Maka hadits ini dijadikan sebagai dalil oleh orang-orang yang mengatakan disyariatkannya shalat gaib. Selanjutnya Imam Quitubi mengatakan, hal ini merupakan suatu kekhususan menurut pendapat di kalangan kami, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, Rasulullah ﷺ menyaksikan kematiannya. Di saat Raja Najasyi meninggal dunia, maka bumi dilipat untuk Rasulullah ﷺ hingga beliau dapat menyaksikannya.
Kedua, ketika Raja Najasyi meninggal dunia, tiada seorang pun yang menyalatkannya di negeri tempat tinggalnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Arabi. Tetapi menurut Imam Qurtubi, mustahil bila ada seorang raja muslim, sedangkan di kalangan kaumnya tiada seorang pun yang seagama dengannya. Ibnul Arabi menjawab sanggahan tersebut, barangkali di kalangan mereka masih belum disyariatkan shalat mayat. Jawaban ini cukup baik.
Ketiga, Nabi ﷺ sengaja menyalatkannya dengan maksud untuk memikat hati raja-raja lainnya.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui hadits Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Di antara Timur dan Barat terdapat kiblat bagi penduduk Madinah, penduduk Syam, dan penduduk Irak.”
Hadits ini mempunyai kaitan dengan bab ini, dan telah diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadits Abu Ma'syar yang nama aslinya ialah Nujaih ibnu Abdur Rahman As-Suddi Al-Madani dengan lafal yang sama, yaitu: “Di antara Timur dan Barat terdapat kiblat.”
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Abu Hurairah. Sebagian kalangan ahli hadits mengatakan Abu Ma'syar hafalannya lemah.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Bakar Al-Mawarzi, telah menceritakan kepada kami Al-Mala ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Al-Makhzumi, dari Usman ibnu Muhammad ibnul Mugirah Al-Akhnas, dari Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah , dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Di antara Timur dan Barat terdapat kiblat.” Imam At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini berpredikat hasan shahih.
Telah diriwayatkan dari Imam Al-Bukhari bahwa dia mengatakan hadits ini lebih kuat dan lebih shahih daripada hadits Abu Ma'syar.
Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah diriwayatkan hadits berikut oleh tidak hanya seorang dari kalangan sahabat, yaitu: “Di antara Timur dan Barat terdapat kiblat.” Di antara mereka adalah Umar ibnul Khattab, Ali, dan Ibnu Abbas r.a.
Ibnu Umar pernah mengatakan: “Apabila engkau jadikan arah Barat di sebelah kananmu dan arah Timur di sebelah kirimu, maka di antara keduanya adalah arah kiblat, jika engkau hendak menghadap ke arah kiblat.”
Kemudian Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Yusuf maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Di antara Timur dan Barat terdapat arah kiblat.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni dan Imam Baihaqi. Ibnu Mardawaih mengatakan, menurut pendapat yang masyhur hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) dapat diinterpretasikan seperti berikut: "Ke mana pun kalian mengarahkan wajah kalian dalam doa kalian kepada-Ku, maka di situlah terdapat wajah-Ku; Aku akan memperkenankan doa yang kalian panjatkan." Seperti yang diceritakan kepada kami oleh Al-Qasim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj yang mengatakan bahwa Ibnu Juraij pernah meriwayatkan dari Mujahid, ketika ayat ini diturunkan (yaitu firman-Nya): “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian.” (Al-Mumin: 60) maka mereka bertanya, "Ke arah manakah kami menghadap?" Lalu turunlah firman-Nya: “Maka ke arah mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya: “Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 115) Artinya, rahmat Allah mencakup semua makhluk-Nya dengan memberi mereka kecukupan, karunia, dan anugerah dari-Nya.
Firman-Nya, "Alimun" artinya sesungguhnya Allah ﷻ Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan mereka; tiada sesuatu pun dari amal mereka yang tidak diketahui-Nya dan tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi pengetahuan-Nya, bahkan Allah ﷻ Maha Mengetahui kesemuanya itu (baik yang lahir maupun yang batin).
