Ayat
Terjemahan Per Kata
مَا
tidak
نَنسَخۡ
Kami hapuskan
مِنۡ
dari
ءَايَةٍ
sebuah ayat
أَوۡ
atau
نُنسِهَا
Kami jadikannya lupa
نَأۡتِ
Kami datangkan
بِخَيۡرٖ
dengan yang lebih baik
مِّنۡهَآ
daripadanya
أَوۡ
atau
مِثۡلِهَآۗ
sebanding dengannya
أَلَمۡ
tidakkah
تَعۡلَمۡ
kamu ketahui
أَنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٌ
Maha Kuasa
مَا
tidak
نَنسَخۡ
Kami hapuskan
مِنۡ
dari
ءَايَةٍ
sebuah ayat
أَوۡ
atau
نُنسِهَا
Kami jadikannya lupa
نَأۡتِ
Kami datangkan
بِخَيۡرٖ
dengan yang lebih baik
مِّنۡهَآ
daripadanya
أَوۡ
atau
مِثۡلِهَآۗ
sebanding dengannya
أَلَمۡ
tidakkah
تَعۡلَمۡ
kamu ketahui
أَنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٌ
Maha Kuasa
Terjemahan
Ayat yang Kami nasakh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?
Tafsir
Tatkala orang-orang kafir mengecam tentang nasakh/penghapusan atau pergantian hukum dan menuduh bahwa Muhammad menyuruh sahabat-sahabatnya untuk mengerjakan sesuatu pada hari ini lalu melarangnya esok, maka turunlah ayat, (Apa saja) disebut 'syarthiyah' yang membutuhkan jawaban (ayat yang Kami hapus) baik hukumnya itu pada mulanya turun bersama lafalnya atau tidak dan menurut satu qiraat 'nunsikh', artinya Kami titah kamu atau Jibril untuk menghapusnya (atau Kami tangguhkan) Kami undurkan sehingga hukumnya tidak turun dan bacaannya Kami tangguhkan di Lohmahfuz. Menurut satu qiraat tanpa hamzah, berasal dari kata-kata 'nisyaan' artinya 'lupa', sehingga artinya ialah Kami kikis atau hapus dari dalam kalbumu sehingga kamu melupakannya. Jawab syaratnya ialah (Kami datangkan yang lebih baik daripadanya) artinya lebih menguntungkan bagi hamba, baik dalam kemudahannya maupun dalam besar pahalanya (atau yang sebanding dengannya) dalam beban yang harus dipikul atau dalam ganjarannya. (Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?) Termasuk dalam kekuasaan-Nya itu nasakh, yaitu menghapus hukum dan mengubahnya, dan mengenai pertanyaan di sini maksudnya ialah untuk mengukuhkan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 106-107
Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagi kalian seorang pelindung maupun seorang penolong selain Allah.
Ayat 106
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin," artinya ayat apa pun yang Kami ganti.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan tafsir ayat ini, artinya ‘ayat apa pun yang kami hapuskan.’
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: ‘Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan.’ (Al-Baqarah: 106) Arti nasakh ialah 'ayat apa pun yang Kami tetapkan khat (tulisan)nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti'. Mujahid mengetengahkan tafsir ini dari murid-murid Abdullah ibnu Mas'ud r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang mirip dari Abul Aliyah dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi.
Menurut Adh-Dhahhak, makna ma nansakh min ayatin ialah ayat apa saja yang Kami buat engkau lupa padanya.
Menurut ‘Atha’, makna ma nansakh ialah apa saja dari Al-Qur'an yang Kami tinggalkan. Menurut Abu Hatim, makna yang dimaksud ialah apa pun yang ditinggalkan (oleh Allah) dan tidak diturunkan kepada Muhammad ﷺ.
As-Suddi mengatakan, makna ma nansakh ialah ayat apa pun yang dicabut oleh Allah.
Menurut Ibnu Abu Hatim maksudnya adalah dicabut dan diangkat oleh Allah ﷻ, seperti firman-Nya: “Kakek-kakek dan nenek-nenek (laki-laki dan perempuan dewasa yang sudah kawin) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai suatu kepastian.”
Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah yang penuh dengan emas, niscaya dia menginginkan lembah lain yang ditambahkan kepada kedua lembah itu.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ma nansakh min ayatin ialah hukum ayat apa saja yang Kami pindahkan ke yang lainnya dan Kami ubah serta Kami ganti hukumnya. Misalnya, Kami ganti halal menjadi haram, haram menjadi halal, mubah menjadi dilarang, dan dilarang menjadi mubah (boleh).