Dan milik Allah timur dan barat. Artinya, Allah adalah Tuhan bumi seluruhnya. Ke mana pun kamu menghadap ketika menunaikan salat, di sanalah wajah Allah, yaitu kiblat yang diinginkan Allah bagimu. Sungguh, Allah Mahaluas, tidak sempit dan tidak terbatas, Maha Mengetahui siapa yang menghadap kepada-Nya di mana pun ia berada. 116Dan mereka, kaum Yahudi dan Nasrani, berkata, Allah mempunyai anak. Mahasuci Allah dari perkataan mereka. Ayat ini diturunkan sebagai jawaban atas pernyataan kaum Yahudi yang meyakini Uzair sebagai putra Allah, kaum Nasrani yang meng anggap Isa sebagai putra Allah, dan kaum musyrik Arab yang menganggap malaikat sebagai putri Allah. Bahkan milik-Nyalah, yakni Allah-lah pencipta dan pe milik apa yang di langit dan di bumi, termasuk di dalamnya Uzair, Isa, dan para malaikat itu. Semua tunduk, taat, dan patuh kepada-Nya, yakni kepada kebesaran, kekuasaan dan kehendak-Nya.
Sebab turunnya ayat ini ialah seperti diriwayatkan oleh Jabir sebagai berikut: "Kami telah diutus oleh Rasulullah ﷺ dalam suatu peperangan dan aku termasuk dalam pasukan itu. Ketika kami berada di tengah perjalanan, kegelapan mencekam kami, sehingga kami tidak mengetahui arah kiblat." Segolongan di antara kami berkata, "Kami telah mengetahui arah kiblat, yaitu ke sana, ke arah utara. Maka mereka salat dan membuat garis di tanah. Sebagian kami berkata, "Arah kiblat ke sana ke arah selatan." Dan mereka membuat garis di tanah. Tatkala hari subuh dan matahari pun terbit, garis itu mengarah ke arah yang bukan arah kiblat. Tatkala kami kembali dari perjalanan dan kami tanyakan kepada Rasulullah ﷺ tentang peristiwa itu, maka Nabi ﷺ diam dan turunlah ayat ini." )
Allah ﷻ menegaskan pemilikan-Nya terhadap seluruh alam ini. Dia sendiri yang mengaturnya, mengetahui apa saja yang terjadi di dalamnya, baik kecil maupun besar. Firman Allah:
?Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-hadid/57:4)
Firman Allah yang lain:
?Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada? (al-Mujadilah/58:7)
.. (Mereka berkata), " Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan (agama)-Mu ..." (al-Mu'min/40: 7)
Karena itu pada dasarnya, ke mana saja manusia menghadapkan mukanya dalam berdoa atau beribadah, ke timur, barat, utara, selatan, ke bawah, ke atas, dan sebagainya, pasti doa dan ibadahnya itu didengar Allah dan sampai kepada-Nya.
Ayat ini membantah kepercayaan bahwa Allah mempunyai tempat, bahwa doa atau ibadah akan didengar dan sampai kepada Allah bila hamba yang berdoa dan beribadah itu menghadap ke arah tertentu saja atau suatu tempat yang dianggap lebih mulia dari tempat yang lain dan sebagainya. Kata wajh banyak sekali artinya. Dalam ayat ini berarti "kehadiran".
Berdasarkan ayat di atas dan sebab turunnya, dapat ditetapkan hukum sebagai berikut:
1. Kiblat itu pada dasarnya ialah seluruh arah. Kemana saja hamba menghadap pasti menemui wajah Allah. Untuk memelihara kesatuan dan persatuan kaum Muslimin ditetapkanlah Ka'bah sebagai arah kiblat.
2. Apabila hari sangat gelap dan arah kiblat tidak diketahui, maka boleh salat menghadap ke arah yang diyakini sebagai kiblat. Jika ternyata kemudian arah itu bukan arah kiblat maka salatnya tetap sah.
3. Bagi orang yang berada di atas kendaraan yang sedang berjalan, ia boleh berkiblat ke arah yang dia sukai. Sebagian ulama menganjurkan berkiblat ke arah depan dari kendaraan itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 115
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat"
Ahli tafsir al-Jalal menafsirkannya demikian, “Maka kepunyaan Allah-lah seluruh jagat ini," sebab di mana-mana ada timur dan di mana-mana ada barat. Apabila kita tegak menghadap ketepatan matahari terbit (masyriq) maka yang di belakang kita adalah barat, yang di kanan kita adalah selatan dan di kiri kita adalah utara.