Hal ini hanya terjadi dalam masalah perintah, larangan, cegahan, mutlak, larangan dan ibahah (kebolehan). Yang menyangkut masalah-masalah berita dan kisah-kisah, tiada nasikh dan mansukh padanya. Kata nasakh berasal dari naskhul kitab, yakni mengutipnya dari suatu salinan ke salinan yang lain. Demikian pula makna me-nasakh hukum ke hukum yang lainnya, hanya makna yang dimaksud ialah memindahkan hukumnya dan mengutip suatu ibarat ke ibarat yang lainnya yakni merevisinya tanpa membedakan apakah yang di-nasakh itu hukumnya atau khat (tulisan)nya saja, mengingat dua keadaan tersebut tetap dinamakan nasakh.
Sehubungan dengan definisi nasakh, ulama ahli Usul berbeda-beda dalam mengungkapkannya. Tetapi kesimpulan dari semua pendapat mereka saling berdekatan (tidak jauh berbeda), mengingat makna nasakh menurut istilah syara' sudah dimaklumi di kalangan ulama. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nasakh artinya menghapuskan suatu hukum dengan dalil syar'i yang datang kemudian. Termasuk ke dalam pengertian definisi ini me-nasakh hukum yang ringan dengan hukum yang berat dan sebaliknya, juga nasakh yang tidak ada gantinya. Rincian mengenai hukum-hukum nasakh, jenis-jenis serta syarat-syaratnya dibahas di dalam kitab Usul Fiqh.
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Subail (yaitu Ubaidillah ibnu Abdur Rahman ibnu Waqid), telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki membaca suatu surat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ kepada keduanya, dan kedua lelaki itu selalu membaca surat tersebut dengan bacaan itu. Maka di suatu malam keduanya berdiri mengerjakan shalat, tetapi keduanya tidak mampu membaca surat tersebut barang satu huruf pun. Lalu pada pagi harinya keduanya datang menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal tersebut. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya surat itu termasuk surat yang dinasakh atau aku dijadikan lupa kepadanya. Karena itu, lupakanlah ia.”
Az-Zuhri membacanya ma nansakh min ayatin au nunsiha. Akan tetapi, Sulaiman ibnul Arqam orangnya dha’if. Namun Abu Bakar ibnul Ambari meriwayatkan hal yang mirip dari ayahnya, dari Nasr ibnu Daud, dari Abu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Saleh, dari Al-Laits, dari Yunus dan Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif secara marfu. Riwayat ini diketengahkan oleh Al-Qurthubi.
Firman Allah ﷻ, "Au nunsiha" (Kami jadikan manusia lupa kepadanya) dibaca menurut dua segi bacaan, yaitu nansa-uha dan nunsiha. Orang yang membaca ‘nansa-uha’ artinya ‘Kami menangguhkannya.’
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," ialah apa saja ayat yang Kami ganti atau yang Kami tinggalkan tanpa menggantinya.
Mujahid meriwayatkan dari teman-teman (murid-murid) sahabat Ibnu Mas'ud tentang makna au nansa-uha: “Kami tetapkan khat-nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti.”
Abdu ibnu Umair, Mujahid, dan ‘Atha’ mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan dan Kami tangguhkan hukumnya.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan hukumnya, tetapi tidak Kami nasakh.
As-Suddi dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan hal yang mirip.
Adh-Dhahhak mengatakan, ayat ini menerangkan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur'an itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh (yakni ada yang merevisi dan ada yang direvisi).
Menurut Abul Aliyah, au nansa-uha artinya ialah Kami mengakhirkan (menangguhkan) hukumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Khaffaf, dari Ismail (yak-ni Ibnu Aslam), dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Khalifah Umar berkhutbah kepada kami, lalu ia membacakan firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," yakni ‘Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami tangguhkan hukumnya.’
Adapun menurut bacaan au nunsiha, maka Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: “Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya.” (Al-Baqarah: 106) Allah ﷻ menjadikan Nabi-Nya lupa kepada apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dari ayat-ayat tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sawad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Auf ibnul Hasan, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Au nunsiha," bahwa sesungguhnya Nabi kalian membaca suatu ayat Al-Qur'an, kemudian beliau dibuat-Nya lupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnuz Zubair Al-Harrani, dari Al-Hajjaj (yakni Al-Jazari), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara wahyu yang diturunkan oleh Nabi ﷺ adalah wahyu yang diturunkan di malam hari, dan pada siang harinya beliau lupa. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106) Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, Abu Ja'far ibnu Nufail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Hajjaj bukan Al-Hajjaj ibnu Artah, melainkan salah seorang guru kami yang dinisbatkan kepada Al-Jazari.
Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa makna au nunsiha ialah Kami menghapuskan hukumnya dari kalian.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Yala ibnu ‘Atha’, dari Al-Qasim ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan ayat ini seperti berikut: “Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya.” (Al-Baqarah: 106) Yakni dengan bacaan nunsiha. Maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas bahwa sesungguhnya Sa'id ibnul Musayyab membacanya dengan bacaan au nansa-uha. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepada Al-Musayyab, juga tidak kepada keluarga Al-Musayyab." Selanjutnya Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa.” (Al-Ala: 6) “Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa.” (Al-Kahfi: 24) Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq ibnu Hasyim. Imam Hakim mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Abu Hatim Ar-Razi, dari Adam, dari Syu'bah, dari Yala ibnu ‘Atha’ dengan lafal yang sama, kemudian Imam Hakim mengatakan dengan syarat Syaikhain (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b, Qatadah, dan Ikrimah hal yang mirip dengan perkataan Sa'id ibnul Musayyab Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan Ats-Tsauri, dari Habib ibnu Abu Sab it, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Umar pernah mengatakan, "Orang yang paling adil di antara kami dan Ubay ialah orang yang paling ahli qiraat, tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena Ubay pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang pernah ia dengar dari Rasulullah ﷺ. Padahal Allah ﷻ telah berfirman: “Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106)
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat Umar pernah mengatakan, "Orang yang paling ahli qiraat di antara kami adalah Ubay, sedangkan orang yang paling ahli dalam masalah peradilan di antara kami adalah Ali. Tetapi sungguh kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena dia pernah mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan sesuatu pun dari apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah ﷺ. Padahal Allah ﷻ telah berfirman: “Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya” (Al-Baqarah: 106)
Adapun firman Allah ﷻ: “Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106) Yakni dalam hal hukum bila dikaitkan dengan masalah kaum Mukallafin, seperti yang telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Kami datangkan yang lebih baik daripadanya.” (Al-Baqarah: 106) Maksudnya, yang lebih baik manfaatnya buat kalian dan lebih ringan bagi kalian.
Abul Aliyah mengatakan, "Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan," maka kami tidak mengamalkannya, "atau Kami menangguhkannya," yakni Kami tangguhkan oleh pihak Kami, maka Kami akan mendatangkannya atau Kami datangkan yang sebanding dengannya.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106) Yaitu Kami datangkan yang lebih baik daripada apa yang telah Kami nasakh-kan itu, atau Kami datangkan yang sebanding dengan apa yang Kami tinggalkan itu.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kami datangkan yang lebih balk daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106) Yang dimaksud ialah ayat yang di dalamnya terkandung keringanan atau rukhsah (kemurahan) atau perintah atau larangan.
Ayat 107
Firman Allah ﷻ: “Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagi kalian seorang pelindung maupun seorang penolong selain Allah.” (Al-Baqarah: 106-107)
Melalui ayat ini Allah ﷻ memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dialah yang mengatur semua makhluk menurut apa yang Dia kehendaki, Dia yang menciptakan dan yang memerintah, Dia yang mengatur, Dia yang menciptakan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia yang membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang mencelakakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang menyehatkan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang membuat sakit siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang memberi taufik siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya.
Allah-lah yang mengatur hukum pada hamba-hamba-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu Dia menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, Dia membolehkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan tiada yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya.
Dia menguji hamba-hamba-Nya dan ketaatan mereka kepada rasul-rasul-Nya melalui hukum nasakh. Untuk itu, Dia memerintahkan sesuatu karena di dalamnya terkandung kemaslahatan yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya, kemudian Dia melarangnya karena suatu penyebab yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya. Taat yang sesungguhnya ialah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, mengikuti rasul-rasul-Nya dalam membenarkan apa yang diberitakan oleh mereka, dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh mereka serta menjauhi apa yang dilarang oleh mereka.