“Maka ke mana jua pun kamu menghadap, di sana pun ada wajah, Allah; sesungguhnya Allah adalah Mahaluas, lagi Maha Mengetahui."
Inilah hikmat yang sebenarnya; ke mana pun kita menghadapkan muka ketika beribadah kepada Allah, ketika shalat pun, asal hati telah dihadapkan kepada Allah, diterimalah ibadah itu oleh Allah sebab timur dan barat, utara ataupun selatan, Allah jua yang empunya. Memang kemudiannya telah diatur oleh Rasulullah, dengan perintah firman Allah menentukan Ka'bah Masjidil Haram sebagai kiblat tetap, namun sekali-sekali ketika hari sangat gelap misalnya, sehingga kita tidak tahu arah kiblat, ke mana pun saja muka terhadap, sah jualah shalat kita, asal hati khusyu. Malahan kalau hati tidak khusyu terhadap wajah Allah walaupun telah menghadap ke kiblat Masjidil Haram, belum juga tentu shalat itu akan diterima Allah. Imam Ghazali berpendirian tidak sah shalat kalau tidak khusyu.
Ketika menafsirkan ayat 106 tentang nasikh dan mansukh, telah kita bayangkan juga khilafiyah ulama tentang adakah atau tidak suatu hukum yang mansukh di dalam Al-Qur'an? Adakah satu ayat yang tulisannya masih ada, tetapi hukumnya tidak berlaku lagi? Maka ayat 115 ini menjadi salah satu khilafiyah tentang adanya nasikh dan mansukh. Golongan yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh mengatakan bahwa ayat 115 ini telah mansukh sebab kemudiannya telah datang ayat 144 dan 149 dan 150 yang menentukan Masjidil Haram sebagai kiblat.
Maka dengan demikian, tidaklah sah lagi menghadapkan shalat ke penjuru yang lain kecuali ke Masjidil Haram dan kecuali kalau tidak tahu arah kiblat.
Segolongan yang mengatakan tidak ada nasikh tidak ada mansukh menguatkan bahwa ayat 115 tidak mansukh. Walaupun pada riwayat yang diterima dari Amir bin Rabrah seakan-akan tampak bahwa ayat 115 kemudian turun daripada ayat 144 dan 149 dan 150, dan diragukan keshahihan hadits ini oleh Tirmidzi, tetapi setelah disambungkan dengan hadits riwayat Ibnu Umar dan Jabir dan Abdullah tadi, teranglah bahwa ayat 115 tidak mansukh, tetapi tetap berlaku, yaitu untuk shalat-shalat tathawwu' di atas kendaraan atau di waktu tidak jelas di mana arah kiblat sebab hari gelap, atau di zaman modern kita sekarang ini, kita shalat yang sunnah atau yang wajib sedang di dalam kereta api, bahkan di dalam kapal udara, datang waktu shalat, padahal yang dituju kendaraan itu tidak tepat mengarah ke kiblat. Tentu bila waktu shalat telah datang, kita pun shalat. Kalau Nabi ﷺ naik tunggangan unta lalu shalat menghadap kiblat, niscaya sedang di atas kapal udara kita tidak dapat berbuat demikian, sehingga shalat yang maktubat pun dapat kita kerjakan dengan tidak menghadap ke Masjidil Haram, melainkan kita berpegang kepada ayat 115 ini “ke mana saja pun muka menghadap, tetapi di sana ada wajah Allah. Yang pokok ialah khusyu.
Ayat 116
“Dan mereka berkata, ‘Allah telah mengambil anak.'"