Di dalam ayat ini terkandung makna bantahan yang keras dan penjelasan yang terang kepada kekufuran orang-orang Yahudi dan kepalsuan keraguan mereka yang mengira bahwa nasakh merupakan hal yang mustahil, baik menurut rasio mereka maupun menurut apa yang dikira oleh sebagian dari kalangan mereka yang bodoh lagi ingkar, atau menurut dalil naqli seperti yang dibuat-buat oleh sebagian lain dari kalangan mereka untuk mendustakannya.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil ayat ini adalah seperti berikut: “Tidakkah kamu mengetahui, wahai Muhammad, bahwa sesungguhnya milik-Ku-lah semua kerajaan langit dan kerajaan bumi serta kekuasaan keduanya, bukan milik selain-Ku. Aku mengatur hukum pada keduanya dan semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Dan Aku memerintahkan pada keduanya serta pada semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Aku melarang semua yang Aku kehendaki. Aku me-nasakh dan mengganti sebagian dari hukum-hukum-Ku yang telah Aku tetapkan terhadap hamba-hamba-Ku menurut apa yang aku kehendaki di saat Aku menghendakinya. Aku menetapkan pada keduanya semua yang Aku kehendaki.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, sekalipun berita ini ditujukan sebagai khitab kepada Nabi ﷺ oleh Allah ﷻ sebagai penghormatan dari-Nya buat Nabi ﷺ, tetapi sekaligus sebagai bantahan yang mendustakan orang-orang Yahudi karena mereka mengingkari adanya pe-nasakh-an kitab Taurat serta ingkar kepada kenabian Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad ﷺ. Mereka melakukan demikian karena kedua rasul ini datang dengan membawa kitab yang diturunkan dari sisi Allah yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diturunkan oleh Allah untuk mengubah sebagian dari hukum-hukum Taurat.
Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa milik Dialah semua kerajaan langit dan bumi serta kekuasaan yang ada pada keduanya. Semua makhluk adalah penduduk dari kerajaan-Nya yang harus taat kepada-Nya. Mereka harus patuh dan taat kepada perintah dan larangan-Nya, dan Allah berhak memerintah mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya, serta melarang mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya. Dia berhak mengadakan apa yang dikehendaki-Nya, baik berupa ketetapan, perintah, ataupun larangan-Nya.
Menurut pendapat kami, hal yang mendorong orang-orang Yahudi mengungkit-ungkit masalah nasakh tiada lain hanyalah kekufuran dan keingkaran mereka. Karena sesungguhnya menurut rasio tiada sesuatu hal pun yang mencegah adanya pe-nasakh-an dalam hukum-hukum Allah ﷻ, sebab Dia memutuskan hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Dia berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya.
Padahal masalah nasakh itu sesungguhnya telah terjadi di dalam kitab-kitab Allah yang terdahulu dan syariat-syariat-Nya sebelum Al-Qur'an. Misalnya dalam syariat Nabi Adam Allah menghalalkan menikahkan anak-anak lelakinya dengan anak-anak perempuannya. Kemudian setelah populasi manusia bertambah banyak, maka hal tersebut diharamkan. Dalam syariat Nabi Nuh, sesudah dia keluar dari perahunya ia dihalalkan memakan daging semua hewan; kemudian di-mansukh, dan yang dihalalkan hanya sebagiannya saja.
Di masa lalu dalam syariat Nabi Ya'qub kaum Bani Israil diperbolehkan menikahi dua orang perempuan yang bersaudara (kakak dan adiknya), kemudian di dalam kitab Taurat hal tersebut diharamkan, demikian pula pada syariat-syariat sesudahnya. Allah ﷻ pernah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih anak laki-lakinya (yaitu Nabi Ismail), kemudian hal itu di-mansukh sebelum Nabi Ibrahim melakukannya. Allah memerintahkan agar membunuh semua Bani Israil yang pernah menyembah anak lembu, kemudian hukuman tersebut di-nasakh agar mereka tidak habis karena dihukum mati.
Masih banyak hal lainnya yang sangat panjang kisahnya bila dikemukakan; mereka mengakui adanya pe-nasakh-m tersebut, tetapi mereka berpaling dan tidak mau mengakuinya. Bantahan yang mereka kemukakan terhadap dalil-dalil tersebut tujuan utamanya ialah untuk mengelak dari kenyataan itu sendiri. Di dalam kitab-kitab mereka sudah dikenal adanya berita gembira mengenai kedatangan Nabi Muhammad ﷺ, juga perintah untuk mengikutinya.
Kenyataan ini mengharuskan mereka mengikuti Nabi ﷺ dan bahwa tiada lagi suatu amal pun yang dapat diterima kecuali dengan mengamalkan syariatnya, tanpa memandang kepada suatu pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya syariat-syariat yang terdahulu sudah berakhir sampai dengan masa Nabi ﷺ diangkat menjadi utusan Allah. Maka hal ini bukan dinamakan nasakh karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187) Menurut pendapat lainnya apa yang disebut oleh ayat ini bersifat mutlak, dan bahwa syariat Nabi Muhammad ﷺ telah me-nasakh-nya.