Ayat ini adalah pertaliannya dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Tempat beribadah kepada Allah hendaklah dimakmurkan dan jangan dihalang-halangi. Timur dan barat, utara dan selatan, seluruhnya kepunyaan Allah dan kepada-Nyalah menghadap yang sebenarnya. Tetapi hendaklah menetapkan benar-benar dalam hati siapa dan bagaimana yang sebenarnya Allah itu. Dia Tunggal, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Hendaklah bersihkan kepercayaan kepada-Nya. Jangan dikatakan Dia beranak karena Allah itu bukan makhluk yang memerlukan keturunan untuk meneruskan atau menyambung kekuasaan-Nya kalau Dia mati. Allah itu hidup terus, tidak akan mati-mati."Mahasuci Dia." Tidak masuk dalam akal yang murni bahwa Dia beranak.
“Bahkan kepunyaan-Nyalah apa yang ada di semua langit dan bumi; semuanya kepada-Nyalah bertunduk."
Hanya satu Dia. Tidak ada anak-Nya. Yang selainnya ini, segala kandungan semua langit, segala kandungan bumi, semuanya di bawah kekuasaan-Nya. Dan semua patuh, menekur bertunduk kepada-Nya. Sama saja di antara makhluk yang beku dengan makhluk bernyawa. Malaikat bukan anak-Nya, manusia pun bukan anak-Nya, tetapi makhluk-Nya, yang terjadi karena diciptakan-Nya. Kamu orang musyrikin; kamu katakan malaikat anak Allah lalu kamu ambil kayu atau batu menjadi berhala dan patung lalu kamu sembah sebab katamu dia anak Allah! “Mahasuci Dial" Kamu orang Nasrani; Isa al-Masih yang lahir dengan kuat-kuasa Ilahi menurut jalan yang tidak terbiasa, kamu katakan pula anak Allah. Kalau kamu pikirkan hal itu dalam-dalam, kamu sendiri akan bingung dengan kepercayaanmu itu. Isa al-Masih itu makan dan minum sebagaimana manusia biasa, padahal Allah tidak makan dan tidak minum. Dan Isa al-Masih itu kalau mengantuk matanya, dia pun tidur, sedangkan Allah tidak pernah tidur.
Ayat 117
“yang menciptakan semua langit dan bumi dengan tiada bandingan".
Di sana terdapat kalimat badi'. Arti badi' ialah penciptaan, yang mengeluarkan suatu ciptaan belum pernah didahului oleh orang lain. Sebab itu, ilmu ungkapan kata-kata yang indah dinamai dalam bahasa Arab: ilmu badi Allah mencipta alam adalah atas kehendak-Nya dan bentuknya pun atas piiihan-Nya sendiri. Tidak dapat didahului oleh siapa pun dan tak dapat disamai oleh siapa pun. Sebab itu pula, kalau ada seorang mencipta satu lukisan yang belum dicapai oleh orang lain, ciptaannya itu disebut juga badi'. Bahkan kata-kata bid'ah yang biasa terpakai dalam agama, juga ambilan dari kata badi'. Kalau ada orang menambah-nambah suatu amalan agama, yang tidak menurut teladan daripada Rasulullah, disebut pembuat bid'ah atau mubtadi'.
Itu pula sebabnya maka tidak mendapat kata lain buat menyatakan maksud dari ayat badi'us-samawati wal-ardhi “menciptakan semua langit dan bumi dengan tiada bandingan". Diberi ujung dengan “tiada bandingan" supaya jelas apa yang dimaksud dengan kata pencipta.
“Dan apabila Dia telah menentukan sesuatu, Dia hanya berfirman kepadanya, Jadilah!' Maka dia pun terjadi."
Dengan ayat ini jelas siapa Allah dan siapa makhluk-Nya. Allah berkekuasaan mutlak dan langsung, tidak memakai perantaraan. Bila Dia menghendaki sesuatu, diperintahkan-Nya saja supaya terjadi maka sesuatu itu pun terjadi. Bagaimana rahasia kejadian itu, berapa lamanya dan bila masanya, tidaklah kuat otak manusia buat berpikir sampai ke sana. Yang terang dengan ayat ini ialah bahwa Allah yang seperti itu Mahabesar kekuasaan-Nya tidaklah memerlukan anak.