Berdasarkan interpretasi mana pun pada garis besamya diwajibkan mengikuti syariat Nabi Muhammad ﷺ, tiada pilihan lain, mengingat dia datang membawa Kitabullah yang paling akhir dan yang baru diturunkan oleh Allah ﷻ. Melalui ayat surat Al-Baqarah ini Allah ﷻ menjelaskan boleh adanya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi semoga laknat Allah menimpa mereka mengingat Allah ﷻ telah berfirman: “Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” (Al-Baqarah: 106-107), hingga akhir ayat.
Karena semua kerajaan ini adalah milik Allah tanpa ada yang menyaingi-Nya, maka Dia berhak mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (Al-A'raf: 54) Telah ditetapkan di dalam surat Ali Imran dalam salah satu ayatnya yang menceritakan perihal kaum ahli kitab, bahwa di dalamnya terdapat nasakh.
Yaitu pada firman-Nya: “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri.” (Ali Imran: 93), hingga akhir ayat. Adapun penafsirannya akan disebutkan pada tempatnya nanti.
Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa nasakh dalam hukum-hukum Allah itu ada, mengingat di dalamnya terkandung hikmah yang agung; dan mereka semua mengatakan bahwa nasakh itu ada. Akan tetapi, mengenai pendapat Abu Muslim Al-Asbahani seorang ulama tafsir yang mengatakan bahwa tiada suatu nasakh-pun di dalam Al-Qur'an, pendapatnya itu lemah, tidak dapat diterima lagi tak diindahkan; karena ternyata dia memaksakan diri dalam membantah kenyataan nasakh yang ada, antara lain dalam masalah idah empat bulan sepuluh hari yang sebelumnya adalah satu tahun. Dia tidak mengemukakan jawaban yang dapat diterima dalam masalah ini. Juga dalam masalah pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, dia tidak menjawab sepatah kata pun. Masalah lainnya yang dia tidak dapat menjawabnya ialah di-nasakh-Nya perintah bersabar bagi seorang muslim dalam menghadapi sepuluh orang musyrik, hingga menjadi dua orang musyrik saja. Contoh lainnya ialah wajib bersedekah sebelum bermunajat (berbicara) dengan Rasul ﷺ, dan lain sebagainya."
Kaum musyrik berkata, Tidakkah kalian perhatikan Muhammad' Ia menyuruh para sahabatnya melakukan sesuatu, kemudian ia menyuruh mereka melaku kan sebaliknya. Hari ini ia mengatakan satu hal, besok ia mengatakan hal yang berbeda. Al-Qur'an itu pastilah karangan Muhammad. Ia mengatakan sesua tu yang bersumber dari dirinya sendiri, yang satu sama lain saling bertentangan. Menjawab celaan mereka ini, Allah mengatakan bahwa ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan-mu, wahai Muhammad dan orang beriman, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik, lebih bermanfaat bagimu dengan mengangkat kesulitan darimu atau dengan menambahkan pahala bagimu, atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu, wahai Muhammad, bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dengan mendatang kan segala kebaikan dan kebajikan bagi manusia' Tidakkah kamu tahu, wahai Muhammad, bahwa Allah memiliki kerajaan langit dan bumi yang menguasai dan bertindak untuk makhlukNya, memutuskan hukum, dan memerintah sesuai kehendak-Nya' Dan tidak ada bagimu, wahai orang-orang kafir, pelindung yang dapat melindungi urusanmu dan penolong yang dapat menolongmu selain Allah. Menurut Ibnu abbas, ayat ini turun terkait abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya yang meminta Rasulullah untuk mengubah Bukit Safa menjadi emas, meluaskan tanah Mekah, dan memancarkan air dari tanah. Mereka menyatakan bahwa jika Nabi berhasil mengabulkan permintaan-per mintaan itu, maka mereka akan beriman kepada beliau.
Dijelaskan bahwa ayat mana pun yang dinasakh ) hukumnya, atau diganti dengan ayat yang lain, atau ayat yang ditinggalkan, akan diganti-Nya dengan ayat yang lebih baik dan lebih sesuai dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya, atau diganti-Nya dengan ayat yang sama nilainya dengan hukum yang lalu.
Adapun hikmah diadakannya pergantian atau perubahan ayat ialah karena nilai kemanfaatannya berbeda-beda menurut waktu dan tempat, kemudian dihapuskan, atau diganti dengan hukum yang lebih baik, atau dengan ayat yang sama nilainya, adalah karena ayat yang diubah atau diganti itu tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat, sehingga apabila diadakan perubahan atau pergantian termasuk suatu tindakan yang bijaksana.
Bagi yang berpendapat bahwa ayat ini ialah tanda kenabian (mukjizat) yang dijadikan penguat kenabian, maka ayat ini diartikan bahwa Allah tidak akan menghapuskan tanda kenabian yang digunakan untuk penguat kenabiannya, atau tidak akan mengubah tanda kenabian yang terdahulu dengan tanda kenabian yang datang kemudian, atau meninggalkan tanda-tanda kenabian itu, karena telah berselang beberapa abad lamanya. Terkecuali Allah yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas memberikan tanda kenabian yang lebih baik, ditinjau dari segi kemantapannya maupun dari tetapnya kenabian itu. Karena kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, maka hak untuk memberikan tanda kenabian kepada para nabi-Nya tidak dapat dihalang-halangi.
Penggantian ayat adakalanya terjadi dengan ayat yang lebih ringan hukumnya, seperti dihapusnya idah wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun menjadi 4 bulan 10 hari, atau dengan ayat yang sama hukumnya seperti perintah untuk menghadapkan muka ke Baitulmakdis pada waktu melaksanakan salat diubah menjadi menghadapkan muka ke Ka'bah. Atau dengan hukum yang lebih berat, seperti perang yang tadinya tidak diwajibkan pada orang Islam, menjadi diwajibkan.
Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ tetapi juga ditujukan kepada kaum Muslimin, yang merasa sakit hatinya mendengar cemoohan orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad ﷺ Orang-orang yang tipis imannya tentu mudah dipengaruhi, sehingga hatinya mudah menjadi ragu-ragu. Itulah sebabnya, Allah menegaskan bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, dan apabila berkehendak untuk menasakh hukum tidak dapat dicegah, karena masalah hukum itu termasuk dalam kekuasaan-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah 105-107
Ayat 105
“Tidaklah suka orang-orang kafir (Ahlul Kitab itu), dan tidak pula orang musyrikin bahwa akan diturunkan kepada kamu barang suatu kebaikan daripada Tuhan kamu."
Mereka tidak senang jika pengajaran agama yang kamu terima dari nabimu itu bertambah kembang dan kamu bertambah maju. Sedang Al-Qur'an yang kamu terima itu, pimpinan dari nabimu sendiri sudah terang akan membawa berbagai kebaikan dan kebahagiaan bagi hidupmu. Kamu kian lama akan bertambah kuat. Kabilah-kabilah yang dahulu berpecah-belah, berperang-perangan, sebagaimana Aus dan Khazraj sendiri yang satu keturunan darahnya, dahulu berpecah dan berperang, sekarang bersatu di bawah pimpinan Rasulullah. Maka Ahlul Kitab, Yahudi dan Nasrani, demikian juga orang musyrikin penyembah berhala, tidaklah merasa senang melihat apabila kebaikan itu turun kepada kamu. Apa sebab mereka tidak suka? Tidak lain hanyalah satu, yaitu dengki.
Hal ini wajib kamu ketahui supaya kamu pelihara baik-baik imanmu dan persatuan sesamamu, sehingga kedengkian mereka itu jangan kelak memengaruhi kamu dan jangan kamu mereka fitnahkan dengan berbagai daya upaya (yang di zaman sekarang kita namai provokasi). Di antaranya ialah yang telah disebutkan di ayat sebelumnya tadi, yaitu memilih kata-kata yang tidak dapat disalahartikan. Kalau telah demikian, ketetapan hasad dan dengki mereka tidaklah akan mempan kepadamu.
Bagaimana usaha mereka akan mempan? “Padahal Allah mengkhususkan rahmat-Nya
kepada barangsiapa yang Dia kehendaki!' Kalau rahmat itu telah dikhususkan Tuhan, walaupun berkumpul sekalian orang yang dengki hendak menghalanginya, tidaklah akan berhasil usaha mereka.
“Sesungguhnya, tidaklah akan hina orang yang Engkau melindunginya, dan tidaklah akan mulia orang yang Engkau memusuhinya."
“Dan Allah adalah mempunyai karunia yang luas"
Asal kamu selalu memelihara rahmat yang ada, karunia yang luas itu akan ditambah-Nya dan ditambah-Nya lagi, tidak terhitung-hitung.
Kemudian daripada itu, Tuhan memperingatkan kepada orang-orang yang beriman bahwasanya rasul-rasul diutus Tuhan ganti-berganti, dan wahyu atau kitab suci diturunkan berturut-turut. Semuanya itu memakai ayat-ayat atau tanda. Ayat diartikan juga mukjizat. Ayat diartikan juga syari'at atau perintah. Nabi berganti datang. Kitab berturut turun, zaman pun berganti. Akan tetapi, pokok hukum, yaitu percaya kepada Allah Yang Maha Esa dan percaya akan Hari Akhirat, tetap berjalan, tidak berganti. Sebab itu, Allah berfirman,
Ayat 106
“Tidaklah Kami mansukh-kan dari suatu ayat atau Kami jadikan dia terlupa, (niscaya) Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang seumpamanya."