“Mahasuci Dia." Dia Tunggal, Dia Khaliq! Yang selain-Nya adalah makhluk. Dengan ini maka bulatkanlah ibadah dan persembahan kepada-Nya saja karena Dia memang Esa, mustahil berbilang, mustahil beranak. Kepercayaan yang pecah, yang tidak tunggal, akan memecah pikiran sendiri. Dan pikirkanlah agama itu baik-baik sehingga dapat dikerjakan dengan pikiran murni.
Dengan kalimat kun artinya jadilah atau adalah, Allah berfirman “maka apa yang di-kehendaki-Nya pun terjadi". Kalimat itu Dia tujukan kepada yang belum ada supaya ada atau kepada yang telah ada supaya lebih sem-purna. Sebelum datang kalimat kun, barang itu belum ada. Maka takluk adanya sesuatu ialah kepada iradat-Nya (kehendak-Nya), Jika tidak dengan iradat-Nya, tidaklah jadi.
Ayat 118
“Dan berkata orang-orang yang tidak berpengetahuan itu, ‘Mengapa tidak bercakap-cakap Allah itu dengan kita, atau datang kepada kita satu tanda."
Selain dari mengatakan bahwa Allah beranak, satu waktu datang lagi kepada Rasulullah ﷺ suatu usul, yaitu kalau memang Allah itu ada dan Mahakuasa, mengapa Allah itu tidak datang bercakap-cakap dengan mereka atau Allah membuktikan bahwa Dia ada dengan menunjukkan suatu tanda. Di pangkal ayat sudah dinyatakan bahwa usul seperti ini timbulnya ialah dari orang-orang yang tidak berpengetahuan. Kalau orang itu berilmu, berpikir mendalam, tidak mungkin timbul usul seperti itu.
Maka, di sambungan ayat Allah berfirman, “Seperti itu jugalah kata-kata orang-orang yang sebelum mereka, seperti kata mereka itu pula." Artinya, usul kaum musyrikin Arab atau Yahudi yang sekarang, meminta supaya Tuhan Allah bercakap dengan mereka, bukanlah usul datang sekarangsaja. Umat-umat yang dahulu pun meminta demikian pula. Umat Nabi Musa mengemukakan berbagai permintaan kepada Musa; setengah permintaan itu dikabulkan Allah, tetapi mereka tetap keras kepala dan yang kafir bertambah kafir juga. Umat Nabi Shalih meminta didatangkan seekor unta sebagai mukjizat. Unta itu didatangkan, tetapi mereka langgar janji dan mereka bunuh unta itu. Maka datanglah sambungan ayat, “Bersamaan hati mereka" Baik Yahudi yang dahulu maupun Yahudi yang sekarang, baik umat yang dahulu maupun musyrikin yang sekarang, namun hati mereka sama saja, yaitu kekufuran kepada Allah, yang menyebabkan timbulnya berbagai usul yang tidak-tidak, yang bercakap asal bercakap. Sepintas lalu timbul pertanyaan, “Apakah permohonan mereka itu tidak akan dikabulkan Allah?" Allah telah menjawab, dengan ujung ayat,
“Sesungguhnya, telah Kami jelaskan ayat-ayat itu kepada kaum yang yakin."
Bagi orang yang yakin, ayat-ayat itu sudah tampak. Tidak perlu lagi menurunkan ayat baru. Tidak perlu lagi tercipta di tengah padang belantara sebuah istana indah bertatahkan emas dan ratna mutu manikam lalu tercipta lagi taman sari indah berseri, sungai mengalir laksana ular gerang; tidak perlu lagi ayat-ayat yang lain yang diminta itu, sebab bagi orang yang yakin, segala yang tampak ini adalah ayat belaka.
Dan pada tiap-tiap sesuatu adalah tanda bagi-Nya; yang menunjukkan bahwa Dia Esa adanya.
Orang-orang yang yakin pun telah bercakap-cakap dengan Allah di dalam munajatnya, di dalam doanya, di dalam shalatnya yang khusyu, dan di dalam segala tingkah laku perbuatannya. Dia selalu merasai bahwa dirinya tidak lepas dari tilikan Allah. Tetapi orang-orang yang bodoh, walaupun berapa banyaknya terbentang di hadapan matanya, tidak juga dia akan yakin.