Arti yang asal dari nasikh ialah dua. Pertama menghapus atau menghilangkan. Kedua menyalin. Misalnya ada satu tulisan dalam secarik kertas lalu kita rendamkan kertas itu ke dalam air sehingga hapuslah tulisan itu kena air; di sini mansukh-nya berarti dihapuskan. Dan satu waktu ada sebuah buku berisi tulisan lalu disalin isi tulisan itu ke buku lain yang masih kosong. Maka buku yang disalin ke buku lain itu dinamai mansukh, dengan arti disalin. Kadang-kadang bertemulah yang disalin atau yang dihapus itu lalu diadakan gantinya. Maka yang disalin atau dihapus dinamai mansukh dan pengganti atau salinan dinamai nasikh. Orang yang menyalin atau menghapusnya dinamai nasikh; ism fa'il.
Oleh sebab itu, senantiasa kita mendengar bahwa kitab-kitab atau surat yang disalin disebut naskhah. Setelah diambil menjadi bahasa Indonesia kita pakai menjadi naskah. Pengertian naskah berdekat dengan aslinya. Misalnya karangan yang masih ditulis tangan, belum dicetak (manuskrip).
Di dalam surah al-Jatsiyah: 29 bertemu perkataan nastansikhu, yang berarti kami tuliskan.
Di dalam surah al-A'raaf: ayat 154 bertemu kata-kata naskhah;"Setelah tenang Musa dari kemarahan, diambilnyalah alwah itu; dan di dalam naskhah adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang ada rasa takut kepada Tuhan mereka!'
Maka, di dalam kedua ayat ini, yang berisi nastansikhu dan naskhah terdapAllah arti penulisan dan penyalinan. Kitab Taurat mempunyai naskhah dan amal manusia hidup ini ada naskhah-nya dalam catatan tulisan Malaikat-Malaikat yang akan dibuka di akhirat.
Tentang nasakh dengan arti hapus, ada pula bertemu di dalam surah al-Hajj: 52, bertemu lagi nasakh dengan arti penghapusan. Di ayat itu dikatakan bahwa tiap-tiap setan mencoba hendak memasukkan bisikan pe-ngaruhnya kepada seorang rasul, tetapi selalu Tuhan menghapuskan pengaruh setan itu dari hati mereka; fa yansakhullahu ma yulqisy syaithanu. Di sini teranglah arti nasakh ialah penghapusan.
Maka, di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, arti mansukh ialah dihapuskan, bukan disalinkan atau dituliskan. Dan ayat yang dimaksud di sini bukanlah ayat Al-Qur'an ada yang mansukh atau yang lupa, sehingga tidak teringat lagi oleh Nabi lalu ayat itu diganti Tuhan dengan ayat yang lain dengan yang lebih baik atau yang sama. Atau yang mansukh seperti itu atau yang lupa oleh Nabi, tidak ada. Yang dimaksud dengan ayat di sini ialah arti tanda dan yang sebenarnya dituju ialah mukjizat Nabi-nabi yang terdahulu telah diberi Allah berbagai macam mukjizat sebagai tanda bukti mereka telah diutus Tuhan, sesuai pula dengan kecerdasan umat pada waktu itu. Berbagai mukjizat yang telah terdahulu itu ada juga disebutkan di dalam Al-Qur'an. Nabi Musa misalnya, telah datang membawa ayat mukjizat yaitu dia mempunyai tongkat yang demikian ganjil, Nabi Isa al-Masih, telah diberi ayat mukjizat menyembuhkan orang sakit balak dan menyalangkan orang buta. Ayat itu telah mansukh atau telah diganti dengan yang lebih baik dengan kedatangan Muhammad ﷺ, yaitu Al-Qur'an sebagai mukjizat terbesar. Tongkat Musa entah di mana sekarang, sudah hilang karena sudah lama masanya, tetapi Al-Qur'an masih tetap sebagai sediakala ketika dia diturunkan. Sehuruf pun tidak berubah. Nabi Isa al-Masih di kala hidupnya telah menyembuhkan orang sakit balak dan menyalangkan orang buta dengan izin Allah, maka Al-Qur'an yang dibawa Muhammad ﷺ pun telah menghidupkan orang yang mati hatinya dan buta pikirannya buat segala zaman. Maka, ayat Al-Qur'an sebagai mukjizat jauhlah lebih baik daripada ayat terdahulu yang telah mansukh itu. Kitab-kitab suci sendiri pun telah banyak terlupa; itu pun diakui oleh setiap penyelidik yang insaf. Taurat yang asli tidak ada lagi, orang Yahudi telah banyak melupakannya, sehingga catatan yang tinggal sudah banyak campur aduk. Injil Isa al-Masih yang sejati entah di mana tak diketahui sebab Injil baru dicatat berpuluh tahun sesudah beliau meninggalkan dunia ini. Berpuluh-puluh injil itu diputuskan oleh pendetapendeta gereja tidak boleh dipakai, hanya empat yang disahkan. Apakah sudah nyata bahwa yang tidak disahkan itu salah semua?
Sekarang datanglah Al-Qur'an. Betapapun haruslah diakui bahwa dialah ayat yang lebih baik dan lebih terjaga.
Dahulu ada ayat lagi, yaitu hari istirahat orang Yahudi ialah hari Sabtu, menurut syari'at Musa. Sekarang diganti Tuhan dengan ayat perintah baru yaitu berjumat bersama-sama pada hari Jum'at.
Dan banyak lagi nabi-nabi dan rasul-rasul yang lain, mungkin telah ditakdirkan Tuhan bahwa orang lupa apakah ayat-ayat dibawa oleh rasul-rasul dan nabi-nabi itu. Kalau benarlah bahwa nabi-nabi ada 124.000 dan rasul lebih dari 300 orang, niscaya tidak semua akan dapat diingat orang lagi ayat-ayat yang diturunkan kepada mereka semuanya sudah mansukh. Dan sekarang datang yang lebih baik dan ada juga yang sama baiknya.
“Tidakkah engkau ketahui," wahai utusan Kami, “bahwasanya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Bukanlah karena Rasul-Nya tidak tahu atau lupa sehingga diberi peringatan bahwa Tuhan Allah Mahakuasa berbuat sekehendak-Nya, melainkan yang dimaksud ialah bahwa Tuhan me-mansukh-kan satu ayat, menjadikan terlupanya satu ayat dipikirkan manusia dan menggantinya dengan yang lebih baik, artinya yang lebih sesuai dengan zaman atau yang sama. Tuhan mengadakan pertanyaan demikian adalah untuk menguatkan ingatan beliau bagi menghadapi orang-orang yang masih ragu, terutama Ahlul Kitab yang banyak pertanyaannya, banyak sudi siasatnya, mengapa ini di-mansukh-kan, mengapa ini dihilangkan dan tidak dipakai lagi.
Tafsir beginilah jalan yang kita pilih terhadap ayat ini. Dan ada juga penafsiran daripada ulama-ulama ikutan kita bahwa ada ayat Al-Qur'an sendiri yang di-mansukh-kan. Ada yang dihilangkan lafazhnya, tetapi tetap hukumnya dan ada yang lafazhnya masih ada, tetapi hukumnya tidak berlaku lagi karena di nasikh-kan oleh ayat yang lain. Tidak kita kemukakan penafsiran menurut itu karena itu telah mengenai khilafiyah sebab ada pula se-golongan ulama yang tidak mengakui adanya nasikh-mansukh.
Ayat 107
“Tidakkah engkau ketahui?"
Gaya pertanyaan seperti ini adalah menguatkan kata, yang dinamai istifham inkari. Tidakkah engkau tahu, wahai utusan-Ku? Untuk Merekankan perhatian kepada hal yang tengah dibicarakan."Bahwasanya Allah itu, kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi." Dia Yang Mahakuasa mengatur semuanya. Maka, jika perhatian telah ditumpahkan kepada Maha Kekuasaan yang meliputi semua langit dan bumi itu, menjadi kecillah urusan menghapuskan satu ayat atau menjadikan suatu ayat terlupa di hati manusia. Mahakuasalah Tuhan mengatur dan menggantinya dengan yang baru dan lebih baik atau yang serupa. Karena semua langit dengan berbagai isinya, dengan berjuta-juta bintangnya, dan bumi pun dengan semua isinya: lautnya dan daratnya, adalah seluruhnya di bawah kuasa-Nya. Dan yang menentukan perubahan ruang dan perbedaan waktu. Semuanya beredar berirama. Pergaulan manusia, tingkat-tingkat kehidupan, tegaknya kebenaran dan sirnanya kebatilan, semua menurut hukum-hukum yang telah tertentu. Semuanya menurut hukum sunatullah, sebab dan akibat. Hanya manusia yang picik pikiran jualah yang tidak mengerti akan hal itu,
“Dan tidaklah ada bagi kamu, selain Allah, akan pelindung dan penolong “
(ujung ayat 107)